< Previous 210 lah sang Prabu Kala kumara menghendaki Siti Sundari untuk berse-dia menjadi istrinya. Terjadilah pertengkaran mulut yang kemudian meningkat dan menjadi adu kekuatan fisik di alun-alun Dwarawati. Di alun-alun Dwarawati terjadilah perang antara prajurit dari Mandura melawan prajurit Rancang Kencana. Berkat kekuatan pra-bu Baladewa semua prajurit Rancang Kencana mundur ketakutan. Sri Batara Kresna yang sekembalinya dari kerajaan lang-sung bersemedi dibalai semedi (sanggar pamujan), berdoa agar per-siapan perkawinan Siti Sundari yang kurang 5 hari itu bisa berjalan dengan lancar, dan kiranya Jayasamba dan Walsatha yang diutus ke kasatriyan Madukara dijauhkan dari mara bahaya. Jejer Kasatriyan Madukara. Raden Janaka sedang duduk di atas kursi gading. Dalam persidangan di Kasatriyan Madukara dihadiri Raden Angkawijaya, Raden Gathotkaca beserta pada panakawan Semar, Bagong dan Besut. Pembicaraan yang diungkapkan adalah mengenai akan berlangsungnya perkawinan Raden Angkawijaya dengan Siti Sundari yang waktunya tinggal 5 hari. Belum lama berselang dalam pembica-raan itu, datanglah Raden Walsatha dan Raden Jayasamba meng-hadap serta menghaturkan sembah. Setelah duduk dengan tenang, maka segera di tanyakan apa keperluannya. Kedua-duanya menja-wab bahwa kehadirannya diutus menyampaikan surat yang dikirim dari rama Prabu Baladewa untuk Raden Janaka. Setelah surat dibaca oleh Raden Janaka, marahlah ia, surat dirobek-robek hingga hancur. Raden Angkawijaya peka terhadap ke-adaan tersebut sehingga mengetahui bahwa isi surat itu adalah pem-batalan perkawinannya atas perintah prabu Baladewa. Maka marah-lah Angkawijaya kepada salah satu utusan yaitu Raden Walsatha. Ditariknya tangan Raden Walsatha dan diseret ke alun-alun sehing-ga terjadi perang ramai. Raden Walsatha kalah begitu juga Raden Jayasamba lari ketakutan lalu kembali ke Dwarawati. Raden Angka-wijaya kembali menghadap ayahanda Raden Janaka. Disitulah Ang-kawijaya dimarahi, dianggap seorang pemuda yang tidak pernah pri-hatin, pemuda yang membosankan. Lontaran kata-kata marah itu membuat ruangan bagaikan terbakar. Semua yang ada dalam pendapa bagaikan bara api. Rasa-nya semakin panas saja, sampai-sampai tak tertahankan. Semakin lama tubuh Raden Janaka gemetar dada berdetak kencang, tangan kanannya memegang tangkai keris Kyai Pulanggeni ingin segera di-tusukkan pada perut Angkawijaya. Pada saat itu larilah Raden Ang-kawijaya terhuyung-huyung meninggalkan pandapa kasatriyan Ma-dukara. Seketika itu pula keris Kyai Pulanggeni mengacung ke de-pan, berdirilah Semar Badranaya di hadapan Janaka sambil berkata: 211“e..... ayo Janaka mumpung pusakamu Pulanggeni durung kok wrangkakake, iki lho wetenge Semar enya wrangkakna neng wetengku kene! ” Terjemahan : “he… Janaka ini mumpung keris Pulanggenimu belum ka-mu kembalikan ke kerangkanya, mari silahkan tusukkan pa-da perut Semar saja!” Karena kekuatan sabda Sang Batara Semar Ismaya, terja-tuhlah pusaka Pulanggeni dari tangan Janaka menyebabkan timbul-nya kilat berkali-kali dalam pendapa kasatriyan Madukara. Ini semua justru membuat