< PreviousKelas XI SMA/SMK154Jadi, tujuan utama dari wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan “sentana” terutama yang “suputra”. Suputra dapat diartikan anak yang hormat kepada orangtua, cinta kasih, terhadap sesama, dan berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dan para leluhurnya. Suputra sebenarnya berarti anak yang mulia dan mampu menyeberangkan orangtuanya dari penderitaan menuju kebahagiaan. Seorang anak yang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu mengangkat derajat dan martabat orangtuanya. Bagaimana keutamaan seorang anak yang ”Suputra” dijelaskan dalam kitab Nitisastra sebagai berikut.“Padaning ku-putra taru çuṣka tumuwuh i ri madhyaning wana, maghasāgérit matéah agni sahana-hananing halas géséng, ikanang su-putra taru candana tumuwuh i ring wanāntara, plawagoragā mréga kaga bhramara mara riyā padaniwi”.Terjemahannya:”Anak yang jahat sama dengan pohon kering di tengah hutan, karena pergeseran dan pergesekan, keluar apinya, lalu membakar seluruh hutan, akan tetapi anak yang baik sama dengan pohon cendana yang tumbuh di dalam lingkungan hutan, kera, ular, hewan berkaki empat, burung dan kumbang datang mengerubunginya”.(Nitisastra XII. 1).Selanjutnya dijelaskan bahwa: Orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat sutu waduk kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat satu yajna secara tulus-ikhlas, dan orang yang mampu membuat seratus yajna masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak yang suputra. Demikian keutamaan seorang anak yang suputra.Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan bahwa wiwaha itu disamakan dengan samskara yang menempatkan kedudukan perkawinan sebagai lembaga yang memiliki keterkaitan yang erat dengan Agama Hindu. Oleh karena itu, semua persyaratan yang ditentukan hendaknya dipatuhi oleh umat Hindu. Dalam Upacara Manusa Yajna, Wiwaha Samskara (upacara perkawinan) dipandang merupakan puncak dari Upacara Manusia Yajna, yang harus dilaksanakan oleh seseorang dalam hidupnya. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti155 Wiwaha bertujuan untuk membayar hutang kepada orangtua atau leluhur. Maka dapat disamakan dengan dharma.Wiwaha Samskara diabdikan berdasarkan Veda, karena ia merupakan salah satu Sarira Samskara atau penyucian diri melalui perkawinan. Sehubungan dengan itu Manawa Dharmasastra menjelaskan bahwa untuk menjadikan bapak dan ibu maka diciptakan wanita dan pria oleh Ida Sang Hyang Parama Kawi/Tuhan Yang Maha Esa, dan karena itu Veda akan diabdikan sebagai dharma yang harus dilaksanakan oleh pria dan wanita sebagai suami istri dalam berbagai macam kewajibannya.Setiap orang yang telah hidup berumah tangga memiliki beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan, antara lain sebagai berikut.1. Melanjutkan keturunan2. Membina rumah tangga3. Bermasyarakat4. Melaksanakan Yajna (Panca Yajna). Keempat kewajiban ini sesungguhnya adalah tugas mulia yang patut diemban dan dilaksanakan selama hidup bersuami-istri.Uji Kompetensi1. Apakah tujuan seseorang melaksanakan perkawinan atau wiwaha itu?2. Bagaimana bila tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang yang telah melaksanakan perkawinan atau wiwaha tidak dapat diwujudkannya, apakah yang terjadi? Jelaskanlah!3. Kewajiban-kewajiban apa-sajakah yang harus dilakukan oleh seseorang yang sudah melaksanakan perkawinan atau wiwaha itu? Sebutkanlah!4. Amatilah seseorang yang telah melaksanakan perkawinan atau wiwaha yang ada di lingkungan sekitarmu! Tuliskan dan kemukakanlah hasil pengamatan yang telah dilakukan! Diskusikanlah dengan orangtuamu di rumah!5. Bilamanakah perkawinan atau wiwaha yang dilaksanakan oleh seseorang dapat dinyatakan gagal