< Previous 230 Boma raja di kerajaan Trajutrisna itu tetap merayu dan mendesak agar Wahyu Senapati bisa dipegang dan dimilikinya. Karena bujuk rayu Boma maka Sri Kresna terpaksa me-nyanggupi untuk mengusahakan. Tetapi wahyu itu merupakan ke-pastian Sang Hyang Wenang Jagad, dan si orang yang mengingin-kanya tentu harus melakukan prihatin, suci, berbuat adil, tidak jahat dan suka menolong. Nah.., apakah Boma memenuhi sayarat bagi ketentuan laku itu? Maka nekatlah Boma menuju ke hutan di tempat Sang Gathotka-ca bertapa. Dikisahkan pula tentang Raden Antareja yang mengamuk, karena ingin membunuh adiknya yaitu Gathotkaca. Keinginan Raden Antareja tersebut karena hasutan Patih Sengkuni. Patih Sengkuni menyatakan bahwa Antareja-lah yang punya hak untuk menjadi se-napati bukan Gathotkaca. Oleh sebab itu hanya Antareja yang pan-tas mendapatkan dan memiliki Wahyu Senapati. Terjadilah peperangan antara Antareja dengan Gathotkaca. Namun sekalipun Gathotkaca tak akan membalas. Semar melerai dan menjelaskan permasalahan yang sebenarnya. Akhirnya Wahyu Senapati menjadi milik Gathotkaca. 5.3.5 Ruwatan Ruwatan di Jawa, sampai kini masih berlaku. Ruwatan ini berupa sebuah upacara penghapusan dosa, penyakit, kotoran (su-kerta) dan lain sebagainya dengan menggunakan medium wayang. Sebenarnya ruwatan merupakan hasil perubahan upacara tradisional keagamaan Jawa pada jaman Syamanisme. Upacara ini dilakukan sejak masyarakat Jawa mengenal faham Animisme dan Dinamisme sekitar tahun 1500 S. M. Kehadiran agama Hindu di Jawa sangat mempengaruhi bu-daya tradisional yang berbentuk upacara wayang di jaman Batu Mu-da (halus/Neolitikum), sedangkan wayangnya hanya satu terbuat da-ri batu dan dipimpin oleh seorang perantara yaitu Syaman. Kini upacara wayang batu itu telah berubah dan berkem-bang menjadi sebuah upacara wayang yang disebut Ruwatan, se-dangkan alatnya masih tetap menggunakan wayang, namun bukan dari batu melainkan dari kulit hewan. Selain itu jumlah tokohnya pun juga berkembang bertambah banyak. Upacara wayang ruwatan yang masih berjalan sampai saat ini (di Jawa) dengan menggunakan ceri-ta atau lakon Murwakala (menguasai setan/menguasai dosa). Maksud dan tujuan Murwakala yaitu keinginan akan sirna-nya kala sukerta yang dimiliki setiap orang. Oleh karena itu melalui upacara Wayang Ruwatan ini ada beberapa materi yang harus diper-siapkan, yaitu Janma Sukerta (yang diruwat), Dalang Kandhabhuwa-na, Peralatan wayang, gamelan, saji-sajian. 231Bila ketiga-tiganya telah ada, tentu orang tua janma sukerta yaitu bapak dan ibu akan menentukan hari penyelenggaraan upaca-ra wayang ruwatan, yang biasa dilaksanakan pada waktu siang hari oleh seorang dalang yang umumnya disebut dalang Kandhabhuwa-na atau juru ruwat. Sebelum upacara wayang ruwatan diuraikan le-bih lanjut, terlebih dulu perlu diterangkan tentang ketiga materi di atas agar dapat dipahami. 5.3.5.1 Juru Ruwat Sebagai materi yang kedua adalah seorang dalang memiliki sebutan Kandhabhuwana. Ia yang akan melakonkan atau mencerita-kan ruwatan sebagai apa yang dimaksud oleh si penanggap. Ia se-orang dalang yang akan mengkandhakan tentang ruwatan agar para penanggap, anak yang diruwat beserta para penonton menjadi jelas dan gamblang dalam memahami lakon. Mengapa harus dalang Kandhabhuwana? Sebelum berlan-jut, perlu dipahami dulu tentang arti daripada kata-kata Dalang, Kan-dha dan Bhuwana. Dalang adalah