< Previous68 f. Pengukuran Tinggi Tinggi pohon merupakan salah satu dimensi yang digunakan dalam pengukuran kayu. Tinggi pohon didefinisikan sebagai jarak atau panjang garis terpendek antara suatu titik pada pohon dengan proyeksinya pada bidang datar (lebih jelasnya dapat dilihat dalam Gambar 24). Gambar 24. Tinggi pohon Sumber : Asy’ari dkk. (2012) Dari gambar tersebut, dapat diambil pelajaran : 1) Tinggi total adalah jarak terpendek dari titik puncak pohon dengan titik proyeksinya pada bidang datar. 2) Tinggi pohon bebas cabang (Tbc) adalah jarak terpendek dari titik bebas cabang dengan titik proyeksinya pada bidang datar. 69 Hal yang perlu diingat! Istilah tinggi pohon hanya berlaku untuk pohon yang masih berdiri, sedangkan untuk pohon rebah digunakan istilah panjang pohon. Selanjutnya, pertanyaan yang mungkin timbul dalam benak adalah bagaimana cara untuk mengukur tinggi pohon? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, mari Anda simak uraian berikut ini! Rumus Dasar Tinggi dan Pengembangannya 1. Rumus berdasarkan sudut-derajat Rumus tinggi didasarkan pada rumus ilmu ukur sudut yaitu rumus tangen. Pengukuran tinggi diilustrasikan berupa segitiga sama kaki dengan sudut di kedua kaki sebesar 45o. Terkait dengan keidentikkan rentangan sudut-derajat (ϕ = δ) terhadap sudut-persen (ϕ = δ), sehingga besaran 45o diidentikkan dengan 100% (Gambar 25). Gambar 25. Segitiga sama kaki Sumber : Asy’ari dkk. (2012) 70 Keterangan : Δ MBC menunjukkan untuk ϕ = δ bahwa : tangen δ = BC = tangen δ x MB Selanjutnya rumus tersebut dikembangkan dengan memperhatikan posisi/kedudukan mata saat membidik pohon atau sebaliknya posisi pohon saat dibidik. Terdapat tiga posisi mata pada saat membidik pohon, yaitu : 1) Posisi mata berada diantara pangkal dan bagian atas batang (ujung batang/tajuk, bebas cabang atau tinggi tertentu) dan arah bidik sejajar dengan bidang datar/arah bidik datar (Gambar 26). Gambar 26. Rumus dasar tinggi berdasarkan posisi (1) Sumber : Asy’ari dkk. (2012) Dari gambar tersebut dapat diperoleh rumus tinggi pohon, yaitu : T = (t1 + t2) T = (Jd x tangen α) + (Jd x tangen β) T = Jd x (tangen α + tangen β) 71 Keterangan : T = tinggi total pohon (m) t1 = tinggi pohon BC (m) t2 = tinggi pohon AB (m) Jd = jarak datar antara pembidik dengan pohon (m) α = sudut yang terbentuk saat membidik pucuk pohon (m) β = sudut yang terbentuk saat membidik pangkal pohon (m) 2) Posisi mata masih berada diantara pangkal dan bagian atas batang, tetapi arah bidik tidak sejajar dengan bidang datar/arah bidik menaik (Gambar 27). Gambar 27. Rumus dasar tinggi berdasarkan posisi (2) Sumber : Asy’ari dkk. (2012) Dari gambar tersebut dapat diperoleh rumus tinggi pohon, yaitu : T = (t1 + t2) T = (Jd x tangen α) + (Jd x tangen β) T = Jd x (tangen α + tangen β) 72 Keterangan : T = tinggi total pohon (m) t1 = tinggi pohon BC (m) t2 = tinggi pohon AB (m) Jd = jarak datar antara pembidik dengan pohon (m) α = sudut yang terbentuk saat membidik pucuk pohon (m) β = sudut yang terbentuk saat membidik pangkal pohon (m) 3) Posisi mata berada lebih rendah dari pangkal batang/arah bidik menaik (Gambar 28). Gambar 28. Rumus dasar tinggi berdasarkan posisi (3) Sumber : Asy’ari dkk. (2012) Dari gambar tersebut dapat diperoleh rumus tinggi pohon, yaitu : T = (t1 - t2) T = (Jd x tangen α) - (Jd x tangen β) T = Jd x (tangen α - tangen β) 73 Keterangan : T = tinggi total pohon (m) t1 = tinggi pohon BC (m) t2 = tinggi pohon AB (m) Jd = jarak datar antara pembidik dengan pohon (m) α = sudut yang terbentuk saat membidik pucuk pohon (m) β = sudut yang terbentuk saat membidik pangkal pohon (m) 4) Posisi mata masih berada diantara pangkal dan bagian atas batang, tetapi arah bidik tidak sejajar dengan bidang datar/arah bidik menurun (Gambar 29). Gambar 29. Rumus dasar