< Previous 112 tak putus siang dan malam, pujiannya siang malam, banyak menjadi berhala. Demikian sastra suluk di bagian kedua yang tergolong su-luk ilmu gaib. Tentu bukan hanya seperti yang tertulis di atas. Itu ha-nya sebagai contoh diambil sebagai gambaran saja. Masih banyak suluk ilmu gaib yang semua itu merupakan ajaran-ajaran rohani bagi umat manusia, khususnya masyarakat Jawa. Seperti beberapa contoh di atas, bahwa suluk ilmu gaib bi-asa disebar dan diajarkan melalui tembang-tembang Jawa dengan sebagian besar berbentuk Tembang Macapat. Dari tembang-tem-bang Macapat ini oleh para dalang sering diambil menjadi sebuah wejangan dalam adegan-adegannya, meskipun tidak ditembangkan. Beberapa dalang mungkin hanya mengucapkan kalimatnya secara utuh, namun ada juga yang mengucapkan secara apa yang tersirat. Baik yang secara ditembangkan maupun diucapkan saja, yang jelas kesemuanya itu adalah Pitutur Luhur bagi penonton masyarakat agar berperilaku suci. 3.3 Sastra Lakon Setiap dalang wayang kulit ataupun wayang golek atau juga wayang yang lain tentu mahir menampilkan lakon/cerita untuk disaji-kan dalam karya pertunjukkannya. Bagi para dalang pecantrikan pun tentu telah mendapatkan banyak lakon dari sang guru pecantrikan-nya. Namun demikian, dalam perkembangan baik dalang senior ma-upun yuniornya masih juga membutuhkan penambahan untuk lebih banyak lagi mendapatkan perbendaharaan lakon/cerita demi kekaya-an lakon itu sendiri. Untuk itu sebagai sarananya, mereka tentu harus banyak membaca buku-buku atau tulisan yang memuat tentang lakon/cerita wayang, baik yang berbentuk tembang (puisi) ataupun prosa. Buku atau tulisan yang memuat dan mengungkapkan lakon/cerita wayang dan identitas tokoh dalam pewayangan itulah yang disebut Sastra Lakon. Sejak jaman Hindu sampai sekarang buku-buku sastra la-kon telah banyak diterbitkan dengan jumlah yang sangat besar dan berisi lakon/cerita yang hampir tak terbilang. Ada yang berbentuk prosa dan ada yang berupa tembang. Buku-buku atau tulisan, sastra lakon yang isinya berbentuk kalimat prosa, contoh: 3.3.1 Tantu Panggelaran Kitab ini tergolong tua, tetapi sudah menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Adapun isinya dengan berbahasa prosa, mengi-sahkan beberapa cerita, misalnya Batara Guru menciptakan sejodoh 113manusia di pulau Jawa yang kemudian berkembang biak. Mereka belum berpakaian dan belum dapat bertutur kata. Para dewa diperintahkan untuk turun ke tanah Jawa supaya memberikan pelajaran kepada manusia agar mampu berbicara, ber-pakaian, membuat rumah dan alat-alat rumah dan lain sebagainya. Juga diceritakan bahwa pulau Jawa masih terapung sehingga mu-dah bergerak-gerak dan sering seperti timbangan. Sebelah timur be-rat, bagian barat mencuat ke atas dan sebaliknya. Dewalah yang akhirnya menerima perintah untuk menyeimbangkannya. Mereka ter-bang ke tanah Hindu (India) untuk mengambil puncak gunung Seme-ru dibawa ke pulau Jawa. Dimulai dari sebelah barat tanah gunung tadi dijatuhkan. Tetapi Jawa sebelah timur menjadi mencuat ke atas. Kemudian dari sebelah timur bagian tanah yang dijatuhi muncullah gunung-gunung, berupa gunung Katong atau gunung Lawu, gunung Wilis, gunung Kampud (Kelud), gunung Kawi, gunung Arjuna, gu-nung Kemukus dan puncaknya paling akhir jadilah gunung Semeru. Dengan tertanamnya puncak yang memunculkan gunung semeru, maka pulau Jawa tidak lagi bergerak dan bahkan tidak akan bergerak-gerak lagi. Di situ juga diungkapkan tentang terjadinya ger-hana bulan yang menyadur cerita Mengaduk Samodera Manthana atau samudera susu dari kitab Adiparwa. Juga diceritakan tentang Batara Wisnu turun menjadi raja di Jawa bernama Prabu Kandiawan. Kemudian menurunkan putera-pu-teranya Sang Mangukuhan, sang Sandang Garba, sang Katung Ma-laras, sang Karung Kala dan Wreti Kandayun. Cerita prabu Kandi-awan diturunkan ke kitab-kitab babad. Hampir di setiap kitab babad yang menceritakan jaman tersebut menyebut nama Kandiawan dan putera-puteranya. Kitab Tantu Panggelaran terkait dengan kitab babad. Dan di dalam kitab tersebut terdapat nama-nama Medang Kamulyan, Me-dang Tantu, Medang Panataran dan Medang Gana. Dalam kitab Tantu Panggelaran juga memuat cerita yang bersifat Panggeli Hati dan lain-lainnya. 3.3.2 Tantri Kamandaka Kitab Tantri Kamandaka bersumber pada kitab Pancatan-tra. Tantri Kamandaka berisi cerita tentang dongeng hewan. Namun kitab ini mengawalinya dengan cerita mirip seribu satu malam. Ada seorang raja, setiap malam harus kawin dengan wanita yang masih gadis. Maka semua gadis di negeri itu hilanglah kepera-wanannya. Seorang gadis, anak puteri sang patih tinggal satu-satu-nya yang masih memiliki keperawanan. Ia bernama Dyah Tantri. Cantik rupanya, molek parasnya. Ia tidak luput dari keinginan nafsu sang prabu. Akhirnya Dyah Tantri tidak bisa apa-apa kecuali iya dan iya. Tetapi atas kecerdikannya, Dyah Tantri minta didongengkan se-buah cerita. Karena sang prabu sangat sayang kepadanya, maka 114 mendongenglah sang prabu. Begitu dongeng tamat sang prabu me-nagih janji, Sang Dyah Tantri tidak menolak. Hanya dengan kelem-butan budi dan bicara sopan, dia merayu mohon agar didongengkan sekali lagi. Mendongenglah sang prabu, dan tamatlah. Tagihan dira-yu minta didongengi dan terus sampai sang prabu sendiri nafsu ka-winnya menjadi berkurang banyak, bukan setiap malam. Maka te-nanglah negeri itu. Dalam kitab ini juga diceritakan tentang prabu Anglingdar-ma yang mengerti akan bahasa dialog hewan. Pada suatu hari, keti-ka sang prabu Anglingdarma sedang berburu di hutan, dilihatnyalah dua ekor ular sedang berlilitan dan bercumbu rayu. Setelah diamati dengan seksama, ternyata si ular betinanya adalah putera sahabat-nya Brahmana Naga raja. Dalam hati sang prabu mengatakan bah-wa perilaku si Nagini itu tidak pantas sebagai anak brahmana. Maka sebagai raja yang juga mempunyai kewajiban menjunjung tinggi go-longan brahmana, ular jantan itu dibunuh. Nagini dipukul sehingga lari terbirit-birit sambil menangis keras hingga mengagetkan para cantrik ular. Setelah tiba dan meng-hadap sang rama brahmana Nagaraja lalu melaporkan tindakan sang prabu Anglingdarma yang berani mau mengumpulinya. Karena tidak mau lalu diperkosa dan dipukuli. Tanpa pikir panjang, sang brahmana Nagaraja langsung menuju ke kerajaan menemui sang prabu Aridarma. Sampai di kerajaan brahmana Nagaraja berubah menjadi ular kecil langsung ke kamar peraduan, yang