< Previous 263 Menanya 1) Bandingkan informasi yang anda peroleh dengan informasi kelompok lain, dapat dimulai dengan proses pertanyaan sebagai berikut : a. Bagaimana proses dan respon adaptasi biota air b. Bagaimana sistem osmoregulasi pada biota air c. Organ apa saja yang berperan dalam osmoregulasi biota air d. Bagaimana kemampuan homeostasi biota air 2) Adakah perbedaan informasi dari yang anda peroleh ? Jika ada, sebutkan ! 3) Tuliskan kesimpulan anda tentang sistem osmoregulasi biota air dan diserahkan pada guru ! 264 a. Adaptasi Adaptasi adalah suatu proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan suatu organisme terhadap kondisi baru. Dalam beradaptasi, hewan memiliki toleransi dan resistensi pada kisaran: • Zona Lethal yaitu kisaran ekstrim dari variabel lingkungan yang menyebabkan kematian bagi organisme. • Zona Organisme yaitu kisaran intermedier dimana suatu organisme dapat hidup. Klasifikasi respon fisiologis akibat perubahan lingkunagn dikelompokkan menjadi 5 tipe yaitu : 1) Aklimasi supra optmal yaitu laju fungsi fisiologis meningkat ketika intensitas rangsangan faktor lingkungan menurun dan sebaliknya. 2) Aklimasi sempurna yaitu laju fungsi fisiologis tidak dipengaruhi perubahan faktor lingkungan. 3) Aklimasi parsial yaitu laju fungsi fisiologis dapat diduga dengan asumsi tipe 4 = 0% dan tipe 2 = 100%. 4) Tidak ada Aklimasi yaitu laju fungsi fisiologis bervariasi langsung dengan faktor lingkungan. 5) Aklimasi berlawanan yaitu laju fungsi fisiologis menurun dengan menurunnya intensitas perubahan lingkungan dan meningkat dengan meningkatnya intensitas. Dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya, biota air memiliki toleransi dan resistensi pada kisaran tertentu dari variasi lingkungan. Kemampuan mentolerir variabel lingkungan ini erat kaitannya dengan faktor genetik dn sejarah hidup sebelumnya. Kisaran ekstrim dari variabel lingkungan yang menyebabkan kematian bagi organisme disebut zone lethal. Kisaran intermedier dimana suatu organisme dapat hidup disebut 265 zone toleransi. Posisi dari zone-zone tersebut dapat berubah selama hidup suatu organisme. Istilah-Istilah yang berkaitan dengan adaptasi 1) Aklimasi dan Aklimatisasi Aklimasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan respon kompensasi dari suatu organisme terhadap perubahan suatu faktor lingkungan atau penyesuaian diri dari suatu organisme terhadap satu faktor lingkungan. Aklimatisasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan respon kompensasi dari suatu organisme terhadap perubahan beberapa faktor lingkungan. Dengan adanya proses adaptasi ini maka lingkungan dapat mempengaruhi generasi mendatang dari suatu spesies melalui proses nongenetik atau melalui seleksi genetik. Ada dua macam kompensasi fisiologis untuk dapat berhasil hidup dalam lingkungan yang berubah-ubah yaitu : a) Poikilothermic yaitu keadaan dimana suhu tubuh berfluktuasi sesuai dengan suhu lingkungan, kondisi ini ditemukan pada beberapa hewan invertebrata dan vertebrata tingkat rendah b) Poikiloosmotik yaitu keadaan dimana osmotik tubuh berfluktuasi mengikuti osmotik lingkungannya, ditemukan pada beberapa hewan invertebrata seperti polychaeta. Proses fisiologis berlangsung baik pada suatu variasi suhu yang berbeda atau pada kondisi osmotik yang bervariasi disebut conformer. Pada hewan umumnya, variasi suhu atau fluktuasi osmotik dari konsisi lingkungan lainnya memacu mesin pengatur keseimbangan yang akan mempertahankan tetapnya kondisi lingkungan dalam tubuh. Kelebihan panas dibuang atau ditingkatkan untuk mengimbangi yang hilang, air diambil secara osmotik dari cairan encer dan air diserap kembali untuk mengimbangi yang hilang. Dengan cara demikian keadaan 266 keseimbangan dapat dipertahankan. Hewan yang melakukan kerja ini dikatakan memperlihatkan regulasi dan hewannnya disebut regulator. Proses regulasi ini biasanya melibatkan system saraf otonom