< Previousvii PETA KOMPETENSI Program diklat : Pekerjaan Dasar Survei Tingkat : x (sepuluh) Alokasi Waktu : 120 Jam pelajaran Kompetensi : Melaksanakan Dasar-dasar Pekerjaan Survei Pembelajaran No Sub Kompetensi Pengetahuan Keterampilan 1 Pengantar survei dan pemetaan a. Memahami ruang lingkup plan surveying dan geodetic b. Memahami ruang lingkup pekerjaan survey dan pemetaan c. Memahami pengukuran kerangka dasar vertikal d. Memahami Pengukuran kerangka dasar horisontal e. Memahami Pengukuran titik-titik detail Menggambarkan diagram alur ruang lingkup pekerjaan survei dan pemetaan 2 Teori Kesalahan a. Mengidentifikasi kesalahan-kesalahan pada pekerjaan survey dan pemetaan b. Mengidentifikasi kesalahan sistematis (systematic error) c. Mengidentifikasi Kesalahan Acak (random error) d. Mengidentifikasi Kesalahan Besar (random error) e. Mengeliminasi Kesalahan Sistematis f. Mengeliminasi Kesalahan Acak 3 Pengukuran kerangka dasar vertikal a. Memahami penggunaan sipat datar kerangka dasar vertikal b. Memahami penggunaan trigonometris c. Memahami penggunaan barometris Dapat melakukan pengukuran kerangka dasar vertikal dengan menggunakan sipat datar, trigonometris dan barometris. 4 Pengukuran sipat dasar kerangka dasar vertikal a. Memahami tujuan dan sasaran pengukuran sipat datar kerangka dasar vertikal b. Mempersiapkan peralatan, bahan dan formulir pengukuran sipat datar kerangka dasar vertikal c. Memahami prosedur pengukuran sipat datar kerangka dasar vertikal d. Dapat mengolah data sipat datar kerangka dasar vertikal Dapat menggambaran sipat datar kerangka dasar vertikal Dapat melakukan pengukuran kerangka dasar vertikal dengan menggunakan sipat datar kemudian mengolah data dan menggambarkannya. viii Pembelajaran No Sub Kompetensi Pengetahuan Keterampilan 5 Proyeksi peta, aturan kuadran dan sistem koordinat a. Memahami pengertian proyeksi peta, aturan kuadran dan sistem koordinat b. Memahami jenis-jenis proyeksi peta dan aplikasinya c. Memahami aturan kuadran geometrik dan trigonometrik d. Memahami sistem koordinat ruang dan bidang e. Memahami orientasi survei dan pemetaan serta aturan kuadran geometrik Membuat Proyeksi peta berdasarkan aturan kuadran dan sisten koordinat 6 Macam besaran sudut a. Mengetahui macam besaran sudut b. Memahami besaran sudut dari lapangan c. Dapat melakukan konversi besaran sudut d. Memahami besaran sudut untuk pengolahan data Mengaplikasikan besaran sudut dilapangan untuk pengolahan data. 7 Jarak, azimuth dan pengikatan kemuka a. Memahami pengertian jarak pada survey dan pemetaan b. Memahami azimuth dan sudut jurusan c. Memahami tujuan pengikatan ke muka d. Mempersiapkan peralatan, bahan dan prosedur pengikatan ke muka e. Memahami pengolahan data pengikatan ke muka f. Memahami penggambaran pengikatan ke muka Mengukur jarak baik dengan alat sederhana maupun dengan pengikatan ke muka. 8 Cara pengikatan ke belakang metode collins a. Tujuan Pengikatan ke Belakang Metode Collins b. Peralatan, Bahan dan Prosedur Pengikatan ke Belakang Metode Collins c. Pengolahan Data Pengikatan ke Belakang Metoda Collins d. Penggambaran Pengikatan ke Belakang Metode Collins Mencari koordinat dengan metode Collins. 9 Cara pengikatan ke belakang metode Cassini a. Memahami tujuan pengikatan ke belakang metode cassini b. Mempersiapkan peralatan, bahan dan prosedur pengikatan ke belakang metode cassini c. Memahami pengolahan data pengikatan ke belakang metoda cassini d. Memahami penggambaran pengikatan ke belakang metode cassini Mencari koordinat dengan metode Cassini. ix Pembelajaran No Sub Kompetensi Pengetahuan Keterampilan 10 Pengukuran poligon kerangka dasar horisontal a. Memahami tujuan pengukuran poligon b. Memahami kerangka dasar horisontal c. Mengetahui jenis-jenis poligon d. Mempersiapkan peralatan, bahan dan prosedur pengukuran poligon e. Memahami pengolahan data pengukuran poligon f. Memahami penggambaran poligon Dapat melakukan pengukuran kerangka dasar horisontal (poligon). 