Janaka lebih marah, marah yang tidak bijaksana. Maka lebih marah lagi saat sang Batara Semar Ismaya bersabda di depan Janaka. “e…. Janaka , yen kowe ngaku wong wicaksana. Yen ana kedadeyan kaya ngene iki rak digoleki apa sebabe. Ngaku-mu wae waskitha. Lho jebul ora krasa yen ta sumbere pra-kara iki dudu anakmu, nanging saka bundhele nalarmu bo-dhone pikirmu, sing kena pamblithute angkara budi cetha neng jroning atimu sing mahanani budimu iku dadi budining wong cupbluk. He Janaka, aku lunga!” Terjemahan : “he… Janaka, kalau memang kamu mengaku orang bijak, jika ada kejadian seperti ini, kamu harus mecari sebab mu-sababnya. Kamu mengaku sebagai orang yang memiliki hormat yang tinggi. Tetapi ini semua hanya kesombongan yang bodoh. Kamu tidak terasa bahwa sumber perkara ini bukan anakmu, tetapi hanya karena kebodohanmu yang sampai sombong. Ini semua menyebabkan kemerosotan budi luhurmu. He.. Janaka, aku pergi!” Kemarahan Sang Batara Ismaya (Semar) inilah yang mem-buat pikiran Raden Janaka bingung bertumpuk-tumpuk (tumpang tindih) tidak menentu. Akhirnya menyuruh Bagong agar mengikuti Angkawijaya agar jangan sampai celaka. Persidangan Madukara dibubarkan, sementara Raden Ja-naka langsung masuk ke tempat pemujaan untuk bersemedi mohon berkah agar senantiasa mendapatkan kemudahan dengan segala yang dilakukan. 212 Adegan perjalanan Angkawijaya (Abimanyu). Rasa heran bercampur sedih, bagi sang Angkawijaya. Ber-tanyalah dalam hatinya, mengapa justru peristiwa ini menimpa pada dirinya. Ki lurah Semar dan Bagong Mangundiwangsa sepanjang ja-lan mengikuti perjalanan Angkawijaya tak ada lain yang diperbuat kecuali hanya berdoa untuk sang Bagus. Sampai masuk dalam hu-tan, diganggu oleh raksasa dan kemudian terjadi perang. Akan tetapi raden Angkawijaya mampu membunuh raksasa-raksasa itu. Selan-jutnya perjalanan sampai pada sebuah candi yaitu candi Suta Reng-ga. Di situlah ia bersemedi, ditemani panakawan dengan penuh ke-setiaan. Selama bersemedi, Bagong dan Besut bermain, berkelakar dengan kondisi alam di sekitarnya sambil senyum mengejek (cekikak cekikik)! Kemudian Semar menginginkan agar tidak berkelakar tetapi Bagong dan Besut malah semakin keras dalam kelakarnya. Akhirnya kelakar itu berhenti sendiri, sebab ada suara yang memanggilnya “Semar, Bagong, Besut mendekatlah kepadaku” dan bertanyalah ke-tiga-tiganya “ada apa ndara” (wonten dhawuh ndara). Ternyata Ang-kawawijaya masih bersikap semedi, diam tanpa bersuara. Ada kedengaran suara Angkawijaya memanggil-manggil la-gi. Tetapi para panakawan melihat bendaranya kok masih diam. Be-sut yang menoleh ke belakang baru mengerti bahwa kini berhadapan dengan orang yang sama dengan bendaranya. Tidak berani omong, Besut kemudian menghitung jumlah mereka sendiri. Suara Besut da-lam hati “tadi empat, sekarang kok lima” Bagongpun begitu juga “lho… tadi empat sekarang kok li-ma”. Demikian juga Semar “ae..ae..ae.. mau mung papat saiki kok dadi lima … e… lha sijinene sapa?” Sementara mereka terdiam. Tetapi orang ke-5 yang rupa-nya sama dengan Angkawikaja lalu berkata “kakang Semar dan ka-mu para