dan hormon. Pada beberapa hewan respon terhadap perubahan lingkungan diperlihatkan melalui tingkah laku. 2) Homeostasi Homeostasi adalah keadaan stabil yang dipertahankan melalui proses aktif yang melawan perubahan. Homeostasi berusaha untuk membuat keadaan stabil sebagai akibat adanya perubahan variabel lingkungan. Homeostasi ini terjadi pada tingkat sel yaitu dengan pengaturan metabolisme sel, pengontrolan permeabilitas mebran sel, pembuangan sisa metabolisme. Suatu faktor pengganggu seperti suhu ekstrim, osmotik, racun, infeksi atau stimulus sosial dapat menghasilkan stress. Respon stress ini dapat berupa penurunan volume darah, penurunan jumlah leucosit, penurunan glikogen hati, peningkatan glukosa darah, menyusutnya diameter lambung dan lain-lain. 3) Klasifikasi Faktor-faktor Lingkungan Menurut Fry (1971) pengaruh lingkungan terhadap organisme dapat dibedakan kepada 5 kategori : a) Lethal faktor, yaitu faktor lingkungan yang merusak sistem integrasi dari suatu organisme dan membunuhnya. b) Controling faktor, yaitu faktor lingkungan yang mempengaruhi pada aktifitas molekuler pada mata rantai metabolisme. Misal : suhu, tekanan, dan pH. c) Limiting faktor , yaitu faktor lingkungan yang mempengaruhi laju metabolisme tetapi melalui pembatasan penyediaan nutrien atau pembuangan sisa metabolisme. Misal : O2 dan cahaya. 267 d) Masking faktor, yaitu faktor lingkungan yang merubah atau menghambat bekerjanya faktor lain (tidak langsung). Misal : keadaan air mempengaruhi suhu dan laju metabolisme. e) Directive faktor, yaitu faktor lingkungan yang menyebabkan gerakan atau terganggunya aktifitas suatu organisme. Misal : suhu, salinitas yang mengarahkan migrasi. b. Osmoregulasi Ikan hidup pada media/lingkungan yang kondisinya selalu berubah/berfluktuasi baik harian maupun musiman. Oleh karena itu diperlukan suatu pengaturan keseimbangan air dan garam dalam jaringan tubuhnya. Penyesuaian ikan terhadap pengaruh lingkungan itu merupakan suatu homeostatis, dalam hal ini ikan akan mempertahankan keadaan yang stabil melalui suatu proses aktif melawan perubahan dimaksud. Homeostatis merupakan kecenderungan dari organisme hidup untuk mengontrol dan mengatur fluktuasi lingkungan internalnya. Ikan mempunyai tekanan osmotic yang berbeda dengan lingkunganya, oleh karena itu ikan harus mencegah kelebihan air atau kekurangan air, agar proses-proses fisiologis didalam tubuhnya dapat berlangsung dengan normal. Pengaturan tekanan osmotic cairan tubuh pada ikan di sebut osmoregulasi. Osmoregulasi pada organisme akuatik dapat terjadi dalam 2 cara yang berbeda (Gilles dan Jeunjaux, 1979) yaitu : 1) Usaha untuk menjaga konsentrasi osmotikcairan diluar sel (ekstraseluler) agar tetap konstan terhadap apapun yang terjadi pada konsentrasi osmotic medium eksternalnya. 2) Usaha untuk memelihara isoosmetik cairan dalam sel (interseluler) terhadap cairan luar sel (ekstraseluler). 268 a) Proses Osmoregulasi Pada Ikan Kebanyakan invertebrata yang berhabitat di laut tidak secara aktif mengatur sistem osmosis mereka, dan dikenal sebagai osmoconformer. Osmoconformer memiliki osmolaritas internal yang sama dengan lingkungannya sehingga tidak ada tendensi untuk memperoleh atau kehilangan air. Karena kebanyakan osmoconformer hidup di lingkungan yang memiliki komposisi kimia yang sangat stabil (di laut) maka osmoconformer memiliki osmolaritas yang cendrung konstan.Sedangkan osmoregulator adalah organisme yang menjaga osmolaritasnya tanpa tergantung lingkungan sekitar. Oleh karena kemampuan meregulasi ini maka osmoregulator dapat hidup di lingkungan air tawar, daratan, serta lautan. Di lingkungan dengan konsentrasi cairan yang rendah, osmoregulator akan melepaskan cairan berlebihan dan sebaliknya. Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan sebagai langkah untuk menyeimbangkan tekanan osmose antara substansi dalam tubuhnya dengan lingkungan melalui sel yang permeabel. