< PreviousSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201711 ARUS UTAMA10 “Harum madu di mawar merah//Mentari di tengah-tengah//Berbelit jalan ke gunung kapur//Antara Bandung dan Cianjur.”Gambaran seperti yang dituliskan Ramadhan KH dalam puisi Priangan Si Jelita yang ditulis pada tahun 1956 itu susah kita bayangkan saat ini. Demikian pula lukisan Affandi tahun 1979 berjudul “Gunung Kapur Padalarang.” Entah di mana obyek yang pernah dilukis Affandi itu. Semua sudah berubah, hampir musnah, menyisakan kenangan pedih, tinggal tunggu waktu sampai hancur total.Debu mengepul di pegunungan kapur Citatah, Bandung Barat. Truk-truk besar hilir mudik mengangkut hasil tambang. Pekerja tambang menutupi sekujur tubuh dengan baju Gua Pawon, dan berkembangnya benih konflik sosial di masyarakat.Lain Padalarang, lain pula Bangka Belitung. Selain menyimpan keindahan alam, terutama pantai, daerah penghasil timah ini juga memiliki cerita kelam dari sisa penambangan. Cekungan tanah yang menganga sisa penambangan ada di mana-mana. Lubang besar itu menjadi danau yang mengancam bahaya bagi siapa saja. Demikian pula lahan-lahan tandus nan gersang bekas tambang.Kubangan tanah rusak itu sangat luas, bahkan dapat berupa situ karena terisi air hujan. Parahnya, tidak ada ikan yang hidup di sana. Kandungan racun sisa tambang membuat ikan-ikan terkapar. Potret kerusakan alam yang sempurna. Dua daerah di atas hanyalah contoh bagaimana kondisi alam kita yang kian hari semakin merana. Belum lagi alih fungsi lahan, pembalakan, dan pembakaran hutan. Jika tidak dihentikan segera, kita hanya bisa pasrah saat alam berbalik marah kepada kita. Jangan sampai bencana datang, menghancurkan rumah dan harta benda yang kita miliki karena tangan-tangan kita sendiri.Harus ada upaya yang sistematis untuk menjaga ala mini, sehingga ia bisa tetap hijau dan lestari. Jika alam tetap asri, maka ia bisa menghidupi kita yang mendiami. Itu mengapa Dompet Dhuafa menggulirkan program yang fokus terhadap isu lingkungan. Karena kerusakan lingkungan juga berkelindan dengan kesejahteraan dan kemiskinan. Melalui Semesta Hijau (SEMAI), Dompet Dhuafa berikhtiar menjaga alam dan lingkungan.lengan panjang, celana panjang, dan sepatu boot. Mereka menggunakan kaos sebagai masker yang menutupi rambut, mulut, hidung dan mata dari pedihnya debu kapur. Dua sisi yang terluka dalam proses ini: alam yang makin tergerus, dan kondisi sosial ekonomi warga sekitar yang bertahan di bawah garis kemiskinan, berprofesi sebagai buruh kasar penambang.Kawasan karst Citatah, Rajamandala, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, lain dulu lain sekarang. Bukit-bukit kapur yang dulu tegak kokoh, kini sebagian besar sudah rata dengan tanah. Di sana terlihat bukit kapur yang botak, bopeng, dan terbelah menyisakan puing-puing kepedihan dan kekhawatiran akan datangnya bencana. Secara geohidrologi, sebagian besar daerahnya merupakan daerah resapan air. Namun akibat pemanfaatan ruang, terutama untuk pertambangan yang berlebihan yang kurang memerhatikan asas konservasi dan kelestarian lingkungan hidup, kawasan itu rusak dengan cepat. Gejala rusaknya kawasan ditunjukkan oleh hilangnya beberapa mata air, kini tinggal menyisakan satu mata air di Pasir Pawon. Ditambah musnahnya beberapa perbukitan kapur yang indah, terancamnya situs Jangan Tunggu Alam MarahDi bumi Cipatat yang makin lumpuh inilah, SEMAI menggelar aksi Sedekah Pohon. Saat ini telah ada sekitar dua ribu bibit pohon bambu hitam yang ditanam di beberapa titik area bekas tambang yang telah rusak. Lahan yang digunakan untuk penanaman seluas kurang lebih tujuh hektare. Ada 10 titik penanaman di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Bandung Barat. Penerima manfaat program ini sebanyak 20 kepala keluarga, masing-masing berkewajiban merawat 200 bibit pohon bambu hitam. Penanaman bambu hitam di kawasan karst Cipatat itu, berkat kerjasama SEMAI dengan Yayasan Saung Angklung Udjo (YSAU), Bandung. Saung Angklung Udjo yang terkenal sebagai industri kreatif, memfasilitasi warga agar bersedia menanam bambu hitam. Selanjutnya, bila bambu telah siap panen dan bisa dibuat kerajinan angklung, akan dibeli Saung Angklung Udjo dari warga Cipatat. Itulah salah satu pola konservasi alam plus peningkatan pendapatan kaum dhuafa. Kemitraan yang indah.Sedekah Pohon menjadi andalan program SEMAI di samping program lingkungan lainnya. Diinisiasi pada tahun 2010, ratusan ribu pohon telah ditanam Dompet Dhuafa bersama mitra. Program Sedekah Pohon memiliki keunggulan dibanding program tanam pohon yang kerap dilakukan instansi pemerintah atau perusahaan swasta. Pohon yang ditanam diikuti program pemeliharaan selama lima tahun. Ada empat komponen isu dalam penanganan sedekah pohon, yaitu mustahik, pemberdayaan, lahan dan proses program. SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201711 ARUS UTAMA10 “Harum madu di mawar merah//Mentari di tengah-tengah//Berbelit jalan ke gunung kapur//Antara Bandung dan Cianjur.”Gambaran seperti yang dituliskan Ramadhan KH dalam puisi Priangan Si Jelita yang ditulis pada tahun 1956 itu susah kita bayangkan saat ini. Demikian pula lukisan Affandi tahun 1979 berjudul “Gunung Kapur Padalarang.” Entah di mana obyek yang pernah dilukis Affandi itu. Semua sudah berubah, hampir musnah, menyisakan kenangan pedih, tinggal tunggu waktu sampai hancur total.Debu mengepul di pegunungan kapur Citatah, Bandung Barat. Truk-truk besar hilir mudik mengangkut hasil tambang. Pekerja tambang menutupi sekujur tubuh dengan baju Gua Pawon, dan berkembangnya benih konflik sosial di masyarakat.Lain Padalarang, lain pula Bangka Belitung. Selain menyimpan keindahan alam, terutama pantai, daerah penghasil timah ini juga memiliki cerita kelam dari sisa penambangan. Cekungan tanah yang menganga sisa penambangan ada di mana-mana. Lubang besar itu menjadi danau yang mengancam bahaya bagi siapa saja. Demikian pula lahan-lahan tandus nan gersang bekas tambang.Kubangan tanah rusak itu sangat luas, bahkan dapat berupa situ karena terisi air hujan. Parahnya, tidak ada ikan yang hidup di sana. Kandungan racun sisa tambang membuat ikan-ikan terkapar. Potret kerusakan alam