kebetulan sang prabu sedang beradu. Sebelum tidur sang prabu menceritakan perbuatan buruk si Nagini putera sahabatnya itu kepada permaisuri Dewi Mayawati. Mendengar pembicaraan itu ular kecil itu keluar dari bawah peraduan dengan berujud brahmana, sambil mengucapkan rasa terima kasihnya atas peringatan yang diberikan kepada si Na-gini puterinya. Sang brahmana Nagaraja kemudian berkata kepada prabu Aridarma: “Sang prabu, karena anda telah berjasa kepada brahmana, maka perintahlah apa yang kau kehendaki!” Kemudian sang prabu menjawab ingin bisa dan mengetahui bahasa ucap dari semua hewan. Apa yang telah diinginkan prabu Aridarma dikabul-kan, dan mengertilah sang prabu Aridarma terhadap semua bahasa binatang. Pada suatu saat, berdualah sang prabu di peraduan. Sang Aridarma mendengar suara seekor cecak sedang berkata dalam ke-luhannya: “Aduh setia sekali sang prabu Aridarma ini dengan Maya-wati permaisurinya. Sedangkan aku ini punya suami tidak pernah menyayangiku, tidak pernah memegangku seperti sang prabu me-ngasihi sang permaisuri Dewi Mayawati.” Mendengar kata-kata keluhan dan sanjungan untuknya, sang prabu tertawa. Meskipun tawa itu hanya tawa kecil, namun itu sangat mengagetkan sang permaisuri. Maka hal itu ditanyakan dan hati Dewi Mayawati heran dan cemburu. Berhubung sang prabu Ari- 115darma tidak menjawab (ilmu itu tidak boleh saiapapun mengerti) ka-lau menjawab pasti mati. Besar keinginan sang dewi tetapi tidak dija-wab, maka memilih mati dibakar. Semua punggawa diperintahkan untuk membuat tungku perapian. Konon setelah jadi tungku perapian itu dan api mulai menyala, naiklah sang prabu bersama permaisuri. Sebelumnya, sang prabu telah bersedekah kepada fakir miskin dan para biksu. Dengan rukun serta penuh mesra sambil bergandeng ta-ngan terus naik ke tungku perapian. Begitu sampai di puncaknya sang prabu mendengar suara kambing betina bernama Wiwita dan jantannya bernama Banggali. Pada saat itu Wiwita minta diambilkan janur kuning. Tetapi Banggali tidak mau dan Wiwita merasa tidak di-cintai, kemudian ingin mati. “Kalau ingin mati, matilah”, begitu Bang-gali. Demikian sang prabu perasaannya menjadi lebih rendah dari Banggali. Maka turunlah sang prabu dari perapian, tidak jadi masuk ke dalam perapian. Mayawati dan Wiwita akhirnya masuk tungku pe-rapian. 3.3.3 Kunjarakarna Kitab ini berisi seorang raksasa bernama Kunjarakarna yang ingin menghapus dosanya agar menjadi manusia. Ia kemudian menghadap kepada Batara Wairocana (dalam Pedalangan Maharsi Budha Wirocana) yang menjabat sebagai pimpinan Dyani Budha. Sang Kunjarakarna kemudian diperintah oleh sang Wairo-cana pergi ke neraka supaya mengetahui situasi kondisi neraka. Be-rangkatlah ia ke kahyangan sang Batara Yama. Sampai di kahyang-an Yomani dan sesudah bertemu dengan sang Yama, kemudian di-perlihatkanlah akan segala macam hukuman dan jiwa yang disiksa. Demi melihat sebuah kawah yang dibersihkan, sang Yama memberi tahu bahwa kawah itu dibersihkan untuk menghukum sang Purnawijaya putera Batara Indra yang sangat besar dosanya. Kelu-arlah Kunjarakarna dari neraka itu dan langsung menemui kawannya sang Purnawijaya. Kunjarakarna kembali menghadap sang Wairoca-na dan kemudian