< Previous 200 Raden Kumbakarna suka makan, sampai ia dipakai sebagai lam-bang nafsu aluamah. Dalam pertempuran melawan Sri Rama, dia bi-lang bukan membela Rahwana kakaknya tetapi bela tanah tumpah darah. Dalam peperangan melawan Sri Rama, Kumbakarna mati se-cara sadis. Kedua tangan dan kedua kakinya putus satu per satu hingga tinggal kepalanya. Kepala itu akhirnya mati terkena panah Guwawijaya. Sarpakenaka di dalam Kawi Kuna-nya berbunyi Çurpanaka artinya orang berkuku tajam beracun/upas. Ketika Sri Rama mem-bendung (nambak) Samodra, Sarpakenaka inilah yang membedah tambak itu hanya dengan kukunya saja. Sarpakenaka termasuk golongan peran antagonis karena dalam pertempuran brubuh Alengka, Sarpakenaka membela Rahwa-na. Dia membenarkan perilaku sang kakak parabu Rahwana yang sangat antagonis itu. Rahwana adalah seorang lelaki yang berkedu-dukan sebagai orang nomer satu di Ngalengka, maka tidak salah bila hendak memperistri Dewi Sinta. Sinta kan perempuan, juga, begitu pikiran Sarpakenaka. Setelah bertemu dengan Lasmana di hutan Dandhaka, , Sarpakenaka sangat mengharapkan agar Lasmana mau menjadi suaminya. Keinginan tersebut sudah menyatu dalam kehidupannya. Akan tetapi jelas Lasmana tidak mau, sebab kecuali Sarpakenaka sebagai musuh, dia juga berwajah raksasa. Dia adalah Raseksi (bu-ta wedok) yang dalam kehidupan manusi/masyarakat Jawa melam-bangkan nafsu supiyah, watak yang suka bersolek, berganti-ganti busana, suka pesta pora, makan minum semaunya. Sedangkan Ra-wana sebagai lambang watak amarah dan Raden Wibisana sebagai lambang watak yang suci, jujur, tidak ingin memiliki yang bukan mi-liknya, watak tersebut disebut watak yang mutmainah. Itulah sauda-ra-saudara Sarpakenaka yang dijadikan sebagai lambang nafsu 4 macam di antaranya adalah nafsu amarah yaitu Dasamuka, aluamah yaitu Kumbakarna, supiyah yaitu Sarpakenaka, dan mutmainah yaitu Wibisana. Peristiwa yang pernah menimpa Sarpakenaka adalah pada saat menggoda dan merayu Lasmana di hutan Dandhaka. Dikisah-kan bahwa Sarpakenaka tergila-gia akan ketampanan Lasmana, dan amat sangat menginginkan agar Lasmana mau menjadi suaminya. Akan tetapi Lasmana tidak menghiraukan rayuan Sarpakenaka. Be-gitu pula Sarpakenaka tidak berhenti marayu Lasmana, hingga akhir-nya Lasmana merasa jengkel dan marah. Hidung Sarpakenaka dipe-gang sangat keras kemudian dipelintir oleh Lasmana sampai gru-wung (berlubang hampir putus). Peristiwa tersebut oleh Sarpakena-ka dilaporkan ke Rahwana dengan membalikan fakta. Rahwana sa-ngat marah yang akhirnya merembet hingga mengakibatkan timbul-nya perang besar yang disebut perang Brubuh Alengka. 201Meskipun saudara-saudaranya berwujud raksasa, akan te-tapi Wibisana adalah bagus rupa. Dia senang mencari kebenaran (dheweke tansah angupadi dalan kang bener lan jatining kayekten). Sampai dia lari dari kakaknya Rahwana yang jahat itu dan ikut me-ngabdi pada Sri Rama melalui Hanuman. Ini artinya Wibisana akan menjadi jalan si protagonis Sri Rama. Dengan demikian Wibisana bukanlah peran antagonis dan juga protagonis. Dalam lakon perang Brubuh Alengka sampai habis-nya bangsa Alengka, Wibisana sebagai tritagonis. Namun kalau me-nurut pakem wayang Jawatimuran lain lagi. Kepergian Wibisana dari hadapan Rahwana karena kedua matanya dibutakan oleh Rahwana sendiri. Kedua mata Wibisana ditusuk dengan Candrasa hingga ber-darah dan buta. Kedua kaki Wibisana di pukul (digebug) dengan senjata