yang sempurna. Dua daerah di atas hanyalah contoh bagaimana kondisi alam kita yang kian hari semakin merana. Belum lagi alih fungsi lahan, pembalakan, dan pembakaran hutan. Jika tidak dihentikan segera, kita hanya bisa pasrah saat alam berbalik marah kepada kita. Jangan sampai bencana datang, menghancurkan rumah dan harta benda yang kita miliki karena tangan-tangan kita sendiri.Harus ada upaya yang sistematis untuk menjaga ala mini, sehingga ia bisa tetap hijau dan lestari. Jika alam tetap asri, maka ia bisa menghidupi kita yang mendiami. Itu mengapa Dompet Dhuafa menggulirkan program yang fokus terhadap isu lingkungan. Karena kerusakan lingkungan juga berkelindan dengan kesejahteraan dan kemiskinan. Melalui Semesta Hijau (SEMAI), Dompet Dhuafa berikhtiar menjaga alam dan lingkungan.lengan panjang, celana panjang, dan sepatu boot. Mereka menggunakan kaos sebagai masker yang menutupi rambut, mulut, hidung dan mata dari pedihnya debu kapur. Dua sisi yang terluka dalam proses ini: alam yang makin tergerus, dan kondisi sosial ekonomi warga sekitar yang bertahan di bawah garis kemiskinan, berprofesi sebagai buruh kasar penambang.Kawasan karst Citatah, Rajamandala, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, lain dulu lain sekarang. Bukit-bukit kapur yang dulu tegak kokoh, kini sebagian besar sudah rata dengan tanah. Di sana terlihat bukit kapur yang botak, bopeng, dan terbelah menyisakan puing-puing kepedihan dan kekhawatiran akan datangnya bencana. Secara geohidrologi, sebagian besar daerahnya merupakan daerah resapan air. Namun akibat pemanfaatan ruang, terutama untuk pertambangan yang berlebihan yang kurang memerhatikan asas konservasi dan kelestarian lingkungan hidup, kawasan itu rusak dengan cepat. Gejala rusaknya kawasan ditunjukkan oleh hilangnya beberapa mata air, kini tinggal menyisakan satu mata air di Pasir Pawon. Ditambah musnahnya beberapa perbukitan kapur yang indah, terancamnya situs Jangan Tunggu Alam MarahDi bumi Cipatat yang makin lumpuh inilah, SEMAI menggelar aksi Sedekah Pohon. Saat ini telah ada sekitar dua ribu bibit pohon bambu hitam yang ditanam di beberapa titik area bekas tambang yang telah rusak. Lahan yang digunakan untuk penanaman seluas kurang lebih tujuh hektare. Ada 10 titik penanaman di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Bandung Barat. Penerima manfaat program ini sebanyak 20 kepala keluarga, masing-masing berkewajiban merawat 200 bibit pohon bambu hitam. Penanaman bambu hitam di kawasan karst Cipatat itu, berkat kerjasama SEMAI dengan Yayasan Saung Angklung Udjo (YSAU), Bandung. Saung Angklung Udjo yang terkenal sebagai industri kreatif, memfasilitasi warga agar bersedia menanam bambu hitam. Selanjutnya, bila bambu telah siap panen dan bisa dibuat kerajinan angklung, akan dibeli Saung Angklung Udjo dari warga Cipatat. Itulah salah satu pola konservasi alam plus peningkatan pendapatan kaum dhuafa. Kemitraan yang indah.Sedekah Pohon menjadi andalan program SEMAI di samping program lingkungan lainnya. Diinisiasi pada tahun 2010, ratusan ribu pohon telah ditanam Dompet Dhuafa bersama mitra. Program Sedekah Pohon memiliki keunggulan dibanding program tanam pohon yang kerap dilakukan instansi pemerintah atau perusahaan swasta. Pohon yang ditanam diikuti program pemeliharaan selama lima tahun. Ada empat komponen isu dalam penanganan sedekah pohon, yaitu mustahik, pemberdayaan, lahan dan proses program. SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017Pohon yang ditanam pun dipilih yang berjenis pohon produktif sehingga secara ekonomi pertumbuhan dan perkembangbiakannya berimbas pada ekonomi. Nah, Dompet Dhuafa mengupayakan penanaman pohon itu dilakukan oleh dhuafa. Dengan demikian, mereka bisa mendapatkan hasil ekonomi dari pohon yang mereka tanam dan rawat.Lahirnya program Sedekah Pohon ini dilatari banyak pemikiran. Sebelum resmi menjadi sebuah aktivitas Dompet Dhuafa, program Sedekah Pohon telah mengalami pematangan konsep di internal organisasi amal sosial ini. Konsep yang melatari program itu adalah: (1) paradigma Islam tentang lingkungan yang saat ini dikenal sebagai fiqh al-bi’ah, (2) peta bumi yang makin rusak karena deforestasi dan pemanasan global (global warming), (3) keprihatinan dunia akan kerusakan alam dan lahirnya beberapa regulasi internasional dan nasional untuk mengantisipasi lumpuhnya bumi, dan (4) potensi tanaman produktif, baik konsumsi lokal maupun untuk diimpor.Sedekah PohonBagaimana bersedekah dengan pohon? Dalam pandangan Dompet Dhuafa, pohon yang disedekahkan oleh aghniya (orang kaya berkemampuan), akan disalurkan kepada dhuafa yang bersedia merawat hingga berbuah dan menghasilkan pendapatan tambahan. Secara mudah, dua sisi sekaligus dalam sedekah pohon ini: manusianya dan alam semesta. Bersedekah kepada insan mustahik dan kepada alam.Sedekah Pohon juga bertujuan merespon isu global terkait masalah lingkungan hidup yang saat ini berkembang pesat. Ada empat komponen isu dalam penanganan sedekah pohon, yaitu mustahik, pemberdayaan, lahan dan proses program. Dalam konteks sosial, program sedekah pohon akan memberikan manfaat kepada mustahik untuk mendapatkan insentif pemeliharaan, penambahan aset kelola dan bagi hasil. Sedekah Pohon berangkat dari Dompet Dhuafa yang sangat konsen terhadap mustahik, maka program ini harus berbasis mustahik dengan profil penerima manfaat berkategori miskin baik perorangan maupun kelompok, sudah menikah atau hidup dalam kelompok—misalnya pesantren. Terkait dengan aspek lahan, program ini harus jelas dari sisi penggunaan lahan, secara akad baik berstatus milik perorangan, yayasan, pemerintah maupun swasta. Sehingga kemungkinan konflik dapat dihindari.Sekilas program Sedekah Pohon hampir mirip dengan konsep penghijauan lainnya, namun secara spirit konsep Dompet Dhuafa ini berbeda, ditinjau dari fokus obyek penanganannya. Kalau program penghijauan titik fokusnya lebih pada aspek tanaman (pohon), sehingga kadang kurang memperhatikan masyarakatnya. Sementara titik perhatian Sedekah Pohon justru pada masyarakatnya sebagai proses 12 pemberdayaan. Jadi pohon atau tanaman hanya sebatas instrumen (wasilah) bagi proses pemberdayaan