< Previous84 Kelas VIII SMP D. Raja AjatasattuSumber: what-buddha.said.netGambar 4.10 Ajatasattu dibujuk oleh Devadatta untuk membunuh Raja BimbisaraDiskusikan dan temukan nilai-nilai positif yang dapat kamu teladani dari kisah Raja Bimbisara!Tugas Kelompok1. Mengapa Raja Bimbisara menjadi pendukung Buddha?2. Tuliskan keinginan Raja Bimbisara sejak kecil sebelum ia menjadi raja!3. Bagaimana peran Raja Bimbisara dalam mendukung Buddha?4. Bagaimana proses pencapaian kesucian yang dicapai oleh Raja Bimbisara?5. Keteladanan apa yang dapat kamu ambil setelah membaca riwayat Raja Bimbisara?Ayo, Uji KompetensiLatihan Soal-SoalAyo, Mengamati!Amati Gambar 4.8! Tahukah kamu, kisah raja Ajatasattu? Bagaimana perannya dalam mendukung Buddha? Nilai-nilai luhur apa yang dapat kamu teladani dari Raja Ajatasattu? Mengapa ia terpengaruh bujukan Devadatta? Mengapa ia tega memenjarakan ayahnya hingga meninggal? Nilai-nilai positif mana yang dapat Kamu ambil dari kisah raja Ajatasattu? Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti 85 Ajatasattu adalah putra Raja Bimbisara. Ibunya bernama Ratu Videha. Ketika usianya menjelang dewasa, ia menikah dengan Putri Vajira, anak Pasenadi Kosala. Pada waktu itu, Devadatta merasa iri hati atas kemasyuran Buddha dan beberapa siswa utama-Nya. Devadatta sangat membenci Buddha dan para siswanya. Devadatta memperalat Pangeran Ajatasattu sebagai senjata untuk membalas dendam, dan memengaruhi Pangeran Ajatasattu dengan kesaktiannya. Ia menjelma sebagai anak kecil berkalung beberapa ekor ular berbisa, lalu mendekati Pangeran Ajatasattu. Anak kecil itu menjatuhkan diri di pangkuannya. Tidak beberapa lama, anak kecil itu lenyap dan Devadatta menampakkan diri di depannya. Peristiwa itu membuat Pangeran Ajatasattu langsung menghormat dan menyatakan diri sebagai penyokongnya. Devadatta dibangunkan sebuah vihara besar dan megah di Gayasisa. Setiap pagi ia diiringi sejumlah besar pengawalnya, ia mempersembahkan dana makanan dan keperluan pokok lainnya kepada Devadatta. Pangeran Ajasattu belum menyadari akibat buruk yang ditimbulkan dari pergaulannya dengan Devadatta.Selanjutnya, Devadatta menghasut Pangeran Ajatasattu untuk merebut kekuasaan dan membunuh ayah kandungnya sendiri, yaitu Raja Bimbisara. Devadatta berusaha membujuk terus hingga Pangeran Ajatasattu tidak berdaya dan akhirnya menyepakatinya. Pangeran Ajatasattu akan membunuh ayahnya dengan sebilah keris, namun tertangkap oleh pengawal istana. Raja Bimbisara tidak menghukum Pangeran Ajatasattu. Dengan penuh cinta kasih, Raja menanyakan tujuan berbuat demikian. Mengetahui bahwa yang dikehendaki adalah tahta kerajaan, pada waktu itu juga, Pangeran Ajatasattu dinobatkan sebagai Raja Kerajaan Magadha.Selanjutnya, Devadatta kembali menghasut Raja Ajatasattu agar ia menyekap dan mengurung ayahnya dalam penjara. Ayahnya tidak boleh diberi makanan atau minuman. Raja Ajatasattu segera memerintahkan pengawalnya untuk menjalankannya, dan melarang siapa pun juga untuk menjenguknya kecuali ibunya sendiri, Ratu Videha.Raja Ajatasattu tetap mengetahuinya dan memperingatkan ibunya. Ratu tidak kekurangan akal untuk memeras sari makanan kemudian melumurkannya di sekujur tubuhnya. Demi mempertahankan hidupnya, mantan Raja Bimbisara menjilati tubuh istrinya. Apa pun yang dilakukan Ratu selalu diketahui Raja Ajatasattu. Akhirnya, ibunya dilarang menjenguk sama sekali. Habis sudahlah upaya yang bisa dibaktikan oleh Ratu Videha demi suaminya yang malang. Ia hanya bisa menangis dan berkata: “Oh Raja suamiku, sejak saat ini dan selanjutnya saya mungkin sudah tidak dapat melihatmu lagi. Saya hanya bisa memohon maaf seandaianya selama kita menempuh hidup bersama ini, saya pernah berbuat kesalahan baik melalui tindakan, ucapan maupun pikiran.”86 Kelas VIII SMP Bimbisara tidak mendapatkan makanan