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang osmoregulasi sangat penting dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan, terutama salinitas. Hal ini karena dalam osmoregulasi, proses regulasi terjadi melalui konsentrasi ion dan air di dalam tubuh dengan kondisi dalam lingkungan hidupnya. Regulasi ion dan air pada ikan terjadi hipertonik, hipotonik atau isotonik tergantung pada perbedaan (lebih tinggi, lebih rendah atau sama) konsentrasi cairan tubuh dengan konsentrasi media. Perbedaan tersebut dapat dijadikan sebagai strategi dalam menangani komposisi 269 cairan ekstraselular dalam tubuh ikan. Untuk ikan-ikan potadrom yang bersifat hiperosmotik terhadap lingkungannya dalam proses osmoregulasi, air bergerak ke dalam tubuh dan ion-ion keluar ke lingkungan dengan cara difusi. Keseimbangan cairan tubuhnya dapat terjadi dengan cara meminum sedikit air atau bahkan tidak minum sama sekali. Kelebihan air dalam tubuhnya dapat dikurangi dengan membuangnya dalam bentuk urin. Untuk ikan-ikan oseanodrom yang bersifat hipoosmotik terhadap lingkungannya, air mengalir secara osmose dari dalam tubuhnya melalui ginjal, insang dan kulit ke lingkungan, sedangkan ion-ion masuk ke dalam tubuhnya secara difusi. Sedangkan untuk ikan-ikan eurihalin, memiliki kemampuan untuk dengan cepat menyeimbangkan tekanan osmotik dalam tubuhnya dengan media (isoosmotik), namun karana kondisi lingkungan perairan tidak selalu tetap, maka proses ormoregulasi seperti halnya ikan potadrom dan oseanodrom tetap terjadi. Salinitas atau kadar garam adalah jumlah kandungan bahan padat dalam satu kilogram air laut, dalam hal mana seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida, brom dan yodium yang telah disetarakan dengan klor dan bahan organik yang telah dioksidasi. Secara langsung, salinitas media akan mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan. Pengetahuan tentang metabolisme dapat juga dikaitkan dengan beberapa cabang ilmu lain, misalnya genetika, toksikologi dan keilmuan lain sehingga ikan yang dihasilkan dapat memiliki kualitas yang lebih unggul dari sebelumnya. Hal ini karena ikan menginvestasikan sebesar 25-50% dari total output metabolik dalam mengontrol komposisi cairan intra- dan ekstraselularnya. Perubahan kadar salinitas mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan, sehingga ikan melakukan penyesuaian atau pengaturan kerja osmotik internalnya agar proses fisiologis di dalam tubuhnya 270 dapat bekerja secara normal kembali. Apabila salinitas semakin tinggi, ikan berupaya terus agar kondisi homeostasi dalam tubuhnya tercapai, hingga pada batas toleransi yang dimilikinya. Kerja osmotik tersebut memerlukan energi yang lebih tinggi pula. Hal tersebut juga berpengaruh kepada waktu kenyang (satiation time) dari ikan tersebut. Rainbow trout seringkali digunakan sebagai model system untuk mempelajari rute dan mekanisme ekskresi dan osmoregulasi. Proses osmoregulasi juga menghasilkan produk buangan seperti feses dan amoniak, sehingga media pemeliharaan akan berwana keruh sebagai akibat banyaknya feses yang dikeluarkan ikan. Dampak dari ekskresi nitrogen tersebut juga akan mempengaruhi kehidupan ikan di dalamnya. Pada embrio rainbow trout, eksresi nitrogen dalam bentuk urea juga dapat dikaitkan dengan kandungan nitrogen di dalam yolk, karena rendahnya permeabilitas membrane sel telur terhadap ammonia. Dampak buangan hasil metabolisme terhadap kelangsungan hidup benih ikan berdasarkan perubahan kualitas air secara fisik, dapat diduga bahwa perubahan tersebut juga berpengaruh terhadap kondisi ambient ikan, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pertahanan tubuhnya. Setelah melewati batas toleransi, maka ikan tersebut mengalami kematian. Mengingat tidak semua ikan mengalami kematian, maka dapat dipastikan bahwa daya toleransi pada populasi ikan dalam akuarium berbeda beda. Hal ini diduga karena perbedaan