diwejang. Dengan taat Kunjarakarna menjalankan wejangan-wejangan itu, maka sang Kunjarakarna menjadi manusia berwajah bagus. Sang Purnawijaya juga minta wejangan kepada sang Wairocana. Maka ketika ia meninggal yang mestinya dihukum 100 tahun, hanya menjadi 10 hari dan nyawanya boleh dikembalikan ke tubuhnya. Kitab Kunjarakarna isinya sebagai pelajaran untuk orang-orang Budha golongan elit (Mahayana). Dan kitab ini juga promosi agar mereka senantiasa melakukan hal-hal yang baik, sesuai de-ngan ajaran sang Budha Gautama. Sudah barang tentu hal ini juga merupakan ajaran kepada para birokrat lainnya, agar selalu berpe-gang teguh sebagai umatnya Sang Hyang Maha Budha. Sedangkan 116 penganut Budha yang terdiri dari kaum bawah, orang-orang miskin digolongkan sebagai umat Budha Hinayana. 3.3.4 Kitab Utara Kandha Kitab ini termasuk kitab Kandha yang paling baru. Memang dipetik dari cerita Ramayana Walmiki bagian akhir dari Kakawin yang berbahasa Jawa Kuna. Kitab Utara Kandha yang baru, ditulis de-ngan menggunakan gubahan baru, berbahasa prosa. Isinya berma-cam-macam gubahan. Rincian ceritanya banyak sekali, misalnya ter-jadinya raksasa-raseksi, yaitu cerita tentang nenek moyang Dasamu-ka. Juga tentang lahirnya Dasamuka dan sikap dan sifat Dasamuka yang kejam dan tidak hormat kepada para dewa dan pendeta. Bah-kan cerita Arjunasasrabahu-pun dimuat juga. Dalam kakawin Rama-yana tidak memuat gubahan ini. Kitab Utara Kandha gubahan baru ini isi pokoknya adalah menceritakan Dewi Sinta ketika sudah pulang ke Ayodya. Dikisahkan bahwa masyarakat masih mencemburukan ke-pada Sinta tentang kesuciannya selama berada dalam belenggu Da-samuka. Mendengar berita kecemburuan masyarakat, segeralah Ra-ma menyuruh Sinta pergi dari Ayodya dalam kondisi sedang hamil. Dalam perjalanannya sampai di sebuah pertapaan yang dihuni oleh seorang Empu bernama Walmiki. Kemudian Sinta tinggal di pertapa-an tersebut hingga melahirkan bayi kembar laki-laki diberi nama Ku-sa dan Lawa. Dua orang anak Kusa dan Lawa inilah yang kemudian didi-dik Empu Walmiki sehingga pandai mampu membaca lontar, pandai bercerita. Bahkan bisa menceritakan kehidupan sang ayah yaitu Sri Rama hingga muncul buku Ramayana. Ketika Sinta akan kembali ke Ayodya memenuhi panggilan Sri Rama, tiba-tiba setelah beberapa langkah, buminya retak sangat lebar dan Sinta terjerumus ke dalam-nya dan meninggal. Sri Rama tidak lama kemudian harus pulang ke kahyangan sebagai Wisnu. 3.3.5 Korawaçrama Dalam kitab ini menyebutkan sang Hyang Taya yang ditem-patkan di atas Sang Hyang Parameçwara (Batara Çiwa atau Batara Guru). Dalam bahasa Jawa kata Taya berarti kosong atau tidak keli-hatan, tidak bisa diraba, bersifat gaib. Sang Hyang Taya adalah na-ma untuk menyebut Tuhan orang Jawa-asli. Percaya kepada Sang Hyang Taya disebut Kapitayan. Di Jawa Sang Hyang Taya sama de-ngan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang, itulah Tuhan orang Jawa asli dan masih ada nama lain. Isi Kitab Korawaçrama juga beraneka ragam. Tetapi pokok isinya adalah para Korawa akan dilakonkan membalas dendam ke-pada Pandawa. 