yang akan dilakukan.Alam semesta ada untuk dinikmati manusia. Namun, bukan melindungi alam secara fanatis dengan menyingkirkan manusia di sekitarnya. Ibaratnya, jangan sampai karena kita ingin menyelamatkan satu keluarga panda, kita harus mengusir ratusan keluarga manusia miskin yang menempati hutan secara tak legal. Harus ada solusi bagi alam dan manusianya. Wallahu A’lam [Amirul Hasan]SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017Pohon yang ditanam pun dipilih yang berjenis pohon produktif sehingga secara ekonomi pertumbuhan dan perkembangbiakannya berimbas pada ekonomi. Nah, Dompet Dhuafa mengupayakan penanaman pohon itu dilakukan oleh dhuafa. Dengan demikian, mereka bisa mendapatkan hasil ekonomi dari pohon yang mereka tanam dan rawat.Lahirnya program Sedekah Pohon ini dilatari banyak pemikiran. Sebelum resmi menjadi sebuah aktivitas Dompet Dhuafa, program Sedekah Pohon telah mengalami pematangan konsep di internal organisasi amal sosial ini. Konsep yang melatari program itu adalah: (1) paradigma Islam tentang lingkungan yang saat ini dikenal sebagai fiqh al-bi’ah, (2) peta bumi yang makin rusak karena deforestasi dan pemanasan global (global warming), (3) keprihatinan dunia akan kerusakan alam dan lahirnya beberapa regulasi internasional dan nasional untuk mengantisipasi lumpuhnya bumi, dan (4) potensi tanaman produktif, baik konsumsi lokal maupun untuk diimpor.Sedekah PohonBagaimana bersedekah dengan pohon? Dalam pandangan Dompet Dhuafa, pohon yang disedekahkan oleh aghniya (orang kaya berkemampuan), akan disalurkan kepada dhuafa yang bersedia merawat hingga berbuah dan menghasilkan pendapatan tambahan. Secara mudah, dua sisi sekaligus dalam sedekah pohon ini: manusianya dan alam semesta. Bersedekah kepada insan mustahik dan kepada alam.Sedekah Pohon juga bertujuan merespon isu global terkait masalah lingkungan hidup yang saat ini berkembang pesat. Ada empat komponen isu dalam penanganan sedekah pohon, yaitu mustahik, pemberdayaan, lahan dan proses program. Dalam konteks sosial, program sedekah pohon akan memberikan manfaat kepada mustahik untuk mendapatkan insentif pemeliharaan, penambahan aset kelola dan bagi hasil. Sedekah Pohon berangkat dari Dompet Dhuafa yang sangat konsen terhadap mustahik, maka program ini harus berbasis mustahik dengan profil penerima manfaat berkategori miskin baik perorangan maupun kelompok, sudah menikah atau hidup dalam kelompok—misalnya pesantren. Terkait dengan aspek lahan, program ini harus jelas dari sisi penggunaan lahan, secara akad baik berstatus milik perorangan, yayasan, pemerintah maupun swasta. Sehingga kemungkinan konflik dapat dihindari.Sekilas program Sedekah Pohon hampir mirip dengan konsep penghijauan lainnya, namun secara spirit konsep Dompet Dhuafa ini berbeda, ditinjau dari fokus obyek penanganannya. Kalau program penghijauan titik fokusnya lebih pada aspek tanaman (pohon), sehingga kadang kurang memperhatikan masyarakatnya. Sementara titik perhatian Sedekah Pohon justru pada masyarakatnya sebagai proses 12 pemberdayaan. Jadi pohon atau tanaman hanya sebatas instrumen (wasilah) bagi proses pemberdayaan yang akan dilakukan.Alam semesta ada untuk dinikmati manusia. Namun, bukan melindungi alam secara fanatis dengan menyingkirkan manusia di sekitarnya. Ibaratnya, jangan sampai karena kita ingin menyelamatkan satu keluarga panda, kita harus mengusir ratusan keluarga manusia miskin yang menempati hutan secara tak legal. Harus ada solusi bagi alam dan manusianya. Wallahu A’lam [Amirul Hasan]SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201715 ARUS UTAMAARUS UTAMA14 BIaSanYa, dalam perayaan ulang tahun yang dibakar itu lilin di atas kue tar. Tapi Senin 7 September 2 tahun lalu tidak demikian. Aktivis dan pencinta lingkungan di Riau, merayakan “ulang tahun” ke-18 terjadinya bencana kabut asap yang melingkupi negeri melayu itu. Perayaan diadakan di Tugu Sapin, Kantor Gubernur Riau, Kota Pekanbaru, Riau. Karena merayakan ulang tahun sebuah bencana asap, tidak banyak yang mereka lakukan, mereka hanya diam. Hidung dan mulut mereka ditutupi masker. Hanya sebuah spanduk panjang yang berbicara, “Kami tidak mau lagi merayakan ulang tahun kabut asap setiap tahun di sini, Kami ingin bencana ini dihentikan sekarang.” Namun secara simbolis mereka tetap melakukan pemotongan kue bencana asap. Pecinta lingkungan yang ikut dalam aksi ini adalah komunitas musik Riau, Walhi Riau, Komunitas Pecinta Alam.Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau di sela-sela aksi, waktu itu mengatakan, dari tahun 1997 bencana asap selalu terjadi di Riau. Namun, pemerintah dan pihak terkait belum berhasil juga menghentikan bencana ini. Riko menyalahkan investasi dan konglomerasi yang jadi penyebab. Karena investasi telah melahirkan ketimpangan penguasaan lahan; antara rakyat dan pengusaha hutan tanaman industri. Menurutnya, perkebunan kelapa sawit skala besar, tidak hanya menjauhkan kata sejahtera dari mayoritas penduduk Riau yang menggantungkan hidup dari kelestarian hutan, tapi juga mendatangkan bencana. “Beragam bencana lahir dari praktik buruk tata kelola sumber daya alam ini. Pembukaan hutan besar-besaran, pengeringan lahan gambut, praktik kotor pembakaran berakibat bencana ekologis (asap) yang terus berlangsung tahun ke tahun,” tambahnya. Berdasarkan data yang ia punya; 2013 dan 2014, terdapat 12 korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dari jumlah itu, 2 perkara ditangani Polda Riau dan sisanya KLHK. Dari 12 korporasi tersebut, 3 diantaranya sudah melewati tahapan persidangan dan telah dijatuhi putusan pemidanaan, walaupun dengan hukuman yang tidak begitu memuaskan.Tidak hanya Riau, semasa itu, Indonesia sangat dikenal sebagai “negeri asap”. Hampir semua daerah diselimuti asap, aktivitas dan kesehatan warga pun terganggu. Di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa sore di akhir Oktober dua tahun lalu, kondisi udara selalu 10 kali di ambang batas Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU).“ISPU menandakan level berbahaya jika sudah berada di angka 300, Kota Palangkaraya menunjukan pagi hari ini angkanya 1.500, dan sore ini angka ISPU berkisar 3.000-an sejak Pukul 14.00 WIT. Berarti sudah sepuluh kali berbahaya, ” kata Deputi Direktur Walhi Kalteng, Fandi, di Palangkaraya kepada Swara Cinta waktu itu. Jarak pandang di kota itu hanya berkisar 50 meter.Bahkan asap juga merantau jauh ke negara tetangga. Di Malaysia kerajaan meliburkan sekolah karena polusi asap yang memburuk. Seperti diberitakan Bernama Minggu (18/10/2015), Kementerian Pendidikan Malaysia meliburkan sekolah di Malaka, Negeri Sembilan, dan Selangor, serta beberapa kota dan distrik seperti Putrajaya, Kuala Lumpur, Kuching, Samarahan dan Tawau, mulai hari Senin (19/10/2015).Presiden Indonesia Joko Widodo menyampaikan, kerugian karena karhutala mencapai angka Rp 220 triliun. “Ini, angka gede sekali,” ujar Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin (23/1/2017).Menurut presiden kerugian tidak hanya pada sektor ekonomi saja, namun juga kerugian kesehatan masyarakat yang terdampak, termasuk ekosistem hayati di titik-titik yang terbakar.“Dampak yang lain adalah hilangnya habitat keragaman hayati kita. Ini juga dampak yang tidak bisa dihitung secara ekonomi. Besar sekali. hutan yang rusak diperkirakan 2,6 juta hektare, kemudian yang berkaitan dengan liburnya sekolah ini juga enggak bisa dihitung kerugian kita berapa,” tutur Presiden Jokowi.Ia juga memaparkan, kebakaran hutan dan lahan pada Juni - Oktober 2015, memakan kerugian finansial yang sangat besar. Jumlah tersebut di luar penghitungan kerugian sektor kesehatan, pendidikan, plasma nutfah, emisi karbon dan lainnya. Kerugian lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian serupa di 1997, di mana Karhutla merugikan negara hingga Rp 60 triliun.Karena peduli terhadap kerugian besar itu pula, ketika bencana asap itu terjadi, lembaga-lembaga filantropi berbondong-bondong membantu pemerintah menghimpun dana publik dan menyalurkannya untuk meringankan beban masyarakat terdampak.Seperti disampaikan Direktur Utama Dompet Dhuafa Filantropi drg. Imam Rulyawan, misalnya, kontribusi Dompet Dhuafa dalam upaya penanganan bencana kabut asap dalam Agustus - Oktober 2015, telah membagi 117.170 buah masker, 36.500 liter air bersih, 50 paket makanan suplemen, 7 titik promosi kesehatan, mendirikan 20 titik pos sehat yang melayani 4,040 jiwa, mendirikan 9 safe house sebagai rumah evakuasi warga, dan 4 lokasi pemadaman.Pemerintah melalui Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pun sangat mengapresiasi peran lembaga-lembaga kemanusiaan seperti Dompet Dhuafa dalam penanganan kabut asap tersebut. Ketika ditemui di kantornya, Kamis (12/11/2015), Kemensos menyatakan siap menjalin sinergi dengan lembaga filantropi Indonesia untuk membantu warga, menangani berbagai dampak bencana.Hutan Rusak, Asap MengepungSejak 1997, bencana Asap akibat Karhutla hampir tiap tahun berulang, kerugian pun tidak sedikit. Akankah bencana ini terus berlanjut?SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201715 ARUS UTAMAARUS UTAMA14 BIaSanYa, dalam perayaan ulang tahun yang dibakar itu lilin di atas kue tar. Tapi Senin 7 September 2 tahun lalu tidak demikian. Aktivis dan pencinta lingkungan di Riau, merayakan “ulang tahun” ke-18 terjadinya bencana kabut asap yang melingkupi negeri melayu itu. Perayaan diadakan di Tugu Sapin, Kantor Gubernur Riau, Kota Pekanbaru, Riau. Karena merayakan ulang tahun sebuah bencana asap, tidak banyak yang mereka lakukan, mereka hanya diam. Hidung dan mulut mereka ditutupi masker. Hanya sebuah spanduk panjang yang berbicara, “Kami tidak mau lagi merayakan ulang tahun kabut asap setiap tahun di sini, Kami ingin bencana ini dihentikan sekarang.” Namun secara simbolis mereka tetap melakukan pemotongan kue bencana asap. Pecinta lingkungan yang ikut dalam aksi ini adalah komunitas musik Riau, Walhi Riau, Komunitas Pecinta Alam.Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau di sela-sela aksi, waktu itu mengatakan, dari tahun 1997 bencana asap selalu terjadi di Riau. Namun, pemerintah dan pihak terkait belum berhasil juga menghentikan bencana ini. Riko menyalahkan investasi dan konglomerasi yang jadi penyebab. Karena investasi telah melahirkan ketimpangan penguasaan lahan; antara rakyat dan pengusaha hutan tanaman industri. Menurutnya, perkebunan kelapa sawit skala besar, tidak hanya menjauhkan kata sejahtera dari mayoritas penduduk Riau yang menggantungkan hidup dari kelestarian hutan, tapi juga mendatangkan bencana. “Beragam bencana lahir dari praktik buruk tata kelola sumber daya alam ini. Pembukaan hutan besar-besaran, pengeringan lahan gambut, praktik kotor pembakaran berakibat bencana ekologis (asap) yang terus berlangsung tahun ke tahun,” tambahnya. Berdasarkan data yang ia punya; 2013 dan 2014, terdapat 12 korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dari jumlah itu, 2 perkara ditangani Polda Riau dan sisanya KLHK. Dari 12 korporasi tersebut, 3 diantaranya sudah melewati tahapan persidangan dan telah dijatuhi putusan pemidanaan, walaupun dengan hukuman yang tidak begitu memuaskan.Tidak hanya Riau, semasa itu, Indonesia sangat dikenal sebagai “negeri asap”. Hampir semua daerah diselimuti asap, aktivitas dan kesehatan warga pun terganggu. Di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa sore di akhir Oktober dua tahun lalu, kondisi udara selalu 10 kali di ambang batas Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU).“ISPU menandakan level berbahaya jika sudah berada di angka 300, Kota Palangkaraya menunjukan pagi hari ini angkanya 1.500, dan sore ini angka ISPU berkisar 3.000-an sejak Pukul 14.00 WIT. Berarti sudah sepuluh kali berbahaya, ” kata Deputi Direktur Walhi Kalteng, Fandi, di Palangkaraya kepada Swara Cinta waktu itu. Jarak pandang di kota itu hanya berkisar 50 meter.Bahkan asap juga merantau jauh ke negara tetangga. Di Malaysia kerajaan meliburkan sekolah karena polusi asap yang memburuk. Seperti diberitakan Bernama Minggu (18/10/2015), Kementerian Pendidikan Malaysia meliburkan sekolah di Malaka, Negeri Sembilan, dan Selangor, serta beberapa kota dan distrik seperti Putrajaya, Kuala Lumpur, Kuching, Samarahan dan Tawau, mulai hari Senin (19/10/2015).Presiden Indonesia Joko Widodo menyampaikan, kerugian karena karhutala mencapai angka Rp 220 triliun. “Ini, angka gede sekali,” ujar Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin (23/1/2017).Menurut presiden kerugian tidak hanya pada sektor ekonomi saja, namun juga kerugian kesehatan masyarakat yang terdampak, termasuk ekosistem hayati di titik-titik yang terbakar.