11 Pengukuran luas a. Menyebutkan metode-metode pengukuran luas b. Memahami prosedur pengukuran luas dengan metode sarrus c. Memahami prosedur pengukuran luas dengan planimeter d. Memahami prosedur pengukuran luas dengan autocad Menghitung luas bedasarkan hasil dilapangan dengan metoda saruss, planimeter dan autocad. 12 Pengukuran titik-titik detail a. Memahami tujuan pengukuran titik-titik detail metode tachymetri b. Mempersiapkan peralatan, bahan dan prosedur pengukuran tachymetri c. Memahami pengolahan data pengukuran tachymetri d. Memahami penggambaran hasil pengukuran tachymetri Melakukan pengukuran titik-titik dtail metode tachymetri. 13 Garis kontur, sifat dan interpolasinya a. Memahami pengertian garis kontur b. Menyebutkan sifat-sifat garis kontur c. Mengetahui cara penarikan garis kontur d. Mengetahui prosedur penggambaran garis kontur e. Memahami penggunaan perangkat lunak surfer Membuat garis kontur berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. 14 Perhitungan galian dan timbunan a. Memahami tujuan perhitungan galian dan timbunan b. Memahami metode-metode perhitungan galian dan timbunan c. Memahami pengolahan data galian dan timbunan d. Mengetahui cara penggambaran galian dan timbunan Menghitung galian dan timbunan. x Pembelajaran No Sub Kompetensi Pengetahuan Keterampilan 15 Pemetaan digital a. Memahami pengertian pemetaan digital b. Mengetahui keunggulan pemetaan digital dibandingkan pemetaan konvensional c. Memahami perangkat keras dan perangkat lunak pemetaan digital d. Memahami pencetakan peta dengan kaidah kartografi 16 Sisitem informasi geografik a. Memahami pengertian sistem informasi geografik b. Memahami keunggulan sistem informasi geografik dibandingkan pemetaan digital perangkat keras dan perangkat lunak sistem informasi geografik c. Mempersiapkan peralatan, bahan dan prosedur pembangunan sistem informasi geografik d. Memahami jenis-jenis analisis spasial dengan sistem informasi geografik dan aplikasinya pada berbagai sektor pembangunan 33712 Pengukuran Titik-Titik Detail Metode Tachymetri 12. Pengukuran Titik-titik Detail Metode Tachymetri Untuk keperluan pengukuran dan pemetaan selain pengukuran kerangka dasar vertikal yang menghasilkan tinggi titik-titik ikat dan pengukuran kerangka dasar horizontal yang menghasilkan koordinat titik-titik ikat juga perlu dilakukan pengukuran titik-titik detail untuk menghasilkan titik-titik detail yang tersebar di permukaan bumi yang menggambarkan situasi daerah pengukuran. Pengukuran titik-titik detail dilakukan sesudah pengukuran kerangka dasar vertikal dan pengukuran kerangka dasar horizontal dilakukan. Pengukuran titik-titik detail mempunyai orde ketelitian lebih rendah dibandingkan orde pengukuran kerangka dasar. Pengukuran titik-titik detail dengan metode tachymetri pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan peralatan dengan teknologi lensa optis dan elektronis digital. Dalam pengukuran titik-titik detail pada prinsipnya adalah menentukan koordinat dan tinggi titik –titik detail dari titik-titik ikat. Pengukuran titik-titik detail pada dasarnya dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu offset dan tachymetri. Metode offset menggunakan peralatan sederhana, seperti pita ukur, jalon, meja ukur, mistar, busur derajat, dan lain sebagainya. Metode tachymetri menggunakan peralatan dengan