< Previous 171Silsilah Raja-raja Mandura Prabu Nahusta Prabu Yayati Prabu Yadawa Prabu Basuketi Prabu Basukunti Prabu Kuntiboja Basudewa Dewi Kunti Arya Prabu Ugrasena Pandhudewanata Dewi Badraini Dewi Rohini Dewi Maerah Gorawangsa Kakrasana Kangsadewa Narayana Rukmini Sumbadra Arjuna Dewi Setiboma Abimanyu Jembawati Dewi Pertiwi Setiyaka Samba Suteja (Boma) Siti Sendari (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 61, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983). 172 4.2.9 Silsilah Para Dewa Seperti halnya dengan dewa-dewa Yunani kuno, maka para dewa yang ada dalam pewayanganpun merupakan insan Tuhan yang serupa dengan manusia. Perbedaannya hanya kedudukan dan harkatnya baik secara lahiriah maupun sebagai rohaniah lebih tinggi daripada manusia. Tempat kelahiran dewa dan kelahiran cerita Ramayana dan Mahabharata adalah di India. Sedangka di Indonesia kedua cerita tersebut bersumberkan kepada para Sang Hyang yang pernah dipu-ja dan disembah masyarakat Jawa pada zaman Mithos Kuna. Pada masa pemerintahan Kediri di Jawa Timur, antara ta-hun 900 hingga tahun 1045, tokoh Sang Hyang tersebut diabadikan lagi dalam cerita pewayangan, bahkan tercantum pula dalam kitab kesusasteraan pedalangan, sedangkan harkat derajatnya berada di atas para Batara dari India. Mungkin akan berlainan pandangan bagi dewa-dewa India dan para Batara di Indonesia, karena dengan sebutan dewa bagi Ba-tara Guru dan Batara-Batara lainnya, kiranya kurang tepat. Oleh se-bab itu bagi dunia pewayangan kita, akan lebih tepat kiranya, bila se-butan bagi para dewa itu disebut Batara, misalnya Batara Guru, Ba-tara Brama, dan lain sebagainya. Sesuai dengan Kitab Pustaka Raja Purwa yang di susun oleh R.Ng. Ronggowarsito, maka para dewa dari India berada di ba-wah para Sang Hyang, baik dalam susunan kekeluargaan maupun dalam kedudukannya. Hal tersebut mungkin karena adanya perge-seran dan perubahan zaman, di mana perubahan kepercayaan se-ring terjadi, umpamanya dari Mithos Kuna ke Mithos Hindu, dari Mi-thos Hindu ke Mithos Islam. Gambar 3.25 Batara Narada 173Di samping perubahan kebudayan akibat perubahan keper-cayaan tersebut, mempengaruhi pula akan kehidupan sosial masya-rakat Jawa dan mempengaruhi pula akan ketatanegaraan. Namun yang tetap utuh dalam perubahan zaman tersebut adalah penga-gungan masyarakat terhadap rajanya yang berkepercayaan bahwa raja-raja yang memerintah tanah Jawa adalah keturunan para Pan-dawa, artinya bahwa para raja di tanah Jawa adalah keturunan para Sang Hyang. Munculnya seorang tokoh Sang Hyang yang kita kenal se-karang dengan nama Semar, yang tersurat dalam beberapa kitab yang diterbitkan pada zaman kebudayaan Jawa-Hindu. Kitab terse-but seperti kitab Sudamala, kitab Gathotkacasraya dan cerita-cerita Panji. Kitab-kitab tersebut merupakan pembuka jalan bagi pengena-lan kembali tokoh-tokoh Sang Hyang, di antaranya Semar yang da-lam cerita Pewayangan sebelumnya dikenal sebagai jodek Santa, Smarasanta. Kemudian nama-nama Jodek Santa, Smarasanta di-abadikan dalam cerita Ramayana dan Mahabharata dan dipuja ma-syarakat sebagai