seorang empu, pakar, ahli lakon, Kandha berarti omong, crita (bertutur), Bhuwana berarti jagad/dunia. Jadi Dalang Kandhabhuwana adalah seorang empu atau pakar yang sangat ahli bertutur (ajaran) tentang dunia yaitu hakikat kehidupan. Jadi pertanyaanya “mengapa harus dalang Kandhabhuwana” sudah terjawab, sebab hanya dalang Kandhabhuwana-lah yang ahli bertu-tur tentang hakikat kehidupan. Namun demikian masih saja ada per-tanyaan tentang siapa dalang Kandhabhuwana itu? Nama Kandha-bhuwana memang sebuah nama yang tidak terang-terangan nama yang disembunyikan (Nami Singlon), Dikisahkan bahwa Kehadiran Hyang Narada di padepokan Nguntaralaya bertemu dengan Wisnu dan Brahma. Dia memberitahu kepada mereka berdua, bahwa permintaan makanan Batara Kala, semua dikabulkan. “Sekarang anda berdua dengan saya, atas perin-tah Hyang Jagad Giri Nata harus turun ke dunia.” Ketiganya tidak menolak tugas itu, kemudian mereka turun ke dunia dengan berganti wujud, Batara Narada berubah menjadi se-orang tukang kendang Kalunglungan. Batara Brahma berubah men-jadi seorang perempuan bertugas sebagai tukang gender bernama Penggender Seruni. Hyang Wisnu berubah menjadi seorang dalang bernama Dalang Kandhabhuwana. Batara Wisnu yang tugas kesehariannya memelihara jagad atau memelihara dunia atau juga memelihara kehidupan, sangat te-pat sekali bila dalam memantau kegiatan Batara Kala, berwujud se-orang dalang Pangruwatan. Batara Wisnu-lah yang memiliki kuasa dalam pengaturan khusus bagi peruwatan kehidupan sukerta dan di-harapkan akan membuahkan keselamatan. Setiap ruwat bagi seorang manusia, Dalang Kandhabhuwa-na tidak lupa untuk sekaligus memberikan wejangan kepada orang 232 itu, sehingga benar-benar manusia sukerta itu akan mendapatkan keselamatan lahir-batin. Dalang Kandhabhuwana-lah yang membe-baskan dunia ini dari cengkeraman Batara Kala (setan/dosa). 5.3.5.2 Janma Sukerta Janma sukerta, merupakan unsur yang utama dalam upa-cara ruwatan ini. Ia adalah sasaran yang harus diruwat oleh seorang juru ruwat yaitu dibersihkan dari segala sukerta yang dideritanya. Ba-gi sang juru ruwat (dalang) janma sukerta adalah penderita. Banyak macamnya janma sukerta dalam ruwatan, yaitu On-tang-anting yaitu anak tunggal lelaki tanpa saudara, Unting-unting yaitu anak tunggal perempuan, Uger-uger lawang yaitu dua anak le-laki semua, Kembang sepasang artinya dua anak putri semua Ke-dhana-kedhini artinya dua anak laki-perempuan, Kedhini kedhana artinya dua anak perempuan-laki-laki, Pandawa artinya lima anak laki semua, Pandhawi/ngayoni artinya lima anak perempuan semua, Sendhang kapit pancuran artinya tiga anak, puteri di tengah, Pancur-an kapit sendhang artinya tiga anak, laki di tengah, Madangake arti-nya lima anak 4 laki satu putri, Apil-apil artinya lima anak 4 putri satu laki-laki, Bathang ngucap artinya bila ada seorang diri berjalan di si-ang hari bolong tanpa sumping daun-daunan dan tidak berbicara, Ontang-anting lumunting artinya lahir tanpa ari-ari atau lahir terbelit usus atau lahir bule atau lahir tidak seperti umumnya. Ada syarat bagi Batara Kala dari Sang Batara Guru, yaitu bila Batara Kala makan mangsanya itu, maka mangsa itu harus dibu-nuh dengan senjata tajam (gaman) seperti pedang lebih dahulu, ke-mudian baru dimakan. Batara Penyarikan akan selalu mencatat se-mua manusia (janma) anak sukerta yang dimakan dan juga akan se-lalu mengikuti jejak Kala. Bila tidak