< Previous 102 Rebab (gamelan gesek) terbalut/terhias dengan kain cindhe sebagai penopang suasana kesedihan, Kendhang sebagai penopang suasana emosional (lembut dan keras/tegas), Kempul sebagai penopang tempo di segala suasana, Pemain gamelan (pradangga/wiyaga) yang mengisi/meng-gerakkan jiwa raga dalam gambaran hidup dan kehidupan, Pengidung wanita (waranggana = pesindhen = bidadari) dari kahyangan = sorga (Suralaya), Mengalun (kinayut-kayut) suaranya bagaikan suara mas (suara dewa = suara baik = suara yang berkualitas). Pelungan ini sebuah nama judul yang diberikan oleh seni-man kepada sebuah susunan syair dalam sastra suluk pada seni pertunjukkan wayang Jawatimuran versi Mojokerto-an. Bagi wayang Jawatimuran versi Porongan disebut Drojogan. Di samping syair ter-sebut di atas, ada lagi susunan kalimat syair yang lain, yaitu: Swuh rep data pitana, Rep swuh rep, rep swuh rep saking karsaningsun, Sekar kawi kang sinawung, Kinarya resmining kidung, Binarung swaraning gending Gandakusuma munya, Kekanthening Budaya, ing nguni Budaya iku tanama, Anane Budaya iku saking Negara, Dhawuhe andika wali, Kang sinawung mring pra pujangga Jawi, Kinarya tepa tuladha, Karo dene para janma sujana, Lan swartane budi kang wus uning, Ginane krawitan angiringi Budaya, Ana gambaran ………., Mirip rupa warna jalma mengku sastra kang sunandhi, Kedhik janma ingkang udani, Manawa tan parameng kawi, Lungguh panggung nyawang gegambaran, Gegambaraning agesang, Manungsa kang ana madyapada, Aja kate darbe tindak ala, Ngudia mring kautaman, Dimen manggih kayuwanan. (Ki Piet Asmara Mojokerto) Syair di atas biasa dilagukan oleh para dalang wayang Ja-watimuran gagrag Mojokerto-an yang wilayahnya berada di sekitar Mojokerto dan Jombang. Adapun terjemahannya adalah: 103Dari suasana sepi, suwung, sunyi (awung-awung), kemu-dian ada cerita, Sunyi karena kehendakku, Sekar (tembang) kawi yang enyertai, Sebagai kidung resmi (sejati = suci), Bersama suara gending Gondokusuma, Sebagai bagian kebudayaan yang dulu tak ada, Kalau ada berasal dari Negara, Atas perintah para wali, Yang direstui oleh para pujangga Jawa, Sebagai suri teladan (contoh), Bersama para cerdik-pandai, Serta para budiman bijak, (bahwa) fungsi gamelan sebagai pengiring seni Budaya, Yang berujud gambaran, Seperti wujud manusia ini mengandung sastra terselubung, Sedikit orang yang mengerti/mengetahui, Jika bukan ahli kawi (Budayawan), Duduk di panggung mengamati gambaran, Yaitu gambaran hidup dan kehidupan, Manusia yang berada di dunia, Jangan sampai berperilaku jahat, Biarlah belajar tentang kebaikan/kesucian, Agar mendapatkan keselamatan. Menurut para dalang tua (sepuh) Ki Suleman dari Pasu-ruan, Jawa Timur, dan Ki Toyib Gondocarito dari Krian Sidoarjo serta para nara sumber lainnya yaitu Ki Bambang Sugiyo, Ki Surwedi, me-nyatakan bahwa sastra tembang Pelungan / Drojogan itu sebenar-nya adalah doa yang dinyatakan dalam sastra suluk. Apabila kita Mengamati kalimat Pelungan atau Drojogan tersebut, ternyata berisi permohonan kekuatan alami agar menguat-kan pribadi si dalang dalam karyanya semalam suntuk (Ki