117Bagawan Abiyasa diminta untuk menghidupkan kembali pa-ra Korawa dan para sekutunya. Mereka-pun hidup atas kehendak Sang Begawan. Kemudian mereka merencanakan untuk mengada-kan pembalasan terhadap saudara-saudaranya yaitu Pandawa. Su-dah barang tentu dengan wataknya yang sombong itu mereka akan membuat sakit dan siksa serta susah bagi orang-orang Pandawa, bi-arlah hidupnya tidak tenteram. Tetapi apa mau dikata, belum lagi sampai kepada pembalasan, habislah cerita itu. 3.3.6 Kitab Bharatayuda (saduran baru) Kitab ini jelas menyadur dari Kitab Bharatayuda yang lama. Disadur oleh Kiai Yasadipura jaman kerajaan Surakarta Islam. Tentu saja banyak hal yang disanggit untuk disesuaikan dengan pemikiran dan penalaran yang diperbarui oleh pengarangnya, dan yang pasti unsur ke-Islam-an tentu mendasarinya. Namanya saja menyadur, tentu ada hal-hal yang berbeda atau bahkan dibedakan sebab kondisi maupun situasi alaminya su-dah mengalami pergeseran. Namun demikian banyak para ahli sas-tra yang mencela atau menyalahkan. Ki Yasadipura pun dalam pe-nyaduran Bhratayudanya dianggap hanya meraba-raba tidak me-ngerti Bharatayuda aslinya secara mendalam. Kritikan Purbocaroko yang dianggap meraba-raba itu misalnya begini : Di dalam Kitab Ka-wi bagian 10 bait yang ke-6 berbunyi, “Kunang tawuri sang nrepang Kuru ya kari lud brahmana, rikan sira sinapa sang dwija sagotra ma-tya laga”. Artinya, “Adapun tawur (tumbal atau korban) sang Duryu-dana adalah seorang brahmana (dengan cara dibunuh), menyusul-lah (tawur Pandawa), oleh sebab itu dikutuknyalah sang Duryudana oleh sang Brahmana itu, bahwa ia akan mati dalam peperangan ber-sama wangsanya. Ada lagi yang dianggap meraba-raba atau kurang pas, ba-gian ke-12 bait ke- 5 yang kalimatnya berbunyi: “…prabu ing Ngas-tina, tawurira pandita Sagotra nak putuneki apan kinarya tawur Ngastina neggih. “ Terjemahan: ….” Prabu di Hastina, tawur atau korbannya pandita, Sagotra beserta anak cucunya memang sung-guh-sungguh dibuat tawur ( korban ) oleh Hastina.” Adapun yang di-anggap salah faham yang berhubungan dengan Sagotra itu memang sudah lama. Di dalam lakon Bale Si Gala-gala, Sagotra adalah seorang satriya gunung (bang-bangan) yang baru saja kawin, tetapi istrinya ti-dak mencintainya. Berkat petunjuk Raden Arjuna, maka kedua-dua-nya mau saling menyeimbangkan cintanya. Jadilah hubungan suami istri itu sangat harmonis. Maka bersumpahlah Sagotra “Kelak jika pe-rang Baratayuda terjadi, sanggup menjadi tawur (korban) untuk para Pandawa.” Demikan pula tentang matinya raden Jayad-ratha karena kepalanya terhempas oleh panah yang diceritakan dalam kitab Kawi 118 bagian ke-16 bait ke-7 yang demikian “teka mara ye kisapwani bapa-nya atemah sirah juga.” Artinya “datanglah di pangkuan ayahnya yang terperanjat karena ternyata hanya kepala saja. Kata ye kisap-wani bapanya dipisahkan menjadi yeki sapwani bapanya. Dalam ki-tab Jarwa, sapwani lalu menjadi nama ayah raden Jayad-ratha, Ba-gawan Sapwani, yang dalam pewayangan menjadi Sempani. Dalam kitab Kawi bagian ke-18 bait ke-2 berbunyi : “kuneng apan eweh anggra batane gati karya temen. Si tutu tatanpa nangga-ha mene kigegong sakareng”, artinya “memang sungguh berat (e-wed) orang akan menyelesaikan perkerjaan yang penting tetapi si patuh tak memikirkan barang sesuatu, itulah yang saya jadikan pe-gangan