teknologi lensa optis dan elektronis digital. Pengukuran metode tachymetri mempunyai keunggulan dalam hal ketepatan dan kecepatan dibandingkan metode offset. Pengukuran tiitk-titik detail metode tachymetri ini relatif cepat dan mudah karena yang diperoleh dari lapangan adalah pembacaan rambu, sudut horizontal (azimuth magnetis), sudut vertikal (zenith atau inklinasi) dan tinggi alat. Hasil yang diperoleh dari pengukuran tachymetri adalah posisi planimetris X, Y, dan ketinggian Z. 12.1.1 Sejarah Tachymetri “Metode Stadia” yang disebut “Tachymetri” di Eropa, adalah cara yang cepat dan efisien dalam mengukur jarak yang cukup teliti untuk sipat datar trigonometri, beberapa poligon dan penentuan lokasi detail-detail fotografi. Lebih lanjut, di dalam metode ini cukup dibentuk regu 2 atau 3 orang, sedangkan pada pengukuran dengan transit dan pita biasanya diperlukan 3 atau 4 orang. Stadia berasal dari kata Yunani untuk satuan panjang yang asal-mulanya 12. 1. Tujuan pengukuran titik- titik detail metode tachymetri 33812 Pengukuran Titik-Titik Detail Metode Tachymetri diterapkan dalam pengukuran jarak-jarak untuk pertandingan atletik – dari sinilah muncul kata “stadium (stadio) ” dalam pengertian modern. Kata ini menyatakan 600 satuan Yunani (sama dengan “feet”), atau 606 ft 9 in dalam ketentuan Amerika sekarang. Istilah stadia sekarang dipakai untuk benang silang dan rambu yang dipakai dalam pengukuran, maupun metodenya sendiri. Pembacaan optis (stadia) dapat dilakukan dengan transit, theodolite, alidade dan alat sipat datar. Peralatan stasiun kota yang baru, menggabungkan theodolite, EDM, dan kemampuan mencatat-menghitung hingga reduksi jarak lereng secara otomatis dan sudut vertikal. Yang dihasilkan adalah pembacaan jarak horizontal dan selisih elevasi, bahkan koordinat. Jadi peralatan baru tadi dapat memperkecil regu lapangan dan mengambil alih banyak proyek tachymetri. Namun demikian, prinsip pengukuran tachymetri dan metodenya memberikan konsepsi-konsepsi dasar dan sangat mungkin dipakai terus menerus. 12.1.2 Pengenalan Tachymetri Pengukuran titik-titik detail dengan metode Tachymetri ini adalah cara yang paling banyak digunakan dalam praktek, terutama untuk pemetaan daerah yang luas dan untuk detail-detail yang bentuknya tidak beraturan. Untuk dapat memetakan dengan cara ini diperlukan alat yang dapat mengukur arah dan sekaligus mengukur jarak, yaitu Teodolite Kompas atau BTM (Boussole Tranche Montage). Pada alat-alat tersebut arah-arah garis di lapangan diukur dengan jarum kompas sedangkan untuk jarak digunakan benang silang diafragma pengukur jarak yang terdapat pada teropongnya. Salah satu theodolite kompas yang banyak digunakan misalnya theodolite WILD TO. Tergantung dengan jaraknya, dengan cara ini titik-titik detail dapat diukur dari titik kerangka dasar atau dari titik-titik penolong yang diikatkan pada titik kerangka dasar. 12.1.3 Pengukuran tachymetri untuk titik bidik horizontal Selain benang silang tengah, diafragma transit atau theodolite untuk tachymetri mempunyai dua benang horizontal tambahan yang ditempatkan sama jauh dari tengah (gambar 22). Interval antara benang – benang stadia itu pada kebanyakan instrumen memberikan perpotongan vertikal 1 ft pada rambu yang dipasang sejauh 100 ft ( 1 m pada jarak 100 m ). Jadi jarak ke rambu yang dibagi secara desimal dalam feet, persepuluhan dan perseratusan dapat langsung dibaca sampai foot terdekat. Ini sudah cukup seksama untuk menentukan detail-detail fotografi, seperti; sungai, jembatan, dan jalan yang akan digambar pada peta dengan skala lebih kecil daripada 33912 Pengukuran Titik-Titik Detail Metode Tachymetri A Db'a'b a