sesuai dengan catatan Dewa Pe-nyarikan, maka Kala akan mendapat marah besar dari Batara Guru dan akan sengsara hidupnya. Dengan ketentuan seperti itu, maka Batari Uma (isteri Gu-ru) menambahkan, yaitu Anak tiba sampir, bila seorang anak lahir bersamaan seorang dalang sedang mendalang di sekitar itu dan pe-ragaan lakonnya menggunakan cerita ruwatan Murwakala, dan anak yang baru lahir tersebut apabila tidak sungkem kepada dalang, maka anak itu juga akan menjadi jatahnya Batara Kala, kecuali anak itu di-bawa kepada ki dalang dan diakui sebagai anaknya. Ada orang disebut Wong Mancah adalah orang yang dalam karyanya mendatangkan buah karya yang mengganggu perjalanan Batara Kala, maka wong mancah tadi menjadi makanan Batara Kala. Yang dimaksud dengan karya wong mancah itu misalnya orang me-nanam tanaman yang buahnya ada diatas tanah (pala kesimpar) tan-pa di beri tututp atas di samping kranjang (anjang-anjang) maka bisa tersandung Kala, mendirikan rumah belum diberi tutup keyong, me- 233ninggalkan dandang saat menanak nasi, sehingga dandangnya ter-guling, dan sebagainya. Ini semua dianggap mengganggu perjalanan Batara Kala. Maka semua ini akan menjadi santapan Batara Kala. Hanya karena diakui sebagai saudara ki dalang Kandhabhuana barulah wong man-cah terhindar dari ancaman dimakan Kala. Hyang Batara Guru memerintahkan kepada dewa Penyarik-an agar semua yang titahkan itu dicatat dengan cermat dan Batara Penyarikan harus ikut menyaksikan, dan baru boleh meninggalkan tempat itu bila tidak ada yang salah. Karena usulan Narada bahwa makanan yang diberikan kepada Kala terlalu banyak, maka Batara Wisnu diperintahkan untuk memberikan berkat ke-pada setiap umat. Umat itulah yang tidak disantap Kala. 5.3.5.3 Cerita Ruwatan (Murwakala sebagai lakon bakunya). Memang cerita Ruwatan ini di dalamnya terdapat suatu komposisi lakon yang sangat unik dan tidak biasa ditemui pada la-kon-lakon yang lainnya. Dalam lakon Murwakala terdapat dua bagian yang masing-masing sesungguhnya berdiri sendiri-sendiri, meskipun antara keduanya terdapat ada kaitannya yang saling mengasihi. Pada bagian pertama, dikisahkan oleh sang dalang bahwa pada suatu hari Sang Hyang Jagad Giri Nata sedang bersama de-ngan permaisuri Batari Uma berjalan-jalan dengan naik lembu kas-wargan yaitu lembu Handini. Pada saat di angkasa ketika itu pula Sang Batara Guru melihat kemolekan Sang Uma sehingga timbullah nafsu birahinya. Namun apa mau dikata, nafsu birahinya yang sudah memuncak itu tak bisa tersalurkan, karena memang Sang Uma tidak mau melayani, sehingga kama Sang Batara Guru jatuh ke samude-ra. Kama Sang Batara Guru itu disebut kama salah karena memang sangat salah tingkah. Kama salah itu berada dalam samudera ternyata hidup yang mempengaruhi permukaan air samudera menjadi pasang me-ninggi hingga tumpah ke daratan. Kama salah kini menjadi besar, akibatnya daratan semakin tidak mampu menampung air dan banjir-lan di daratan. Hanya ketika kama salah itu bangkit, baru air di dara-tan menjadi kering (asat). Banjir hilang tanah menjadi subur. Si kama salah langsung naik ke darat yang subur itu. Tanah yang diinjak ter-desak ke bawah sampai dalam, akibatnya buminya menjadi berlu-bang-lubang sedalam sumur. Kama salah yang berupa raksasa ting-gi besar tak ada yang menyamainya. Dia tinggi melebihi tinggi pepo-honan. Dia besar sekali, tiga kali besar seekor gajah. Dia juga kuat dan sakti. Mulutnya besar dan lebar selebar pintu gua. Rambut kaku panjang gimbal sulit disisir. Sisir yang sebajak (segaru) sawah baru-lah mampu menyisir rambut si kama salah. Sekarang dia berjalan sambil teriak-teriak, secara alami menjadi omong atau bicara. 