Suleman). Masih banyak sastra suluk yang ada, namun tidak mungkin akan di-angkat seluruhnya dalam karya tulis ini. Namun di bawah ini masih ada beberapa yang perlu diungkap: Sendhon Prabatilarsa Pathet Wolu Nara nata nggonira miyos siniwaka Sineba mring pra Santana Sumewi munggwing ngayun Ngelik: Teja-teja, tejane wong kang Nembe kaeksi Sumunar pindha Sang Hyang Bagaskara 104 Nyunani sagung para kawula Ingkang ayem tentrem sami ngudi ngudi Mring pakaryanira kinarya nyekapi Ing kwajibanira……… (Ki Piet Asmara) Sendhon Purwa Seba Pathet Wolu Rupa candra sasi bumi Nabi Budha roning medi Sasadara wulan candra Bumi watak siji (Ki Piet Asmara) Bendhengan Wayang Srambahan Yana netra caksu naya Dresthinya maluncana Karna-karni suku loro Wategana marang sawiji Suku loro wategana marang sawiji. (Ki Surwedi) Yang disebut bendhengan sebenarnya greget saut yaitu se-buah lagu ada-ada (daerah Solo). Di Jawatimuran Ki Suleman me-ngatakan bendhengan bersuasana tegang. Bendhengan ini dimuat dalam Lagon Vokal Dalang Jawatimuran tulisan Djoemiran RA. Sendhon Angasih-Asih Slendro Sanga Jawatimuran O..O.. dhahat atawang tangis e Sambat amelas asih Esmu kingkin ing panggalih (Ki Cung Wartanu Mojosari-Mojokerto) Oleh Ki Cung Wartanu, lagu sendhon ini dimunculkan seca-ra improvisasi. Menurutnya sendhonannya bukan itu. Sendhon yang biasanya kurang/ tidak susah. Kecuali sastra suluk yang berupa la-gon dalang, masih ada lagi sastra suluk yang berupa suluk ilmu gaib. Pada umumnya, sastra suluk ilmu gaib tidak terungkap me-lalui lagon dalang, tetapi terungkap melalui tembang Macapat, berisi ajaran tentang ilmu gaib, ilmu kebatinan atau ilmu kasampurnaning pati. (S. Padmosoekotjo, Ngrengengan Kasusastran Jawi, tt. Hal. 80). Beberapa contoh sastra suluk ilmu gaib: Maskumambang: Batur tukon lamun nrima mesthi dadi Ing kamardikannya 105Nadyan wong mardika yekti Yen loba dadi kawula Artinya: Budak (Batur tukon), maksudnya budaknya duniawi, orang yang mudah terpengaruh oleh duniawi sebab dari watak yang angkara murka Kamardikan (kebebasan), tidak dikuasai duniawi Rakyat kecil (kawula), yaitu Budaknya duniawi Jadi makna tembang itu adalah orang yang senang terha-dap duniawi, sering disebut mangeran marang kadonyan. Memper-tuhankan barang-barang duniawi. Bagi mereka yang sudah tidak membudak pada duniawi, disebut telah merdeka. 3.2.1 Mijil Sagung pangkat kang sing alami, Aywa sira raos, Yeku apan warana jatine, Marma singkirna aywa sira piker, Terusa lumaris, Nyenyandhang pitulung. Samangsane sira sinung luwih, Sing janma kinaot, Poma aywa kasengsem den angge, Nadyan katon solan-salin warni, Singkirana kaki, Ywa nganti kalimput. Artinya: Pangkat kemuliaan duniawi, kesenangan yang berada di dunia, kenikmatan duniawi, Jangan sekali-kali kamu rasakan kenikmatannya, supaya ti-dak terpathok pada kenikmatannya duniawi, Sebuah tirai. Maksudnya duniawi bisa menutupi jalan me-nuju kearah kesempurnaan pati, Jangan sekali-kali kamu rasakan kenikmatannya, supaya ti-dak terpathok pada kenikmatannya duniawi, Teruskanlah berperilaku yang menuju kepada kesempurna-an pati, Mohon pertolongan