limpung dan berakibat lumpuh tak berdaya. Peristiwa terse-but menimpa Wibisana, karena menyuruh kakaknya agar mengem-balikan Sinta kepada Sri Rama. Atas kejadian itulah sehingga Wibi-sana disebut peran protagonis. Dengan pertolongan Hanuman yang baru saja membakar habis ALengka, Wibisanan dibawa menghadap Sri Rama. Setelah berada di hadapan Sri Rama disembuhkan oleh Sri Rama dan mengabdilah kepada Rama. Seusai Brubuh, dia di-angkat sebagai raja Alengka. Dalam kitab Mahabharata Pandawa adalah 5 orang bersau-dara, jenis kelamin laki-laki semua. Mereka adalah anak sang prabu Pandhu yang menikah dengan Dewi Kunthi dan mempunyai tiga pu-tra yaitu Puntadewa, Wrekodara dan Arjuna. Sedangkan pernikahan Pandhu dengan Dewi Madrim mempunyai putra dua. yaitu Nakula dan Sadewa. Pandawa disebut juga Pandhu-hawa atinya Hawanya Pandhu laki-laki semua dan digolongkan manusia sukerta yang ter-masuk menjadi mangsanya sang Kala. Sebagai bukti manusia suker-ta, bahwa hampir setiap waktu mereka diancam, akan dibunuh, dice-lakakan, disengsarakan oleh saudara-saudaranya yaitu para Kura-wa. Jumlah Kurawa yaitu seratus orang dan dibawah asuhan pa-mannya yang berpangkat patih, yaitu Raden Patih Harya Sangkuni. Melihat posisi para Pandawa yang selalu dilanda krisis, dengan pela-ku utama para Kurawa, maka jelaslah ketika Pandawa harus ter-sangkut peristiwa perang besar Bharatayuda, mereka berada pada posisi sebagai tokoh-tokoh yang menjadi peran protagonis. Salah satu uasaha Kurawa untuk membunuh para Panda-wa yaitu dalam cerita Bale Sigala-gala. Dikisahkan, para Pandawa juga diasingkan dalam hutan Kanyaka oleh Kurawa selama 12 tahun dengan perjanjian ditambah satu tahun dalam persembunyian. Apa-bila dalam persembunyian nya selama satu tahun itu diketahui oleh Kurawa maka Pandawa harus kembali ke hutan 12 tahun dan me-nyelinap satu tahun. Hal ini sangat dirasakan oleh Pandawa yang protagonis itu. Mereka selalu berada dalam posisi sengsara, namun oleh Pandawa sengsara itu digunakan sebagai laku prihatin. Dalam 202 kesengsaraannya mereka harus tetap memberikan pertolongan ke-pada siapapun dengan dasar cinta kasih (Asih-tresna) yang tanpa pamrih. Hebatnya lagi, atas pimpinan Puntadewa si Getih Putih (da-rah putih) Pandawa tak boleh sakit hati hingga timbul dendam kesu-mat. Di bawah asuhan Raden Patih Harya Sengkuni, Kurawa yang berjumlah seratus itu ternyata berperilaku sangat rusak dan se-lalu menyusahkan orang lain. Mereka suka mabuk-mabukan, berjudi, madat, dan merasa bahwa dimanja oleh ibu-ayah-paman dan guru-nya. Maka dalam kehidupannya, mereka berperilaku semaunya sen-diri karena merasa dirinya saudaranya raja. Sang Prabu Duryudana adalah sebagai penguasa dan dalam tata urutan adalah saudara yang paling tua. Prabu Duryudana selalu membiarkan para adiknya untuk bertindak nakal dan urakan. Sebagai sumber pemikiran jahatnya para Kurawa adalah Sengkuni, yang selalu merekayasa agar para Kurawa mencelakakan Pandawa. Sengkuni berharap agar Pandawa celaka, tersiksa sampai mati. Apapun caranya Sengkuni berusaha keras agar Pandawa le-nyap dari dunia ini dengan dalih untuk membuat para Kurawa mene-mukan kemuliaan, kesejahteraan dan keselamatan. Harapan Kurawa yaitu agar Pandawa hancur lebur, dengan begitu Kurawa bebas un-tuk menguasai Kerajaan Astina. Usaha licik yang dilakukan Kurawa terhadap Pandawa di antaranya adalah mengajak main dadu, membakar bale sigala-gala. Usaha tersebut