< PreviousKelas XI SMA/SMK144maupun situasi lingkungan. Kita perlu memikirkan suatu sistem lebih berdasarkan pada pengertian logis, terutama untuk menanggulangi masalah keagamaan di Bali dan di daerah-daerah lain di luar Bali.Permasalahan tersebut di atas perlu dicarikan jalan pemecahannya, lebih-lebih mengingat masalah keagamaan yang dirasakan semakin mendesak untuk daerah-daerah di luar Bali. Melalui tulisan ini diharapkan kita bersama mampu mengatasi sedikit demi sedikit permasalahan yang ada. Sebagai realisasi dalam mengkomunikasikan pelaksanaan kegiatan keagamaan apabila kurang memungkinkan sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Bali tetap dipakai demi untuk menjaga kemantapan rasa, sepanjang istilah-istilah tersebut masih sulit ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Diharapkan kepercayaan dan kesetiaan beragama yang hanya berlandaskan “gugon tuwon” akan semakin menipis, akhirnya lenyap diganti oleh rasa kesetiaan, kepercayaan dan keyakinan yang berlandaskan pengertian yang kritis.“Brahmanaksatriyavisam, sudranam ca paramtapa, karmani pravibhaktani, svabhava prabhavair gunaih”.Terjemahannya:“Oh, Arjuna tugas-tugas adalah terbagi menurut sifat dan watak kelahirannya sebagai halnya Brahmana, Ksatriya, Vaisya, dan juga Sudra” (Bhagavad Gita XVIII.41).Berdasarkan analisa dari kedua makna sloka Bhagavad Gita di atas ternyata bahwa keduanya memberikan pengertian yang sama tentang dasar pembagian Catur Warna. Catur Warna sebagai sistem tata kemasyarakatan dalam Agama Hindu, diklasifikasikan berdasarkan guna (bakat dan sifat) dan karma (perbuatan dan pekerjaan). Jadi bukanlah berdasarkan darah keturunan seperti yang terdapat dalam kasta. “ Brahmana adining warna, tumut ksatriya, tumut waisya, ika sang warna tiga, kapwa dwijati sira, dwijatingaraning ping rwa mangjanma, apan ri sedeng niran Brahmacari gurukulawasi kinenan sira diksabrata sangskara, kaping rwaning janma nira tika, ri huwus nira krtasangskara, nahan matangnyan kapwa dwijati sira katiga, kunang ikang sudra kapatning warna, ekajati sang kadi rasika, tan dadi kinenane bratasangskara, tatan Brahmacari, mangkana kandanikang warna empat, ya ika catur Varna ngaranya, tan hana kalimaning warna ngaranya”. (Sarasamuccaya, 55)Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti145Terjemahannya:“Brahmana adalah golongan yang pertama menyusul Ksatriya, lalu Waisya, ketiga golongan itu sama-sama Dwijati. Dwijati artinya lahir dua kali, sebab tatkala mereka menginjak masa kelahiran yang kedua kali, adalah setelah selesai menjalani upacara penyucian (pentasbihan), itulah sebabnya mereka ketiga-tiganya disebut lahir dua kali. Adapun Sudra yang merupakan golongan keempat disebut Ekajati; lahir satu kali artinya tidak diharuskan melakukan Brahmacari. Itulah yang disebut Catur Warna, tidak ada golongan yang kelima”.“Brahmanah ksatriyo vaisyas, trayovarna dwijatayah, caturtha ekajatistu, sudra nastitu pancamah” Terjemahannya:“Brahmana, Ksatriya, dan Vaisya ketiga golongan ini adalah Dwijati sedangkan Sudra yang keempat adalah Ekajati dan tidak ada golongan yang kelima”. (Manawa Dharmasastra, X.4)Berikut ini kita dapatkan keterangan yang sangat berbeda dengan kitab suci Sarasamuçcaya dan Manawa Dharmasastra. Berikut ini adalah bait slokanya; di dalam kitab suci Yajur Veda kita temukan sloka yang berbunyi sebagai berikut.