234 “He… orang… jangan lari. Kenapa kamu lari!” Setiap manusia yang ketemu mesti lari karena takut dima-kan (diuntal). Ucap kama salah semakin keras sampai menggugur-kan daun dan buar pepohonan. “Heeee…… wong ndesa aja mlayu. Aku takon, aku iki sapa? Bapakku sapa? Aku tulung critanana.” Tak ada jawaban setiap pertanyaan maka semakin marah si kama salah. Setiap apa yang ada di depannya diinjak, ditendang dan yang terpegang tangannya di remas. Pepohonan yang dilewati ada yang dicabut (dibedol) dirobohkan. Demikian juga rumah-rumah penduduk diinjak, dirobohkan juga. Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan ka-ma salah tidak pernah makan, lama kelamaan perjalanan si kama salah sampai di kaki sebuah gunung tempat bersemayamnya para dewa. Di situ si kama salah bertemu dengan para prajurit Dorandara. Dia disuruh kembali oleh para prajurit Dorandara. Karena tidak mau kembali, maka terjadilah selisih pendapat dan timbul perang mulut kemudian semakin memuncak sehingga menjadi perang fisik, adu jo-tos, adu kuat. Ternyata kama salah terlalu kuat, para prajurit Doran-dara lari tunggang langgang. Kama salah yang berhadapan dengan para dewa senior di-mana mereka pada adu sakti, ternyata dewa kalah sakti. Semua pu-saka, ajian, kesaktian, gaib tak ada yang mempan dipukulkan, dige-bugkan pada tubuh kama salah yang tak dirasakan. Kama salah adalah kama Sang Jagad Nata yang berari tidak bisa dibuat sembra-na. Dia kuat dan sangat-sangat sakti, tak ada yang mampu mela-wannya dengan cara apapun. Akhirnya terpaksa oleh Resi Narada si kama salah dihadapkan pada Sang Hyang Jagad Giri. Dengan kondisi yang serba harus, Batara Gurupun terpak-sa menuruti keinginan si kama salah, meskipun Batara Guru tetap kurang senang atas kedatangannya yang harus diakui sebagai anak-nya. Kemarahan sang Batara Guru belum reda karena masih ada pusakanya yang belum digunakan. Dengan diam-diam Sang Batara Guru membelalakkan mata ketiganya dengan di dorong oleh keem-pat tangannya, mata itu mengeluarkan sinar panas ditujukan pada kama salah, biarlah ia mati kepanasan. Ternyata si kama salah tidak terasa apa-apa. Justru Batara Tri Netra (Guru) berteriak-teriak bi-ngung kepanasan. Sang kama salah tak mempan oleh semua pusa-ka dan ajian, sehingga para dewa tak bisa apa-apa kecuali meme-nuhi keinginannya. Akhirnya Batara Parameswara harus mengakui bahwa ka-ma salah adalah anaknya sendiri. Dengan disaksikan oleh para de- 235wa, sang kama salah diangkat sebagai Dewa Batara dan diberi na-ma Kala. Dewa Batara Kala sebelumnya telah diberi ijin oleh Sang Batara Rodrapati dalam permohonan makan sehari-hari yaitu manu-sia sukerta. Berangkatlah Kala untuk mencari makanan manusia su-kerta. Oleh Batara Narada diperingatkan bahwa makanan yang dibe-rikan kepada Batara Kala itu sangat banyak, tentu dunia ini akan ke-habisan manusia. Batara Guru menjadi masygul hatinya. Dia kecewa atas pemberian ijin kepada Sang Kala tentang makanan manusia suker-ta. Kekecewaan, bahkan timbul kekhawatiran bahwa manusia akan habis dimakan Kala, maka semua ini harus diserahkan kepada Sang Wisnu pemelihara jagad. Terserah dengan kebijaksanaan apa, Wis-nulah