Kemerdekaan bagi bangsa ini adalah anugerah besar dari Al-lah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita bersyukur. Tidak sebatas dengan acara dan ritualitas belaka, tetapi nyata dalam wujud kesadaran dan pergerakan jiwa yang benar-benar merdeka.Terlebih dalam catatan Ahmad Man-sur Suryanegara dalam karyanya Api Se-jarah, umat Islam, dalam hal ini santri dan ulama, merupakan pioner pembangkit kesadaran mewujudkan kemerdekaan di negeri ini. Bahkan ulama dan santri itulah yang mengawali gerakan, yang be-lakangan dikenal dengan nasionalisme. Karena, nasionalisme adalah bentuk per-lawanan terhadap imperialisme. Dengan kata lain, kemerdekaan In-donesia adalah sebuah anugerah yang datang bukan dengan sendirinya, tetapi lebih karena kesungguhan seluruh ele-men bangsa, terutama ulama dan santri dalam memerdekakan bangsa ini. Dan, tentu saja tempaan yang paling diper-hatikan sebagai modal melawan penja-jah, yang canggih dari sisi metode dan persenjataan, tiada lain adalah pemahaman dan pemantapan spiri-tual yang baik.Dari sini, dapat ditarik satu “wari-san” nilai yang harus dijaga kuat oleh bangsa ini adalah bagaimana sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu hidup. Tidak saja dalam ruang-ruang formal, dialog dan seminar, tetapi dalam se-tiap hembusan nafas kita. Karena, menurut Buya Hamka dalam bu-kunya Dari Lembah Cita-cita, ketika penduduk negeri ini secara sadar menjalankan perintah Allah dan Ra-sul-Nya, maka saat itulah jiwa mer-eka benar-benar merdeka. Merdeka dari kepayahan men-jadi budak hawa nafsu, merdeka dari menjadi kuda tunggangan adat ke-biasaan yang tak progresif dan cen-derung destruktif, merdeka dari se-gala macam kekerdilan tujuan hidup. Dan, merdeka dari bisiskan-bisikan hati yang menjerumuskan diri dalam kehidupan.*/Imam NawawiJiwaSALAM3Dzulqa’dah 1439/Agustus 2018 | MULIA Merdeka24SOSOKAhmad MaslunDari Emperan Masjid, Berpindah ke Lahan Angker41kelambuMelayani, BukanIngin dilayani31INSPIRASISaat Hidayah MenyapaDAFTAR ISIMULIA | Dzulqa’dah 1439/Agustus 2018 48JENDELA UTAMATeladan PejuangKemerdekaan52khazanahMedina Azahara,Warisan Islam yang Terpendam54idealitaPribadiMerdeka39fiqihZakat Perhiasan, Bagaimana Pelaksanaannya92tazkiyatun nafsNikmatnya Perjuangan84entrepre-neurKomitmenUsaha74rUANG uTAMAKepahlawanandalam Keluarga88TeknoHiPOS, Aplikasi ChattingAsli Indonesia80peradabanIslam dan Peradaban Barat64aksiDukung Pendidikan Melalui Peningkatan GiziPenanggung Jawab: Marwan Mujahidin Pengarah: Supendi Pemimpin Redaksi: Imam Nawawi Sidang Redaksi: Khairul Hibri, Cholis A, Imam N. Kontributor: Siraj, Abd Syakur, Sahlah, Ibnu Sumari, Abu Falah Desain: Musta’in Al Haq Iklan: Akbar Percetakan: Lentera Jaya Madina Alamat Redaksi : Jakarta : Jl. Kalibata Office Park, Jl. Raya Pasar Minggu No. 21. Blok H. Kalibata, Jakarta Selatan, Telp. 021.7975770 Fax. 021.7975614. Surabaya : Jl. Raya Kejawan Putih Tambak 110 A. Email : redaksi@bmh.or.id | Iklan : email : majalahmulia@gmail.com SMS/WA. +62 822-3057-5647SUSUNAN REDAKSI398742484885Dzulqa’dah 1439/Agustus 2018 | MULIA AwAsi PergAulAn AnAkPada pertengahan bulan Mei lalu dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan berita; seorang siswa yang masih duduk di bangku SD telah menghamili seorang siswi SMP. Usia kandungan saat itu telah masuk enam bulan. Selain keprihatinan yang sangat, berita di atas sekaligus sebagai alaram keras bagi segenap pendidik, baik orang tua maupun para guru, bahwa pergaulan bebas saat ini telah merambah anak-anak. Untuk itu sangat perlu peran aktif orang tua untuk mengontrol pergaulan mereka. Jangan biarkan anak-anak ‘lepas landas’ semaunya. Harus pro-aktif mengecek, ke mana saja mereka keluyuran seharian. Selidiki sahabat-sahabatnya. Bahkan perlu juga untuk mengecek media sosial yang dimiliki, karena dalam beberapa kasus, anak-anak dengan percaya diri menyiarkan seorang aparat dengan senjata lengkap meminta seorang laki-laki yang berpakaian ala santri (sarung, baju koko, dan peci) untuk membuka kardus. Terlepas dari niat baik aparat yang hendak