panakawan, ketahuilah, bahwa aku ini tuanmu yang lahir bersama dalam satu hari satu malam dengan Raden Angkawijaya, namaku Jim Pembayun” (“kakang Semar lan sira para panakawan, mangertia, aku iki bendaramu sing lair bareng sedina, sing dadi ba-reng sewengi, aranku Jim Pembayun”). Setelah semua saling mengetahui, maka Jim Pembayun sanggup mempertemukan antara Angkawijaya dengan Siti Sundari. Maka berangkatlah Angkawijaya menerima ajakan Jim Pembayun. Atas kuasa Semar, Bagong dan Besut bisa terbang dari candi Suta Rengga ke tamansari negara Dwarawati. Setelah sampai di wilayah Negara Dwarawati di tempat yang dekat dengan tamansa-ri, mereka berlima lalu mendarat. Angkawijaya langsung diajak ma-suk tamansari. Jejer Tamansari Dwarawati. Dewi Siti Sundari, putri mahkota yang sudah saling mencin- 213ta dengan Raden Angkawijaya dengan tiba-tiba perkawinannya diga-galkan oleh prabu Baladewa, maka sedih sekali hati sang Ayu Siti Sundari. Dalam kesedihan sang dewi tidak mau tidur, tidak mau ma-kan, tidak mau merawat tubuh. Kedua abdi emban sampai kerepotan dalam melayaninya. Datanglah Sri Kresna di tamansari yang sebelumnya telah mengetuk pintu tamansari terlebih dahulu. Dibukakan pintu tamansa-ri, maka masuklah Sri Kresna ke tamansari. Sri Kresna duduk di kur-si dan sambil bertanya pada Siti Sundari “apakah kamu masih cinta dengan Angkawijaya”, begitulah pertanyaan Sri Kresna. Dewi Siti Sundari menyatakan melalui sikapnya bahwa se-karang juga ingin bertemu dengan Angkawijaya yang dicintai itu. Se-ketika itu juga Sri Kresna lenyap yang ada Raden Angkawijaya dan Dewi Siti Sundari sedang sama-sama mengungkapan rasa rindu ma-sing-masing. Sri Kresna juga memberi ijin kepada para panakawan untuk ikut berada di dalam tamansari. Tiba-tiba Sri Kresna itu datang dan berteriak “pencuri, pen-cur” (“maling…. maling”) tentu saja Semar kaget …. lalu semua ma-suk ruang dan tutup pintu. Tetapi lama-lama bahwa Sri Kresna tadi adalah Jim Pembayun yang di saat itu juga langsung menyelinap menutupi dirinya. Adegan di Luar Tamansari. Raden Jayasamba yang bersama-sama dengan Raden Harya Setyaki sedang berjaga-jaga untuk mengamankan barang-ba-rang yang sudah dipersiapkan dalam menyongsong pesta perkawin-an Dewi Siti Sundari dengan putra mahkota kerajaan Astina Raden Bagus Lasmana Mandrakumara. Dalam hati Raden Jayasamba ada perasaan aneh dan mencurigakan. Maka Setyaki dan Jayasamba harus bersikap lebih waspada. Ternyata di dalam tamansari ada orang laki-laki. Raden Jayasamba lalu berada pada tempat yang le-bih terang. Sambil jalan menunduk, melihat kanan, kiri, dan bela-kang, rasa kecurigaannya semakin tinggi untuk situasi pada saat itu. Raden Jayasamba cepat-cepat menyapa pada bayang-bayang hitam itu, katanya agak kasar dan keras : Jayasamba : “He…bengi-bengi wayah ngene Kok ana swara priya neng tamansari. Sapa? Apa sing jaga regol?” Bayangan : ”Hi…inggih kula pun jaga regol” Jayasamba : “Lho.., kok kaya sing jaga tamansari” Bayangan : “Inggih kula sing jaga tamansari” Jayasamba : “Apa kanjeng wa Baladewa” Bayangan : “Inggih.. kula wa Baladewa” Jayasamba : “Kok