leluhurnya, karena tingkah laku Semar melam-bangkan kemasyarakatan yang abadi. Tokoh yang memegang peranan utama dan hampir pada setiap lakon ditampilkan ialah tokoh Semar yang juga disebut Sang Hyang Ismaya. Keistimewaan Semar ini adalah dalam bentuk badan-nya dan silsilahnya yang sampai kini masih menjadi teka-teki bagi rakyat Indonesia, siapakah sebenarnya Semar itu. Karena sifatnya yang samar-samar itulah, maka bentuk Semar dibedakan dengan wayang lainnya. Kita ketahui bahwa Semar putra Sang Hyang Tung-gal, saudara tua Sang Manikmaya atau Batara Guru. Adapun tugas Semar dalam dunia (mercapada) ini, ialah mengayomi dan mengiringi para satriya yang jujur, adil-paramarta. Di Mahabharata, Semar digambarkan oleh para Pandawa dalam menu-naikan tugas hidupnya. Gambar 3.26 Semar 174 Silsilah Para Dewa Sanghyang Wenang Dewi Sahoti Hyang Tunggal Hyang Wening Batara Anantadewa Dewi Sati Hyang Punggung Hyang Ismaya Hyang Manikmaya Dewi Uma Dewi Kanastren Dewi Superti Anantara Batara Ramaprawa Resi Ramayadi Resi Harmaya Resi Anggajali (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 66, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983). 1. Batara Sambu 2. Batara Brahma 3. Batara Indra 4. Batara Bayu 5. Batara Wisnu 6. Batara Kala 7. Batara Cakra 8. Batara Mahadewa 9. Batara Asmara 1. Batara BasuKita 2. Btr. Anantadewa 3. Btr. Nagatatmala 4. Batara Basundara 5. Batara Basuwati 6. Btr. Rukmawati 7. Dewi Nagagini 8. Batara Nagapasa 1. Batara Wungkuan 2. Batara Siwah 3. Batara Wrahaspati 4. Batara Yamadipati 5. Batara Surya 6. Batara Candra 7. Batara Kuwera 8. Batara Temburu 9. Batara Kamajaya 10. Batara Darmastuti 1754.2.10 Silsilah Resaseputra Wisrawa Dewi Sukesi (Putra ke dua): Kumbakarna Dewi Kiswani Aswanikumba Kumbaaswani Kumbakinumba Wangsatanu Wangsajalma Kalakirna Sumaliwati Werka Pujawati Narasuma (Styawati) Erawati Surtikanti Banuwati (Sumber: Buku Layang Kandha Kelir versi Jawa Timuran) 176 BAB V SUMBER CERITA 5.1 Sumber Cerita Seperti telah kita ketahui bersama bahwa setiap ada penye-lenggaraan seni pertunjukan wayang kulit purwa Jawa, dapat dipasti-kan si dalang akan menceritakan lakon tentang Rama, Sinta, Rah-wana atau Pandawa dan Kurawa. Hal ini menyatakan bahwa sumber cerita wayang kulit purwa Jawa adalah mengambil dari epos Rama-yana dan Mahabharata. Kedua epos ini berupa buku yang dibawa oleh orang-orang Hindu masuk ke bumi Indonesia sekitar abad ke-5. Sampai sekarang cerita Ramayana dan Mahabharata ini sangat populer di hati masyarakat Indonesia, terlebih di hati para da-lang. Cerita Ramayana dan Mahabharata ini benar-benar dihayati sampai detail. Karena buku ini dibawa orang Hindu aliran Siwa, maka to-koh pewayangan Batara Siwa atau Batara Guru diabadikan oleh pa-ra dalang Jawatimuran dengan cara diletakkannya tokoh tersebut di atas simpingan di sebelah kanan dalang. Demikian juga pada sim-pingan kiri dalang, di atasnya diletakkan tokoh Batari Candika atau Dewi Maut yaitu Durga yang merupakan saktinya Batara Siwa. Da-lam falsafah Jawa, saktinya sama dengan istinya. Perlu dijelaskan keterkaitan pengabdian kedua tokoh yaitu