lagi. Akan tetapi, karena Bimbisara telah meraih tingkat kesucian Sotapanna, beliau ternyata masih dapat mempertahankan kehidupan dengan melaksanakan meditasi berjalan mondar-mandir (cankamana). Berkat kegiuran batiniah yang dinikmatinya dalam meditasi ini, wajahnya masih tetap tampak segar bugar dan berseri-seri. Raja Ajatasattu makin biadab dan keji. Tanpa rasa belas kasihan, diperintahkannya seorang tukang cukur untuk mengiris urat nadi kedua kaki ayahnya, lalu mengolesinya dengan garam. Bimbisara merasakan penderitaan luar biasa, dan akhirnya meninggal dunia di dalam penjara. Raja Ajasattu telah melakukan satu dari lima kejahatan yang paling berat karena telah membunuh ayah kandungnya sendiri. Perbuatan ini berakibat menghalangi pencapain kesucian bagi dirinya sepanjang kehidupan sekarang. Bahkan, ia pasti akan terlahir kembali di alam neraka avici. Raja Ajatasattu membina pergaulan dengan orang ‘bodoh’, Devadatta sehingga diperalat dengan mudah untuk melakukan berbagai kejahatan bertentangan dengan hati nuraninya yang dalam. Raja Ajatasattu bukan hanya telah terkena bujukan untuk bersekongkol membunuh Buddha. Namun, Buddha tidak bisa dibunuh oleh makhluk apa pun dengan cara apa pun. Walaupun dengan berbagai macam cara Raja Ajatasattu bersekongkol dengan Devadatta untuk membunuh Buddha, upaya ini selalu mengalami kegagalan. Ia pernah mengerahkan sejumlah pemanah istana untuk membidik Buddha. Akan tetapi ketika Buddha mendekati pemanah pertama, ia begitu terpesona oleh keagungan Buddha sehingga seluruh tubuhnya menjadi kaku. Sapaan yang ramah tamah membuat pemanah tersebut membuang busur serta anak panahnya. Beliau kemudian membabarkan Dharma kepada pemanah tersebut dan menyuruhnya pulang dengan melalui jalan tertentu. Para pemanah satu per satu membubarkan diri. Pemanah pertama kemudian menceritakan kegagalan rencana pembunuhan ini kepada Raja Ajatasattu dan Devadatta.Bersamaan dengan meninggalnya Bimbisara, telah terjadi pula suatu peristiwa yang penting, yaitu lahirnya putra sulung Raja Ajatasattu. Mendengar kelahiran putranya, tak terlukiskan betapa bahagianya Raja Ajatasattu. Badannya bergetar dan perasaan cinta kasih kepada putra sulungnya meresap sampai ke tulang sumsumnya. Ia teringat kepada ayahnya yang disekap dan disiksa dalam penjara. Raja Ajatasattu menanyakan keadaan ayahnya sekarang ini, dan segera diperintahkan untuk membebaskannya. Namun, disampaikan berita bahwa ayahnya telah meninggal. Ia merasa tertegun dan bergegas ia lari menjumpai ibunya dan bertanya: “Ibunda tercinta, sewaktu aku lahir, apakah Ayah juga mencintai diriku seperti halnya saya sekarang ini mencintai putraku?” Dengan tersengal-sengal karena sedih, Ratu Videha menuturkan:Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti 87 “Apa yang engkau katakan, Putraku! Sewaktu engkau masih dalam kandungan, aku merasa ingin sekali mengisap darah dari tangan kanan ayahmu. Dengan senang hati dan tulus ayahmu mengabulkannya. Aku bermaksud ingin menggugurkan kandunganku dan setelah engkau lahir, aku ingin membunuhmu. Namun, ayahmu selalu melarangku."Ketika engkau menderita bisul di tanganmu, ayahmu memeluk dan meletakkan dirimu di pangkuannya. Dengan hati-hati sekali, ia kemudian mengisap bisulmu yang sudah matang dengan mulutnya. Oh, Putraku, karena rasa sayang dan cinta kasihnya kepadamu, ayahmu menelan nanah dan darah yang menjijikkan serta memuakkan itu.”Mendengar cerita ibunya itu, Raja Ajatasattu sangat menyesal atas tindakan keji yang dilakukannya. Makin mengingat kebajikan ayahnya, makin sedih hati Raja Ajatasattu bagai diiris pisau. Raja Ajatasattu tidak ingin menemui Buddha karena merasa malu atas kejahatannya dalam bersekongkol dengan Devadatta. Tabib bernama Jivaka Komarabhacca segera menganjurkan Raja Ajatasattu untuk menjumpai Buddha. Setelah mendengar nasihat