kaya paman Haryo Setiyaki” Bayangan : “Inggih kula paman Setiyaki” 214 Jayasamba : “Apa Raden Jayasamba?” Bayangan : “Inggih kula Raden Jayasamba” Raden Jayasamba menubruk bayangan hitam itu sambil berteriak “o…maling”. Terjadilah peperangan antara Jayasamba me-lawan bayangan itu. Namun betapa kagetnya Jayasamba bahwa yang dilawan itu, tiba-tiba kok sama persisi dengan dirinya. Ternyata Jayasamba yang pertama kalah dan larilah ia minta tolong kepada Harya Setiyaki. Dalam peperangan itu Setiyaki pun juga berperang melawan Setiyaki. Karena Setiyaki pun dikembari dan perangnya pun kalah, maka keduanya cepat-cepat lapor ke Prabu Baladewa. Adegan Kerajaan Dwarawati. Prabu Sri Batara Kresna bersama-sama kakanda raja Man-dura Prabu Baladewa. Keduanya berbicara tentang perkawinan (da-upnya) Siti Sendari yang atas kehendak Prabu Baladewa akan dija-dikan isterinya Raden Lasmana Mandrakumara. Prabu Sri Batara Kresna sama sekali tidak merespon pada kehendak Prabu Balade-wa. Namun Baladewa yang sering masih silau dengan barang duni-awi merasa ikut mengangkat Siti Sendari untuk berada di tempat yang lebih tinggi dari pada kawin dengan Raden Angkawijaya. Datanglah Raden Samba dan Raden Harya Setiyaki, mela-porkan bahwa di tamansari ada pencuri (duratmaka) yang berani mengganggu ketenteraman Dwarawati. Dilaporkan juga bahwa pen-curinya sakti bisa berubah-ubah rupa berwujud siapa saja. Pencuri itu menantang dan mengatakan siapa berani dengannya, terutama Prabu Baladewa. Bagaikan dipukul (ditebah) dada Prabu Baladewa, seketika itu juga meloncatlah Prabu Baladewa ke tamansari untuk menemui si pencuri. Namun…, begitu sampai di tamansari bertemulah Prabu Ba-ladewa dengan Prabu Baladewa, yang serupa tanpa ada bedanya sedikitpun. Terjadilah perang mulut yang sangat ramai, di mana Prabu Baladewa yang asli sangat marah sekali, tetapi Prabu Baladewa yang di tamansari hanya tertawa saja. Baladewa tamansari dipegang dan dihantamkan ke pohon tetapi hanya diam dan tertawa. Kebali-kannya Baladewa Dwarawati dipegang diangkat oleh Baladewa ta-mansari kemudian terus dilepas. Maka tertancaplah ke tanah Bala-dewa Dwarawati dan ditertawai oleh Baladewa tamansari. Prabu Kresna datang ke tempat dimana pencuri itu berada namun dari kejauhan Prabu Kresna berteriak “hayo… maling, ke-tanggor karo kakangku, mesthi mati.” Prabu Baladewa yang tertan-cap di tanah merasa dihina, maka berkatalah prabu Baladewa “Iah ngenyeeek…., aku tulungana dhimas!” Setelah ditolong, Prabu Bala-dewa istirahat di Dwarawati. Sedangkan Sri Kresna terbang ke 215Amarta untuk minta bantuan para Pandawa guna mengusir pencuri yang ada di tamansari Dwarawati. Jejer Karajaan Amarta. Prabu Puntadewa beserta saudara-saudaranya sedang membicarakan tentang digagalkannya perkawinan ananda Angkawi-jaya yang mengakibatkan kemarahan Janaka dan mengusir Angka-wijaya. Hingga kini tak ada yang mengetahui di mana tempat Raden Angkawijaya. Tidak lama kemudian datang Sri Kresna yang menje-laskan duduk perkara tentang digagalkanya perkawinan Angkawijaya dengan Siti Sendari bersumber pada Sri Baladewa. Atas