yang mengatur. Batara Rodrapati memerintahkan kepada Ba-tara Narada untuk bersama-sama dengan Batara Wisnu dan sege-nap dewa lain yang diperlukan. Ketika semua sudah siap, berangkat-lah mereka turun ke dunia. Seperti yang telah dijelaskan di depan bahwa dalam rangka mengikuti jejak Kala, Batara Wisnu dan lainnya berganti wujud yang disesuaikan dengan tugas masing-masing. Batara Wisnu sebagai dalang Kandhabhuwana, Batara Narada sebagai pengendhang Ka-lunglungan, dan Batara Brahma sebagai penggender Seruni. Batara Ismaya yang kebetulan hadir di Kahyangan Ngunta-ralaya atau Nguntara segara ikut membicarakan kerusakan jagad dan ikut dalam rombongan. Ismaya menjadi pengrawit (panjak). Ba-tara Cakra menabuh kethuk bernama Swuhbrastha, Batara Asmara menabuh gong kempul bernama Sirep, Batara Mahadewa menabuh kenong bernawa Ruwat. Sampai adegan inilah lakon ruwatan bagian pertama sudah selesai. Bahkan sejak kama salah diterima sebagai anak Batara Gu-ru dan diberi nama Batara Kala, itu bisa dikatakan cerita bagian per-tama sudah habis. Sedangkan keberangkatan Kala dan pembagian tugas para dewa dalam memantau Kala itu bisa dikatakan sebagai introduksi Ruwatan bagian ke-2, yang ciri tema-nya berlainan sekali. Adapun bagian kedua dimulai dari kisah seorang anak on-tang anting yang di dalam pakeliran bernama Jatusmati. Ia lari terbi-rit-birit menghindar dari kejaran Batara Kala. Sangat kebetulan sekali pada waktu itu ada perhelatan de-ngan menanggap wayang dimana dalangnya adalah ki dalang Kan-dhabhuwana atau ada yang menyebut ki dalang sejati. Jatusmati menyelinap masuk di tempat para pengrawit menyatu dengan mere-ka. Akibat itu semua Batara Kala lalu berhenti di situ dan menanti ke-luarga Jatusmati sambil melihat tontonan wayang. Tentu saja para penonton lainnya takut ada raksasa yang tinggi dan besar ikut me-nontong wayang. Para penonton bubar lari meninggalkan tempat, 236 sehingga di tempat pertunjukan wayang itu menjadi sunyi sepi tak ada penonton. Hanya ada satu orang penontong yaitu Batara Kala. Karena sepi itu maka sang Dalang Sejati Kandhabhuwana menoleh ke belakang sehingga tahu bahwa penyebab bubarnya pe-nonton adalah Batara Kala. Terjadilah dialog antara sang dalang Kandhabhuwana dengan Batara Kala. Mereka berdua bagaikan ter-ikat dalam satu ikatan bantah yang tak mau saling mengalah. Terutama ki dalang disuruh tampil maka akan dibayar olah Batara Kala. Bantah masih berlanjut, Batara Kala bertanya, lebih tua mana antara Batara Kala dengan ki Dalang Kandhabhuwana. Tak la-ma kemudian Dalang Kandabhuwana merayu Batara Kala untuk menyerahkan pedhang (Bedhama). Singkatnya bantah mereka dimenangkan oleh ki Dalang Kandhabhuwana. Kecuali itu, Batara Kala tidak boleh memakan ma-nusia sukerta yang sudah mendapat ruwat atau diruwat oleh Dalang Kandabhuwana. Demikianlah ikatan janji antara Batara Kala dengan ki Dal-ang Kandhabhuwana yang tidak bisa diingkari. Di samping itu ada beberapa tokoh yang disebutkan dalam Ruwatan ini demi terangkai-nya alur certita misalnya Randha Prihatin ibu Jatusmati yang disela-matkan oleh dalang Kandhabhuwana, Buyut Awengkeng diminta anak perempuannya Rara Primpen yang bersama suaminya yang je-lek rupa Buyut Gadual (Joko Sondong) minta ditanggapkan wayang ruwatan pada ki Dalang Kandhabhuwana, Nyai randha Sumampir dari desa Mendhang Kawit yang semula miskin menjadi kaya. Desa-nya-pun menjadi ramai atas