kepada Tuhan, dapatnya hati ini terbu-ka sehingga mendapatkan jalan menuju kesempurnaan pati. 106 Pada saat kamu kaya berlebihan, Manusia mampu berbuat semuanya, Jangan sampai larut kepada keduniawian yang dimiliki oleh pribadimu, Meskipun duniawi itu berganti-ganti warna, rupa dan tidak membosankan…., Jauhilah mumpung masih bisa, Jangan sampai tertutup pemikiran atau penalaranmu oleh duniawi sehingga lupa akan tujuan awal, yaitu kesempurna-an pati. Jadi tembang mijil yang terdiri dari 2 ayat atau 2 podo dan memuat ajaran tasawuf ini merupakan tuntunan bagi manusia yang meng-hendaki kesempurnaan. Mijil Pituture Sri Rama Marang Wibisana Damaring praja’ja mati-mati Sadege keprabon aywa kandheg madhangi jagad mangka panariking reh sayekti ing pati pinanggih kautameng prabu Artinya: Diyan atau obor yang menjadi obor daripada tubuh adalah hati atau pikir. Hati dan atau pikir adalah pelita hidup. Ne-gara, tetapi dalam suluk ini yang dimaksud negara adalah tubuh, Selama menjadi raja. Bagi ilmu kebatinan maksudnya ada-lah selama hidup di dunia, Jangan berhenti menerangi dunia, maksudnya jangan ber-henti berbuat baik, Agar mendapat kesempurnaan yang semesthinya, Kesempurnaan mencapai kematian, Agar matinya bias atau mampu baik. Tentu saja bila orang di dalam hidup dan kehidupannya se-nantiasa berbuat baik dan berbakti serta berbuat darma tentu mati-nya nanti akan mendapatkan kemuliaan sorgawi. Jadi dalam hal ini, sang Ramawijaya di dunia sebagai jelmaan Wisnu memberikan aja-ran kepada seorang Wibisana yang telah bertaubat. Wibisana yang kesehariannya bertempat pada keluarga yang jahat, merasa disia-si-akan oleh Rahwana kakaknya, maka atas pertolongan Anoman ia mengabdikan diri dan sanggup membantu bersama-sama menghi-langkan laknat (iblis), yang berada pada diri kakaknya yaitu Rahwa-na. Akhirnya Wibisana menjadi murid Ramawijaya. 107Buku-buku yang memuat suluk, kebanyakan muncul pada jaman Islam. Seperti misalnya suluk Sukarsa, suluk Wujil, suluk Ma-lang Semirang. Di bawah ini petikannya: Suluk Sukarsa / Lagu: Girisa (Pelog) Sastra gumelar ing jagad kang atuduh pangawikan, kang weruh ing tuduh sampurna tan ana ireng ing pethak, yen sira sampun waspada lumampaha alon-lonan, kebirira lan sumungah ujub loba singgahana. Ki Sukarsa wus alayar ing sakathahing segara, Margane tekeng makripat tanpa etung urip pejah, Damare murub tan pejah panganggo mulya tan rusak, Asangu tan kena telas angungsi ing desa jembar. Ki Sukarsa dennya layar perau sabar darana, Salat mangka tiyangira kinamudhen pangawikan, Linyaran amangun hak winelahan niat donga, Den watangi panenedha den pulangi lawan tobat. Den labuhi sukurulah den taleni lan kana’at. Den pulangi lan wicara den damari lan makripat. Ki Sukarsa dennya layar wus tekeng segara rakhmat. Kawasa denira layar wus tekeng segara ora. Demikianlah suluk Sukarsa. Menurut Prof. Dr. RM. Ng. Pur-bocaroko dalam Kepustakaan Jawa-nya, mengemukakan bahwa ki-tab suluk Sukarsa ini dalam bentuk tembang (ciri suluk), berupa çlo-ka, yaitu tembang cara kuna. Logat bahasanya adalah bahasa Jawa Tengahan (pertengahan) yang