“Yathcnam vacham kalyanim, avdani canebhyah, Brahma rajanyabhyam, çudraya caryaya ca, svaya caranaya ca” Terjemahannya:“Biar kunyatakan di sini kata suci ini kepada orang-orang banyak kepada kaum Brahmana, kaum Ksatriya, kaum Sudra, dan kaum Waisya dan bahkan orang-orang-Ku dan kepada mereka (orang-orang asing) sekalipun”. (Yayur Veda, XXV.2).Catur Warna berarti empat sifat dan bakat kelahirannya dalam mengabdi pada masyarakat berdasarkan kecintaan yang menimbulkan kegairahan kerja. Catur Warna adalah empat golongan karya dalam masyarakat Hindu yang terdiri dari; Brahmana Warna, Ksatria Warna, Wesya Warna, dan Sudra Warna.Kelas XI SMA/SMK146Prioritas penerapan Catur Purusa Artha pada Catur Warna dapat dipaparkan sebagai berikut.1. Brahmana Warna adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki pengetahuan suci dan mempunyai bakat kelahiran untuk mewujudkan tujuan/kekayaan (artha), keinginan/kenikmatan (kama), kesejahteraan dan kebahagiaan (moksa) masyarakat, Negara, dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya dan dapat memimpin upacara keagamaan (karyawidhi-yoga dan karya-arcana) berlandaskan kebenaran (dharma) - nya.2. Ksatria Warna adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kewibawaan alami dan mempunyai bakat kelahiran yang cinta tanah air untuk pemimpin guna mewujudkan dan mempertahankan tujuan/kekayaan (artha), keinginan/kenikmatan (kama), kesejahteraan dan kebahagiaan (moksa) masyarakat, negara, dan umat manusia dengan jalan mengamalkan kepemimpinannya berlandaskan kebenaran (dharma) - nya.3. Wesya Warna adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki watak tekun, terampil, hemat, cermat dan mempunyai bakat kelahiran untuk mewujudkan tujuan/kekayaan (artha), keinginan/kenikmatan (kama), kesejahtraan dan kebahagiaan (moksa) masyarakat, Negara, dan umat manusia dengan jalan mengamalkan keahliannya sebagai pedagang dan petani berlandaskan kebenaran (dharma) - nya.4. Sudra Warna adalah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kekuatan jasmani, ketaatan, dan mempunyai bakat kelahiran untuk mewujudkan tujuan/kekayaan (artha), keinginan/kenikmatan (kama), kesejahteraan dan kebahagiaan (moksa) masyarakat, Negara, dan umat manusia atas petunjuk golongan karya lainnya dengan jalan mengamalkan ketaatan dan kekuatan jasmaninya yang berlandaskan kebenaran (dharma) - nya.Hendaknya keempat warna ini bekerjasama bantu-membantu sesuai dengan swadharmanya (watak, sifat/bakatnya masing-masing) untuk membina kesejahteraan masyarakat, negara, umat manusia. Pengabdian setiap anggota masyarakat yang berdasarkan swadharma itu sudah semestinya didasari oleh Catur Purusartha.Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti147Uji Kompetensi1. Apakah yang diamaksud dengan Catur Purusartha? Jelaskanlah!2. Menurut pendapat mu bagaimana hubungan antara Catur Purusartha dengan Catur Asrama? Paparkanlah!3. Demikian juga bagaimana pendapat mu tentang hubungan antara Catur Purusartha dengan Catur Warna? Jelaskanlah!4. Coba buatlah karya ilmiah (3 – 5 halaman) dengan tajuk ‘eksistensi Catur Warna perspektif Catur Purusartha. Sebelumnya diskusikanlah dengan orangtua mu di rumah!5. Jelaskan pendapat mu? penyebab orang terdorong melakukan korupsi!6. Bagaimana pandangan Agama Hindu terhadap hasil dari perbuatan korupsi!Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidakmelupakan sejarahnya.Hidup bermasyarakat sesuai dengan profesi yang dimiliki mengantarkan kita menuju hidup rukun dan damai.Insan yang baik adalah mereka yang selalu beru-saha mendekatkan pribadinya dengan Tuhan yang Maha Esa.Tuhan yang Maha Esa sebagai pencipta, pemeli-hara dan pelebur.Kelas XI SMA/SMK148Wiwaha“Asthūri no gārhapatyāni santu”Terjemahannya: “Hendaknyalah hubungan suami-istri kami tak bisa putus, berlangsung abadi” (Åg Veda VI. 15.19).Tujuan perkawinan mendambakan hidup sejahtera dan bahagia. Kitab Manawa Dharmasastra menyatakan bahwa tujuan perkawinan meliputi dharmasampatti (bersama-sama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), praja (melahirkan