Siwa dan Durga dalam pewayangan Jawatimuran masih tersambung dengan pernyataan adanya tokoh Semar dan Bagong yang sebelum pertunjukan dimulai telah ditancapkan di tengah-tengah layar wa-yang kulit (jagadan). Hal ini mengandung pengertian bahwa pada ha-kekatnya keempat tokoh yaitu Siwa, Durga, Semar, dan Bagong adalah satu, yaitu sebagai manifestasi Sang Hyang Maha Tunggal dalam mengelola karya AgungNya. Siwa dan Durga sebenarnya adalah satu artinya suami isteri adalah dua yang menjadi satu. Se-mar dalam menjalankan karyanya menginginkan pasangan sehingga ia mencari teman. Kemudian mencipta bayangannya sendiri dan muncullah Semar bayangan yang dinamakan Bagong. Jadi Semar dan Bagong sebenarnya adalah satu. Semar sama saja dengan Ba-gong, Bagong tidak berbeda dengan Semar. Tokoh Semar sering juga disebut Batara Ismaya adalah saudara tua Batara Siwa yang juga bernama Batara Manikmaya dari Buah Karya Sang Bapa Sang Hyang Maha Tunggal (Jawatimuran: Sang Hyang Wenang). Buah karya Sang Hyang Maha Tunggal selu-ruhnya ada tiga, yaitu Sang Hyang Punggung yang disebut Togog, Sang Puguh atau Sang Hyang Ismaya yang disebut Semar dan 177Sang Hyang Siwa atau Sang Hyang Manikmaya yang disebut Batara Guru. Dalam pemberian hak kewenangan, Sang Hyang Maha Tung-gal bersabda kepada ketiga puteranya ”Heh sira puteraku sakatelune pisan, sejatine sira iku ingsun, ingsun iku sira.” Apa yang disabdakan sebenarnya merupakan pernyataan bahwa mereka adalah satu, Sang Hyang Tunggal tidak berbeda de-ngan mereka. Jika demikian Semar sama dengan Batara Siwa. Jika Batara Guru tidak berbeda dengan Semar, maka dapat disimpulkan bahwa Siwa, Durga, Semar, dan Bagong pun adalah tokoh yang sa-tu yang tidak berbeda dengan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang yang menciptakan dunia seisinya. Sekarang kita tengok kembali tokoh Semar dan Bagong yang ditancapkan pada jagadan bagian tengah, yang kedua muka-nya ditutup dengan gunungan (kayon) dan masing-masing merang-kul kayon. Hal ini melambangkan bahwa Sang Hyang Maha Tunggal (Maha Wenang/Kuasa) masih diam, belum bekerja. Sang Maha Ku-asa (Tuhan) belum melakonkan kehidupan. Dunia masih sepi, sunyi belum ada hidup, belum terang, masih gelap, belum ada gerak. Setelah sang dalang menduduki tempatnya, ia akan men-ceritakan lakon melalui medium wayang. Ini sebuah lambang bahwa Sang Hyang Maha Kuasa (Tuhan) mulai menceritakan hidup dan ke-hidupan manusia di dunia fana ini. Pendapat ini agak berbeda sedikit dengan pendapat Ki da-lang Suleman, seorang dalang senior dari desa Karang Bangkal, Gempol, Pasuruan, Jawa Timur. Beliau berpendapat bahwa gambar Semar dan Bagong sebagai Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Kuasa yang diam tetapi mengintip (nginjen) dunia yang akan dihi-dupkan. Kemudian gambar Batara Siwa dan Batari Durga, Ki Sule-man menafsir bahwa kedua-duanya adalah yang satu dan yang menciptakan alam raya sedang meneliti dan melihat kondisi ciptaan-Nya. Bandingkan dengan kitab Purwaning Dumadi dalam Kitab Suci (alkitab) umat Kristen, “Ing dina kang kapitu bareng Gusti Allah wus mungkasi pakaryane