atau berhasil? Jelaskanlah!6. Buatlah laporan tertulis kenapa di jaman sekarang terjadi banyak perceraian! apa penyebabnya!7. Bagaimanakah cara agar perkawinan itu bisa langgeng/abadi! Gambar 3.3 Upacara Perkawinan Sumber : Dok. Pribadi sumber. Dok Pribadi8.3 Upacara PerkawinanKelas XI SMA/SMK156C. Sistem Pawiwahan dalam Agama Hindu Perenungan“Hina kriyām niṣpurusaṁ niṡchando roma ṡārṡasam, kṣayyāmayāvya pasmāri ṡvitrikuṣþhi kulāni ca”.Terjemahannya:“Kesepuluh macam itu (perkawinan) ialah, keluarga yang tidak menghiraukan upacara-upacara suci, keluarga yang tidak mempunyai keturunan laki, keluarga yang tidak mempelajari veda, keluarga yang anggota badannya berbulu tebal, keluarga yang mempunyai penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit mag, penyakit ayan atau lepra”. (Manawa Dharmasastra III. 7)Memahami Teks:Sistem perkawinan Hindu adalah tata-cara perkawinan yang dilakukan oleh seseorang secara benar menurut hukum Hindu. Seseorang hendaknya dapat melaksanakan upacara perkawinan sesuai dengan tata-cara upacara perkawinan Hindu, sehingga yang bersangkutan dapat dinyatakan sah sebagai suami istri. Kitab Suci Hindu yang merupakan kompidium hukum Hindu Manawa Dharmasastra memuat tentang beberapa sistem atau bentuk perkawinan Hindu, sebagai berikut;“Brahma Dai vastat hai varsyah, prapaja yastatha surah, gandharwa raksasa caiva, paisacasca astamo dharmah” Terjemahannya:“Adapun sistem perkawinan itu ialah Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Rsi wiwaha, Prajapati wiwaha, Asura wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha, dan Paisaca wiwaha”. (Manawa Dharmasastra.III.21) Menurut penjelasan kitab Manawa Dharmasastra tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa sistem atau bentuk perkawinan itu ada 8 jenis, yaitu sebagaimana berikut.1. Brahma Wiwaha adalah perkawinan yang terjadi karena pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli Veda (Brahmana) dan berperilaku baik dan setelah menghormati yang diundang sendiri oleh w anita. Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan: “ācchādya cārcayitvā ca ṡruti ṡila vate svayaṁ, āhuya dānaṁ kanyāyā brāhmyo dharmaá prakirtitaá”.Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti157Terjemahannya:“Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias (dengan pakaian yang mahal) dan setelah menghormati (dengan menghadiahi permata) kepada seorang yang ahli dalam veda lagi pula budi bahasanya yang baik, yang diundang (oleh ayah si wanita) disebut acara brahma wiwaha”. (Manawa Dharmasastra III.27)2. Daiwa Wiwaha adalah perkawinan yang terjadi karena pemberian anak wanita kepada seorang pendeta yang melaksanakan upacara atau yang telah berjasa. Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:“Yajñe tu vitate samyag ṛtvije karma kurvate, alankṛtya sutādānaṁ daivaṁ dharmaṁ pracakṣate”.Terjemahannya:“Pemberian seorang anak wanita yang setelah terlebih dahulu dihias dengan perhiasan-perhiasan kepada seorang Pendeta yang melaksanakan upacara pada saat upacara itu berlangsung disebut acara Daiwa wiwaha”. (Manawa Dharmasastra III.28)3. Arsa Wiwaha adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan peraturan setelah pihak wanita menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak calon mempelai laki-laki, kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan: “ekaṁ gomithunṁm dve vā varādādāya dharmataá, kanyāpradānaṁ vidhiva dārṣo dharmaá sa ucyate”. (Manawa Dharmasastra III.29)4. Prajapati Wiwaha adalah perkawinan yang terlaksana karena pemberian seorang anak kepada seorang pria, setelah berpesan dengan mantra semoga kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah menunjukkan penghormatan (kepada pengantin