keturunan) dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indra lainnya). Jadi tujuan utama perkawinan adalah melaksanakan Dharma. Dalam perkawinan, suami istri hendaknya berupaya jangan sampai ikatan tali perkawinan terputus atau lepas. Pasangan suami istri hendaknya dapat mewujudkan kebahagiaan, tidak terpisahkan (satu dengan yang lainnya), serta bermain riang gembira dengan anak-anak dan cucu-cucunya.A. Pengertian dan Hakikat Wiwaha Perenungan“Šaṁ jāspatyaṁ suyamam astu devāh”Terjemahannya:“Ya, para dewata, semoga kehidupan perkawinan kami berbahagia dan tentram “ (Åg Veda X. 85.23).Bab 8 Gambar 3.1 Upacara vivaha Sumber : Dok. Pribadi sumber. Dok Pribadi8.1 Upacara VivahaPendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti149Memahami TeksMelaksanakan wiwaha atau perkawinan bagi masyarakat Hindu memiliki makna, arti, dan kedudukan yang sangat penting. Dalam Catur Asrama, wiwaha termasuk fase Grehasta Asrama. Memasuki fase Grehastha “wiwaha” oleh masyarakat Hindu, dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra; bahwa wiwaha bersifat sakral, wajib hukumnya, dalam arti harus dilakukan oleh setiap orang yang hidupnya normal. Melaksanakan wiwaha bagi umat Hindu yang sudah cukup umur merupakan salah satu amanat dharma dalam hidup dan kehidupan ini.Perkawinan atau wiwaha tidak baik jika dilakukan karena dipaksakan, pengaruh orang lain, dan sikap kekerasan yang lainnya. Hal ini perlu dipahami dan dipedomani untuk menghindari terjadinya ketegangan setelah menjalani Grehasta Asrama. Keberhasilan yang dapat mengantarkan dalam wiwaha atau perkawinan adalah karena adanya sifat dan sikap saling mencintai, saling mempercayai, saling menyadari, kerja sama, saling mengisi, bahu-membahu dan yang lainnya dalam setiap kegiatan rumah tangga. Terbentuknya keluarga bahagia dan kekal haruslah disertai adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, dimana hak dan kewajiban serta kedudukan suami dan istri harus seimbang dan sama meskipun swadharmanya berbeda dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Mengapa perkawinan/wiwaha itu mesti dilaksanakan? Berikut ini akan diuraikan tentang pengertian dan hakikat dari “wiwaha”.Berdasarkan sastra agama Hindu dijelaskan ada empat tahapan kehidupan yang disebut Catur Asrama. Tahap pertama adalah belajar, menuntut ilmu yang disebut Brahmacari. Tahap yang kedua adalah Grehasta, yaitu hidup berumah tangga. Tahap ketiga adalah Wanaprastha, yakni mulai belajar melepaskan diri dari ikatan duniawi dan tahap keempat adalah Bhiksuka (sanyasin) yaitu menyebarkan ilmu pengetahuan kerohanian kepada umat, dengan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki arti dan kedudukan khusus dan penting sebagai awal dari masa berumah tangga atau Grehastha Asrama. Apakah yang dimaksud dengan perkawinan, wiwaha dan Grehastha Asrama itu?Pengertian perkawinan meurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 1 menjelaskan, bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) baru yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kelas XI SMA/SMK150Menurut definisi tersebut, perkawinan adalah adanya ikatan antara dua orang (pria dan wanita) secara lahir maupun batin. Mereka berkumpul dengan membentuk rumah tangga yang baru dan bahagia. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama. Perkawinan bukan hanya mengutamakan dan mempunyai unsur jasmani semata tetapi juga unsur batin atau rohani. Perkawinan bukan hanya sekedar hubungan biologis yang mendapatkan legalitas melalui hukum sehingga mereka dapat secara leluasa memenuhi kebutuhan seksnya, tetapi lebih dari itu. Perkawinan atau wiwaha identik dengan upacara yajna, yang menyebabkan kedudukan lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tak terpisah dengan hukum agama, dan menjadikan hukum Hindu sebagai dasar persyaratan. Legalnya suatu perkawinan “di Bali” ditandai dengan pelaksanaan ritual, yaitu upacara wiwaha seperti upacara byakala atau mabyakaonan.Sebuah perkawinan dipandang sah atau legal apabila ada saksi. Dengan melaksanakan upacara wiwaha (mabyakala) itu sudah terkandung makna adanya Tri Upasaksi (tiga saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusia Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa Saksi adalah saksi dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang dimohon untuk menyaksikan upacara pewiwahan tersebut. Manusia Saksi adalah saksi manusia, dalam hai ini semua orang yang hadir pada saat dilaksanakan upacara utamanya, seperti Pemangku dan Perangkat Desa, Bendesa Adat, Kelian Dinas, dan sebagainya. Bhuta Saksi adalah saksi para Bhuta Kala. Pada saat dilaksanakan upacara byakala kita membakar tetimpug yang dibuat dari beberapa potong bambu yang kedua ruasnya masih utuh sehingga pada waktu dibakar dapat menimbulkan suara ledakan. Suara ledakan merupakan simbol untuk memanggil Bhuta Kala untuk hadir di areal upacara, kemudian diberikan suguhan dengan harapan tidak mengganggu jalannya upacara bahkan ikut menjaga keamanan upacara serta ikut menyaksikan upacara tersebut. Setelah selesai prosesi upacara wiwaha (byakala), maka pasangan pria dan wanita tersebut resmi menjadi suami istri (dampati) dan berkewajiban melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang Grehastin.Keberadaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sesungguhnya merupakan wujud nyata dari perjuangan kaum ibu Indonesia. Undang-Undang ini sesungguhnya telah diperjuangkan sejak tahun 1928. Liku-liku perjuangan kaum wanita yang teramat panjang itu, lalu baru pada bulan Januari 1974 para wanita Indonesia menuai hasilnya dengan bukti memiliki Undang-Undang tentang perkawinan. Setelah diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara dan melalui Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti151Ketetapan Presiden, kemudian dikenal dengan sebutan Undang-Undang No.I tahun 1974. Selanjutnya pada tanggal 1 April 1975 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintahan tentang pelaksanaan Undang-Undang No.I tahun 1974 tentang perkawinan, yang lebih dikenal dengan nama Peratutan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975. Undang-undang ini berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975. Terkait dengan pencatatan perkawinan secara hukum Nasional dapat dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil. Pada umumnya Undang-Undang Perkawinan tersebut secara prinsip mengandung azas-azas yang dapat mengantarkan pasangan suami-istri pada keharmonisan dan kebahagiaan keluarga. Adapun azas-azas yang terkandung dalam undang-undang yang dimaksud adalah sebagai berikut.1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut Hukum Agama yang dianut, dan setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.3. Undang-Undang Perkawinan mengandung asas monogami.4. Calon suami istri harus sudah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan.5. Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit perceraian.6. Hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat diatur dalam undang-undang ini.Menurut ajaran agama Hindu, perkawinan itu adalah “yajna” sehingga orang yang memasuki ikatan perkawinan menuju Grehastha Asrama merupakan lembaga suci yang harus dijaga keberadaannya dan kemuliaannya. Pada masa Grehastha inilah seseorang dihadapkan pada tiga usaha yang harus dilaksanakan, yaitu memenuhi hal-hal berikut.1. Dharma yaitu aturan-aturan yang harus ditaati dengan kesadaran berpedoman