kehendak Sri Kresna tidak usah diperpanjang perkara ini. Yang penting kini pencuri di tamansari Dwarawati harus diusir du-lu. Sesudah itu baru perkawinan antara Angkawijaya dengan Siti Sendari dibicarakan lagi. Pencuri di tamansari Dwarawati tak bisa dikalahkan oleh si-apapun. Tetapi setelah Arjuna yang maju, pencurinya tidak mau me-rubah wujudnya menjadi Arjuna, justru ia lari sambil berkata: “Kalau saya berani melawan Arjuna , saya akan berdosa.” Seketika itu pen-curi tadi berwujud Jim pembayun, dan kembali ke tubuh Angkawijaya yang sedang bermesraan dengan Siti Sendari. Sri Baladewa dalam hal ini tidak berbuat banyak. Malahan menerima tanggung jawab me-ngusir orang Astina dan yang lainnya. Perkawinan Angkawijaya de-ngan Siti Sendari terlaksana dengan tenang damai meriah tanpa aral melintang. Perlu diketahui bahwa pakem di atas adalah pakem pakeli-ran Jawatimuran versi Mojokerta-an. Lakon tersebut dibawakan oleh Ki Dalang Cung Wartanu. Mengamati lakon rabi-rabian khusus dalam perkawinan ke-luarga orang-orang Pandawa, yang satu dengan yang lainnya terasa hanya satu bentuk. Dalam cerita Angkawijaya Krama dibanding de-ngan lakon Gathutkaca Krama dan dibanding lagi dengan lakon Par-ta Krama atau dibandingkan lagi dengan Irawan Rabi, dan juga lakon Antareja Krama, ini terasa hanya satu motif. Persamaan motif tersebut ada pada nama peraga tokoh utama yang telah menjadi nama judul lakon. Dan yang namanya pe-raga tokoh kedua berada pada kondisi yang diperebutkan oleh tokoh utama I dan ketiga. Bila tokoh ketiga terdiri lebih dari satu maka pentas wayang itu akan mengeluarkan wayang yang lebih banyak. Sedangkan jalan ceritanya hanya perebutan tokoh wanita. Siapa ter-kuat akan menikah dengan wanita cantik. Memang setiap cerita per-kawinan pasti diwarnai dengan drama perebutan wanita cantik. Selanjutnya perlu diketahui bahwa cerita atau lakon rabi-ra-bian sebelum Pandawa sangat banyak modelnya, tetapi motifnya te-tap, yaitu drama berebut wanita, sehingga seolah-olah wanita hanya sebagai obyek. Untuk itu ada harapan yang ditujukan kepada gene- 216 rasi penerus agar benar-benar mampu membuat cerita atau lakon rabi-rabian dalam kemasan-kemasan yang lebih baru dan lebih me-narik. 5.3.2 Cerita Kelahiran Cerita wayang yang paling banyak modelnya adalah lakon lahir-lahiran. Antara lakon yang satu dengan yang yang lainnya ada perbadaan laku, berbeda cengkok, atau berliku-liku (wilet) beda. Un-tuk itu marilah kita lihat beberapa lakon tentang lahir-lahiran. 5.3.2.1 Angkawijaya lahir Dalam lakon terungkap beberapa wilet kehidupan yang aneh-aneh, misalnya seorang raja raksasa bernama Ditya Kala Ku-randhani, di kerajaan Tirtakadhasar yang masih jejaka. Sang prabu pernah bermimpi bertemu putri yang hitam manis dari Banoncinawi bernama dewi Wara Sembadra. Sang prabu mempunyai kesaktian bisa berubah rupa menjadi wanita atau pria lain (mancala putra-man-cala putri). Sang prabu mempunyai adik raksasa wanita (raseksi) bernama Werdati yang juga pandai berubah rupa. Werdati ini ingin diperisteri oleh Raden Arjuna. Tanpa banyak kata Werdati langsung menuju