< PreviousBahasa Indonesia 193199NO.KritikEsai2.Ada deskripsi karya, bila karya berwujud buku deskripsinya berupa sinopsis atau novel.Tidak ada ringkasan atau sinopsis karya.3.Menyajikan data obyektif.Tidak selalu membutuhkan data.Dilihat dari pandangan penulisnya, perbandingan kritik dan sastra dapat diringkas sebagai berikut.Tabel 2: Perbandingan Kritik dan EsaiBerdasarkan Pandangan PenulisnyaNo.KritikEsai1.Penilaian terhadap karya dilakukan secara objektif disertai data dan alasan yang logis.Kajian dilakukan secara subjektif, menurut pendapat pribadi penulis esai.2.Dalam memberikan penilaian seringkali menggunakan kajian teori yang sudah mapan.Jarang atau hampir tidak pernah mencantumkan kajian teori.3.Pembahasan terhadap karya secara utuh dan menyeluruh.Objek atau fenomena yang dikaji tidak dibahas menyeluruh, tetapi hanya pada hal yang menarik menurut pandangan penulisnya. Meskipun demikian, pembahasannya dilakukan secara utuh. TugasBerdasarkan perbandingan di atas, bacalah dua teks berikut ini. Tentukanlah mana yang merupakan teks kritik dan mana yang merupakan teks esai. Jelaskan alasanmu!Teks IGerrOleh: Gunawan MuhammadDi depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri. Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan 194 Kelas XII Bahasa Indonesia949”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fi sik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisan-lapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarik-menarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia Bahasa Indonesia 195199didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.Sumber: Majalah Tempo Edisi Senin, 27 Juni 2011196 Kelas XII Bahasa Indonesia969Teks 2Menimbang Ayat-Ayat CintaKarya sastra yang baik juga bisa menggambarkan hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya terdapat ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan dalam pengungkapan karya sastra.Begitu pula yang ingin disampaikan oleh Habiburrachman El Shirazy dalam novelnya yang berjudul Ayat-ayat Cinta. Novel yang kemudian menjadi fenomena tersendiri dalam perjalanan karya sastra Indonesia, terutama yang beraliran islami, karena penjualannya mampu mengalahkan buku-buku yang digandrungi, seperti Harry Potter ini mengusung tema cinta islami yang dihiasi dengan konfl ik-konfl ik yang disusun dengan apik oleh penulisnya. Novel ini mengisahkan perjalanan cinta antara 2 anak manusia, Fahri sebagai pelajar Indonesia yang belajar di Mesir, dan Aisha, seorang gadis Turki. Meskipun mengusung tema cinta tidak lantas membuat novel ini membahas cinta erotis antara laki-laki dan wanita. Banyak cinta lain yang masih bisa digambarkan, seperti cinta pada sahabat, kekasih hidup, dan tentu saja pada cinta sejati, Allah Swt. Perjalanan cinta yang tidak biasa digambarkan oleh Habiburrachman. Nilai dan budaya Islam sangat kental dirasakan oleh pembaca pada setiap bagiannya. Bahkan, hampir di tiap paragraf kita akan menemukan pesan dan amanah. Ya, katakan saja paragraf yang sarat dengan amanah. Namun, dengan bentuk yang seperti itu tidak kemudian membuat novel ini menjadi membosankan untuk dibaca karena penulis tetap menggunakan kata-kata sederhana yang mudah dipahami dan tidak terkesan menggurui. Gaya penulis untuk mengungkapkan setiap pesan justru menyadarkan kita bahwa sedikit sekali yang baru kita ketahui tentang Islam.Latar yang Dilukis Sempurna Hal lain yang pantas untuk diunggulkan dalam novel ini adalah kemampuan Habiburrachman untuk melukiskan latar dari tiap peristiwa, baik itu tempat kejadian, waktu, maupun suasananya. Ia dapat begitu fasih untuk menggambarkan tiap lekuk bagian tempat yang ia jadikan latar dalam novel tersebut ditambah dengan gambaran suasana yang mendukung sehingga seakan-akan mengajak pembaca untuk berwisata dan menikmati suasana Mesir di Timur Tengah lewat karya tulisannya.Bahasa Indonesia 197199Bukan hal yang aneh kemudian ketika memang ’Kang Abik’, begitu penulis sering dipanggil, mampu untuk menggambarkan latar yang bisa dikatakan sempurna itu. Ia memang beberapa tahun hidup di Mesir karena tuntutan belajar. Akan tetapi, tidak menjadi mudah juga untuk mengungkapkan setiap tempat yang dijadikan latar. Bahkan oleh orang Mesir sendiri memang tidak memiliki sarana bahasa yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan.Alur cerita juga dirangkai dengan begitu baik. Meskipun banyak menggunakan alur maju, cerita berjalan tidak monoton. Banyak peristiwa yang tidak terduga menjadi kejutan. Konfl ik yang dibangun juga membuat novel ini layak menjadi novel kebangkitan bagi sastra islami setelah merebaknya novel-novel teenlit. Banyak kejutan, banyak