< Previous 260 istri Begawan Bahusena. Patih Genthayasa sanggup, lalu diampuni dan dipersilahkan tinggal di Pertapaan Tejageni. Patih Genthayasa diserahi menjaga keselamatan Dewi Resweni dan Raden Mandraba-hu, sebab Begawan Bahusena akan menebang hutan. Begawan Bahusena meneruskan niatnya menebang hutan dibantu Semar dan Bagong. Begawan Bahusena berjalan sampai di tempat yang banyak ditumbuhi tanaman ubi (uwi) semacam ubi jalar yang pohonya melilit ke atas dan ubinya di dalam tanah. Setelah di-rasa cocok maka dimulailah pekerjaan mebabati tumbuhan uwi itu. Diceritakan, saat tengah bekerja menebang hutan, Bega-wan Bahusena melihat dari kejauhan Dewi Resweni menggendong Raden Mandrabahu sambil menangis lalu mengadu bahwa ia di-ganggu Patih Genthayasa. Mendengar aduan istrinya, Begawan Ba-husena bangkit amarahnya. Begawan Bahusena meninggalkan hu-tan menuju Pertapaan Tejageni. Patih Genthayasa yang melihat ke-datangan Begawan Bahusena sambil marah itu menjadi sangat keta-kutan, lalu menyembah meminta maaf. Begawan Bahusena merasa kasihan melihat Patih Genthayasa seperti itu, kemudian Dewi Res-weni dipanggil dan diajak masuk ke dalam sanggar pamujan. Se-sampai didalam sanggar, Begawan Bahusena bersemedi mohon pe-tunjuk dewata lalu mengambil Daki Dewi Resweni seketika itu, mun-culah seorang putri menyerupai Dewi Resweni, putri tersebut diberi nama Dewi Reswati. Selanjutnya Dewi Reswati di ajak keluar untuk menemui Patih Genthayasa. Dewi Reswati diberikan kepada Patih Genthayasa sebagai istrinya, sehingga Patih Genthayasa sangat gembira. Begawan Bahusena memerintahkan Patih Genthayasa dan istrinya meninggalkan Pertapaan Tejageni, disuruh menebang hutan gambir, kelak jika sudah menjadi negara, seyogyanya dinamakan negara Gambir Anom. Dengan senang hati Patih Genthayasa dan Reswati me-ninggalkan Pertapaan Tejageni. Setelah sampai di hutan gambir, hu-tan ditebang hingga akhirnya dijadikan sebuah negara, sesuai de-ngan pesan Begawan Bahusena, negara itu diberi nama negara Gambir Anom. Patih Genthayasa menjadi raja pertama bergelar Pra-bu Genthayasa. Diceritakan setelah kepergian Patih Genthayasa dan istri-nya, Begawan Bahusena meneruskan menebang hutan hingga sele-sai, serta mengubah menjadi sebuah negara yang dinamakan nega-ra Wiratha. Raja pertama negara Wiratha adalah Raden Mandraba-hu bergelar Prabu Anom Bahusancana. Perkawinan Begawan Bahusena dengan Dewi Resweni ju-ga membuahkan seorang putra yang bernama Raden Swandana. Untuk menjaga jangan sampai kedua anaknya berebut negara, maka Begawan Bahusena menebang hutan lagi yang di tebang adalah hu-tan pohon ingas, setelah selesai di tebang, dibangun sebuah nega-ra, dinamai negara Ngastina atau Hastina. Raja pertama di negara 261Ngastina adalah Raden Swandana bergelar Prabu Anom Sentanu Dewa. Diceritakan, setelah berdirinya negara Wiratha dan Ngasti-na, kedua negara tersebut berkembang dengan pesat, rakyatnya se-makin banyak karena tanahnya subur, banyak masyarakat di sekitar kedua negara itu berdagang ke negara Ngastina dan menetap di sa-na serta tak kembali lagi ke negaranya termasuk para kawula di Ne-gara