“Dampak yang lain adalah hilangnya habitat keragaman hayati kita. Ini juga dampak yang tidak bisa dihitung secara ekonomi. Besar sekali. hutan yang rusak diperkirakan 2,6 juta hektare, kemudian yang berkaitan dengan liburnya sekolah ini juga enggak bisa dihitung kerugian kita berapa,” tutur Presiden Jokowi.Ia juga memaparkan, kebakaran hutan dan lahan pada Juni - Oktober 2015, memakan kerugian finansial yang sangat besar. Jumlah tersebut di luar penghitungan kerugian sektor kesehatan, pendidikan, plasma nutfah, emisi karbon dan lainnya. Kerugian lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian serupa di 1997, di mana Karhutla merugikan negara hingga Rp 60 triliun.Karena peduli terhadap kerugian besar itu pula, ketika bencana asap itu terjadi, lembaga-lembaga filantropi berbondong-bondong membantu pemerintah menghimpun dana publik dan menyalurkannya untuk meringankan beban masyarakat terdampak.Seperti disampaikan Direktur Utama Dompet Dhuafa Filantropi drg. Imam Rulyawan, misalnya, kontribusi Dompet Dhuafa dalam upaya penanganan bencana kabut asap dalam Agustus - Oktober 2015, telah membagi 117.170 buah masker, 36.500 liter air bersih, 50 paket makanan suplemen, 7 titik promosi kesehatan, mendirikan 20 titik pos sehat yang melayani 4,040 jiwa, mendirikan 9 safe house sebagai rumah evakuasi warga, dan 4 lokasi pemadaman.Pemerintah melalui Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pun sangat mengapresiasi peran lembaga-lembaga kemanusiaan seperti Dompet Dhuafa dalam penanganan kabut asap tersebut. Ketika ditemui di kantornya, Kamis (12/11/2015), Kemensos menyatakan siap menjalin sinergi dengan lembaga filantropi Indonesia untuk membantu warga, menangani berbagai dampak bencana.Hutan Rusak, Asap MengepungSejak 1997, bencana Asap akibat Karhutla hampir tiap tahun berulang, kerugian pun tidak sedikit. Akankah bencana ini terus berlanjut?SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201717 ARUS UTAMAARUS UTAMA16 DUA perahu sudah menunggu di Dermaga Desa Pilang, Kecamatan Jebiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Perahu itu tertambat di sungai Kahayan, Kamis pagi (22/10/2015), siap membawa 8 orang relawan yang terdiri dari 2 Orang Tim Respon Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa, Udi Jundi, Adi Sumarna dan Maifil Eka Putra dari Swara Cinta. Serta 5 orang lainnya, dari relawan Desa Pilang; Rusli (Kaur Pemerintahan Desa Pilang), Triboy, Ridwan, Darma, Yusuf penduduk Desa Pilang ikut berjuang #MelawanAsap.Tim ini menuju Sungai Angai di mana lahan perkebunan rakyat yang terbakar. Di sana sudah menunggu Jiansyah (Komandan Regu Pemadam Kebakaran, RPK Buta), Wahyudi dan Lambang yang sudah bermalam menjaga lahan kebun karet agar tidak terbakar.Untuk menuju kawasan yang terbakar Tim Respon #MelawanAsap, menyusuri Sungai Kahayan yang lebarnya sekitar 200 meter dengan air yang keruh, selama 30 menit, selanjutnya masuk ke Sungai Angai 15 menit. Sungai Angai hanya selebar 6 meter, merupakan sungai sodetan yang berupa kanal yang dibangun untuk mengeringkan lahan gambut. Saat ini menjadi jalur transport menuju kebun petani. “Kawasan ini harus dijaga, karena api justru hidup di malam hari, karena air pasang dan angin berhembus ke darat dan menghidupkan api yang masih bersembunyi di lahan ganbut, “ jelas Jiansyah kepada Swara Cinta.Dari malam, Jiansyah, Wahyudi dan Lambang berperang melawan api. Ia berhasil memadamkan api yang mulai merambat ke lahan kebun karet. Mereka memintasnya sebelum masuk rumpun pohon bambu dekat kebun karet itu. Ia perang dengan menggunakan alat seadanya, berupa semprotan dan bantuan mesin pompa dengan kemampuan 200 meter.Jiansyah terlihat letih, ternyata ia sedang dehidrasi karena dari malam ia mencret-mencret. Perutnya terasa panas. Bersyukur tim yang baru datang membawa obat untuk mengatasinya. Ia tidak tahu kenapa ia sakit perut, mungkin karena masuk angin karena sudah berkerja semalaman atau juga karena hal lain, seperti lalai dalam mengatur makan karena sibuk memadam api.Setelah mendarat, tim respon langsung melakukan survei lokasi untuk pemadaman. Seperti diceritakan Jiansyah pemadamannya hanya bisa dilakukan malam hari, karena malamlah apinya menyala dan melebar ke mana-mana. Kalau siang hari, apinya bersembunyi di dalam gambut.Setelah memantau 19 titik api, tim respon melakukan persiapan untuk melakukan pemadaman. Kali ini tim akan menggunakan 2 mesin pompa dan 2 semprotan solo. Jarak titik pemadaman hanya mampu dikejar 200 meter dari pinggir Sungai Angai, menurut Jiansyah, jika ada yang lewat dari 200 makan akan dikejar dengan semprotan solo.Sebelum sampai ke titik api, tim Jiansyah sudah merintis jalan dengan merambah semak-semak setinggi 4 s.d 5 meter dengan lebar jalan cukup untuk setapak kaki dan melewatkam selang ke arah titik api.“Malam ini, malam yang panjang dan akan snagat melelahkan kata Jiansyah, jadi kita siapkan energi dengan membuat posko dan mendirikan tenda,” ujarnya.Sambil istirahat menunggu waktu pertempuran itu, Jiansyah bercerita tentang Kelompok Tani Karet di Desa Pilang. Karena berkali-kali terjadi kebakaran yang menghanguskan ladang petani di kawasan gambut, akhirnya Kelompok Tani Handel Buta, (Nama kelompok petani setempat-Red), membentuk Regu Pemadam Kebakaran (RPK) BUTA, di Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kalimantan Tengah, dengan anggota 10 orang yang berasal dari 30 petani dalam satu kelompok tani tersebut.Kelompok ini memiliki 73 hektar lahan karet. Alhamdulillah, saat ini belum ada yang terbakar, karena RPK terus melakukan pemantauan. Di kawasan ini jua sudah dibangun 8 titik sumur bor, sehingga kalau ada indikasi kebakaran bisa cepat di tangani.Sumur bor itu sendiri merupakan sumbangan Badan Buruh PBB ILO. Satu sumur bor itu memiliki kedalaman 25 meter. Kelompok tani ini berdiri tahun 2013. Begitu juga RPK didirikan 