i R B mfdfcCdf1f2Prinsip tachymetri; teropong pumpunan luar1 in = 100 ft, dan kadang-kadang untuk skala lebih besar misalnya; 1 in = 50 ft. Gambar 321. Prinsip tachymetri Metode tachymetri didasarkan pada prinsip bahwa pada segitiga-segitiga sebangun, sisi yang sepihak adalah sebanding. Pada gambar 321, yang menggambarkan teropong pumpunan-luar, berkas sinar dari titik A dan B melewati pusat lensa membentuk sepasang segitiga sebangun AmB dan amb. Dimana ; AB = R adalah perpotongan rambu (internal stadia) dan ab adalah selang antara benang-benang stadia. Simbol-simbol baku yang dipakai dalam pengukuran tachymetri : f = jarak pumpun lensa (sebuah tatapan untuk gabungan lensa objektif tertentu). Dapat ditentukan dengan pumpunan pada objek yang jauh dan mengukur jarak antara pusat lensa objektif (sebenarnya adalah titik simpul dengan diafragma), (jarak pumpun = focal length). f1 = jarak bayangan atau jarak dari pusat (titik simpul) lensa obyektif ke bidang benang silang sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik tertentu. F2 = jarak obyek atau jarak dari pusat (titik simpul) dengan titik tertentu sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik itu. Bila f2 tak terhingga atau amat besar, maka f1 = f. 34012 Pengukuran Titik-Titik Detail Metode Tachymetri i. = selang antara benang – benang Stadia. f/i .= faktor penggali, biasanya 100 (stadia interval factor). c = jarak dari pusat instrumen (sumbu I) ke pusat lensa obyektif. Harga c sedikit beragam sewaktu lensa obyektif bergerak masuk atau keluar untuk pembidikan berbeda, tetapi biasa dianggap tetapan. C = c + f. C disebut tetapan stadia, walaupun sedikit berubah karena c d. = jarak dari titik pumpun di depan teropong ke rambu. D = C + d = jarak dari pusat instrumen ke permukaan rambu Dari gambar 321, didapat : fd = .iR atau d = R if dan D = R if + C Benang-benang silang jarak optis tetap pada transit, theodolite, alat sipat datar dan dengan cermat diatur letaknya oleh pabrik instrumennya agar faktor pengali f/i. Sama dengan 100. Tetapan stadia C berkisar dari kira-kira 0,75 sampai 1,25 ft untuk teropong-teropong pumpunan luar yang berbeda, tetapi biasanya dianggap sama dengan 1 ft. Satu-satunya variabel di ruas kanan persamaan adalah R yaitu perpotongan R adalah 4,27 ft, jarak dari instrumen ke rambu adalah 427 + 1 = 428 ft. Yang telah dijelaskan adalah teropong pumpunan luar jenis lama, karena dengan gambar sederhana dapat ditunjukkan hubungan-hubungan yang benar. Lensa obyektif teropong pumpunan dalam (jenis yang dipakai sekarang pada instrumen ukur tanah) mempunyai kedudukan terpasang tetap sedangkan lensa pumpunan negatif dapat digerakkan antara lensa obyektif dan bidang benang silang untuk mengubah arah berkas sinar. Hasilnya, tetapan stadia menjadi demikian kecil sehingga dapat dianggap nol. Benang stadia yang menghilang dulu dipakai pada beberapa instrumen lama untuk menghindari kekacauan dengan benang tengah horizontal. Diafragma dari kaca yang modern dibuat dengan garis-garis stadia pendek dan benang tenaga yang penuh (gambar 2) memberikan hasil yang sama secara lebih berhasil guna. Faktor pengali harus ditentukan pada pertama kali instrumen yang dipakai, walaupun harga tepatnya dari pabrik yang ditempel di sebelah dalam kotak pembawa tak akan berubah kecuali benang silang, diafragma, atau lensa-lensa diganti atau diatur pada model-model lama. Untuk menentukan faktor pengali, perpotongan rambu R dibaca untuk bidikan horizontal berjarak diketahui sebesar D. 34112 Pengukuran Titik-Titik Detail Metode Tachymetri Kemudian, pada bentuk lain persamaan faktor pengali adalah f/i.