Gilingwesi. Banyak yang maninggalkan Negara Gilingwesi kare-na tidak senang dengan peraturan Raden Kuswanalendra yang sa-ngat sombong. Melihat rakytnya banyak pindah ke negara Ngastina dan Wiratha, Prabu Kus-wanalendra menyiapkan pasukannya untuk menye-rang Wiratha. Sesampai di alun-alun Wiratha, Prabu Kuswanalendra dan pasu-kannya dihadang oleh Be-gawan Bahusena dan wa-dyabala negara Wiratha. Terjadilah perang yang sangat seru di alun-alun negara Wiratha, Begawan Bahusena dike-royok oleh Prabu Kuswa-nalendradan raden Berjanggapati, akan tetapi keduanya dapat di-tangkap dan di ikat oleh Begawan Bahusena. Meli-hat raja nya ditawan Be-gawan Bahusena, wadya-bala negara Gilingwesi melarikan diri ke negara-nya. Setelah Prabu Kus-wanalendra dan Raden Be janggapati ditawan mere-ka mengaku salah dan merasa bersalah kepada Begawan Bahusena, akhirnya mereka berdua meminta pengam-punan kepada Begawan Bahusena. Begawan Bahusena merasa ka-sihan kepada mereka berdua, keduanya diampuni tetapi tidak diper-bolehkan kembali ke Negara Gilingwesi. Prabu Kuswanalendra dipe-rintahkan menebang hutan pohon Cangkring, yang banyak terdapat tawon gung. Prabu Kuswanalendra menebang pohon cangkring aki-batnya banyak lebah (tawon) yang mati tertimpa pohon, disana ada raja tawon yang bernama raja Galenggung, melihat kawulanya ba-nyak yang mati timbul amarahnya. Dia keluar dari sarangnya dan Gambar 4.9 Berjanggapati 262 menyerang Prabu Kuswanalendra. Prabu Kuswanalendra mengam-bil panah sakti lalu dilepaskan mengenai raja Galenggung dan seke-tika itu mati. Prabu Kuswanalendra marah tempat raja Galenggung dihujani panah sehingga di sekitar tempat itu banjir madu. Begawan Bahusena membantu Prabu Kuswanalendra, tempat itu di sabda menjadi kerajaan di beri nama negara Madura (Mandura), Prabu Kuswanalendra menjadi raja pertama bergelar Prabu Kuswanalendra atau Prabu Basukiswara. Raden Berjanggapati diperintahkan mene-bang hutan yang dihuni oleh burung rako (semacam burung ba-ngau), setelah menjadi rata disabda oleh Begawan Bahusena menja-di kerajaan, diberi nama negara Mandaraka. Raden Berjanggapati menjadi raja pertama ber-gelar Prabu Berjanggapati atau Prabu In-draspati. 5.4.4 Dewabrata Lahir Di negara Wiratha Prabu Matswapati, Patih Lirbita dan para punggwa sedang membicarakan Begawan Parasara yang telah me-ninggalkan negara Wiratha membawa serta putranya yaitu Raden Kresna Dwipayana (Raden Abiyasa), sedangkan Dewi Ambarwati (Dewi Durgandini) ditinggalkan di negara Wiratha, sebab Begawan Parasara menjalani tapa Wadat (bertapa yang mencegah jangan sampai mengeluarkan sperma). Sedangkan di negara Wiratha se-dang terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh para raja sewu yang ingin melamar Dewi Ambarwati. Prabu Matswapati lalu memanggi bupati Sawojajar yaitu Raden Harya Kincaka dan bupati Reca Manik atau Raden Harya Kincaka Rupa. Mereka berdua diperintahkan untuk mengusir raja se-wu yang menduduki alun-alun Wiratha. Raden Kincaka dan Raden Kincaka Rupa segera melaksanakan perintah itu beserta dengan pa-ra wadyabala. Sesampainya di tengah alun-alun Raden Kincaka me-nemui