merupakan cara paling dahsyat dan paling kejam bagi hancurnya para Pandawa. Banyak sekali cara yang dilakukan oleh Sengkuni demi celaka dan sengsaranya Pandawa. Sejak Pandawa dan Kurawa masih anak-anak sampai Duryudana diangkat sebagai raja di negara Astina, tanpa henti-hentinya rekayasa jahat yang dilakukan oleh Sengkuni. Di sini peran antagonis Kurawa agak khawatir, sebab usaha rekayasa licik dan jahatnya tidak berhasil. Ternyata Pandawa tidak mati justru masih hidup dan segar bugar. Akhirnya tidak ada jalan lain, kecuali perang, yaitu perang Bharatayuda. Dalam perang besar Bharatayuda, Kurawa habis. Sengkuni, Duryudana, Drona, Dursasana dan yang lain mati secara menyedihkan. Sedangkan Pandawa lima masih utuh, hanya para putra-putra dan para istri yang mati terhormat. Seperti telah dijelaskan di halaman depan, peran tritagonis merupakan pihak ketiga yang ikut aktif dalam konflik. Bisa juga keter-kaitan peran tritagonis dalam suatu konflik hanya pada klimaksnya saja. Karena peran serta kedudukan tritagonis ini cukup beragam, maka seorang tokoh bisa berperan ganda, misalnya Patih Sengkuni, yang berperan sebagai pengancam siksa, ia bisa berkedudukan se-bagai peran tritagonis. 203Prabu Sri Bathara Kresna sering melerai para Pandawa yang sedang konflik dengan Kurawa, di mana dia adalah peran trita-gonis. Siapapun tokoh, apabila dia melerai, memerangi persengketa-an menjadi alat, penolong, penengah itulah dia si tritagonis. Bisa sa-ja pendeta, brahmana atau yang lainnya. Tokoh-tokoh yang tergolong peran deutragonis dalam suatu lakon biasanya berfungsi sebagai pendukung serta melengkapi perj-anjian yang tentu akan memperjelas permasalahan dalam pendra-maan. Dalam suatu lakon dia akan menjadi sarana logis bagi para penggemar sehingga memuaskan. Di samping itu si deutragonis da-lam peranannya akan selalu memberikan petunjuk-petunjuk, wawa-san mengarah pada pemberian kekuatan fisik, kebenaran laku serta wejangan kesabaran. Adapun tokoh-tokoh yang deutragonis di antaranya adalah: pendeta, para brahmana, para wasu, para dewa, para panakawan dan para ibu khususnya Dewi Kunthi. Jadi peran deutagonis dapat disimpulkan bahwa ia berkedudukan sebagai pendukung-pelengkap lakon yang memperjelas masalah, sarana logika cerita, dan penase-hat. Demikianlah peran deutragonis yang setiap penampilan lakon khususnya panakawan, sering tidak harus tersajikan. Sedang-kan para panakawan dalam penokohan ini berkedudukan sebagai deutragonis, menasehati, melayani, menunjukkan jalan keselamatan menuju hidup abadi. Peran deutragonis yang lainnya seperti Batara Guru, Batara Wisnu, Batara Brahma, Bhagawan Bisma dan lain-lainnya. 5.2.4 Jenis-jenis Peran Wayang 5.2.4.1 Gagahan Gagahan Kambeng cirinya jari-jari kedua tangan mengepal (nggegem), tokohnya Wrekodara dan Anoman. Kedua-duanya meru-pakan tokoh-tokoh angin (bayu / wayu) yang sangat sakti, berbudi lu-hur, suka menolong, adil dan bijaksana. Seni pewayangan Jawati-muran Wrekodara disebut Jeksa Lumajang Tengah artinya jaksa yang adil. Gagahan Bapang biasanya digambarkan sebagai tokoh yang bentuk mulutnya meringis (prengesan atau gusen). Hal ini ber-ada pada tokoh-tokoh seperti Kangsa, Indrajid dan lain-lainnya. To-koh ini perwatakannya didominasi keangkaraan. Gagahan-theleng tokohnya adalah Gathotkaca, Antareja, Antasena, Wrekodara, Sute-ja, Duryudana dan sebagainya dengan watak pemberani. 