sekarang ini.” Di sini kata Si tutu tatanpa diterjemahkan berbunyi si patuh tak memikirkan barang sesuatu-pun anut miturut boten mawi …. “ Si tutu ta menjadi Si tutu ka, lalu menjadi Si Tutuka atau Si Gathutka-ca. Memang “ta” dalam bahasa Kawi sering tertukar menjadi “ka”. Tutuka ada yang mengucap Tutruka. Itu semua terjadi sewaktu Ga-thotkaca minta diri untuk berhadapan dengan Adipat Karna. Ada lagi ketika prabu Salya meninggal dalam pertempuran. Dewi Satyawati menerima laporan “wonten bhretya kaparcaya ‘tuha ya ta ‘jar i sira” (kita Kawi bagian 44 bait 1). Artinya ada prajurit yang dipercaya, dialah yang berdatang sembah kepadanya. Kata Tuha ya ta (tua ia itu) dijadikan nama patih negeri Mandraka bernama Tuha-yata. Dan yang lebih hebat lagi dalam bentuk wayangnya patih Tu-hayata ini menjadi terbakukan berwujud patihan bermuka hijau/biru. Bermata kedondongan, hidung dempak, berjamang dengan rambut terurai bentuk oren-gimbal, mengenakan sumping kembang kluwih, kalung ulur-ulur bermacam selendang, berkeris yang nampak ujud-nya, menandakan ia bukan satriya. Mengenakan gelang berpontoh dan berkeroncong, berkain rapekan tentara, bercelana selendang (cindhe) (Harjowirogo, Sejarah Wayang Purwa,1982 : 241 ) Juga anak Raden Setyaki yang berjumlah 9 orang itu tidak disebut nama-namanya, hanya disebut Sang Asanga artinya mereka yang 9 orang itu. Akhirnya sampai sekarang disebut Raden Sanga-sanga. Masih banyak gubahan-gubahan yang baru dalam Bharata-yuda Yasadipura. Nampaknya Bharatayuda ini sangat disenangi banyak orang. Terbukti buku ini sering dicetak tidak di satu tempat. Sedangkan isi ceritanya tetap Korawa dan Pandawa berebut Negara Hastina. 3.3.7 Sena Gelung Sena Gelung sebuah cerita wayang Jawatimuran petikan dari lakon Ramayekti versi Jawatimuran. Lakon Sena Gelung belum pernah terbukukan. Judul Sena Gelung-pun hampir-hampir belum banyak yang mengetahui. Hanya beberapa dalang saja yang pernah 119menampilkan. Mereka tahu dan mengerti apa maksud dan tujuan la-kon itu ditampilkan. Atas persetujuan ki Dalang Suleman, seorang dalang seni-or dari Gempol, Pasuruan, Jawa Timur dan didukung oleh para da-lang yang lain, lakon Sena Gelung ini disusun dalam pakeliran sing-kat oleh Djumiran RA. Lakon ini dipentaskan pertama kali oleh ki Da-lang Suleman dengan waktu 3 jam, tahun 1995 di kota Malang. Lakon ini terjadi setelah Bratasena selesai membabat hutan Samartalaya. Sementara belum mampu membuat besar, maka me-reka para Pandawa hanya membuat rumah seadanya, dengan diberi nama Pondhok Waluh (rumah janda). Di luar Pondhok Waluh agak jauh, Bratasena yang juga bernama Pujasena (Wijasena) sedang duduk di atas batu sambil me-lamun dengan banyak pertanyaan. Aku ini bernama Sena, padahal Sena berarti prajurit. Prajurit kan harus sakti. Benarkah aku ini sakti. “Hm… kalau begini, aku jadi ingat pesan Abiyasa kakekku”. “Keta-huilah cucuku Sena, kamu besok akan menjadi orang kuat, kamu su-ka menolong, kamu akan menjadi sentosa dan kuat. Bersihkan diri-mu, sisirlah rambutmu yang gimbal itu dengan Jongkat – Penatas, carilah !”