Prabu Candrakilasmara pemimpin dari raja sewu. Raden Kin-caka mengatakan, bahwa sebaiknya para raja sewu segera mening-galkan negara Wiratha karena Dewi Ambarwati sekarang sudah di-peristri oleh Begawan Parasara. Mendengar perkatan Raden Kinca-ka Prabu Candrakilasmara menjadi marah, merasa bahwa ia dan ra-ja-raja sewu lainya telah dikelabui raja Wiratha, maka Prabu Candra-kilasmara ingin menghukum Raja Wiratha. Setelah mendengar per-nyataan Prabu Candrakilasmara seperti itu maka Raden Kincaka pun marah, sehingga terjadi pertempuran antara Raden Kincaka me-lawan Prabu Candrakilasmara. Prabu Candrakilasmara sangat kerepotan menghadapi Ra-den Kincaka, maka para raja lainnya turut membantunya. Melihat pa-ra raja menyerang bersama, Raden Kincaka Rupa dan Patih Lirbita maju dengan mengerahkan wadyabala Wiratha, namun karena jum-lah prajuritnya kalah banyak dari jumlah prajurit para raja sewu, ma-ka wadyabala Wiratha terdesak mundur. Untunglah ketika wadyaba- 263la Wiratha baru saja mundur datanglah bantuan dari Raden Rajama-la dan Raden Wayuta Tunggul Wulung. Mendapat bantuan dari ke-dua satriya itu keadaan jadi berbalik, sekarang wadyabala raja sewu terdesak mundur, Raden Kincaka tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia mengambil gada gelas putih, dengan menaiki kuda yang sangat besar Raden Kincaka menyerbu sendirian menyeruak barisan raja sewu sehingga raja sewu banyak yang terluka dan terbunuh. Menge-tahui saudaranya banyak yang terbunuh Prabu Candrakilasmara me-merintahkan wadyabalanya untuk mundur dan meninggalkan negara Wiratha. Gambar 4.10 Sentanudewa Setelah berhasil mengusir raja sewu dan wadyabalanya, Raden Kincaka dan saudara-saudaranya kembali ke istana. Di da-lam istana Wiratha, Prabu Matswapati menerima kedatangan Dewi Ambarwati yang menyatakan sudah kangen dengan Raden Kresna Dipayana, serta ingin menyusulnya. Dewi Ambarwati minta ijin kepa-da kakaknya untuk menyusul Begawan Parasara dan Raden Kresna Dipayana ke pertapaan Rahtawu atau Saptaarga. Dengan berat hati Prabu Matswapati mengijinkan adiknya pergi ke pertapaan Saptaar-ga. Setelah Dewi Ambarwati berangkat menuju pertapan Saptaarga, datanglah Raden Kincaka dengan ketiga saudaranya melaporkan bahwa raja sewu telah meninggalkan negara Wiratha. Raden Kinca-ka lalu diperintahkan untuk menyusul serta menjaga dari jauh perja-lanan Dewi Ambarwati menuju ke pertapaan Rahtawu. Raden Kinca-ka Rupa dan Raden Rajamala dan Raden Wayuta Tunggul Wulung 264 diperintahkan sementara waktu untuk menjaga istana Wiratha. Ra-den Kincaka segera pergi meninggalkan Istana Wiratha menyusul Dewi Ambarwati. Sementara itu di negara Ngastina, Prabu Sentanu sedang dihadap Patih Bantheng Kistawa atau Patih Dasabahu. Prabu Senta-nu sedang bersedih karena ditinggal mati oleh Dewi istrinya yaitu Dewi Sancanawulan yang meninggal dunia disaat melahirkan putra-nya yang di beri nama Raden Dewabrata. Negara Ngastina untuk se-mentara waktu diserahkan ke Patih Dasabahu, sedangkan Prabu Sentanu akan segera keluar istana untuk menghibur diri sambil me-ngasuh Raden Dewabrata yang selalu menangis minta disusui