4 bulan setelah berdirinya kelompok tani. Sejak berdiri, sudah 2 kali aktif memadamkan kebakaran. Terutama membantu lahan petani yang di luar kelompok tani yang terbakar.Kelompok ini sudah dicoba didaftarkan ke pemerintah, namun sampai sekarang belum ada tanggapan. Tujuan didaftarkan, berharap ada subsidi sehingga dapat digunakan untuk perbaikan alat yang sekarang ada 3 unit namun 2 mesin rusak dan perlu diservice.Saat ini RPK BUTA, memiliki selang punya sepanjang 400 meter, butuh sekitar 400 meter lagi, agar dapat mencapai lokasi kebakaran di lahan kebun karet.Awal berdirinya kebun karet, dimulai tahun 1997, ketika itu ada proyek pembukaan lahan gambut, 1 juta hektar (PLG). Proyek ini dimulai dengan penggalian kanal dibantu pemerintah. Setelah kanal jadi dan lahan gambut kering, lahan itu pun terbakar. Setelah terbakar dan kering, masyarakat mulai menanam karet. Masing-masing petani manggarap 2,5 Hektare.Dengan adanya kanal ini, semakin lama kebun karet semakin luas, penduduk desa Pilang, yang memiliki uang yang cukup terus memanfaat lahan untuk kebun karet. Saat ini sudah 6.000 hektare lahan gambut yang dikuasai petani, 18.000 masih kosong.“Kawasan 18.000 ini yang diintai untuk digarap perusahaan. Kami belum tahu apakah ada perusahaan yang sudah menawarkan diri ke pemerintah,” tutur Jiansyah.Tapi penduduk setempat, tidak berharap ada perusahaan yang masuk untuk menguasai lahan yang masih tersisa, ini mereka peruntukkan untuk warga Kampung Pilang yang akan menikah. Setiap mereka yang baru berkeluarga akan diberikan jatah untuk mengolah lahan karet sebagai sumber kehidupannya.Tradisi ini sudah berjalan sejak memulai perkebunan, 1997. Sebelumnya masyarakat Pilang mencari ikan dan kerja lain secara serabutan. Berkebun karet menjadi sebuah berkah, namun saat ini keberkahan itu sudah diambil api, diluar milik kelompok tani, ada 6000 hektar kebun masyarakat Pilang atau hampir 80 persennya yang sudah terbakar.Akibatnya di kebun masyarakat Pilang kehilangan aset, di rumah mereka diserang asap. Ekonomi dan kesehatan mereka sama-sama terancam, butuh waktu untuk membangun kondisi normal kembali dan butuh waktu pula memulihkan ekonomi. Mereka sangat terbantu dengan kehadiran Tim Respon #MelawanAsap DMC Dompet Dhuafa, bersama tim relawan dan RPK Desa Pilang, sama-sama berjuang melawan api agar tidak semua kebun karet Desa Pilang menjadi hilang. Dan untuk warga di saat bersamaan juga diberikan layanan kesehatan gratis dan bantuan lainnya. [Maifil Eka Putra]Sungguh tak enak dampak Karhutala bagi warga, di rumah mereka dilingkup asap yang merusak kesehatannya, di ladang mereka kehilangan aset karena terbakar.Di Ladang Kehilangan Aset, Di Rumah Diserang AsapMereka sangat terbantu dengan kehadiran Tim Respon #MelawanAsap DMC Dompet Dhuafa, bersama tim relawan dan RPK Desa Pilang, sama-sama berjuang melawan api agar tidak semua kebun karet Desa Pilang menjadi hilang.SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201717 ARUS UTAMAARUS UTAMA16 DUA perahu sudah menunggu di Dermaga Desa Pilang, Kecamatan Jebiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Perahu itu tertambat di sungai Kahayan, Kamis pagi (22/10/2015), siap membawa 8 orang relawan yang terdiri dari 2 Orang Tim Respon Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa, Udi Jundi, Adi Sumarna dan Maifil Eka Putra dari Swara Cinta. Serta 5 orang lainnya, dari relawan Desa Pilang; Rusli (Kaur Pemerintahan Desa Pilang), Triboy, Ridwan, Darma, Yusuf penduduk Desa Pilang ikut berjuang #MelawanAsap.Tim ini menuju Sungai Angai di mana lahan perkebunan rakyat yang terbakar. Di sana sudah menunggu Jiansyah (Komandan Regu Pemadam Kebakaran, RPK Buta), Wahyudi dan Lambang yang sudah bermalam menjaga lahan kebun karet agar tidak terbakar.Untuk menuju kawasan yang terbakar Tim Respon #MelawanAsap, menyusuri Sungai Kahayan yang lebarnya sekitar 200 meter dengan air yang keruh, selama 30 menit, selanjutnya masuk ke Sungai Angai 15 menit. Sungai Angai hanya selebar 6 meter, merupakan sungai sodetan yang berupa kanal yang dibangun untuk mengeringkan lahan gambut. Saat ini menjadi jalur transport menuju kebun petani. “Kawasan ini harus dijaga, karena api justru hidup di malam hari, karena air pasang dan angin berhembus ke darat dan menghidupkan api yang masih bersembunyi di lahan ganbut, “ jelas Jiansyah kepada Swara Cinta.Dari malam, Jiansyah, Wahyudi dan Lambang berperang melawan api. Ia berhasil memadamkan api yang mulai merambat ke lahan kebun karet. Mereka memintasnya sebelum masuk rumpun pohon bambu dekat kebun karet itu. Ia perang dengan menggunakan alat seadanya, berupa semprotan dan bantuan mesin pompa dengan kemampuan 200 meter.Jiansyah terlihat letih, ternyata ia sedang dehidrasi karena dari malam ia mencret-mencret. Perutnya terasa panas. Bersyukur tim yang baru datang membawa obat untuk mengatasinya. Ia tidak tahu kenapa ia sakit perut, mungkin karena masuk angin karena sudah berkerja semalaman atau juga karena hal lain, seperti lalai dalam mengatur makan karena sibuk memadam api.Setelah mendarat, tim respon langsung melakukan survei lokasi untuk pemadaman. Seperti diceritakan Jiansyah pemadamannya hanya bisa dilakukan malam hari, karena malamlah apinya menyala dan melebar ke mana-mana. Kalau siang hari, apinya bersembunyi di dalam gambut.Setelah memantau 19 titik api, tim respon melakukan persiapan untuk melakukan pemadaman. Kali ini tim akan menggunakan 2 mesin pompa dan 2 semprotan solo. Jarak titik pemadaman hanya mampu dikejar 200 meter dari pinggir Sungai Angai, menurut Jiansyah, jika ada yang lewat dari 200 makan akan dikejar dengan semprotan solo.Sebelum sampai ke titik api, tim Jiansyah sudah merintis jalan dengan merambah semak-semak setinggi 4 s.d 5 meter dengan lebar jalan cukup untuk setapak kaki dan melewatkam selang ke arah titik api.