. “Dimana aku harus mencari Jongkat Penatas? Siapa pu-nya Jongkat itu? Siapa yang menyisir ? Demikian lamunan Sena tak kunjung henti. Semakin lama semakin dia berpikir. Memikirkan ibunya yang adalah seorang Walu (janda), adik dan kakanya dalam percarian makan sehari-hari masih harus bergantung kepada kekuatan pribadinya… “bagaimana ini”? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk dalam pikirannnya me-lalui lamunan. Melamun, melamun terus melamun. Dia sang Wijasena semakin lupa akan tempat dimana dia berada. Siapapun yang lewat tidak akan tahu. Tetapi dengan tiba-ti-ba ia tergerak keras sampai tergeser duduknya. Ada apa gerangan ? Wijasena membelalakkan mata karena bahunya disentuh orang, langsung berdiri secara reflek tangan kanannya bergerak Nempe-leng orang yang menyentuh tadi. Sudah barang tentu yang ditempeleng itu jatuh terjungkal jauh karena kerasnya tempelengan Wijasena. Tetapi orang itu terus ditolong sama Wijasena, sebab ia tahu bahwa yang ditempeleng ke-ras sampai terjungkal itu Raden Patih Harya Suman. Sesudah agak reda maka bertanya BrataSena (Wija-Sena) kepada Sengkuni. “Pa-man Harya Sengkuni, ada apa sebenarnya bahwa patih meNemuiku dengan sikap yang mengagetkan aku?” Patih Harya Sengkuni/Su-man dengan pura-pura bilang bahwa ada raksasa setan ngamuk mencari Bratasena. Merasa pernah membabad hutan Samartalaya dan serta merta membunuh setan, maka meloncatlah Wijasena lari mencari raksasa setan yang akan membalas dendam. Hati Sengkuni girang sukacita sambil meloncat-loncat bertepuk tangan. 120 Bratasena selalu ingat pesan Resi Wiyasa kakeknya, supa-ya hati-hati dalam bertindak. Jangan tergesa-gesa dan terburu nafsu dalam setiap mengambil keputusan. Terpaksa berhenti Wijasena sambil menanti patih Sengkuni. Wijasena bertanya: “Betulkah paman yang mencari aku itu raksasa setan?” patih menjawab dengan pura-pura “betul nak betul, mari nak keburu prajurit Astina banyak yang mati.” Seketika itu Wijasena meloncat dengan tiga loncatan, ter-nyata sebelum mendekat “benar-benar ada raksasa setan menga-muk.” Wijasena berdiri menyelinap sambil mengintip siapa sebenar-nya raksasa yang disebut oleh Sengkuni “Buta (raksasa) – Setan” itu? Dari tempat mengintip, Wijasena sudah bisa memastikan bahwa itu bukan raksasa-setan tetapi memang raksasa. Wijasena juga mendengar raksasa itu mengatakan, namanya “Wreka” mencari ka-kaknya bernama Wangsatanu yang berada di negeri Astina. “siapa Wangsatanu?” pikir Wijasena. Dengan melihat perang kerubutan orang Astina terhadap Wreka seorang, Wijasena meloncat mendekat Wreka dipukuli, ditendang, dikenai pisau gobang, tusukan keris, tlo-rongan tombak di tubuhnya tidak dirasakan, bahkan tidak mempan. Bagi Wijasena, ini adalah penghinaan. Setelah dekat dengan raksasa itu, semua prajurit Astina di-suruh menyingkir. Sekarang tinggal Wijasena dengan Wreka. Demi-kian Wreka merasa menemukan apa yang dicari. Maka ditubruknya-lah Wijasena. “Lha… inilah yang kucari, he… kakang Wangsatanu, aku adikmu Wreka sangat merindukanmu, hayo kakang terimalah sembahku kakang.” Mendengar ajakan Wreka seperti itu, Wijasena menjadi marah …, dan semakin marah…, bahkan menjadi marah besar. Akibatnya dengan kekuatan yang sebesar kekuatan Wreka di-ringkus dan diinjak sampai tidak mampu bergerak, maka katanya si Wreka “jelas, jelas sekali kamu kakangku