ibu-nya. Prabu Sentanu segera menggendong Raden Dewabrata me-ninggalkan negara Ngastina, diperjalanan Raden Dewabrata selalu menangis minta disusui, dia berhenti menangis hanya sewaktu tidur, setelah bangun Raden Dewabrata menangis lagi. Dalam kesedihan-nya melihat Raden Dewabrata itu, Prabu Sentanu berkata dalam ha-ti, bahwa siapa saja putri yang dapat menghentikan tangis Raden Dewabrata dan dapat memberikan air susunya untuk membesarkan Raden Dewabrata, maka ia rela memberikan negara Ngastina kepa-da putri tersebut sebagai gantinya. Dalam perjalanan sambil melamun itu, Prabu Sentanu ber-papasan dengan Dewi Ambarwati yang sedang dalam perjalanan menuju ke Pertapaan Rahtawu. Dewi Ambarwati setelah mendengar ada anak sedang menangis, teringatlah ia pada Raden Kresna Dipa-yana. Anak tersebut dihampirinya, kebetulan payudara Dewi Ambar-wati sedang sangat sakit dan harus dikeluarkan air susunya, segera-lah Raden Dewabrata yang berada dalam gendongan Prabu Senta-nu diminta lalu digendong dan disusuinya. Raden Dewabrata menyu-su Dewi Ambarwati dengan lahap, karena telah sekian lama meng-harapkan air susu ibu. Setelah puas menyusu Raden Dewabrata te-nang kembali. Dewi Ambarwati memandang Prabu Sentanu yang berada di dekatnya, setelah itu melihat Raden Dewabrata yang ter-nyata bukan anaknya sendiri, maka Dewi Ambarwati tersadar dan terkejut seketika itu pula Raden Dewabrata yang digendongnya terle-pas dan jatuh di tanah, Raden Dewabrata menjerit kesakitan. Meli-hat Raden Dewabrata terjatuh dan menjerit kesakitan, Prabu Senta-nu marah-marah, Dewi Ambarwati dimaki-maki bahkan akan ditem-peleng. Raden Kincaka yang mengawasi dari kejauhan setelah meli-hat Dewi Ambarwati akan di tempeleng orang lain maka menjadi sa-ngat marah dan murka, sehingga tanpa bertanya, Prabu Sentanu di-tendangnya sehingga terjadi perkelahian. Selama perkelahian ber-langsung antara Prabu Sentanu melawan Raden Kincaka maka Ra-den Dewabrata digendong Dewi Ambarwati Diceritakan kebetulan pada waktu itu, Begawan Parasara yang sedang menggendong Raden Abiyasa didampingi Semar dan Bagong sedang berada di seputar tempat pertempuran berlangsung. 265 Gambar 4.11 Dewabrata Gambar 4.12 Abiyasa 266 Mendengar ada keributan Begawan Parasara melihat Dewi Ambar-wati sedang menggendong putra yang seumur dengan Raden Kres-na Dipayana, dan melihat yang bertempur adalah Raden Kincaka melawan Prabu Sentanu, maka peperangan itu segera dilerai. Dije-laskan oleh Semar, bahwa sebetulnya mereka itu masih ada hubu-ngan persaudaraan. Prabu Sentanu adalah adik Prabu Mandrabahu Raja Negara Wiratha yang mempunyai dua orang anak angkat yaitu Prabu Matswapati dan Dewi Ambarwati. Dewi Ambarwati adalah istri Begawan Parasara dan Raden Kincaka adalah anak angkat Bega-wan Parasara dan Dewi Ambarwati. Dengan demikian Dewi Ambar-wati adalah kemenakan Prabu Sentanu dan Raden Kincaka adalah cucu kemenakan Prabu Sentanu, mengapa terjadi pertempuran. Prabu Sentanu lalu bercerita sebetulnya ia sedang bersedih dan pri-hatin karena ditinggal mati Dewi Sancanawulan permaesuri negara Ngastina yaitu meninggal saat melahirkan Raden Dewabrata. Beliau