= (D-C)/R. Sebagai contoh: Pada jarak 300,0 ft interval rambu terbaca 3,01. Harga-harga untuk f dan c terukur sebesar 0,65 dan 0,45 ft berturut-turut; karenanya, C =1,1 ft. Kemudian f/i. = (300,0 –1,1)/3,01 = 99,3. Ketelitian dalam menentukan f/i. Meningkat dengan mengambil harga pukul rata dari beberapa garis yang jarak terukurnya berkisar dari r 100–500 ft dengan kenaikan tiap kali 100 ft. 12.1.4 Pengukuran tachymetri untuk bidikan miring Kebanyakan pengukuran tachymetri adalah dengan garis bidik miring karena adanya keragaman topografi, tetapi perpotongan benang stadia dibaca pada rambu tegak lurus dan jarak miring direduksi menjadi jarak horizontal dan jarak vertikal. Pada gambar, sebuah transit dipasang pada suatu titik dan rambu dipegang pada titik tertentu. Dengan benang silang tengah dibidikkan pada rambu ukur sehingga tinggi t sama dengan tinggi theodolite ke tanah. sudut vertikalnya (sudut kemiringan) terbaca sebesar D. Perhatikan bahwa dalam pekerjaan tachymetri tinggi instrumen adalah tinggi garis bidik diukur dari titik yang diduduki (bukan TI, tinggi di atas datum seperti dalam sipat datar) m = sudut miring. Beda tinggi = D HAB = 50 ´ (BA – BB) . sin 2m + i – t; t = BT Jarak datar = dAB = 100´(BA – BB) cos2m Gambar 322. Sipat datar optis luas 34212 Pengukuran Titik-Titik Detail Metode Tachymetri Tabel-tabel, diagram, mistar hitung khusus, dan kalkulator elektronik telah dipakai oleh para juru ukur untuk memperoleh penyelesaiannya. Dalam Apendiks E memuat jarak-jarak horizontal dan vertikal untuk perpotongan rambu 1 ft dan sudut-sudut vertikal dari 0 sampai 16q, 74q sampai 90q, dan 90q sampai 106q untuk pembacaan-pembacaan dari zenit). Sebuah tabel tak dikenal harus selalu diselidiki dengan memasukkan harga-harga di dalamnya yang akan memberikan hasil yang telah diketahui. Sebagai contoh; sudut-sudut 1, 10 dan 15q dapat dipakai untuk mengecek hasil-hasil memakai tabel. Misalnya sebuah sudut vertikal 15q00’ (sudut zenit 75q), perpotongan rambu 1,00 ft dan tetapan stadia 1ft, diperoleh hasil-hasil sebagai berikut. Dari tabel E-1: H = 93,30 x 1,00 +1 = 94,3 atau 94 ft Contoh : untuk sudut sebesar 4q16’, elevasi M adalah 268,2 ft ; t.i. = EM = 5,6; perpotongan rambu AB = R = 5,28 ft; sudut vertikal a ke titik D 5,6 ft pada rambu adalah +4q16’; dan C = 1 ft. Hitunglah jarak H, beda elevasi V dan elevasi titik O. Penyelesaian : Untuk sudut 14q16’(sudut zenith 85q44’) dan perpotongan rambu 1 ft, jarak-jarak horizontal dan vertikal berturut-turut adalah 99,45 dan 7,42 ft. Selanjutnya… H = (99,45 x 5,28) + 1 = 526 ft V =(7,42 x 5,28)-0,08 =39,18+0,08 = 39,3 ft Elevasi titik O adalah Elevasi O = 268,2 + 5,6 + 39,3 – 5,6 = 307,5 ft Rumus lengkap untuk menentukan selisih elevasi antara M dan O adalah Elevo- elevM = t.i. + V – pembacaan rambu Keuntungan bidikan dengan pembacaan sebesar t.i agar terbaca sudut vertikal, sudah jelas. Karena pembacaan rambu dan t.i berlawanan tanda, bila harga mutlaknya sama akan saling menghilangkan dan dapat dihapuskan dari hitungan elevasi. Jika t.i tak dapat terlihat karena terhalang, sembarang pembacaan rambu dapat dibidik dan persamaan sebelumnya dapat dipakai. Memasang benang silang tengah pada tanda satu foot penuh sedikit di atas atau di bawah t.i menyederhanakan hitungannya. Penentuan beda elevasi dengan tachymetri dapat dibandingkan dengan sipat datar memanjang t.i. sesuai bidikan plus, dan pembacaan rambu sesuai bidikan minus. Padanya ditindihkan sebuah jarak vertikal yang dapat plus atau minus, tandanya tergantung pada sudut kemiringan. Pada bidikan-bidikan penting ke arah titik-titik dan patok-patok kontrol, galat-galat instrumental akan dikurangi dengan prosedur lapangan Next >