< Previous72 (d) Penggolongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristiknya ditentukan dengan : mudah meledak; pengoksidasi; sangat mudah sekali menyala; sangat mudah menyala; mudah menyala; amat sangat beracun; sangat beracun; beracun; berbahaya; korosif; bersifat iritasi; berbahayabagi lingkungan; karsinogenik; teratogenik; mutagenik. Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total solids residue (TSR), kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids (VR), kadar air (sludge moisture content), volume padatan, serta karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat mudah meledak, beracun, serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia). 4). Persyaratan Penanganan Limbah B3 Pengelolaan limbah B3 meliputi kegiatan pengumpulan, pengangkutan, pemanfatan, pengolahan dan penimbunan.Setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 harus mendapatkan perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan setiap aktivitas tahapan pengelolaan limbah B3 harus dilaporkan ke KLH. Untuk aktivitas 73 pengelolaan limbah B3 di daerah, aktivitas kegiatan pengelolaan selain dilaporkan ke KLH juga ditembuskan ke Bapelda setempat. Pengolahan limbah B3 mengacu kepada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tertanggal 5 September 1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Pengolahan limbah B3 harus memenuhi persyaratan: Lokasi Pengolahan Pengolahan B3 dapat dilakukan di dalam lokasi penghasil limbah atau di luar lokasi penghasil limbah. Syarat lokasi pengolahan di dalam area penghasil harus: daerah bebas banjir; jarak dengan fasilitas umum minimum 50 meter; Syarat lokasi pengolahan di luar area penghasil harus: 1. daerah bebas banjir; 2. jarak dengan jalan utama/tol minimum 150 m atau 50 m untuk jalan lainnya; 3. jarak dengan daerah beraktivitas penduduk dan aktivitas umum minimum 300 m; 4. jarak dengan wilayah perairan dan sumur penduduk minimum 300 m; 5. dan jarak dengan wilayah terlindungi (spt: cagar alam,hutan lindung) minimum 300 m. 5). Fasilitas Pengolahan Fasilitas pengolahan harus menerapkan sistem operasi, meliputi: 1. sistem keamanan fasilitas; 2. sistem pencegahan terhadap kebakaran; 3. sistem pencegahan terhadap kebakaran; 74 4. sistem penanggulangan keadaan darurat; 5. sistem pengujian peralatan; 6. dan pelatihan karyawan. Keseluruhan sistem tersebut harus terintegrasi dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengolahan limbah B3, mengingat jenis limbah yang ditangani adalah limbah yang dalam volume kecil pun berdampak besar terhadap lingkungan. 6). Penanganan Limbah B3 Sebelum Diolah Setiap limbah B3 harus diidentifikasi dan dilakukan uji analisis kandungan guna menetapkan prosedur yang tepat dalam pengolahan limbah tersebut. Setelah uji analisis kandungan dilaksanakan, barulah dapat ditentukan metode yang tepat guna pengolahan limbah tersebut sesuai dengan karakteristik dan kandungan limbah. 1. Pengolahan limbah B3 Jenis perlakuan terhadap limbah B3 tergantung dari karakteristik dan kandungan limbah. Perlakuan limbah B3 untuk pengolahan dapat dilakukan dengan proses sebagai berikut: a. Proses secara kimia, meliputi: redoks, elektrolisa, netralisasi, pengendapan, stabilisasi, adsorpsi, penukaran ion dan pirolisa. b. Proses secara fisika, meliputi: pembersihan gas, pemisahan cairan dan penyisihan komponen-komponen spesifik dengan metode kristalisasi, dialisa, osmosis balik, dll. c. Proses stabilisasi/solidifikasi, dengan tujuan untuk mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 75 dengan cara membatasi daya larut, penyebaran, dan daya racun sebelum limbah dibuang ke tempat penimbunan akhir. d. Proses insinerasi, dengan cara melakukan pembakaran materi limbah menggunakan alat khusus insinerator dengan efisiensi pembakaran harus mencapai 99,99% atau lebih. Artinya, jika suatu materi limbah B3 ingin dibakar (insinerasi) dengan berat 100 kg, maka abu sisa pembakaran tidak boleh melebihi 0,01 kg atau 10 gr. 2. Hasil pengolahan limbah B3 Memiliki tempat khusus pembuangan akhir limbah B3 yang telah diolah dan dilakukan pemantauan di area tempat pembuangan akhir tersebut dengan jangka waktu 30 tahun setelah tempat pembuangan akhir habis masa pakainya atau ditutup. Perlu diketahui bahwa keseluruhan proses pengelolaan, termasuk penghasil limbah B3, harus melaporkan aktivitasnya ke KLH dengan periode triwulan (setiap 3 bulan sekali). 7). Metode Penanganan Limbah B3 a. Proses penanganan secara kimia : Reduksi-Oksidasi Elektrolisasi Netralisasi Presipitasi / Pengendapan Solidifikasi / Stabilisasi Absorpsi Penukaran ion, dan Pirolisa 76 b. Proses pengolahan limbah secara fisik : Pembersihan gas : Elektrostatik presipitator, Penyaringan partikel, Wet scrubbing, dan Adsorpsi dengan karnbon aktif. Pemisahan cairan dengan padatan : Sentrifugasi, Klarifikasi, Koagulasi, Filtrasi, Flokulasi, Floatasi, Sedimentasi, dan Thickening. Penyisihan komponen-komponen yang spesifik : Adsorpsi, Kristalisasi, Dialisa, Electrodialisa, e, Leaching, Reverse osmosis, Solvent extraction, dan Stripping c. Proses pengolahan secara biologi Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang telah berkembang yaitu bioremedasi dan fitoremedasi. Bioremediasi Bioremedasi adalah penggunaan bakteri dan mikroorganisme lain seperti jamur untuk mendegradasi/mengurai limbah B3. Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air) dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme. Ada 4 teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi : 1. Stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan nutrien, pengaturan kondisi redoks, optimasi pH, dsb, 2. Inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus, 3. Penerapan immobilized enzymes, 77 4. Penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau mengubah pencemar. Bioremediasi juga merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, peristiwa tersebut disebut dengan biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan yang beracun terdegradasi sehingga strukturnya menjadi tidak kompleks. Hasil akhir dari biodegradasi tersebut menghasilkan metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun. Bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bioremediasi saat ini didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik. Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan yaitu bakteri “pemakan minyak”. Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Strain ini belum mampu 78 untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan. Jenis-jenis bioremediasi adalah : a. Biostimulasi Mikroorganisme untuk melakukan metabolismenya membutuhkan nutrien yang cukup. Untuk memperlancar pertumbuhan mikroorganisme sehingga proses bioremediasi berjalan dengan cepat sengaja ditambahkan nutrien dalam bentuk cair atau gas ke dalam air atau tanah yang tercemar untuk aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut. b. Bioaugmentasi Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan ketika cara ini digunakan, yaitu sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. c. Bioremediasi Intrinsik Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar. Fitoremediasi Fitoremediasi, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton (“tumbuhan”) dan remediation yang berasal dari kata Latin remedium (”menyembuhkan”) dalam hal ini berarti juga “menyelesaikan masalah dengan cara 79 memperbaiki kesalahan atau kekurangan”. Fitoremediasi didefinisikan sebagai penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar baik senyawa organik maupun anorganik. Fitoremedasi juga merupakan penggunaan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi bahan-bahan beracun dari tanah. Keuntungan paling besar dalam penggunaan fitoremediasi adalah biaya operasi lebih murah bila dibandingkan pengolahan konvensional lain seperti insinerasi, pencucian tanah berdasarkan sistem kimia dan energi yang dibutuhkan. Prinsip dasar teknologi fitoremediasi adalah memulihkan tanah terkontaminasi, memperbaiki sludge, sedimen dan air bawah tanah melalui proses pemindahan, degradasi atau stabilisasi suatu kontaminan. Proses teknologi fitoremediasi berjalan secara alami dengan enam tahapan proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan / pencemar disekitarnya. Ada 4 faktor yang mempengaruhi fitoremediasi yaitu : 1. Kemampuan daya akumulasi berbagai jenis tanaman untuk berbagai jenis polutan dan konsentrasi, sifat kimia dan fisika, dan sifat fisiologi tanaman. 2. Jumlah zat kimia berbahaya. 3. Mekanisme akumulasi dan hiperakumulasi ditinjau secara fisiologi, biokimia, dan molecular. 4. Kesesuaian sistem biologi dan evolusi pada akumulasi polutan. Fitoremediasi juga memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan metode konvensional lain untuk menanggulangi masalah pencemaran, yaitu : 80 Biaya operasional relatif murah Tanaman bisa dengan mudah dikontrol pertumbuhannya. Kemungkinan penggunaan kembali polutan yang bernilai seperti emas (Phytomining). Merupakan cara remediasi yang paling aman bagi lingkungan karena memanfaatkan tumbuhan. Memelihara keadaan alami lingkungan Kelemahan fitoremediasi adalah kemungkinan yang timbul bila tanaman yang telah menyerap polutan tersebut dikonsumsi oleh hewan dan serangga. Dampak negatifnya adalah terjadi keracunan bahkan kematian pada hewan dan serangga atau terjadinya akumulasi logam pada predator-predator jika mengkonsumsi tanaman yang telah digunakan dalam proses fitoremediasi. Selain itu, membutuhkan waktu yang relatif lama untuk membersihkan limbah B3, terutama dalam skala besar dan akan membawa senyawa beracun ke dalam rantai makanan dalam ekosistem. Penggunaan tumbuhan untuk remediasi air tercemar, seperti enceng gondok dapat digunakan untuk menghilangkan polutan, karena fungsinya sebagai sistem filtrasi biologis, menghilangkan nutrien mineral, untuk menghilangkan logam berat seperti cuprum, aurum, cobalt, strontium, merkuri, timah, kadmium dan nikel. 8). Penerapan Sistem Pengolahan Limbah B3 Penerapan sistem pengolahan limbah harus disesuaikan dengan jenis dan karakterisasi dari limbah yang akan diolah dengan memperhatikan 5 hal sebagai berikut : Biaya pengolahan murah, 81 Pengoperasian dan perawatan alat mudah, Harga alat murah dan tersedia suku cadang, Keperluan lahan relatif kecil, dan Bisa mengatasi permasalahan limbah tanpa menimbulkan efek samping terhadap lingkungan. Pemilihan teknologi alternatif alur proses pengolahan limbah B3 dapat dilihat pada Gambar 6 berikut : Gambar 13Alur proses pengolahan limbah B3 Sumber:http://www.kelair.bppt.go.id/Publikasi/BukuB3/ 04BAB4.pdf Kertangan: Baku mutu limbah cair wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kep-men 03/1991 atau yang ditetapkan oleh Bapedal. Next >