inspirasi yang kemudian bisa hadir dalam benak pembaca. Bahkan bisa menjadi semacam media perenungan atas berbagai masalah kehidupan.Karakter Tokoh yang Terlalu SempurnaSatu hal yang ditemukan terlihat janggal dalam novel ini adalah karakter tokoh, yaitu Fahri yang digambarkan begitu sempurna dalam novel tersebut. Maksud penulis di sini, mungkin ia ingin menggambarkan sosok manusia yang benar-benar mencitrakan Islam dengan segala kebaikan dan kelembutan hatinya. Hal yang menjadi janggal jika sosok yang digambarkan begitu sempurna sehingga sulit atau bahkan tidak ditemukan kesalahan sedikit pun padanya.Jika dibandingkan dengan karya sastra lama milik Tulis Sutan Sati, mungkin akan ditemukan kesamaan dengan karakter tokoh Midun dalam Roman Sengsara Membawa Nikmat yang berpasangan dengan Halimah sebagai tokoh wanitanya. Dalam roman tersebut, Midun juga digambarkan sebagai sosok pemuda yang sempurna dengan segala bentuk fi sik dan kebaikan hatinya. Hanya saja, di sini penggambarannya tidak menggunakan bahasa-bahasa yang langsung menunjukkan kesempurnaan tersebut sehingga tidak terlalu kentara. Ini di luar bahasa karya sastra lama yang cenderung suka melebih-lebihkan (hiperbola). Perbedaan yang lain adalah tidak banyak digunakannya istilah-istilah islami dalam roman tersebut daripada novel Ayat-ayat Cinta.Pembaca yang merasakan hal ini pasti akan bertanya-tanya, adakah sosok yang memang bisa sesempurna tokoh Fahri tersebut. Meskipun penggambaran karakter tokoh diserahkan sepenuhnya pada diri penulis, tetapi akan lebih baik jika karakter tokoh yang dimunculkan tetap memiliki keseimbangan. Dalam arti, jika tokoh yang dimunculkan memang berkarakter baik, maka 198 Kelas XII Bahasa Indonesia989paling tidak ada sisi lain yang dimunculkan. Akan tetapi, tentu saja dengan porsi yang lebih kecil atau bisa diminimalisasikan. Jangan sampai karakter ini dihilangkan karena pada kenyataannya tidak ada sosok yang sempurna, selain Rasulullah. Sumber:http://esaisastrakita.blogspot.com/2013/05/esai-kritik-prosa-aninda-lestia-anjani.html (Dengan penyesuaian)Tugas1. Buatlah perbandingan isi teks 1 dan teks 2 dengan menggunakan tabel berikut ini. AspekGerrMenimbang Ayat-ayat CintaHal yang dikajiDeskripsi/sinopsisData yang disajikan2. Buatlah perbandingan cara pandang penulis kedua teks di atas dengan menggunakan tabel berikut. AspekGerrMenimbang Ayat-ayat CintaCara penilaianPenggunaan Kajian teoriKeutuhan pembahasanB. Menyusun Kritik dan Esai !Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mampu:(1) menyusun kritik terhadap karya sastra; (2) menyusun pernyataan esai terhadap suatu objek atau permasalahan. Bahasa Indonesia 199199Setelah memahami isi kritik dan esai, pada pembelajaran ini, kamu akan belajar untuk menyusun kritik dan esai. Untuk itu, bacalah kembali contoh teks kritik ”Lelaki Tak Pernah Basi” dan esai ”Batman” di atas. Menyusun Kritik Sastra Dalam menyusun kritik, ada beberapa hal yang harus dipegang oleh kritikus (penulis kritik). Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut. 1. Penulis kritik (kritikus) harus benar-benar membaca atau mengamati karya yang akan dikritik.2. Kritikus harus membekali diri dengan pengetahuan tentang karya yang akan dikritisi.3. Kritikus harus mengumpulkan data-data penunjang dan alasan logis untuk mendukung penilaian yang diberikan. 4. Kritik yang disampaikan tidak hanya mengungkap kelemahan, tetapi harus seimbang dengan kelebihannya. 5. Jika diperlukan, kritikus menggunakan kajian teori yang relevan untuk mendukung penilaiannya. Marilah kita lihat kembali kalimat-kalimat kritik, serta kalimat yang mengandung penilaian kelebihan dan kekurangan karya, pada teks ”Capaian Eksperimen Lelaki Harimau” di atas. Kalimat-kalimat kritik dalam teks tersebut didominasi oleh kelebihan novel terebut. Dalam mengungkapkan kelebihannya, kritikus melengkapinya dengan data atau alasan yang logis. Perhatikan contoh berikut! Berbeda dengan Cantik itu Luka yang mengandalkan kekuatan narasi yang seperti lepas kendali dan deras menerjang apa saja, Lelaki Harimau memperlihatkan penguasaan diri narator yang dingin terkendali, penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Pemanfaatan –atau lebih tepat eksplorasi–setiap kata dan kalimat tampak begitu cermat dalam usahanya merangkai setiap peristiwa. Pada kutipan di atas, kritikus menilai keunggulan cara penceritaan novel Lelaki Harimau disertai data pengguaan kata-kata dan kalimat dilakukan sangat cermat. Kalimat-kalimat yang digunakan dapat membangun peristiwa dalam novel tersebut. Perhatikan pula bagaimana kritikus menilai kelebihan novel dilihat dari alurnya seperti terbaca pada kutipan berikut