kehendak dewa Agung. Oleh ki Dalang Kandhabhuwana nama randha Sumampir diganti menjadi Randha Asem Sore. Dia diberi pegangngan sakit encok dan sebangsanya, artinya apabila ada orang menjemur kain panjang (jarit) sampai sore belum diangkat, bila ada orang makan beralaskan cobek (cowek) ta-nah cobek batu dengan sayur asem wayu, diberikan mereka sakit encok. Buyut Gadual yang datang di rumah randha Sumampir ingin bertemu dengan Ki Dalang Kandhabhuwana yang kebetulan berada di rumah ini untuk nanggap wayang ruwatan. Setelah disanggupi, maka jadilah wayangan di rumah Buyut Gadual di rumah mertuanya ki Buyut Tapa Wangkeng. Wayang Ruwatan ini bertujuan agar hubungan suami istri antara Buyut Gadual (Joko Sondong) dengan Rara Primpen menjadi rukun. Karena memang selalu selisih. De-mikianlah secara singkat wayang Ruwatan. 5.3.5.4 Perlengkapan Ruwatan Peralatan tentang wayang-gamelan dalam penyelenggara-an upacara ruwatan dapat dipastikan akan beres. Sebab sudah jelas bahwa wayang-gamelan setiap dalang pasti memilikinya. Namun da-pat dijelaskan tentang penggunaan gamelan dalam upcara ruwatan 237ini adalah laras slendro. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa peralatan wayang-gamelan sudah tidak perlu dikhawatirkan. Se-dangkan yang termasuk sebagai perlengkapan (ubarampe) atau alat yang tidak bisa ditinggalkan adalah saji-sajian (sajen). Menurut aslinya yang berasal dari Kraton Surakarta, Su-mantoyo dalam tulisannya yang berjudul Budaya Ruwatan dalam Ke-hidupan dan Kepercayaan Orang Jawa, termuat dalam buku Ruwa-tan Murwakala dari Paguyuban Sutresna Wayang Rena Budaya, hal 5 menyebutkan daftar sajen peruwatan sebanyak 71 macam. Inilah sajian-sajian itu : - Tuwuhan sapepake :gadhang, tebu, cengkir - Pari rong (2) gedheng - Cikal rong (2) iji - Pitik rong (2) iji - Tumpeng warni sanga: Megana isi jangan, Megana isi pitik, Pucuk endhog, Rajek edom, Pucuk lombok abang, Tutu, Kendhit, Lugas, Sembur. - Kroso kalih sing siji sekul ulam digantung ing kelir sisih kiwa, sijine isi beras, pala kesimpar, pala kependhem, who-wohan digantung ing kelir sisih tengen - Klasa anyar - Bantal anyar - Sinjang (kain) warni pitu, yaitu Poleng bang bintulu sadodod, Dringin songer, Tuluh watu, Bangun tulak, Pan-dhan binethot, Liwatan/lumpatan, Gandhung Mlathi, Kang rinuwat, yen wadon nangge sinjang pethak, kemben pe-thak, yen jales ngangge bebet pethak, iket pethak, yen sampun ki Dalang kang gadhah. - Pangot waja kalih (2 ) iji - Kropak sapakem - Sega wuduk lawuh lembaran ayam pethak mulus lan ce-meng mulus kalian tigan - Jadah abang, jadah putih, jadah kuning, jadah ireng, ja-dah biru, jadah kendhit, jadah tutul. - Ketan warna pitu kalebet wajib jenang - Wajik - Jenang - Jenang warni pitu, kalebet jenang blowok wadhahe takir kalothekan gadebog, di antaranya adalah, Srabi warwa pitu, Srabi abang putih, Bikang abang putih, Ampang sa-pepake, Hawag hawug, Pondo: putih, biru, kuning, ireng, abang, wungu, ijo, Kupat lepet, Legondhoh, Pula gimbal, pula gringsing, dados sawadhah. - Woh-wohan saanane - Pangan remik-remikan - Pangan wungkus-wungkusan 238 - Tukon pasar sapepake lan dhuwit rong uwang - Rujak bakal sarwa mentah, rujak deplok, rujak crobo, ru-jak dulit, rujak legi, sawadhah - Gecok bakal, lombok, uyah, trasi, iwak mentah, bram-bang, bawang, gecko dadi, gecko lele urip sajodho, tigan ayam sajodho. - Klasa pacar - Kayu sauntung - Pala kapendhem