pada Dharma Agama dan Dharma Negara.2. Arta yaitu segala kebutuhan rumah tangga berupa material dan pengetahuan.3. Kama yaitu rasa kenikmatan atau kebahagiaan yang dapat diwujudkan dalam berkeluarga.Setiap keluarga Hindu harus mampu hidup dalam kesadaran, sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Yang Widhi Wasa, bebas dari kegelapan, selalu giat bekerja dan sadar untuk beryadnya, sehingga tercipta keluarga yang tenteram, harmonis, dan damai serta abadi.Kelas XI SMA/SMK152Uji Kompetensi1. Apakah perkawinan atau wiwaha itu?2. Mengapa seseorang wajib melaksanakan perkawinan atau wiwaha?3. Bagaimana bila seseorang tidak melaksanakan perkawinan atau wiwaha?4. Apakah dengan melaksanakan perkawinan atau wiwaha kesejahteraan dan kebahagiaan itu dapat terwujud? Diskusikanlah dengan orangtuamu di rumah!5. Bacalah dengan seksama perenungan tentang perkawinan tersebut di atas, tuliskan dan kemukakanlah pendapatmu! B. Tujuan Wiwaha menurut Hindu Perenungan“Samañjantu viṡve deavāá, sam āpo hþdayāni nau”.Terjemahannya:“Semoga para dewata dan apah mempersatukan hati kami, suami istri”. (Åg Veda X. 85.47)Memahami TeksUntuk masyarakat Hindu, soal perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang khusus dalam dunia kehidupan mereka. Istilah perkawinan sebagaimana terdapat di dalam berbagai sastra dan kitab hukum Hindu (Smrti), dikenal dengan nama wiwaha. Peraturan-peraturan yang mengatur tata laksana perkawinan itu merupakan peraturan yang menjadi sumber dan pedoman dalam meneruskan pembinaan hukum Agama Hindu di bidang perkawinan. Berikut ini dapat diuraikan tentang tujuan perkawinan menurut Hindu sebagai berikut.Pada dasarnya manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya. Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava Dharmasastra IX. 96 sebagai berikut.Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti153 “Prajānartha striyaá sṛṣtāá samtānārtha ca mānawāá tasmāt sādhāraṇo dharmaá çrutau patnyā sahāditaá”Terjemahannya:“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya” (Pudja dan Sudharta, 1977/1978: 553).Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang bahagia lahir dan bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan nonmaterial. Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/ perumahan (yang semuanya disebut artha). Unsurnon material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut dharma), kasih sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut kama)Berdasarkan kitab Manusmrti, perkawinan bersifat religius dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk mempunyai keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orangtua dengan jalan melahirkan seorang “putra”. Kata Putra berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “ia yang menyebrangkan atau menyelamatkan arwah orangtuanya dari neraka”.“Anuvrataá pituá putro, mātrā bhavatu saṁmanāá”.Terjemahannya:“Hendaknya anak laki patuh kepada ayahnya dan menyenangkan hati ibunya “ (Atharva Veda III.30. 2).Wiwaha/perkawinan dalam Aga-ma Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia dan sakral. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskan bahwa wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya bersifat wajib, da-lam artian harus dilakukan oleh setiap orang yang normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami oleh seseorang dan juga oleh para leluhur dapat dikurangi bila memiliki keturunan. Penebusan dosa dapat dilakukan oleh keturunannya, seperti dijelaskan dalam berbagai karya sastra Hindu, baik Itihasa maupun Purana. Gambar 3.2 Buah hati yang sehat dan cerdas Sumber : Dok. https://www.facebook.com sumber. www.facebook.com8.2 Buah hati yang sehat dan cerdasNext >