204 Berhala (Brahala) 5.2.4.2 Alusan Tokoh Alusan kebanyakan didominasi oleh golongan ka-nan, seperti Janaka, Puntadewa, Abimanyu, Nakula, Sadewa dan sebagainya. Ada 2 macam alusan, yaitu alusan putran luruh yang di-gambarkan pada tokoh Yudhistira, Janaka, Abimanyu, Irawan dan sebagainya yang berwatak waspada dan bijaksana. Alusan putran lanyap berupa bentuk muka yang tengadah. Putran lanyap ini merupakan tokoh alusan yang laki-laki mempunyai watak sombong (kemaki, mbagusi), misalnya Suryaputra, Samba, Wisanggeni, Hariya Suman (Sengkuni muda), Kresna/Narayana dan sebagainya. Sikapnya yang kemaki itu kadang-kadang membawa kebijaksanaan. Alusan putren luruh (liyep), merupakan bentuk mata sempit agak terpejam tetapi perempuan ini manis dan menunduk melihat ke bawah (ndhingkluk). Putren ini mempunyai watak hati-hati, dalam 205berkarya mereka tidak tergesa-gesa. Itulah kemungkinan yang di-maksud dengan istilah hati-hati asalkan tercapai (Alon-Alon Waton Kelakon), artinya diperhitungkan dengan menggunakan konsep, hal itu adalah suatu kebijaksanaan. Tokoh yang liyep ini dimiliki oleh De-wi Wara Sembadra, Dewi Kunthi, Dewi Sinta, Dewi Sri, Sewi Drupa-di. Mereka ini adalah wanita-wanita yang sangat bijaksana, wanita setia, dan suci. Alusan putren lanyap yang berada pada putri biasanya di-nyatakan dalam sikap, gerak, tingkah laku dan ucap (omong). Gerak-nya cekatan, trampil, cepat dan trengginas dalam berpikirpun cepat. Banyak wanita berpikir secara cepat bicara pun cepat dan penuh ke-hati-hatian. Ucapan bagi tokoh-tokoh yang putren lanyap ini ada be-berapa kata yang diulang sampai dua tiga kali. Misalnya “wonten dhawuh-wonten dhawuh”. Mereka yang putren lanyap ini di antara-nya adalah Dewi Wara Srikandhi, Banuwati, Mustakaweni, Rarasati. 5.2.5 Penokohan Setiap penyajian pertunjukan wayang kulit purwa, sang da-lang sudah mempersiapkan apa yang akan dilakonkan, serta apa yang akan diceritakan dalam pementasannya. Bisa juga lakon itu ka-rena atas permintaan penanggap atau penanggap menyerahkan ke-pada dalang. Setelah lakon atau cerita terpilih, maka dalang akan segera memilih tokoh-tokoh yang diperankan dalam cerita itu. Untuk peno-kohan ini, Ki dalang yang sudah faham akan seluk-beluk dan liku-liku ceritanya, maka ia akan menentukan dua macam pilihan, yaitu peran dan karakter. Adapun macam-macan peran di antaranya adalah Pro-tagonis, Antagonis, Tritagonis, Deutragonis, Panakawan. Sedangkan macam-macam karakter di antaranya adalah Gagahan, Alusan, Pu-tran luruh, Putran lanyap, Putren luruh, Putren lanyap, Raksasa, Pa-nakawan Atas terpilihnya kedua unsur penokohan tersebut, seorang dalang tentu akan terbantu dalam penyajiannya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam penokohan ini adalah tentang wanda (raut muka) wayang dan bentuk tubuh agar di dalam menggerakkan wayang tidak menemui kesulitan. 5.2.6 Karakter Pertunjukan seni pewayangan yang disutradarai oleh se-orang dalang, di dalam penokohan tentu akan memilih juga tokoh yang berkarakter sesuai isi lakon. Sedangkan karakter yang ada pa-da pewayangan terdiri dari beberapa bentuk. 