bersumpah, jikalau ada putri yang dapat menghentikan tangis Ra-den Dewabrata dan dapat mengasuhnya sampai dewasa, Prabu Sentanu sanggup memberikan negara Ngastina sabagai gantinya. Ternyata yang bisa menghentikan tangis Raden Dewabrata adalah Dewi Ambarwati, padahal Dewi Ambarwati adalah istri Begawan Pa-rasara. Begawan Parasara pun bercerita, bahwa sebetulnya sejak ia meninggalkan negara Wiratha, Dewi Ambarwati telah diberi pilih-an, akan kawin lagi atau tidak, sebab Begawan Parasara mulai saat itu menjalani tapa wadat, bertekat untuk tidak mengeluarkan sperma selama-lamanya. Oleh sebab itu keputusan mau menikah atau tidak berada di tangan Dewi Ambarwati. Jikalau Prabu Sentanu merasa senang dan mau mencintai Dewi Ambarwati, Begawan Parasara me-ngijinkan, asalkan sama-sama mencintainya. Prabu Sentanu lalu bertanya pada Dewi Ambarwati, apa kiranya mau menjadi istrinya. Dewi Ambarwati sanggup menjadi istri Prabu Sentanu, ser-ta sanggup mengasuh dan menyusui Raden Dewabrata sampai de-wasa, asalkan sesuai dengan janji Prabu Sentanu, yakni memberi-kan negara Ngastina beserta isinya sebagai ganti air susu Dewi Am-barwati, sebab air susu yang akan diberikan kepada Raden Dewa-brata adalah hak Raden Kresna Dipayana. Apakah Prabu Sentanu sanggup, dan mau berjanji, kelak kemudian hari kalau Raden Kresna Dipayana sudah cukup umur untuk menjadi raja, negara Ngastina akan diserahkan kepada Raden Kresna Dipayana. Prabu Sentanu menyanggupinya, mereka bersama-sama pergi ke negara Wiratha. Sesampainya di negara Wiratha, Prabu Sentanu melamar Dewi Ambarwati kepada Prabu Matswapati sebagai kakaknya, lalu memberikan janji seperti yang telah disepakati. Selanjutnya, dibuat-lah surat perjanjian yang ditanda tangani oleh Prabu Matswapati, Prabu Sentanu dan Begawan Parasara dengan disaksikan oleh Ra-den Kincaka, Semar dan Bagong. Surat perjanjian tersebut disimpan 267Prabu Matswapati di istana negara Wiratha. Setelah itu Begawan Parasara minta ijin kepada Prabu Matswapati untuk kembali ke per-tapaan Saptaarga diikuti Semar dan Bagong. Begitu pula Prabu Sen-tanu minta ijin kembali ke negara Ngastina beserta dengan Dewi Ambarwati yang sudah resmi menjadi istri Prabu Sentanu. Di tengah perjalanan pulang, Prabu Sentanu bersama istri-nya yang sedang menggendong Raden Dewabrata, mendadak diha-dang oleh Patih Bateng Kistawa yang melaporkan bahwa di alun-alun negara Ngastina sedang terjadi keributan. Ada serbuan dari ne-gara Indrapuri yang dipimpin putra Prabu Kala Segara yang bernama Prabu Sasra Marjapa dengan para wadyabala Indrapuri yang sangat banyak, bermaksud membalas dendam kepada Prabu Sentanu atas kematian Prabu Kala Segara. Mendengar laporan patih Dasabahu itu, Prabu Sentanu memerintahkan Patih Banteng Kistawa untuk me-nyiapkan wadyabala Ngastina yang ada, sedangkan Prabu Sentanu sendiri akan langsung menuju ke alun-alun negara Ngastina untuk menghadapi Prabu Sasramarjapa. Setiba di alun-alun, Prabu Senta-nu langsung menghadapi Prabu Sasramarjapa, dan terjadi perang tanding yang sangat seru antara Prabu Sentanu melawan Prabu Sa-sramarjapa, keduanya sama-sama digdaya