ke Madukara berubah rupa menjadi Sembrada (isteri Arju-na). Demikian juga prabu Kala Kurandhageni tanpa banyak kata langsung menuju Madukara berubah rupa menjadi Raden Janaka. Kebetulan pada saat itu Sembadra diambil kakaknya yaitu Baladewa. Kehendak Baladewa, sembadra akan dikawinkan dengan Burisrawa. Sedangkan Raden Arjuna sedang lelana brata (mengem-bara). Jadi yang ada di Madukara sekarang adalah Sembadra jelma-an Werdati yang kumpul serumah dengan Raden Arjuna jelmaan Ka-la Kurandhageni. Kini sudah beranak satu laki-laki berwujud bayi rak-sasa diberi nama Bambang Senggotho. Bayi raksasa tersebut sa-ngat nakal. Para panakawan, Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong yang punya kewajiban mengasuh (momong) Bambang Senggotho sangat jijik, karena Bambang Senggotho suka makan he-wan kecil secara hidup-hidup. Ungkapan kedua, yaitu menceritakan Dewi Wara Sembadra yang sedang hamil tua lari tunggang langgang dikejar oleh Burisra-wa, karena Burisrawa merasa mendapat ijin dari prabu Baladewa un-tuk menikahi Sembadra. Lari ke sana kemari akhirnya sampai di tepi hutan dan Sembadra ditolong oleh perumput yang bernama si Utan. Dewi Wara Sembadra diajak pulang ke rumahnya di desa dekat hu-tan tersebut. Tiba saatnya lahirlah jabang bayi dari kandungan Sem-badra diberi nama Joko Pengalasan. Ari-ari dari jabang bayi itu dipu-ja oleh si Utan, menjadi jejaka (jejoko) gagah berani diberi nama Ari-bawa dan dijadikan teman Joko Pengalasan. 217Tidak lama kemudian datanglah Arjuna, dan si Utan beru-bah menjdi Maharsi Wiyasa. Selanjutnya nama Jaka Pengalasan di-ganti nama Angkawijaya. Sembadra ada dua, Arjunapun juga dua. Dari kehendak Sri Kresna, Arjuna diadu dengan Arjuna sehingga yang palsu kembali ke ujud semula, menjadi Kala Kurandhageni, dan Sembadra palsu beru-bah menjadi raseksi Werdati. Burisrawa yang bingung mencari Sem-badra oleh Kresna diserahkan pada prabu Baladewa. Demikian liku-liku yang ada dalam lakon Angkawijaya lahir. Sedangkan liku-liku dalam cerita kelahiran yang lain tentunya akan berbeda. 5.3.2.2 Wisanggeni Lahir. Dalam cerita pedalangan, Wisanggeni adalah tokoh pemu-da berparas ganteng. Dia seorang yang pandai bicara, anak yang cerdik, pemikir dan politikus, tahu sebelum terjadi dan sakti dalam peperangan. Nama Wisanggeni sering juga disebut Wisa geni. Wi-sanggeni adalah putra Batari Dresanala. Batari Dresanala adalah pu-tra Batara Brama yang menikah dengan Batari Saraswati. Pada saat mengandung Wisanggeni, Batari Dresanala ba-nyak mengalami kajadian-kejadian yang sangat menyiksa hidupnya, misalnya saja di Kahyangan ada kasus yang sangat mengagetkan, yaitu Batari Dresanala yang sedang hamil tua itu harus dipisahkan dengan Arjuna sang suami. Raden Arjuna diusir oleh Batara Brama atas perintah Batara Guru dan harus pergi. Dalam kondisi hamil, Ba-tari Dresnala dipaksa kawin dengan Prabu Dewasrani. Setelah bayi lahir, segera dimasukkan ke dalam kawah Candradimuka, keanehan terjadi. Bayi tidak mati, malah menjadi be-sar dan dewasa. Itulah sebanya dia disebut Wisa Geni. Akhirnya se-mua kasus di Kahyangan dapat diselesaikan oleh Wisanggeni. Wi-sanggeni juga mampu menyingkirkan Dewasrani Putra Durga. Selanjutnya dengan tersingkirnya Prabu Dewasrani maka keadaan di Kahyangan tenang kembali. Batari Dresanala kembali menjdi istri satria Madukara Raden Arjuna. Namun karena sifat-sifat fisik yang berbeda maka keduanya tidak bisa selalu berdampingan. Raden Arjuna bersifat wadag, Batari Dresanala bersifat kadewan (ke-dewa-an). 