pria), Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan:“sahobhau caratam dharmam iti vacanubhasya ca, kanyapradanam abhyarcya prajapatyo vidhih smrtah”.Terjemahannya:“Pemberian seorang anak perempuan (oleh ayah si wanita) setelah berpesan (kepada mempelai) dengan mantra “semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban-kewajiban bersama-sama” dan setelah menunjukkan penghormatan (kepada pengantin pria), perkawinan ini dalam kitab Smrti dinamai acara perkawinan Prajapati”. (Manawa Dharmasastra III.30)5. Asura Wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi di mana setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai kemampuan dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada si wanita dan ayahnya menerima wanita itu untuk dimiliki, Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan; Kelas XI SMA/SMK158“jnatibhyo dravinam dattva kanyayai caiva sakitah, kanya pradanam svacchandyad asuro dharma ucyate”.Terjemahannya:“Kalau pengantin pria menerima seorang perempuan setelah pria itu memberi mas kawin sesuai menurut kemampuannya dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada mempelai wanita dan keluarganya, cara ini dinamakan perkawinan Asura” (Manawa Dharmasastra III.31).6. Gandharwa Wiwaha adalah bentuk perkawinan suka sama suka antara seorang wanita dengan pria, Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan: “icchayānyonya saṁyogaá kanyāyāṡca varasya ca, gāndharvaá sat u vijñeyo maithunyaá kāmasambhavaá”.Terjemahannya:“Pertemuan suka sama suka antara seorang perempuan dengan kekasihnya yang timbul dari nafsunya dan bertujuan melakukan perhubungan kelamin dinamakan acara perkawinan Gandharwa” (Manawa Dharmasastra III.32).7. Raksasa Wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menculik gadis secara kekerasan, Kitab Manawadharmasastra menjelaskan:“hatvā chitvā ca bhittvā ca kroṡantiṁ rudatiṁ grhāt, prasahya kanyā haranaṁ rākṡaso vidhi rucyate”.Terjemahannya:“Melarikan seorang gadis dengan paksa dari rumahnya di mana wanita berteriak-teriak menangis setelah keluarganya terbunuh atau terluka, rumahnya dirusak, dinamakan perkawinan Raksasa”. (Manawa Dharmasastra III.33).8. Paisaca Wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa, dan membuat bingung atau mabuk, Kitab Manawa Dharmasastra menjelaskan: “suptāṁ mattāṁ pramattāṁ vā raho yatropagacchati, sa pāpiṣþho vivāhānāṁ paisācaṡcāṣþamo ‘dharmaá”.Terjemahannya:“Kalau seorang laki-laki dengan cara mencuri-curi memperkosa seorang wanita yang sedang tidur, sedang mabuk atau bingung, cara demikian adalah perkawinan paisaca yang amat rendah dan penuh dosa”. (Manawa Dharmasastra III.34)Dari delapan sistem perkawinan di atas ada dua sistem yang dihindari dalam membangun kehidupan grhastha. Mengapa patut dihindari tentu karena berlawanan dengan norma-norma agama, norma-norma hukum. Kedua sistem perkawinan yang Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti159dimaksud antara lain: Raksasa wiwaha dan Paisaca wiwaha. Menurut tradisi adat di Bali, ada empat bentuk atau sistem perkawinan.1. Sistem memadik/meminang, yaitu pihak calon suami serta keluarganya datang ke rumah calon istrinya untuk meminang. Biasanya kedua calon mempelai sebelumnya telah saling mengenal dan ada kesepakatan untuk berumah tangga. Dalam masyarakat Bali, sistem ini dipandang sebagai cara yang paling terhormat.2. Sistem ngererod/ngerangkat, yaitu bentuk perkawinan yang berlangsung atas dasar cinta sama cinta antara kedua calon mempelai yang sudah dipandang cukup umur. Jenis perkawinan ini sering disebut kawin lari.3. Sistem nyentana/nyeburin, yaitu sistem perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan perubahan status hukum dimana calon mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan calon mempelai laki-laki berstatus sebagai pradana. Dalam hubungan ini laki-laki tinggal di rumah istri4. Sistem melegandang, yaitu bentuk perkawinan secara paksa yang tidak didasari atas cinta sama cinta. Jenis perkawinan ini dapat disamakan dengan Raksasa Wiwaha dan Paisaca Wiwaha dalam Manawa Dharmasastra.Dalam perkembangan selanjutnya dikenal adanya Sistem Perkawinan Makaro Lemah dan Sistem Campuran. Sistem Makaro Lemah adalah upacara perkawinan yang dilaksanakan pada dua tempat (pihak purusa dan pradana) yang selanjutnya kedua mempelai masing-masing diberikan hak pewaris. Sedangkan perkawinan campuran adalah perkawinan yang dilaksanakan oleh mempelai berdua masing-masing yang berbeda agama, suku adat dan bangsa. Sesuai dengan ajaran agama Hindu yang bersifat fleksibel dan universal, sistem yang berkembang di setiap wilayah yang ada di Nusantara ini sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur ajaran agama Hindu dapat dilaksanakan dan diterapkan.Selain itu dalam ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan diatur tentang perkawinan campuran antara mereka yang berbeda kewarganegaraan. Sebagai suatu kenyataan, tidak jarang terjadi perkawinan di antara mereka yang berbeda agama. Menurut Ordenansi Perkawinan Campuran, hukum agama pihak suami yang harus diikuti. Terkait dengan hal ini, agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan dipandang sah menurut Agama Hindu, dilaksanakanlah upacara sudhiwadani. Para rohaniawan yang memimpin (muput) upacara pawiwahaan tersebut melaksanakan upacara sudhiwadani kepada si wanita, yang sudah tentu diawali dengan suatu pernyataan bahwa si wanita sanggup mengikuti agama pihak suami. Setelah itu, barulah upacara wiwaha itu dilaksanakan.Kelas XI SMA/SMK160Pelaksanaan perkawinan dilarang apabila, calon mempelai berdua belum dapat memenuhi persyaratan sebuah perkawinan yang diinginkan. Larangan suatu perkawinan diawali dengan pencegahan. Hal ini bisa terjadi karena dipandang belum memenuhi syarat-syarat hukum agama maupun hukum Nasional. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Undang-Undang Perkawinan, pencegahan dilakukan dengan cara mengajukan ke Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum di mana dilangsungkan perkawinan itu. Atau Pengadilan Negeri meminta batalnya suatu perkawinan karena dipandang yang bersangkutan tidak memenuhi syarat hukum yang berlaku. Pencegahan yang dilakukan lebih banyak bersifat preventif. Pencegahan preventif dapat juga dilakukan oleh pendeta atau Brahmana dengan menolak untuk mengesahkannya, karena dipandang tidak memenuhi syarat menurut hukum agama.Selain pencegahan secara preventif juga bersifat represif, yaitu dengan memutuskan suatu perkawinan karena perkawinan itu didasarkan atas penipuan atau kekerasan, misalnya melalui sistem raksasa dan Paisaca Wiwaha atau juga Sistem Melegandang. Dalam peristiwa ini hakim dapat membatalkan perkawinan dan mengancam dengan sanksi hukum bagi pelakunya. Perkawinan lain juga dapat dibatalkan apabila salah satu pihak calon mempelai memiliki penyakit menular atau impotensi, atau juga yang menderita sakit jiwa.Dalam kitab Manawa Dharmasastra disebutkan, pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila yang bersangkutan memiliki hubungan sapinda, artinya mempunyai hubungan darah yang dekat dari keluarga. Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974, suatu perkawinan dapat dibatalkan bila tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 27 yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut:1. Suatu perkawinan dapat dimintakan pembatalannya apabila bertentangan dengan hukum agama, misalnya dilaksanakan dengan Sistem Raksasa atau Paisaca Wiwaha.2. Perkawinan dapat dibatalkan bilamana calon mempelai masih mempunyai ikatan perkawinan dengan seseorang sebelumnya.3. Perkawinan dapat dibatalkan apabila calon istri atau suami mempunyai cacat yang disembunyikan, sehingga salah satu pihak merasa ditipu, misalnya memiliki penyakit menular yang berbahaya, tidak sehat pikiran atau impotensi, mengandung karena akibat berhubungan dengan laki-laki lain.4. Perkawinan dibatalkan berdasarkan hubungan sapinda atau masih memiliki hubungan darah.5. Perkawinan bisa dibatalkan apabila si istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut hukum Hindu.Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti161Larangan perkawinan ini dilakukan bukan berarti melanggar hak azasi seseorang, melainkan bertujuan untuk menghormati hak azasi masing-masing individu yang bersangkutan. Dengan demikian ada baiknya kita dapat mengikuti guna dapat mewujudkan masa grehastha yang harmonis. Berikut ini akan diuraikan tentang sistem perkawinan menurut Hindu sebagai berikut:Wiwaha menurut Suku BaliUpacara perkawinan merupakan upacara pesaksian, baik ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa maupun kepada masyarakat, bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai suami istri, dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Di samping itu, upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap sukla (sperma) dan swanita (ovum) serta lahir batinnya. Hal ini dimaksudkan agar bibit (benih) dari kedua mempelai bebas dari pengaruh-pengaruh buruk (gangguan bhuta kala), sehingga kalau keduanya bertemu (terjadi pembuahan) dan terbentuklah sebuah “manik” (embrio) yang sudah bersih.Demikian, diharapkan agar roh yang menjiwai manik (janin muda) itu adalah roh yang suci dan baik dan kemudian dapat melahirkan seorang anak yang suputra dan berguna di dalam masyarakat. Selain itu dengan adanya upacara perkawinan ini, berarti kedua mempelai telah memilih agama Hindu serta ajaran-ajarannya sebagai pegangan hidup di dalam berumah tangga. Disebutkan pula bahwa hubungan seks di dalam suatu perkawinan yang tidak didahului dengan upacara pekalan-kalaan dianggap tidak baik dan disebut “kama keparagan” dan anak yang lahir akibat kama tersebut adalah anak yang tidak menghiraukan nasihat orangtua atau ajaran-ajaran agama. Sifat dan sikap anak yang demikian sering disebut dengan istilah “rare dia-diu”.Sahnya suatu perkawinan menurut adat-istiadat Hindu di Bali dari segi ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkatan, antara lain nista (kecil), madya (sedang), dan uttama (besar). Walaupun ditingkat-tingkatkan menjadi tiga tahapan, namun nilai ritual yang dikandung sama. Tata cara upacara perkawinan yang dimaksud antara lain sebagaimana dijelaskan berikut ini.a. Tata Urutan UpacaraPelaksanaan ritual upacara perkawinan menurut adat Hindu di Bali sesuai ajaran agama yang dianutnya oleh masing-masing umat adalah;1) Penyambutan kedua mempelai;Penyambutan kedua mempelai sebelum memasuki pintu halaman rumah adalah simbol untuk melenyapkan unsur-unsur negatif yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai sepanjang perjalanan menuju rumah pihak purusa, agar tidak mengganggu jalannya upacara.Kelas XI SMA/SMK1622) MabyakalaUpacara ini dimaksudkan untuk membersihkan dan menyucikan lahir batin dari kedua mempelai terutama sukla dan swanita, yaitu sel benih pria dan sel benih wanita agar menjadi janin yang suci dan dapat melahirkan anak yang suputra.3) Mepejati atau PesaksianMepejati merupakan upacara pesaksian tentang pengesahan perkawinan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, juga kepada masyarakat, bahwa kedua mempelai telah meningkatkan diri sebagai