Wangsatanu, aku tidak akan menang denganmu kakang, jika tidak menerima sembahku, maka bunuh saja aku, asal yang membunuh kamu kakang Wangsa-tanu ya kakang Wijasena. Aku lega karena yang kucari sudah kute-mukan.” Tidak berapa lama, datanglah wanara seta (kethek putih), si kera putih melerai keduanya. Wreka diajak mundur berada di bela-kang Wanara Seta (Anoman) yang berdiri berhadapan dengan Wija-sena. Wanara Seta (kera putih) menjelaskan bahwa Wreka itu can-triknya sendiri di pertapaan Kendalisada. “Yang menempati Kendali-sada itu aku sendiri. Nama saya Bhagawan Kapiwara, juga bernama Raden Anoman.” Wijasena merasa heran, kera kok pendheta, kera kok Ra-den (raden dari mana). Namun demikian Bratasena mengangguk tanda setuju. Kemudian Bratasena bertanya, ”ada maksud apa Wre-ka mencari Wijasena/Bratasena?” Anoman menjelaskan bahwa Wre-ka baru saja bermimpi akan mendapat ketenteraman jika sudah ber- 121temu kakaknya yang bernama Wangsatanu yang berada pada priba-di satriya Astina. Kecuali itu Anoman juga menjelaskan bahwa syarat ketenteraman itu bisa diraih Wreka yang harus juga menyisir rambut gimbal milik seorang pemuda yang belum diketahui namanya. Syarat yang lain ialah nama Wreka harus dipakai oleh pemuda yang disisir itu. Wijasena rupanya tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Ano-man. Kemudian menanyakan siapa diri Anoman itu dan kenapa bu-sana yang dipakai Anoman sama dengan busana yang dipakainya. Padahal busana yang dikenakan Wijasena pemberian Sang Batara Bayu. Begitu mendengar pertanyaan Wijasena, Anoman sang wa-nara seta (Anjila) teringat akan pesan sang guru nadi (Batara Va-yu/Bayu) bahwa kalau ketemu pemuda yang berbusana sama itulah saudaramu Satu Puruhita bernama Bratasena/Wijasena (Bungkus). Sesudah semuanya jelas maka Wreka yang sudah lama membawa pusaka Jungkat Penatas segera menyisir rambut gimbalnya Wijase-na. Terurailah rambut gimbal Bratasena. Puaslah Wreka karena sembahnya diterima. Oleh Anoman rambut yang sudah terurai bersih kemilau kehijau-hijauan itu digelung. Karena digelung brodhol-bro-dhol (terurai) terus, sehingga harus disangga dengan sumping Pu-dhak Sinumpet. Maka selesailah Gelung Wijasena, dan diistilahkan Gelung melengkung pindha lung gadhung (gelung melengkung se-perti ranting pohon gadung). Ketiganya saling merangkul dan nama Wreka terus dipakai oleh Bratasena menjadi Wrekodara (Wreka arti-nya anjing ajag, udara artinya perut). Upacara Sena Gelung diberi nama Pujasena Cawis Prawira. 3.3.8 Sastra Berbentuk Kakawin Buku/tulisan sastra lakon/cerita yang berbentuk tembang Kawi atau Kakawin, di antaranya ialah: 3.3.8.1 Kresnayana, karangan Empu Triguna. Isinya meriwayatkan Kresna yang sebagai anak nakal seka-li, tetapi dikasihi orang karena suka menolong dan mempunyai ke-saktian yang luar biasa. Setelah dewasa ia menikah dengan Rukmini dengan jalan menculiknya. 3.3.8.2 Gathotkacaçraya, karangan Empu Panuluh Isinya menceritakan peristiwa perkawinan Abimanyu de-ngan Siti Sundhari, yang hanya dapat dilangsungkan dengan bantu-an sang Gathotkaca. Dalam kitab ini untuk yang pertama kali muncul tokoh-tokoh punakawan, seperti Jurudyah, Prasanta dan Punta se-bagai pengiring Raden Abimanyu. Next >