5.3.2.3 Sena Bungkus (Lakon Bratasena lahir) Keistimewaan lakon Sena Bungkus ini hanya ada satu pe-ran utama yang kuat, yaitu tokoh Bungkus. Hampir semua peristiwa, dan hampir semua tokoh tertuju kepada Sang Bungkus. Memang ada satu peristiwa yang juga aneh, namun tidak mendominasi, akan tetapi membawa akibat yang fatal bagi tokoh itu sendiri. Peristiwa itu ialah ketika Prabu Pandhudewanata menuruti permintaan sang istri yaitu Dewi Madrim yang sedang hamil muda, 218 ingin (nyidham) naik Lembu Handini milik Batara Guru. Setelah Lem-bu Handini diberikan, Prabu Pandhudewanata diperbolehkan mena-ikinya di depan Sang Hyang Jagad Giri Nata. Para dewa yang lain-nya menanggapi bahwa sikap Pandhu itu sangat tidak sopan. Akhir-nya Batara Guru mengutuk sikap Pandhu, bahwa dia tidak akan la-ma menjabat sebagai raja karena mati muda. Hal ini masih belum seberapa keistimewaannya dibanding dengan kelahiran bayi Bungkus dari kandungan Dewi Kunthi Talibra-ta. Keistimewaan bayi Bungkus itu ialah semua orang kerabatnya, para dewa dan pendeta bahkan hewanpun mempunyai tujuan yang satu, ialah memecah bungkus. Beberapa dewa diberi tugas untuk mentrapkan pakaian-pakaian kadewan yaitu Pupuk Mas Rineka Ja-roting Asem, Sumping Pudhak Sinumpet, Kelat bau Mas Ceplok Bli-bar Manggis, Gelang Candrakirana, Kuku Pancanaka, dan Cecawet Bang Bintulu serta Paningset Cindhe Binara. Sedangkan Batara Ba-yu bertugas ke gunung Herawana untuk menyuruh gajah Sena agar memecah Bungkus. Peristiwa lain yang berhubungan dengan Bungkus juga terjadi yaitu, tentang Begawan Sempani di padhepokan Gitacala di tepi hutan Banakeling yang masuk wilayah kerajaan Sindhu. Bega-wan Sempani menginginkan punya anak. Sebab selama menikah dengan Dewi Pudyastuti sudah lama tidak dikaruniani putra. Berse-medillah Bagawan Sampani bersama istrinya dan oleh dewa diberi-lah keduanya kulit Bungkus. Setelah mencuci kulit Bungkus lalu dire-bus dan airnya diminum Dewi Pudyastuti, maka hamillah sang dewi. Kehamilan Pudyastuti melahirkan seorang anak diberi nama Jaya-drata atau Tirtanata. Yang paling penting dalam lakon Bima Bungkus atau Sena Bungkus adalah bagaimana cara memecah Bungkus. Ternyata atas petunjuk para dewa dari Kahyangan Suralaya hanya gajah Sena lah yang mampu memecahkan Bungkus, namun sebelum Bungkus pe-cah, para dewa sudah memasang perlengkapan pakaian pada Bung-kus. Maka setelah Bungkus pecah, badannya masih diinjak-injak gajah Sena, Bungkus marah, gajah ditusuk dengan kuku Pancanaka hingga mati. Nama gajah Sena dipakai untuk nama si Bungkus. Kini nama Bungkus menjadi Brata Sena. Nama tersebut adalah pemberi-an Batara Narada, karena pecahnya bungkus dari gajah Sena, dan juga diberi nama Bima artinya prajurit yang kuat. Batari Uma memberi nama Raden Wrekodara, artinya tinggi besar, dada lebar, perut kecil. Batara Bayu memberi nama Bayu Su-ta, Bayu Wangsa, Bayu Tanaya. Nama-nama tersebut merupakan tanda bahwa Bungkus telah diangkat menjadi putra Batara Bayu, dan masih ada lagi nama pemberian Batara bayu yaitu Wayuninda atau Bayunanda sebab menerima wejangan tentang Prabawa Angin ( kekuatan angin ). 