kondisi tubuh saat sebelum dimasukkan dalam media praktik termasuk intensitas parasit, tingkat stres dan lain-lain. Toksisitas nitrat dalam perairan tawar tergolong sangat rendah (96 h LC50s >1000 mg/L as N). Hal ini dapat dikaitkan dengan potensi munculnya masalah dalam proses osmoregulasi. Dalam sistem dengan konsentrasi 271 nitrat tinggi, reduksi nitrat terjadi secara anaerobic. Konsentrasi nitrat di perairan laut kurang dari 500 mg/L untuk sebagian besar ikan air laut, tetapi untuk ikan laut tropis seperti anemone (Amphiprion ocellaris) lebih sensitif, yakni hanya 20 mg/L. Tingkat stress juga berbeda-beda yang dialami oleh benih tambakan dalam akuarium, sebagai akibat dari perbedaan perlakuan. Kajian yang lebih mendalam, dapat ditelusuri dengan kandungan kortisol. Banyak hal berkenaan dengan kortisol selama proses metabolisme, misalnya saat starvasi (puasa), osmoregulation, pengerahan simpanan energi untuk migrasi, proses pematangan gonad, pemijahan dan selama stress yang dialami oleh ikan itu sendiri. Mekanisme ormoregulasi dapat pula ditelusuri di level sel. Sel-sel tersebut terlebih dahulu dihasilkan melalui mekanisme kultur sel. Penelitian terhadap sel Epitelioma papulosum cyprinid (EPC), turunan dari sel epidermis ikan mas dapat digunakan untuk mengetahui kelangsungan hidup dan pertumbuhan sel dalam media hiper- dan hipoosmotik. Dengan menggunakan sel kultur, dapat diamati pula ekspresi gen yang bias dihubungkan dengan kemampuan adaptasi dan stress osmotik. Aktivitas osmoregulasi juga dipengaruhi oleh stadia ikan atau krustase dalam hubungannya dengan salinitas. Penelitian pada stadia juvenil dan dewasa krustase, regulasi ion Na/K-ATP menunjukkan hal yang berbeda-beda jika diamati dengan aktivitas enzim Na/K-ATPase. Pada Artemia salina dan A. franciscana aktivitas enzim tersebut meningkat sejalan dengan perkembangannya sejak setelah menetas hingga tahap mulai berenang bebas. Pada udang galah, hal tersebut juga berlangsung demikian. Namun pada stadia dewasa, aktivitas Na/K-ATPase pada udang galah tidak berbeda nyata setelah 272 diperlakukan pada salinitas yang berbeda. Penelitian tentang osmoregulasi pada tahap awal perkembangan ikan telah diamati pada level extrabranchial chloride cells. Sejumlah chloride cells yang terkandung dalam membran kantong kuning telur ikan mujair stadia embrio dan larva diadaptasikan dalam lingkungan air tawar (FW) dan air asin (SW). Sel klorid dalam SW seringkali berada dalam bentuk multicellular complexes bersama dengan sel adjacent accessory. Sedangkan dalam FW, chloride cells berada dalam kondisi individual. Tes klorid dan mikroanalisis X-ray menunjukkan bahwa klorid sel dalam SW dalam bentuknya yang kompleks, merupakan fungsi definitive dalam sekresi klorid. Namun demikian setelah sel tersebut dipindahkan ke lingkungan SW, bentuk sel tunggal tersebut juga mengalami perubahan menjadi kompleks sebagai respon terhadap lingkungan baru yang SW. Umumnya, sel klorid extrabranchial memerankan peranan penting dalam mengontrol osmoregulasi sampai tahap sel klorid insang bekerja secara fungsional. Kemampuan adaptasi ikan, pernah diuji coba terhadap lingkungan bersalinitas rendah. Ikan dipindahkan dari lingkungan air laut (100% SW) ke media air tawar (FW), 25, 50, 75 dan 100% SW dan kemudian didata mortalitasnya selama 3 hari. Tidak ada kematian ikan dalam media baru bersalinitas 25–100% SW dan semua ikan mati dalam media 100% FW. Nampaknya, pada ikan yang dipindahkan ke media 25–100% SW, osmolalitas darahnya tetap dijaga pada kisaran fisiologis yang normal. Penelitian dilanjutkan dengan memindahkan ikan dari lingkungan 100% SW ke media FW, 1, 5, 10, 15 dan 25% SW. Semua ikan hidup dalam media 5–25% SW, tetapi mati dalam media FW dan 1% SW. Ikan yang hidup pada media 25% SW kemudian dipindahkan kembali ke media FW, 1 dan 5% SW dan menunjukkan bahwa osmolalitas darahnya menurun hingga mendekati level Next >