206 5.2.7 Raksasa Raksasa dalam pewayangan sering disebut buta, denawa, atau ditya. Para raksasa termasuk golongan Asura. Sebutan Asura artinya bukan dewa. A artinya bukan, sura artinya dewa. Sebutan de-nawa itu keturunan Dewi Danu atau Danunawa, sedangkan ditya atau buta adalah keturunan Dewi Diti (ditya) Jadi raksasa yang raut mukanya tidak seperti manusia pa-da umumnya, dalam dunia pewayangan Jawa sering dikatakan bu-kan manusia. Denawa bentuk raut mukanya tidak berbeda dengan raksasa, maka denawa disebut raksasa (buta). Demikian juga ditya, sebagai keturunan dari Dewi Diti, disebut ditya. Wujud tokoh-tokoh keturunan Dewi Diti sama dengan golongan raksasa, maka mereka para ditya juga disebut raksasa. Jadi sampai sekarang kata raksasa menjadi dasanama (sinonim) dari kata denawa, ditya, buta. Jika melihat gambarnya, maka ciri-ciri golongan raksasa itu sangat jelas. Tentu ciri yang paling nampak bahwa raksasa itu buruk rupa. Sedangkan ciri-ciri yang lain adalah raut muka serba menakut-kan, hidungnya besar seperti lengkung tepi perahu (canthiking baita), mata bulat besar, mulut lebar, gigi besar, punya taring panjang, ram-but kumpul (gimbal), bulu rambut tangan dan kaki panjang lebat (dhi-wut), simbar teba, dan ciri yang tidak bisa diraba tetapi pasti bahwa raksasa itu jahat. Ada beberapa golongan raksasa, ialah raksasa raja ber-mahkota (Buta Raton Makutha), raksasa raja muda (pogog rambut gimbal), raksasa patih, raksasa prepat/prajurit, raksasa perempuan, raksasa gecul, dan raksasa berhala. Golongan raksasa-raksasa ter-sebut mempunyai kedudukan yang tidak sama. Raksasa Raja Bermahkota ini tidak diberi nama. Dalam pe-wayangan disebut wayang serbaguna (srambahan). Apabila akan di-perankan dan menduduki sebuah negara maka nama negara terse-but terserah kepada Ki dalang. Selain raksasa raja bermahkota ada raksasa raja muda. Setiap penampilannya sebagai raja, pasti peran raja yang masih mu-da. Dia selalu menginginkan wanita cantik. Dia pasti jatuh cinta (gan-drung) dan tak akan kesampaian. Bahkan dalam ceritanya sering di-akhiri dengan kematian. Tokoh wayang ini juga dipakai wayang srambahan. Nama dan kerajaan tokoh ini terserah sang dalang. To-koh wayang ini sering dipakai sebagai Patih Sengkapura yang ber-nama Patih Suratimantra. Raksasa patih biasanya dua tangan bercempurit kepala memakai makutha topong. Tokoh ini biasanya dipakai sebagai patih di negara Alengka bernama Patih Prahastha. Juga dipakai sebagai patihnya Prabu Bhoma Narakasura di kerajaan Trajutrisna bernama Patih Pancatnyana. Tetapi sering disrambahkan oleh dalangnya. Raksasa Prepat adalah raksasa yang berpangkat tinggi dan merupakan punggawa terkemuka di kerajaan raksasa. Tokoh wa- 207yangnya juga srambahan. Tokoh wayang ini bisa ditampilkan dalam semua lakon, hanya terserah sang dalang saja. Siapapun namanya dari kerajaan manapun asalnya, itu terserah Ki dalang. Raksasa pre-pat ini sering difungsikan sebagai penjaga hutan atas perintah raja. Ia tidak sendirian berada di dalam hutan. Ia ditemani tiga orang rak-sasa gecul beserta dua orang panakawan Togog dan Bilung (sara-ita). Tokoh raksasa prepat itu ada yang menamakan Pragalba yang artinya harimau. Tidak semua raksasa dengan jenis kelamin laki-laki, akan tetapi ada pula yang jenis kelamin perempuan. Tokoh ini dinamai Ke-nya-wandu (banci). Ia menjadi pimpinan bagi semua raksasa keraja-an. Ia juga sebagai inang pengasuh raja. Dalam cerita apapun ia se-bagai patih, sering diberi nama Cantikawerti, dan ada yang memberi nama Kepet Mega. Dia merupakan prajurit yang sakti, tetapi akhir-nya mati di medan pertempuran. Sedangkan Raksasa Gecul adalah jenis raksasa tetapi wu-judnya lucu (gecul). Tokoh ini ikut berjaga di hutan. Dia termasuk go-longan raksasa prepat (parepat). Dalam lakon