dan sama-sama pandai memainkan berbagai macam senjata. Para wadyabala Ngastina dan wadyabala Indrapuri hanya menyaksikan jalanya peperangan dari kejauhan. Prabu Sentanu teringat akan kematian Prabu Kala Segara yang dahulu telah dibunuh oleh Begawan Bahusena yaitu ayah Pra-bu Sentanu, dengan menggunakan pusaka Wirayang. Maka Prabu Sentanu sambil mempersiapkan Pusaka Wirayang, sesudahnya se-gera dilepaskan dan mengenai dada Prabu Sasramarjapa. Prabu Sasramarjapa terkena pusaka Wirayang, terlempar jatuh ke pinggir alun-alun dan tewas seketika. Melihat Prabu Sasramarjapa mati, wadyabala Indrapuri maju bersama ingin mengeroyok Prabu Sentanu tetapi dihadang oleh wadyabala Ngastina yang dipimpin Patih Dasabahu, sehingga terjadilah pertempuran yang sangat seru antara wadyabala Ngastina melawan wadyabala Indrapuri, karena kalah banyak jumlahnya, akhirnya wadyabala Indrapuri banyak yang terbunuh dan takluk. Prabu Sentanu mengundang semua punggawa Ngastina dan mengumumkan perkawinannya dengan Dewi Ambarwati, dilanjutkan perayaan pesta di istana negara Hastina. A1DAFTAR PUSTAKA Bambang Sugia, Ki. 2004 Naskah Pakeliran Jawatimuran, Lakon Resa Seputra, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 9 Surabaya. Edi Sedyawati. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta. Sinar Harapan Pengetahuan Pedalangan 1. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan. 1983. Gamelan B. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan. 1983. Haryanto.S.1989. Pratiwimba Adhiluhung. Jakarta: DJAMBATAN. Hastanta Sri. 1995. Serba-Serbi Karawitan, Makalah Seminar Karawitan Hastanto Sri. 2006, Pathet Warisan Tradisi yang Terlupakan, Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Etnomusikolgi ISI Surakarta. Mulyono, Sri, Ir. 1982 Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, Gunung Agung, Jakarta. Panenggak Widodo, Marwoto, Ki.1984 Tuntunan Ketrampilan Tatah Sungging Wayang Kulit, Citra Jaya, Surabaya. Pengetahuan Karawitan Daerah Surakarta. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan. 1983. Pengetahuan Karawitan Daerah Yogyakarta. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan. 1983. A2 Pengetahuan Karawitan Jawa Timur. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan. 1983. RA, Djumiran, dkk.1995/1996 Lagon Vokal Dalang Jawatimuran, Dinas P & K Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur. Sastroamidjojo, Seno, Dr.1964 Renungan tentang Pertunjukan Wayang Kulit, Kinta, Jakarta. Sumarno, Poniran., & Rasona, Atot.1983 Pengetahuan Pedalangan Jilid 2, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan, Jakarta. Soetarno. 2004. Wayang Kulit : Perubahan Makna Ritual dan Hiburan, STSI Press, Surakarta. Surwedi, Ki. 2007. Layang Kandha Kelir, Lakon Ramayana, Penerbit, Bagaskara Jogyakarta dan FORLADAJA Surwedi, Ki. 2007. Layang Kandha Kelir, Lakon Mahabarata, Penerbit, Bagaskara Jogyakarta dan FORLADAJA Sutrisno, R.1983/1984. Sekilas Dunia Wayang dan Sejarahnya, Proyek Pengembangan IKI, Sub Proyek ASKI Surakarta. Victoria M. Clara van Groenendael. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti. Next >