Buddha, Raja Ajatasattu akhirnya sadar akibat kejahatan yang ditimbulkan dari bergaul dengan Devadatta. Saat itu pula, Raja Ajatasattu tidak percaya lagi dengan Devadatta. Ajatasattu berusaha untuk mengimbangi kejahatan dengan memupuk keyakinannya terhadap Triratna. Ia senantiasa menyokong kebutuhan hidup para bhikkhu. Raja Ajatasattu memberikan andil yang sangat berharga dalam Sidang Agung Sangha (Sanghayana) pertama di Rajagaha untuk menghimpun dan merangkum ajaran murni Buddha. Selain itu, Raja Ajatasattu juga membangun sebuah stupa untuk menyimpan peninggalan jasmani Buddha. Pada akhir hidupnya, akibat kejahatan yang dilakukannya, Raja Ajatasattu mati dibunuh oleh putranya sendiri dan terlahir di alam Neraka selama 60.000 tahun. Kelak Raja Ajatasattu pun berhasil meraih Pembebasan Sejati sebagai Pacceka Buddha bernama Viditavisesa.88 Kelas VIII SMP Ayo, MerangkumPendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti 89 RenunganAjatasattu adalah anak durhaka karena telah membunuh ayah kandungnya sendiri dengan keji sehingga terjerumus ke neraka. Perbuatan Ajatasattu tidak dibenarkan dan tidak boleh ditiru. Barangsiapa yang membunuh orang tua kandungnya, akan terlahir di alam neraka jahanam (avici).1. Temukan sifat sifat jahat dan sifat baik yang ada dalam diri Raja Ajatasttu! Manakah yang patut kamu teladan?2. Tuliskan sifat baik dan buruk yang ada dalam dirimu!Tugasku1. Jelaskan silsilah Raja Ajatasattu!2. Mengapa Ajatasattu memenjarakan ayah kandungnya sendiri?3. Tunjukkan kasih sayang Raja Bimbisara terhadap Ajatasattu!4. Jelaskan akibat membunuh ayah kandung!5. Bagaimana peran Raja Ajatasattu dalam mendukung Buddha? Ayo, Uji KompetensiLatihan Soal-Soal90 Kelas VIII SMP A. Sejarah Puja 1. Puja pada Zaman Pra-BuddhaPuja dalam zaman pra-Buddha lebih bermakna sebagai persembahan kepada para dewa. Hal ini dilakukan dengan cara mengorbankan hewan, bahkan mengorbankan manusia kepada para dewa. Sejarah puja kepada para dewa ini diawali dengan munculnya ajaran brahmanisme. Ajaran ini menunjukkan bahwa ada makhluk dewa yang berkuasa atau mengatur segala sesuatu yang akan diterima oleh manusia. Dengan alasan itu, para brahmin menciptakan sarana puja kepada dewa-dewa dengan jalan upacara-upacara korban. Tujuannya adalah dengan korban yang diberikan kepada para dewa, mereka akan menjadi senang dan tidak menjatuhkan malapetaka bagi manusia.Sumber: kencanajagat.blogspot.comGambar 5.1 Korban kepada DewaAyo, Mengamati!Tahukah kamu, peristiwa apakah yang terjadi seperti Gambar 5.1? Diskusikan bersama kelompokmu, lalu komunikasikan dalam diskusi kelas!BAB 5PujaPendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti 91 2. Puja pada Zaman BuddhaPuja pada zaman Buddha memiliki arti yang berbeda, yaitu menghormat. Pada masa Buddha, terdapat suatu kebiasaan yang dilakukan oleh para bhikkhu yang disebut vattha. Vattha artinya merawat guru Buddha, yaitu dengan membersihkan ruangan, mengisi air, dan lain-lain. Setelah selesai melaksanakan kewajiban itu, para bhikkhu dan umat duduk untuk mendengarkan khotbah dari Buddha. Setelah selesai mendengarkan khotbah, para bhikkhu mengingatnya atau menghafal agar ke mana pun mereka pergi, ajaran Buddha dapat diingat dan dilaksanakannya. Pada hari bulan gelap dan terang (purnama), para bhikkhu berkumpul untuk mendengarkan peraturan-peraturan atau patimokkha yang harus dilatih. Patimokkha yang didengar oleh para bhikkhu adalah diucapkan oleh seorang bhikkhu yang telah menghafalnya. Sebelum atau sesudah pengucapan patimokkha bagi para bhikkhu, umat juga berkumpul untuk mendengarkan khotbah. Umat tidak hanya berkumpul dua kali, tetapi di pertengahan antara bulan gelap dan bulan terang, mereka juga berkumpul di vihara untuk mendengarkan khotbah. Namun, bila Buddha ada di vihara, umat datang untuk mendengarkan khotbah setiap