“Malam ini, malam yang panjang dan akan snagat melelahkan kata Jiansyah, jadi kita siapkan energi dengan membuat posko dan mendirikan tenda,” ujarnya.Sambil istirahat menunggu waktu pertempuran itu, Jiansyah bercerita tentang Kelompok Tani Karet di Desa Pilang. Karena berkali-kali terjadi kebakaran yang menghanguskan ladang petani di kawasan gambut, akhirnya Kelompok Tani Handel Buta, (Nama kelompok petani setempat-Red), membentuk Regu Pemadam Kebakaran (RPK) BUTA, di Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kalimantan Tengah, dengan anggota 10 orang yang berasal dari 30 petani dalam satu kelompok tani tersebut.Kelompok ini memiliki 73 hektar lahan karet. Alhamdulillah, saat ini belum ada yang terbakar, karena RPK terus melakukan pemantauan. Di kawasan ini jua sudah dibangun 8 titik sumur bor, sehingga kalau ada indikasi kebakaran bisa cepat di tangani.Sumur bor itu sendiri merupakan sumbangan Badan Buruh PBB ILO. Satu sumur bor itu memiliki kedalaman 25 meter. Kelompok tani ini berdiri tahun 2013. Begitu juga RPK didirikan 4 bulan setelah berdirinya kelompok tani. Sejak berdiri, sudah 2 kali aktif memadamkan kebakaran. Terutama membantu lahan petani yang di luar kelompok tani yang terbakar.Kelompok ini sudah dicoba didaftarkan ke pemerintah, namun sampai sekarang belum ada tanggapan. Tujuan didaftarkan, berharap ada subsidi sehingga dapat digunakan untuk perbaikan alat yang sekarang ada 3 unit namun 2 mesin rusak dan perlu diservice.Saat ini RPK BUTA, memiliki selang punya sepanjang 400 meter, butuh sekitar 400 meter lagi, agar dapat mencapai lokasi kebakaran di lahan kebun karet.Awal berdirinya kebun karet, dimulai tahun 1997, ketika itu ada proyek pembukaan lahan gambut, 1 juta hektar (PLG). Proyek ini dimulai dengan penggalian kanal dibantu pemerintah. Setelah kanal jadi dan lahan gambut kering, lahan itu pun terbakar. Setelah terbakar dan kering, masyarakat mulai menanam karet. Masing-masing petani manggarap 2,5 Hektare.Dengan adanya kanal ini, semakin lama kebun karet semakin luas, penduduk desa Pilang, yang memiliki uang yang cukup terus memanfaat lahan untuk kebun karet. Saat ini sudah 6.000 hektare lahan gambut yang dikuasai petani, 18.000 masih kosong.“Kawasan 18.000 ini yang diintai untuk digarap perusahaan. Kami belum tahu apakah ada perusahaan yang sudah menawarkan diri ke pemerintah,” tutur Jiansyah.Tapi penduduk setempat, tidak berharap ada perusahaan yang masuk untuk menguasai lahan yang masih tersisa, ini mereka peruntukkan untuk warga Kampung Pilang yang akan menikah. Setiap mereka yang baru berkeluarga akan diberikan jatah untuk mengolah lahan karet sebagai sumber kehidupannya.Tradisi ini sudah berjalan sejak memulai perkebunan, 1997. Sebelumnya masyarakat Pilang mencari ikan dan kerja lain secara serabutan. Berkebun karet menjadi sebuah berkah, namun saat ini keberkahan itu sudah diambil api, diluar milik kelompok tani, ada 6000 hektar kebun masyarakat Pilang atau hampir 80 persennya yang sudah terbakar.Akibatnya di kebun masyarakat Pilang kehilangan aset, di rumah mereka diserang asap. Ekonomi dan kesehatan mereka sama-sama terancam, butuh waktu untuk membangun kondisi normal kembali dan butuh waktu pula memulihkan ekonomi. Mereka sangat terbantu dengan kehadiran Tim Respon #MelawanAsap DMC Dompet Dhuafa, bersama tim relawan dan RPK Desa Pilang, sama-sama berjuang melawan api agar tidak semua kebun karet Desa Pilang menjadi hilang. Dan untuk warga di saat bersamaan juga diberikan layanan kesehatan gratis dan bantuan lainnya. [Maifil Eka Putra]Sungguh tak enak dampak Karhutala bagi warga, di rumah mereka dilingkup asap yang merusak kesehatannya, di ladang mereka kehilangan aset karena terbakar.Di Ladang Kehilangan Aset, Di Rumah Diserang AsapMereka sangat terbantu dengan kehadiran Tim Respon #MelawanAsap DMC Dompet Dhuafa, bersama tim relawan dan RPK Desa Pilang, sama-sama berjuang melawan api agar tidak semua kebun karet Desa Pilang menjadi hilang.SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017ARUS UTAMA18 19 ARUS UTAMADua bocah tampak asyik bermain di kali kecil yang melintas di Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Airnya keruh, berwarna cokelat pekat bercampur lumpur. Aroma tak sedap pun terkadang muncul menusuk rongga hidung.Tangan kedua bocah itu apik membuka tutup jeriken ukuran 2 liter yang mereka bawa dari rumah. Saling melempar canda tawa mereka berjongkok di tengah kali yang tinggi airnya tak melebihi betis orang dewasa. Jeriken itu lantas mereka rebahkan di atas permukaan air.Mereka tidak sendiri, di belakangnya ada orang tua mereka yang duduk di atas batu kali. Sambil mencuci piring sesekali matanya mengawasi. Buih putih yang dihasilkan sabun bercampur abu gosok terlihat menggenang memenuhi bibir sungai. Berjarak 15 meter dari sana, giliran 3 anak laki-laki yang terlihat larut bermain air di tepian kali yang lebih dalam. Tepat persis di seberangnya berdiri jamban tradisional tempat buang hajat. Tak kurang dari satu menit jeriken yang tadi direbahkan terisi penuh, dengan senyum menghiasi wajah, anak-anak itu membawanya pulang. Meski kotor, air tersebut ternyata digunakan untuk kebutuhan rumah tangga seperti mencuci beras, pakaian, dan tak jarang digunakan untuk masak kendati telah melalui proses perebusan. Sebagian ada juga yang memberikannya untuk ternak.Begitulah potret keseharian warga Kecamatan Cibarusah bila tengah dilanda kekeringan. Akses warga Cibarusah terhadap air bersih masih menjadi masalah klasik di kawasan ini, terutama saat musim paceklik hujan atau kemarau. Ironisnya saat memasuki musim hujan kawasan Cibarusah merupakan daerah langganan banjir. Mengutip data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bekasi, setiap memasuki musim kemarau sedikitnya ada 3.000 kepala keluarga di Cibarusah yang terdampak kekeringan. Ke tiga ribu KK tersebut tersebar di tiga desa yakni di Desa Sinarjati, Ridogalih dan Ridomanah. Kultur tanah Cibarusah yang keras dan tandus turut menyulitkan warga membuat sumur bor. Sumur yang sudah ada pun selalu kering tiap kemaru. Tak heran bila warga Cibarusah kerap menempuh jarak yang tidak dekat hanya untuk mengambil air bersih di kali Ciheo dan Cipamingkis. Untuk mendapatkan air yang sedikit jernih lagi-lagi dibutuhkan usaha keras dengan cara menggali bebatuan di bibir sungai pada sore hari, karena dari pagi hingga siang biasanya air akan keruh. Selain di sungai, perhatian warga untuk mendapatkan air bersih juga tertuju pada MCK umum. “Hampir setiap memasuki kemarau selalu begini,” kata Sunimah, warga Desa Ridhogalih yang sumurnya selalu kering saat musim kemarau.Untuk mendapatkan air bersih Sunimah harus berjalan sejauh 5 kilometer. Sunimah mengaku kerepotan mencari air karena tidak lagi memiliki suami. Terlebih, jalan yang ditempuh terjal dan jauh.