ini. Kegiatan1200 Kelas XII Bahasa Indonesia000Di antara rangkaian peristiwa yang dibangun dan dihidupkan oleh setiap tokohnya, menyelusup pula mitos tentang manusia harimau, potret bersahaja masyarakat pinggiran, dan keakraban kehidupan mereka. Sebuah pesona yang disampaikan lewat narasi yang rancak yang seperti menyihir pembaca untuk terus mengikuti kelak-kelok peristiwa yang dihadirkannya.Selain mengupas kelebihannya, teks kritik tersebut juga menyampaikan kelemahan novel Lelaki Harimau seperti tampak pada kutipan berikut ini. Tentu saja, cara ini bukan tanpa risiko. Rangkaian peristiwa yang membangun alur cerita, jadinya terasa agak lambat. Ia juga boleh jadi akan mendatangkan masalah bagi pembaca yang tak biasa menikmati kalimat panjang.TugasBacalah kutipan novel Laskar Pelangi berikut ini, kemudian buatlah kalimat kritiknya! Bab I: Sepuluh Murid BaruPAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas. Sebatang pohon tua yang riang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku, memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada setiap orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD. Di ujung bangku-bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu berdiri dua orang guru seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Seperti ayahku, mereka berdua juga tersenyum.Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena tampak jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia berulang kali menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku Bahasa Indonesia 201200panjang. Ia demikian khawatir sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk matanya. Titik-titik keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yang dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran emban bagi permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami.”Sembilan orang . . . baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang satu…,” katanya gusar pada bapak kepala sekolah. Pak Harfan menatapnya kosong.Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau begitu ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan degup jantung yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami.”Kasihan ayahku ….”Maka aku tak sampai hati memandang wajahnya.”Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli …..”Tapi agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah orang tua di depanku mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh di sana. Para orang tua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini mereka terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak tuntutan zaman baru, tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf.Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak mengenal anak beranak itu.202 Kelas XII Bahasa Indonesia020Selebihnya adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang duduk di pangkuan ibunya, atau Kucai yang duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa. Kami bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu Belitong dari sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orang tua mendaft arkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orang tua hanya menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena fi rasat, anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun.Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya ke jalan raya di seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih ada pendaft ar baru. Kami prihatin melihat harapan hampa itu. Maka tidak seperti suasana di SD lain yang penuh kegembiraan ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau adalah Bu Mus dan Pak Harfan.Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di Belitong ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan para orang tua cemas karena biaya, dan kami, sembilan anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau-kalau kami tak jadi sekolah.Tahun lalu, SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan tahun ini Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam beliau telah mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orang tua murid pada kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan satu siswa lagi untuk memenuhi target itu menyebabkan pidato ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati. ”Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh orangtua yang telah pasrah. Suasana hening. Para orang tua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaiknya didaft arkan pada para juragan saja. Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada orang tua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada Next >