hari.Para umat biasanya juga melakukan penghormatan (puja) kepada Buddha dengan mempersembahkan bunga, lilin, dupa, dan lain-lain. Namun, Buddha sendiri berkata bahwa melaksanakan Dharma yang telah Beliau ajarkan merupakan bentuk penghormatan yang paling tinggi. Oleh karena itu, Buddha mencegah bentuk penghormatan yang berlebihan terhadap diri pribadi Beliau.Ayo, Mengamati!Tahukah kamu, peristiwa apakah yang terjadi seperti Gambar 5.2? Diskusikan bersama kelompokmu, lalu bandingkan dengan peristiwa pada Gambar 5.1 di atas!Sumber: www.buddhistteachings.orgGambar 5.2 Para Bhikkhu membaca Patimokkha92 Kelas VIII SMP 3. Puja pada Zaman Pasca-BuddhaSetelah Buddha Parinibanna,umat tetap berkumpul untuk mengenang jasa-jasa dan teladan dari Buddha atau merenungkan kebajikan-kebajikan Triratna. Para bhikkhu dan umat berkumpul di vihara untuk menggantikan kebiasaan vattha. Sebagai pengganti khotbah Buddha, para bhikkhu mengulang kotbah-kotbah atau sutta. Selain itu, kebiasaan baik lain yang dilakukan oleh para bhikkhu dan samanera, yaitu setiap pagi dan sore (malam) mereka mengucapkan paritta yang telah mereka hafal. Kebiasaan para bhikkhu tersebut pada saat ini dikenal dengan sebutan kebaktian.Kebaktian yang merupakan perbuatan baik yang patut dilestarikan adalah salah satu cara melaksanakan puja. Selain itu, sama dengan zaman Buddha, para bhikkhu ataupun umat juga melaksanakan Dharma ajaran Buddha sebagai penghormatan tertinggi. “Puja ca pujaniyanang, etang mangala muttamang”. Artinya, Memuja kepada yang patut dipuja adalah berkah utama. (Mangala Sutta)4. Pengertian dan Tujuan PujaKata ‘puja’ dalam bahasa Indonesia merupakan kata ‘benda’ yang artinya upacara penghormatan kepada dewa-dewa, dan sebagainya. Kata ‘puja’ sebagai kata ‘kerja’ menjadi ‘memuja’ yang artinya menghormati dewa-dewa dan sebagainya dengan membakar dupa, membaca mantra, dan lain-lain. Kata ‘puja’ dalam agama Buddha berbeda arti, makna, cakupan serta penulisannya. Kata ‘puja’ dalam agama Buddha ditulis “Pūjā” yang artinya “menghormat”. Kata “Pūjā ” ini dapat kita temukan dalam Mangala Sutta sebagai berikut:Ayo, mengamati!Tahukah kamu, peristiwa apakah yang terjadi seperti gambar 5.3? Diskusikan dan presentasikan bersama kelompokmu dalam kelas!Sumber: http://nasional.inilah.comGambar 5.3 Umat Buddha melakukan puja di candi BorobudurPendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti 93 “Memuja kepada yang patut dipuja akan memperoleh empat berkah, yakni (1) umur panjang; (2) kecantikan/ketampanan; (3) kebahagiaan; dan (4) kekuatan”. (Dhammapada, Sahassavagga: 109)Semua bentuk puja bakti dalam agama Buddha pada umumnya memiliki tujuan sebagai berikut.1. Memuja Tuhan Yang Maha Esa atau Triratna.2. Memperkuat keyakinan dan meneguhkan pernyataan berlindung kepada Triratna.3. Menyatakan tekad mengikuti petunjuk dan jejak Buddha, khususnya dengan melaksanakan Sila.4. Merenungkan sifat-sifat luhur Triratna.5. Mengulang kembali khotbah-khotbah Buddha.6. Mengembangkan cinta kasih, belas kasih, simpati dan keseimbangan batin. “Berdoa”, mengungkapkan harapan.7. Bersyukur dan melimpahkan jasa atau membagi perbuatan baik kepada makhluk lain.Manfaat langsung yang didapat dari suatu upacara keagamaan adalah berkembangnya hal-hal seperti berikut.1. Keyakinan (saddha)2. Cinta kasih, belas kasih, simpati, keseimbangan batin (Brahma Vihara)3. Pengendalian diri (Samvara)4. Perasaan puas (Santutthi)5. Kedamaian (Santi)6. Kebahagiaan (Sukha)Manfaat ini akan tercapai bila kita melakukan upacara secara benar, dengan memahami makna yang dimilikinya, dan upacara itu dilakukan semata-mata untuk memupuk sifat-sifat luhur, bukan karena keterikatan kepada tradisi. Orang yang melakukan puja bakti akan memperoleh manfaat atau berkah seperti yang disabdakan Buddha. Baca dan renungkan kutipan berikut ini:Next >