2195.3.3 Rebut Negara Seperti lakon wayang pada umumnya bahwa lakon rebut negara tentu disajikan berupa peperangan yang sengit. Dalam kitab Mahabharata peperangan itu disebut “Mahabharatayuda” yaitu pe-perangan besar antara keluarga Bharata. Namun ada perang rebut negara yang lingkupnya masih kecil, belum bisa disebut sebagai perang agung atau maha yuda atau perang jaya. Dalam peperangan itu masih dalam tingkat rebut-an batas (rebut wates atau rebut kikis). Perang ini tidak atau bukan tergolong Bharatayuda, sebab memang belum ada yang mati. Pe-rang rebut batas itu masih terbatas antara keluarga satu dengan ke-luarga yang lain. Cerita masih tergolong kitab Asthadasaparwa, teta-pi belum mempengaruhi negara lain atau rumah tangga lain. Perang itu disebut rebut kikis. Yang sudah jelas diketahui oleh umum orang Jawa khusus-nya, lakon rebut negara yang dinamakan Bharatayuda karang Empu Sedah dan Empu Panuluh yang menceritakan perangnya wangsa besar Bharata. Kedua Empu ini menyadur dari Mahabharata karang-an Maharsi Wiyasa (Viyasa, Abhiyasa). Isi pokok lakon Bharatayuda baik yang masih berupa sum-ber Mahabharata maupun yang berupa saduran adalah pertikaian dua kubu Pandawa dan Kurawa yang berebut negara Hastina pe-ninggalan leluhurnya. Perebutan negara ini menjadikan salah satu kubu yang bertikai yaitu pada kubu Kurawa habis dan mati. Bagi kehidupan masyarakat Jawa yang agraris lakon Bha-ratayuda itu nampaknya dianggap kurang pas atau tidak pas atau bahkan tidak cocok dan tidak boleh disaksikan masyarakat. Maka setiap ada pertunjukan wayang tidak boleh melakonkan Bharatayu-da. Larangan ini meskipun tidak termasuk undang-undang negara te-tapi ikut di taati dan ditakuti. Namun pada hari-hari tertentu lakon Bharatayuda dibeber-kan dan di hati masyarakat tidak ada ganjalan apa-apa. Tetapi bila pembeberan itu disajikan pada hari-hari biasa dalam hati masyarakat pas ada sesuatu ganjalan yang menghantui. Ganjalan itu seperti rasa ketakutan, kekhawatiran bahwa la-kon itu berakibat jelek bagi kehidupan masyarakat. Mereka takut akan hukum alam. Kekhawatirannya jangan-jangan menempuh diri sendiri. Alasan mengapa masyarakat pada umumnya takut untuk membeberkan cerita Bharatayuda? Karena dalam kehidupan masya-rakat agraris mengutamakan akan ajaran-ajaran rohani, gotong ro-yong yang tentunya akan menolak kekerasan, menolak perpecahan, dan menyukai kerukunan, dalam filsafat Jawa dikatakan rukun men-jadi sentosa (Rukun Agawe Santosa). Sedangkan isi dari lakon Bharatayuda adalah menggam-barkan peperangan sengit dan sadis, siksa menyiksa, yang kese-muanya itu tidak sesuai terhadap ajaran-ajaran suci dalam masyara-Next >