muncul antara Jawa Kuna dan Baha-sa Jawa Baru. Çloka ini terdiri dari 4 baris, di mana setiap baris ter-diri laku delapan dan delapan, sudah tidak berpatokan dengan Guru dan Lagu. Suluk Sukarsa empat itu merupakan bagian terakhir. Adapun terjemahannya adalah: Sastra tergelar di dunia menunjukkan sebuah pengetahuan tentang tuntunan kesempurnaan, tak ada hitam pada putih, bagi orang yang telah mencapai hikmat berjalanlah pelan-pelan, takabur dan sombong perilaku tamak tentu disingkirkan. Si Sukarsa bagaikan telah berlayar di segala lautan, seba-gai jalan untuk sampai ke tempat ma’ripat yang tidak mem-perhitungkan hidup atau mati, 108 lampunya senantiasa menyala busana kemuliaan tak akan rusak, bekal yang dibawa tak akan habis, saat mengungsi di desa luas. Si Sukarsa dalam pelayarannya, dengan naik perahu kesa-baran, shalat sebagai orang yang mengemudi tentang pengetahu-an, dijalani sebagai pembangun hak, dengan menggunakan ke-mudi niat dan doa dengan segala permohonan, diakhiri dengan pertobatan. Dilakukan dengan selalu bersyukur diikat dengan menggu-nakan kana’at, dilakukan dengan bela bicara dengan penerangan ma’ripat, si Sukarsa dalam pelayarannya telah berada pada lautan rakhmat, selamatlah dalam pelayaran itu sehingga sampai pada laut-an tiada (meninggal dunia?). 3.2.2 Suluk Wujil Kitab suluk wujil berisikan ajaran Sunan Bonang kepada se-orang bajang, bekas budak raja Majapahit bernama si Wujil. Ajaran-nya tentang mistik. Dalam suluk wujil memuat tembang yang berma-cam-macam sejumlah 104 pupuh. Kitab suluk wujil ini di dalamnya berisikan sebuah kalimat berbunyi Penerus Tinggal Tataning Nabi. Artinya, Penerus menyata-kan bilangan 9, Tinggal menyatakan bilangan 2, Tata menyatakan bilangan 5 dan Nabi menyatakan bilangan 1. Jadi kalimat itu menya-takan bilangan tersusun menjadi 9251. Kalimat yang setiap katanya menyatakan sebuah bilangan seperti di atas, dalam kesusasteraan Jawa disebut Sengkalan. Setelah terjemahannya berujud angka, ma-ka pembacaannyapun harus dibalik. Jadi bila jajaran angka itu beru-pa 9251, maka akan terbaca menjadi 1529. Jajaran angka terbalik inilah yang akan dinyatakan sebagai angka tahun, yaitu tahun 1529, pada jaman kerajaan Mataram diperintah oleh Ramanda Sultan Adung, yaitu Sinuhun Seda Krapyak. Dengan demikian jelas bahwa Kitab Suluk Wujil ini sudah ada sejak jaman Mataram. Di bawah ini-lah petikan tiga bait tembang Suluk Wujil, berupa sekar Dhandhang Gula: dipun weruh ing urip sejati, lir kurungan raraga sadaya, becik den wruhi manuke, rusak yen sira tan wruh, 109hih ra wujil salakuneki, iku mangsa dadya, yen sira ‘yun weruh, becikana kang sarira, awismaa ing enggon punang asepi, sampun kacakrabawa. Terjemahan: hendaklah tahu akan hidup sejati, bagaikan sangkar badan ini, sebaiknya diketahui oleh sang burung, celaka bila tuan tak tahu, wahai sang wujil akan segala peri kelakuan tuan, tak akan bisa tercapai itu (oleh tuan), jika tuan ingin tahu, sucikanlah, tinggallah di tempat suci, yang tak diketahui orang. aja ‘doh dera ngulati kawi, kawi iku nyata ing sarira, punang rat wus aneng kene, kang