anggone yeyasa, ing dina kang kapitu banjur kendel anggone karya samubarang kang wus kayasa iku” (Purwa-ning Dumadi 2:2). Tentang penciptaan ini, bandingkan pula dengan kitab Am-biya dalam Kapustakaan Jawa tulisan Prof. Draden RM. Ng. Purbo-caroko, ”Tatkala Tuhan mulai menciptakan dunia, mula-mula dicipta-kan cahaya, kemudian kentallah cahaya itu menjadi ratna lalu menja-di air dan buih, buih itulah yang kemudian menjadi langit yang tujuh” (Kapustakaan Jawa hal 140). Dengan berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka pe-nancapan wayang Semar dan Bagong di tengah jagadan dan Batara Guru serta Durga pada simpingan kanan dan kiri dalam seni pertun-jukan wayang Jawatimuran merupakan akulturasi budaya Jawa Hin-du yang perlu dilestarikan. Termasuk cerita Ramayana dan Maha- 178 bharata perlu dikembangkan dengan motivasi melalui seni pertunjuk-an wayang kulit purwa dan wayang wong yang kini perlu dibangun. Pada pedalangan Jawa buku Ramayana dan Mahabharata yang sering disebut sebagai pakem cerita, telah membuat para da-lang merasa kurang pas apabila sebuah tontonan wayang kulit pur-wa dalam sajiannya tidak menggunakan salah satu di antara kedua cerita itu. Akhirnya kitab Ramayana dan Mahabharatalah yang meru-pakan sumber ceritanya. 5.1.1 Cerita Ramayana Di tinjau dari segi kepercayaan, cerita Ramayana merupa-kan suatu pendidikan rohani yang mengandung falsafah yang sangat dalam artinya. Walau cerita ini fiktif, Ramayana merupakan cerita mi-tos kuna yang bersumber pada pendidikan. Cerita Ramayanan sesu-ai dengan cerita kehidupan manusia dalam mencari kebenaran dan hidup yang sempurna. Cerita Ramayana menyinggung pula kebaikan dan kesetia-an Dewi Sri kepada suaminya yaitu Sri Rama, karena Sri Rama ada-lah titisan Dewa Wisnu, sedangkan Dewi Sri adalah istri Dewa Wisnu yang digambarkan sebagai bumi manusia. Dari segi sosial masyara-kat membuktikan bahwa Rama dan Dewi Sri adalah merupakan to-koh-tokoh sosiawan dan dermawan yang mencintai sesamanya. Kitab Ramayana merupakan hasil sastra India yang indah dan berani. Menurut perkiraan, di India ada lebih dari 100 juta orang yang pernah membaca kitab Ramayana, artinya bahwa penggemar cerita Ramayana melebihi pembaca WedaMenurut para budayawan, kitab Ramayana digubah oleh seorang Empu agung, yaitu Empu Walmiki. Kitab ini terbagi-bagi menjadi 7 bagian atau 7 kandha. Bagi-an-bagian tersebut yaitu Bala Kandha, Ayodya Kandha, Aranyaka kandha, Kiskindha kandha, Sundara Kandha, Yudha Kandha, Utara Kandha.Pada kandha yang pertama yaitu Bala Kandha, dikisahkan tentang Rama dan saudara-saudaranya ketika masih kecil. Diceritakan, di negeri Kosala dengan ibukotanya Ayodya di-pimpin oleh seorang raja bernama Prabu Dasarata. Ia mempunyai 3 istri yaitu Dewi Kausalya (Sukasalya) yang berputra Rama sebagai, Kekayi yang melahirkan Barata, dan Dewi Sumitra yang berputra Lasmana dan Satrugna (Satrugena). Dalam sayembara (swayamwa-ra) di Wideha (Manthili) Rama berhasil memboyong Sinta putra Ja-naka. Sinta kemudian menikah dengan Rama.Bagian ke dua disebut Ayodya Kandha mengisahkan Raja Dasarata sudah tua. Maka Sang Prabu menghendaki turun tahta dan Rama diserahi untuk menggan-tikannya sebagai raja di negeri Ayodya. Tanpa berpikir panjang tentu saja Rama sebagai anak sulung menyanggupkan diri. Raja Dasarata memerintahkan agar negeri dihias dengan sebaik-baiknya untuk pe-resmian penobatan raja bagi Sri Rama yang baru saja menikah. 