raksasa gecul yang tergolong prepat hanya sebagai kembangan saja. Jadi dalam sajian lakon tidak begitu berfungsi. Ia itu ialah raksasa cakil dan buta te-rong. Disebut buta cakil karena bertaring di ujung mulut bagian de-pan seperti pasak (nyakil). Sedangkan buta terong sama saja de-ngan buta cakil, dalam lakon tidak begitu penting. Disebut buta te-rong sebab hidung besar bagaikan buah terong. Karena tugas yang diemban dengan dalih menjaga hutan, tentu kepada setiap yang le-wat itu pasti dicurigai. Terjadilah perang fisik, semua buta itu mati ke-cuali Togog dan Bilung. Untuk tokoh-tokoh tertentu yang bisa berubah wujudnya menjadi raksasa (triwikrama), maka raksasa jadi-jadian tersebut di beri nama Raksasa Berhala (Brahala). Contoh Kresna menjadi Kala Mertiu, Prabu Sri Harjuna Sasrabahu kalau sedang marah, triwikra-ma menjadi Raksasa Bala Serewu. Adapun tokoh panakawan atau yang disebut abdi pengikut (pendherek) adalah abdi yang selalu mengikuti tuannya. Dia me-mang biasa disuruh (dikongkon) tetapi bukan pesuruh. Dia abdi teta-pi juga sebagai teman (batur artinya pangembat catur), memberikan petuah, memberikan semangat bagi sang bendara (tuan). Ki dalang Bambang Sugiyo dari Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur dalam pentas versi Jawatimuran mengatakan bahwa Panaka-wan, terdiri dari dua kata pana dan kawan. Pana berarti ngerti, ka-wan berarti teman. Jadi makna panakawan adalah teman yang sela-lu memberikan pengertian, artinya ia selalu memberikan petunjuk hi-dup, memberikan nasehat demi keselamatan sang juragan. Di manapun ia berada, panakawan ini selalu menyatakan sebuah karakter laku perbuatan setia kepada sang juragan. Kesetia-an itu dinyatakan dalam membela, melayani dan membentengi seti- 208 ap gerak-gerik sang bendara. Tetapi ia juga menasehati dan rela mengorbankan diri bagi keselamatan sang juragan. Dalam dunia pewayangan, di setiap negara memerlukan panakawan. Di masa-masa dulu panakawan hanya terdiri dari dua orang. Misalnya dalam wayang gedhog panji yaitu Jerodeh dan Prasanta, orang Jawa me-ngatakan Godheg-Santa. Pada wayang Krucil yaitu Sabdapalon dan Nayagenggong. Dalam wayang Jawatimuran yaitu Semar dan Ba-gong. Panakawan sabrang Jawatimuran yaitu Mujeni dan Mundhu Dalam wayang purwa (Solo/Yogya) ada 4 tokoh yaitu Se-mar, Gareng, Petruk dan Bagong yang paling muda. Dalam wayang purwa (Banyumasan) ada 4 tokoh yaitu Semar, Bagong, Gareng, Pe-truk yang paling muda. Di wayang golek Pasundan ada 4 tokoh yaitu Semar, Cepot, Udel dan Dawala. Panakawan di negeri sabrang pa-keliran Solo/Yogya ada 2 saja yaitu Togog dan Bilung Bagi pakeliran Jawatimuran yang berlaku sampai sekarang ini pada adegan gara-gara panakawannya ada 3 tokoh yaitu Semar, Bagong dan Besut. Namun begitu gara-gara selesai, hanya Semar-Bagong saja yang ikut dalam karya mengikuti sang bendara. Se-dangkan Besut disuruh Semar menunggu di rumah Klampis Ireng. Adapun cerita atau riwayat kelahiran atau terjadinya Ba-gong gaya Jawatimuran adalah ketika Sang Hyang Ismaya turun ke bumi menjelma menjadi Semar orang jelek rupa, untuk mengasuh para satriya petapabrata (tedak kasutapan), dia lalu diberi sebutan pamong (momong). Dalam karya-karya selanjutnya Semar membu-tuhkan teman. Bayang-bayangnya sendiri lalu dicipta menjadi bentuk yang hampir mirip dengannya. Kemudian dinamakan Bagong. Ba ar-tinya bek, gong artinya gedhe. Juga dinamakan Sang Hyang Blado. Bla adalah