mentah mateng, pala gumantung, pala kesimpar, empon-empon sapepake dados sawadhah - Bumbu kang pepak - Wolak walik - Sega golong, pecel pitik, jangan menir - Bendho - Lading - Jungkat - Suri - Kaca, paying, lan tukon pasar sapepake kabeh, salawe uwang - Alang-alang, godhong dhadhap serep, godhong apa-apa - Lenga sundhul langit - Lawe saukel - Ungker siji - Sega asah-asahan nganggo punar - Kayu walikukun saseta, 4 iji - Kupat luwar 4 iji - Beras sadangan - Klapa gondhil den ubeti lawe wenang ubet tiga - Lenga klentik secangkir jog-jogan blencong dhuwite telu theng - Tetes saguci - Badheg saguci - Toya tempuran, dipun wor toya sumur pitu, sekar seta-man, kobokan tiga theng - Pangaron anyar, abahan pawon sapanunggalane kabeh - Kendhi kebak - Diyan murub - Lenga kacang sagendul - Dlingo bawang tindhite salawe dhuwit - Gedhang ayu setangkep, suruh ayu saadune, gula kram-bil setangkep tindhite 60 uwang - Dene jenang wau wijangipun: jenang blowok, jenang abang, jenang putih, jenang ireng, jenang kuning, jenang biru, jenang ijo, jenang lemu, jenang katul. - Dene tuwuhan pari cikal tebu, kayu walikukun, lele ge-sang, saking ingkang gadhah damel. 239- Sabibaring ngruwat kayu walikukun sekaran iji dipun pa-thokaken ing njawi griya pojok sekawan lan kupat luwar 4 iji nunggil pathok ginantung. Utawi lawe wenang dipun ga-waraken njawi griya ubeng ngiwa ubet tiga. - Toya tempuran kang wonteng pengaron anyar lan sekar setaman, dipun wor jembangan ageng, utawi ingkang di-pun ruwat adus kaping pitu surame. Manawi anugelaken gandhik anggempalaken pipisan utawi angrebahaken dandang, wuwuh ingkang anyar, dandang gandhik pipi-san (ingkang sampun cacad) padha linabuh - Wanci ngajengaken surup (surya) anglujengaken jenang baro-baro 5 takir wonten pinggir sumur, ijabipun nun-dhung Kala Lumur, slawate 5 ketheng, dongane Tulak bi-lahi wekasan slamet. - Lan patelesane kang dipun ruwat samorine, ki dalang kang gadhah - Tigang jumungguh, memule sakuwasane, kang dipun me-mule ingkang cikal bakal ruwatan, utawi sengkala, bede-wan luwuring ratu sapengadhap sapenginggil, kang sa-mara bumi, lan luwure piyambak, saking jaler, saking istri, luwuring dhalng sak niyagane salumahing bumi sakureb-ing langit - Dene ruwatan mau pepesthening tindhih yen tiyang sa-tunggal 60 uwang, yen tiyang kalih utawi tiga 60 uang ka-ping kalih utawi kaping tiga, tebasan utawi boten tamtu tindhih saking ingkang gadhah damel. Catatan : Sesudah ki dalang mendalang semalam suntuk ( tanceb kayon ) terus paginya memeriksa sajen ruwat, dan yang akan diruwat berpakaian putih, ki dalang siap meruwat. 5.4 Sumber Cerita Wayang Gaya Jawatimuran Bila kita menceritakan lakon wayang, kita menemukan be-berapa kesulitan apabila dalam membahas cerita tidak mengguna-kan pikiran yang didasari batasan-batasan etika dan pengetahuan yang pasti, karena dalam cerita wayang terdapat proses yang cam-pur aduk dan lagi pula tidak ada norma-norma yang melarang kesim-pang siuran cerita. Batasan-batasan yang harus ada pada cerita wa-yang ialah cerita itu tidak menyimpang dari dua hal dalam kehidupan manusia, yaitu baik dan buruk. Perkembangan cerita pewayangan yang tampaknya satu kesatuan yang utuh sebenarnya merupakan suatu hal yang penuh dengan pertentangan-pertentangan pendapat. Karena menceritakan wayang sama halnya dengan menceritakan usaha manusia dengan segala cita-citanya serta perjuangan hidupnya. Next >