179Tetapi alangkah kagetnya sang Raja Dasarata bahwa di malam hari menjelang penobatan Rama, dewi Kekayi mengingatkan pada Dasarata akan janji yang telah diucapkan tentang anaknya si Barata agar bisa naik tahta. Dan selanjutnya agar Barata tenang me-merintah Ayodya, Dewi Kekayi memerintahkan kepada Rama dan Sinta agar meninggalkan Ayodya dan hidup di hutan Kanyaka atau Dhandaka selama 14 tahun. Tentu saja sang Prabu Dasarata sedih sekali dan tidak ku-asa menolak janji yang telah diucapkan kepada Kekayi. Hampir-hampir sang Dasarata lari akan bunuh diri. Namun Sri Rama tahu akan gelagat itu, dengan rela hati bersama Sinta untuk melepaskan haknya dan pergi ke hutan selama 14 tahun. Tidak mau ketinggalan Raden Lasmana ikut dalam pengungsian ke hutan. Sejak itulah Sang Dasarata meninggal. Barata diangkat se-bagai raja. Sesaat menduduki singgasana ia kemudian jatuh. Selan-jutnya Barata tidak mau naik tahta malahan lari mencari Rama di hu-tan untuk menyerahkan kembali pemerintahan kepada kakaknya, te-tapi Sri Rama harus menggenapkan14 tahun di hutan. Untuk itu te-rompah Sri Rama dibawa kembali ke Ayodya sebagai ganti Sri Ra-ma, maka raja terompah memerintah Ayodya. Aranya kandha adalah bagian yang ketiga mengisahkan tentang Batara Wisnu yang menitis ke Rama. Rama memang titisan Batara Wisnu yang ke sembilan kalinya. Penitisan ini menjadikan ka-rakter Rama benar-benar bertindak ingin meluruskan perilaku umat yang jahat dengan cara kesabaran dan kebenaran. Rama dalam pe-ngasingan di hutan sudah berkali-kali membantu para rohaniawan yang diganggu oleh raksasa. Bagian ke empat disebut Kiskindha kandha yang menceri-takan perjalanan Rama hingga sampai ke negara Kiskindha. Sebe-lumnya Sri Rama telah bertemu dengan burung Garuda Jatayu yang sudah sekarat dan maut hampir menjemputnya. Peristiwa tersebut terjadi karena burung Jatayu bertempur guna merebut Sinta dari ta-ngan Rahwana Setelah burung Jatayu menyampaikan semua yang dialaminya akhirnya mati kemudian Rama dan Lasmana melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan Rama bertemu dengan Sugriwa sang raja kera yang terjepit pada dua cabang asam yang berhimpitan dan tak akan bisa lepas tanpa pertolongan orang lain. Himpitan cabang itu dipanah (jemparing) oleh Sri Rama dan lapaslah Sugriwa dari je-pitan cabang pohon. Kemudian berkatalah kepada Sri Rama, bahwa dirinya adalah Sugriwa si raja kera dari Kiskindha. Sugriwa akhirnya minta tolong kepada Sri Rama agar sudi membantu melawan kakak-nya yang bernama Subali. Bersekutulah Sugriwa dengan Rama dan saling berjanji akan tolong-menolong di dalam segala kerepotannya. Akhirnya mati-lah Subali dalam peperangan melawan Sugriwa yang dibantu Sri Ra-ma. Setelah meraih kemenangan bertahtalah Sugriwa di kerajaan Next >