belah/sigar, dho artinya loro. Bahwa Bagong terjadi dari belahannya orang dua. Juga bernama Mangun Hadiwangsa, karena dia yang mempunyai kewajiban untuk membangun (mangun) agar wangsa (bangsa) menjadi baik atau adi. Nama lainnya Jamblaita. Jambla yang berarti bodoh, ita adalah temen (jujur). Ia bodoh tetapi jujur dan serius. Sedangkan timbulnya Besut belum lama. Ketika Bagong ke belakang dalam kondisi yang gelap, dia menginjak tinjanya sendiri lalu dikipat-kipatkan. Tiga kipatan menjadi 3 orang, dinamakan Be-sut, Besel dan Besil, ketiganya menjadi anak Bagong. Yang dipakai sekarang ini hanya Besutnya saja. Tokoh wayang Besut bentuknya mirip Bagong tetapi dalam ukuran lebih kecil. Ada lagi semacam panakawan tetapi perempuan (emban) ialah Cangik dan Limbuk. Tokoh Cangik dan Limbuk pada masa se-belum campur sari difungsikan sebagai pelayan permaisuri raja. Se-karang fungsi itu menipis, tertutup dengan guyon campur sari. 2095.3 Cerita Perkawinan (Lakon Rabi-rabian atau krama). Dalam pertunjukkan wayang Jawa cerita perkawinan atau lakon rabi-rabian juga disebut lakon Krama. Lakon perkawinan umumnya terdiri dari beberapa tokoh atau peraga (paraga). Sedang-kan yang terlibat dalam penokohan di antaranya adalah tokoh utama yang dikawinkan, tokoh kedua yang dikawini, tokoh ketiga adalah to-koh lain yang ingin mengawini tokoh kedua, tokoh orang tua tokoh utama, tokoh orang tua tokoh kedua, tokoh lain yang diperlukan. Judul dalam lakon krama ini biasanya mengambil nama to-koh utama. Contoh, bila yang menjadi tokoh utama Angkawijaya ma-ka judulnya Angkawijaya Krama. Bila tokoh utama Janaka atau Par-ta, judulnya menjadi Parta Krama. Di kalangan masyarakat atau para penonton sering menyebut judul dengan susunan kalimat terbalik, baik disengaja atau tidak disengaja. Misalnya lakon Angkawijaya Krama, sering diucapkan Rabine Angkawijaya, lakon Parta Krama sering diucapkan Rabine Janaka atau Janaka Rabi. Namun demikian, pembalikan judul lakon itu tidak mengaki-batkan berubahnya cerita dan tidak menyurutkan ketenaran judul yang sebenarnya. Sebab judul itu sudah tersurat dengan tinta hitam yang tidak mungkin terhapus. 5.3.1 Kerangka Cerita (Balungan Lakon) Angkawijaya Krama. Adegan (Jejer) Kerajaan Dwarawati. Prabu Sri Batara Kresna, di pendapa agung sedang duduk di atas singgasana kursi gading, menerima kehadiran kakanda prabu Baladewa raja di kerajaan Mandura, yang diikuti oleh puteranya yang bernama Raden Walsatha dan Patih Pragota. Sedangkan yang ikut menghadap dalam pertemuan besar (pasewakan) di istana raja selain dari kerajaan Mandura adalah para punggawa kerajaan Dwarawati di antaranya adalah Raden Patih Ha-riya Udawa, putera mahkota Raden Jayasamba, dan Raden Harya Setyaki. Dalam persidangannya, sang prabu Baladewa mengusulkan pembatalan perkawinan Abimanyu atau Angkawijaya dengan Siti Sundari putri mahkota Dwarawati. Sri Batara Kresna hanya terserah saja kepada prabu Baladewa. Akhirnya Raden Walsatha bersama Raden Jayasamba diutus untuk menyerahkan surat penggagalan perkawinan Siti Sundari dengan Angkawijaya ke Raden Janaka atas perintah prabu Baladewa. Keberangkatan Walsatha dan Jayasamba dari Dwarawati menjadikan prabu Baladewa menjadi lega. Namun tidak lama kemu-dian hadirlah seorang utusan dari Kerajaan Rancang Kencana yang rajanya bernama prabu Kala Kumara. Utusan yang bernama patih Kala Rancang menghaturkan surat lamaran . Isi surat tersebut ada-Next >