“Ya terpaksa kalau nggak kuat minta orang untuk ngambil air. Untuk satu ember dikasih Rp 5 ribu atau beli air isi ulang Rp 3 ribu per galon,” paparnya. Hal serupa juga dialami oleh Enim yang masih satu desa dengan Sunimah. Saat sumurnya kering di musim kemarau, Enim lebih memilih membangun embung mini di pekarangan rumah. Embung tersebut berguna sebagai penampung air hujan, namun kualitas airnya rendah dan warnanya kehijauan. Buruknya kualitas air disebabkan oleh ketiadaan sistem pembuangan yang baik, sehingga air yang digunakan untuk mandi akan jatuh kembali ke tempat yang sama. Maka tak heran bila di embung milik Enim terdapat buih-buih putih sabun di setiap sudutnya. Dari belasan embung yang dibuat warga Ridogalih, tercatat hanya ada embung milik musola yang kualitas airnya lebih baik dan steril.“Nyuci di situ, mandi di situ, gosok gigi di situ dan orang sini juga kalau mau buang hajat juga di dekat situ atau di kebon. Abis mau bagaimana lagi, air susah dan toilet pada nggak punya,” kata Enim.Hebatnya, kendati air yang dikonsumsi Enim merupakan air yang berkualitas buruk, Enim beserta keluarga mengaku jarang terserang penyakit. Enim berseloroh hal tersebut bisa terjadi mungkin karena tubuhnya telah kebal karena sudah terlalu sering memakai air keruh. Cibarusah yang Jarang BasahNyuci di situ, mandi di situ, gosok gigi di situ dan orang sini juga kalau mau buang hajat juga di dekat situ atau di kebon. Abis mau bagaimana lagi, air susah dan toilet pada nggak punya.KRISIS AIR BERSIhSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017ARUS UTAMA18 19 ARUS UTAMADua bocah tampak asyik bermain di kali kecil yang melintas di Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Airnya keruh, berwarna cokelat pekat bercampur lumpur. Aroma tak sedap pun terkadang muncul menusuk rongga hidung.Tangan kedua bocah itu apik membuka tutup jeriken ukuran 2 liter yang mereka bawa dari rumah. Saling melempar canda tawa mereka berjongkok di tengah kali yang tinggi airnya tak melebihi betis orang dewasa. Jeriken itu lantas mereka rebahkan di atas permukaan air.Mereka tidak sendiri, di belakangnya ada orang tua mereka yang duduk di atas batu kali. Sambil mencuci piring sesekali matanya mengawasi. Buih putih yang dihasilkan sabun bercampur abu gosok terlihat menggenang memenuhi bibir sungai. Berjarak 15 meter dari sana, giliran 3 anak laki-laki yang terlihat larut bermain air di tepian kali yang lebih dalam. Tepat persis di seberangnya berdiri jamban tradisional tempat buang hajat. Tak kurang dari satu menit jeriken yang tadi direbahkan terisi penuh, dengan senyum menghiasi wajah, anak-anak itu membawanya pulang. Meski kotor, air tersebut ternyata digunakan untuk kebutuhan rumah tangga seperti mencuci beras, pakaian, dan tak jarang digunakan untuk masak kendati telah melalui proses perebusan. Sebagian ada juga yang memberikannya untuk ternak.Begitulah potret keseharian warga Kecamatan Cibarusah bila tengah dilanda kekeringan. Akses warga Cibarusah terhadap air bersih masih menjadi masalah klasik di kawasan ini, terutama saat musim paceklik hujan atau kemarau. Ironisnya saat memasuki musim hujan kawasan Cibarusah merupakan daerah langganan banjir. Mengutip data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bekasi, setiap memasuki musim kemarau sedikitnya ada 3.000 kepala keluarga di Cibarusah yang terdampak kekeringan. Ke tiga ribu KK tersebut tersebar di tiga desa yakni di Desa Sinarjati, Ridogalih dan Ridomanah. Kultur tanah Cibarusah yang keras dan tandus turut menyulitkan warga membuat sumur bor. Sumur yang sudah ada pun selalu kering tiap kemaru. Tak heran bila warga Cibarusah kerap menempuh jarak yang tidak dekat hanya untuk mengambil air bersih di kali Ciheo dan Cipamingkis. Untuk mendapatkan air yang sedikit jernih lagi-lagi dibutuhkan usaha keras dengan cara menggali bebatuan di bibir sungai pada sore hari, karena dari pagi hingga siang biasanya air akan keruh. Selain di sungai, perhatian warga untuk mendapatkan air bersih juga tertuju pada MCK umum. “Hampir setiap memasuki kemarau selalu begini,” kata Sunimah, warga Desa Ridhogalih yang sumurnya selalu kering saat musim kemarau.Untuk mendapatkan air bersih Sunimah harus berjalan sejauh 5 kilometer. Sunimah mengaku kerepotan mencari air karena tidak lagi memiliki suami. Terlebih, jalan yang ditempuh terjal dan jauh.“Ya terpaksa kalau nggak kuat minta orang untuk ngambil air. Untuk satu ember dikasih Rp 5 ribu atau beli air isi ulang Rp 3 ribu per galon,” paparnya. Hal serupa juga dialami oleh Enim yang masih satu desa dengan Sunimah. Saat sumurnya kering di musim kemarau, Enim lebih memilih membangun embung mini di pekarangan rumah. Embung tersebut berguna sebagai penampung air hujan, namun kualitas airnya rendah dan warnanya kehijauan. Buruknya kualitas air disebabkan oleh ketiadaan sistem pembuangan yang baik, sehingga air yang digunakan untuk mandi akan jatuh kembali ke tempat yang sama. Maka tak heran bila di embung milik Enim terdapat buih-buih putih sabun di setiap sudutnya. Dari belasan embung yang dibuat warga Ridogalih, tercatat hanya ada embung milik musola yang kualitas airnya lebih baik dan steril.“Nyuci di situ, mandi di situ, gosok gigi di situ dan orang sini juga kalau mau buang hajat juga di dekat situ atau di kebon. Abis mau bagaimana lagi, air susah dan toilet pada nggak punya,” kata Enim.Hebatnya, kendati air yang dikonsumsi Enim merupakan air yang berkualitas buruk, Enim beserta keluarga mengaku jarang terserang penyakit. Enim berseloroh hal tersebut bisa terjadi mungkin karena tubuhnya telah kebal karena sudah terlalu sering memakai air keruh. Cibarusah yang Jarang BasahNyuci di situ, mandi di situ, gosok gigi di situ dan orang sini juga kalau mau buang hajat juga di dekat situ atau di kebon. Abis mau bagaimana lagi, air susah dan toilet pada nggak punya.KRISIS AIR BERSIhNext >