menjaga keamanan di negeri ini, melalui surat pembaca ini sebagai lulusan pesantren, saya ingin menegaskan khalayak yang acap memandang negatif pesantren, bahwa pesantren bukanlah sarang terorisme. Sebab di sana sejatinya para santri diajarkan nilai-nilai luhur tentang agama, baik itu kepada Allah, sebagai hamba, antar-sesama umat beragama, serta sebagai makhluk sosial. Lagi pula, bila kita tengok sejarah, sungguh kaum santri inilah yang telah mampu mempertahankan negeri ini dari penjajahan, dengan keluarnya ‘Resolusi Jihad’. Jadi, hilangkanlah sangkaan buruk terhadap pesantren. Sekali lagi, santri bukanlah teroris.* Abu Sayyidah | Jember perbuatan tak senonoh mereka di media sosial, baik berupa postingan kata-kata, foto, sampai video. Keaktifan para pendidik inilah yang kemudian akan mampu meminimalkan ‘bobol’nya pertahanan anak dalam pergaulan bebas. Karena orang tua tahu kegiatan demi kegiatan anak, baik di dunia nyata maupun maya. Lebih dari itu, menanamkan nilai-nilai agama, adab bergaul antar-lawan jenis, juga harus digalakkan. Karena inilah yang menjadi tameng utama sang anak ketika mereka jauh dari pantauan orang tua, guru, dan sebagainya.* Abdullah | SidoarjosAntri BukAn teroris!Seiring dengan terjadinya beberapa aksi pengeboman di daerah Jawa Timur, kembali mau tidak mau umat Islam terkena getahnya. Lebih-lebih tersebar video yang mempertontonkan SURAT PEMBACAMULIA | Dzulqa’dah 1439/Agustus 20186MANDIRI 124 0033 0000 77Rekening Donasi : a/n. BAITUL MAAL HIDAYATULLAHItu MeringankanTunaikan Zakat Anda di BMH2,5 % DariHarta yangKita Punyawww.bmh.or.idKantor Pusat :JL. H. Samali No 79B Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Telp. 021-79196500ATAU HUBUNGI KANTOR BMH TERDEKAT DI KOTA ANDAFind us onBaitul Maal HidayatullahFollow us on@officialbmhSubscribeBaitul Maal HidayatullahFollow us onofficialbmhJENDELA UTAMAMULIA | Dzulqa’dah 1439/Agustus 20188KemerdeKaanJENDELA UTAMATeladan Pejuang Tujuh belas Agustus nanti In-donesia memasuki usia ke-merdekaan ke tujuh puluh tiga. Hal itu tentunya patut kita syu-kuri bersama.Selain ungkapan rasa syukur terse-but, ada beberapa hal yang dapat diteladani dari keluarga para pejuang kemerdekaan. Salah satunya adalah ke-sederhanaan hidup yang mereka jalani hingga akhir hayatnya.Lantas, seperti apa bentuk keseder-hanaan hidup mereka? Apa alasan mer-eka memilih jalan hidup seperti itu? Apa pula yang dapat kita pahami dari sejarah perjuangan mereka dalam merebut ke-merdekaan?Lebih dari itu, hal yang paling menarik bagi keluarga Muslim adalah bagaimana kiat agar orang tua dapat melahirkan anak-anak sebagaimana para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia?Mari temukan jawabannya dalam Jendela Utama majalah Mulia edisi kali ini. Berikut laporan selengkapnya. Sela-mat membaca!* Ibnu Sumariala Keluarga Pejuangpenjualnya. Tapi apa daya, tabungan ti-dak cukup karena kebutuhan rumah tangga jauh lebih besar. Sepatu Bally tinggallah kenangan.Kesederhanaan atau ‘hidup melarat’ tak hanya dirasakan Bung Hatta. Pe-rumus Pancasila lainnya yang juga ter-masuk seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, Haji Agus Salim, merasakan hal serupa.Anggota Dewan Volksraad, diplomat kesohor, dan Menteri Luar Negeri In-donesia era revolusi itu wafat—masih—dengan status sebagai ‘kontraktor’, alias masih mengontrak rumah. “Begitu sederhananya hidup pe-mimpin kita pada waktu itu.” Inilah ung-kapan Ali Sadikin—Gubernur legendaris Jakarta—saat terenyuh melihat kondisi Bung Hatta.Bung Hatta, dalam buku ‘Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1967’ karya Ramad-han, dikisahkan tak mampu membayar iuran air sampai pajak. Bahkan, hingga akhir hayatnya, keinginan dari Wakil Presiden pertama untuk membeli sepatu Bally ini juga tak pernah terpenuhi.Salah satu pejuang kemerdekaan ini pun menabung, sampai-sampai menyim-pan guntingan iklan yang memuat alamat ‘Hidup Melarat’ JENDELA UTAMA9Dzulqa’dah 1439/Agustus 2018 | MULIA Mereka di awal perjuangan rela hidup ‘tak jelas’ karena tidak punya rumah sendiriNext >