minangka pandulu, tresna jati sarira neki, siyang dalu tan awas, pandulunireku, punapa rekeh prayitna, kang nyateng sarira sakabehe iki, saking sipat pakarya. Terjemahan: tidaklah tuan jauh-jauh mencari kawi, kawi itu sungguh berada pada diri prabadi, semesta alampun telah rekandung di dalamnya, yang akan menjadi alat untuk melihat, cinta sejati akan diri tuan, ngat-ingatlah siang dan malam, akan penglihatan tuan itu, apakah (di manakah) tempat itu, yang nampak pada tubuh secara menyeluruh, yang muncul sifat fa’al. mapan rusak kajtinireki, dadine lawan kaarsanira, kang tan rusak den wruh mangke, sampurnaning pandulu, 110 kang tan rusak anane iki, minangka tuduh ing Hyang, sing wruh ing Hyang iku, mangka sembah pujinira, mapan uwis kang wruha ujar puniki, dahat sepi nugraha. terjemahan: memang rusak keasliannya, akibatnya ada pada diri tuan, oleh karena itu yang tidak rusak hendaklah tahu, kesempurnaan pandangan, dan yang tidak rusak ini, akan menjadi petunjuk untuk menuju ke tempat Tuhan, yang tahu akan Tuhan, sembah pujinya akan diterima, memang jarang yang tahu akan sabda ini, dan sangat sepi dari anugerah. 3.2.3 Suluk Malang Semirang Suluk Malang Semirang ditulis oleh Sunan Panggung tatka-la masuk ke dalam tungku perapian (tumangan) yang dipakai untuk membakar orang yang dianggap salah oleh pemerintah Demak se-bab merusak syarak. Buku ini berisi tentang perilaku kehidupan yang sudah sampai pada kejatiannya. Suluk Malang Semirang terdiri dari tembang Dhandhang Gula. Di bawah ini cuplikannya sebanyak 3 bait: dosa gung alit tan den singgahi, ujar kufur kafir kang den ambah, wus luwung pasikepane, tan adulu-dinulu, tan angrasa tan angrasani, wus tan ana pinaran, pan jatine suwung, ing suwunge iku ana, iang anane iku surasa sejati, wus tan ana rinasan. pan dudu rasa karaseng lathi, dudu rasaning apa ‘pa, lawan dudu rasa kang ginawe, dudu rasaning guyu, dudu rasa kang angrasani, rasa dudu rarasan, kang rasa anengku, 111sakehing rasa kurasa, rasa jati tan karasa jiwa jisim, rasa mulya wisesa. kang wus tumeka ing rasa jati, sembahyange tan mawas nalika, lir banyu milih jatine, tan ana jatinipun, muni-muna turu atangi, saresiking sarira, pujine lumintu, rahina wengi tan pegat, puji iku rahina wengi sireki, akeh dadi brahala. Terjemahan: dosa besar kecil tak disingkiri, perkataan kufur kafir yang diturut, telah mabuk akan kelengkapannya, tiada pandang memandang, tiada merasa tak pula melepas rasa, tiada lagi yang (harus) dituju, memang sesungguhnya kejatiannya kekosongan, dalam kekosongan ada hadlir, dalam hadlir itu tersimpan makna sejati, tak ada yang harus dirasakan. Bukanlah rasa terasa di bibir, bukannya lagi rasa apa apa, bukan rasa sesuatu yang dibuat, bukan rasa tertawa, bukan rasa melepas rasa, rasa bukan untuk dirasakan, rasa yang meliputiku, semua rasa yang terasa, rasa jati tak terasa roh jisim, (yaitu) rasa mulia kuasa. Yang telah sampai pada rasa jati, sembahyang-nya tiada pandang waktu, pada hakekatnya laksana air mengalir, tiada jatinya, barang dikatakan tidur atau jaga, barang yang di angan, pujinya terus mengalir, Next >