suami atau istri yang sah dengan membangun grehastha atau rumah tangga baru.b. Sarana/UpakaraJenis upakara yang dipergunakan pada upacara ini secara sederhana dapat dirinci, sebagai berikut:1) Banten Pemagpag, segehan, dan tumpeng dadanan.2) Banten Pesaksi, prasdaksina, dan ajuman.3) Banten untuk mempelai terdiri dari byakala, banten kurenan, dan pengulap pengambean.Adapun kelengkapan upakara yang lainnya patut disiapkan dan dipersembahkan antara lain, sebagai berikut:1) Tikeh dadakanTikeh dadakan adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini merupakan simbol kesucian si gadis.2) PapegatanPepegat yaitu berupa dua buah cabang pohon kayu dapdap yang ditancapkan di tempat upacara. Jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih dalam keadaan terentang.3. Upacara Mapejati atau PersaksianDalam upacara persaksian, kedua mempelai melaksanakan puja bhakti (sembahyang) sebanyak lima kali kepada Ida Sang Hyang Widhi. Setelah sembahyang (mebhakti), mempelai berdua diperciki tirtha pembersihan oleh pemimpin upacara. Kemudian Natab Banten Widhi Widhana dan mejaya-jaya. Dengan demikian, maka selesailah pelaksanaan Samskara Wiwaha. Setelah prosesi Wiwaha Samskara selesai, baru kemudia dilanjutkan penandatanganan surat akta perkawinan oleh kedua belah pihak di hadapan saksi dan pejabat yang berwenang sebagai legalitas secara hukum nasional.Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti163Wiwaha menurut suku Jawa.Secara umum pelaksanaan upacara Wiwaha (perkawinan) di daerah Bali dengan di daerah Jawa dan yang lainnya adalah sama. Namun dari beberapa tradisi atau kebiasaan yang berkembang di masyarakat setempat sepertinya ada perbedaan tetapi hanya bersifat sebatas istilah. Tidak ada perbedaan makna dan tujuan yang ingin dicapai. Berikut ini dapat disajikan beberapa rangkaian upacara Wiwaha di Jawa.a. Rangkaian Upacara PerkawinanDalam rangka upacara perkawinan Hindu di Jawa, sebelum upacara inti dilakukan serangkaian acara sebelumnya wajib dilaksanakan. Adapun rangkaian acara tersebut adalah sebagaimana dijelaskan berikut:1) Nontoni, yaitu melihat dari dekat calon istri oleh calon suami dengan cara berkunjung ke rumah keluarga calon istri.2) Pinangan, yaitu dalam acara ini bukan orangtua suami yang datang melamar, melainkan kerabat dan keluarga orangtua calon suami yang dianggap mampu. Apabila lamaran diterima, diteruskan perundingan untuk menentukan hari baik perkawinan.3) Pinengset, yaitu (asok tukon) utusan keluarga pihak pria berkunjung ke rumah pihak wanita dengan membawa tanda ikat berupa cincin, pakaian, kerbau, sapi atau berupa kebutuhan hidup lainnya.4) Midodareni, yaitu sehari sebelum melaksanakan upacara puncak perkawinan, pihak keluarga wanita menyiapkan keperluan untuk melaksanakan perkawinan esok hari. Seperti kembang mayang dan keperluan lainnya, termasuk mulai merawat calon pengantin wanita.5) Panggih Manten, yaitu upacara puncak dari seluruh upacara perkawinan.b. Sarana-sarana lain yang Perlu Disiapkan.1) Tarub, yaitu bangunan darurat saat pelaksanaan upacara perkawinan dilangsungkan.2) Janur, yaitu daun kelapa yang muda untuk keperluan tanda masuk rumah halaman rumah, kembar mayang, dan dekorasi.3) Kelapa dua buah sebagai lambang benih yang di pasang di kanan kiri pintu masuk.4) Pisang raja yang sudah tua, dipotong dengan batangnya dipasang di kanan kiri pintu masuk sebagai lambang raja atau ratu.5) Kembang setaman yang dibuat dari janur, bunga pisang yang sedang mekar, daun beringin, daun andong, daun puring, yang dilengkapi sesaji berupa pisang, dan nasi golong dengan lauk pauknya beserta gantalan.6) Tebu Wulung yang dipajang di pintu kanan masuk, sebagai lambang benih suami istri yang sudah matang.Next >