tinggi berdasarkan posisi (4) Sumber : Asy’ari dkk. (2012) Dari gambar tersebut dapat diperoleh rumus tinggi pohon, yaitu : T = (t1 + t2) T = (Jd x tangen α) + (Jd x tangen β) T = Jd x (tangen α + tangen β) 74 Keterangan : T = tinggi total pohon (m) t1 = tinggi pohon BC (m) t2 = tinggi pohon AB (m) Jd = jarak datar antara pembidik dengan pohon (m) α = sudut yang terbentuk saat membidik pucuk pohon (m) β = sudut yang terbentuk saat membidik pangkal pohon (m) 5) Posisi mata berada lebih tinggi dari bagian atas batang/arah bidik menurun (Gambar 30) Gambar 30. Rumus dasar tinggi berdasarkan posisi (5) Dari gambar tersebut dapat diperoleh rumus tinggi pohon, yaitu : T = (t2 – t1) T = (Jd x tangen β) - (Jd x tangen α) T = Jd x (tangen β - tangen α) 75 Keterangan : T = tinggi total pohon (m) t1 = tinggi BC (m) t2 = tinggi AB (m) Jd = jarak datar antara pembidik dengan pohon (m) α = sudut yang terbentuk saat membidik pucuk pohon (m) β = sudut yang terbentuk saat membidik pangkal pohon (m) Memperhatikan kelima rumus dasar tinggi di atas, ternyata terdapat tiga kelompok rumus tinggi pohon, yaitu : a) T = Jd x (tangen α + tangen β) Rumus ini digunakan pada saat kedudukan pembidik dan pohon berdiri pada posisi (1), posisi (2), dan posisi (4). Mengapa bisa terjadi penggunaan rumus yang sama? Ternyata pada posisi posisi (1), posisi (2), dan posisi (4), mata pembidik masih berada diantara pangkal dan bagian atas batang pada saat melakukan pengukuran tinggi pohon. b) T = Jd x (tangen α - tangen β) Rumus ini digunakan pada saat kedudukan pembidik dan pohon berdiri pada posisi (3), yaitu posisi mata berada lebih rendah dari pangkal batang (arah bidik menaik). c) T = Jd x (tangen β - tangen α) Rumus ini digunakan pada saat kedudukan pembidik dan pohon berdiri pada posisi (5), yaitu posisi mata berada lebih tinggi dari bagian atas batang (arah bidik menurun). 76 Hal yang perlu diingat! a) Ketiga rumus tinggi di atas berlaku dengan persyaratan nilai sudut yang terbentuk selalu bernilai positif, baik arah bidik ke atas atau ke bawah. b) Arah pembagian skala berawal dari posisi bidang datar (bidang datar saat pembidikan setinggi mata) bernilai 00, maka untuk menyatakan arah bidik ke atas nilai sudut diberi tanda + (positif) dan nilai sudut untuk arah bidik ke bawah diberi tanda – (negatif). Sehingga berdasarkan pada arah bidik tersebut, maka ketiga rumus dasar di atas dapat dirangkum menjadi satu rumus tinggi, yaitu : T = Jd x (tangen α - tangen β) c) dengan nilai α atau β dapat bernilai positif atau negatif, tergantung posisi arah bidik. Memperhatikan ilustrasi yang digambarkan pada Gambar 27 dan Gambar 28 mungkin masih dapat ditoleransi dengan ketentuan/aturan tertentu yang menyatakan masih dianggap datar (relatif datar), sehingga jarak lapangan (ukur/miring) dapat dianggap sama dengan jarak datar. Tetapi untuk memperoleh jarak datar yang diilustrasikan pada Gambar 29 dan Gambar 30 perlu dipertanyakan. Apakah ada kemungkinan lain untuk mengukur jarak datar dengan kondisi yang demikian? Meninjau rumus sudut (Gambar 25) yang dibentuk oleh bidang miring terhadap bidang datar yaitu sudut lereng dengan rumus cosinus, cos(δ) = MB/MC atau MB = MC x cos(δ). Rumus ini identik dengan Jd = Jm x cos(δ). Sehingga rumus dasar tinggi di atas menjadi : 77 T = Jm x cos(δ) x (tg α – tg β) dengan Jm adalah jarak miring. 2. Rumus berdasarkan persentase sudut atau persentase lereng Tinggi pohon tidak hanya dapat diukur dengan rumus sudut-derajat, tetapi dapat juga diukur dengan pendekatan persentase kelerengan. Benarkah? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, mari simak konsep persentase kelerengan yang digunakan untuk mengukur tinggi pohon. Jika pembacaan sudut saat pembidikan berupa persen (φ = p), maka rumus tingginya (t1 + t2) adalah : T = Jd x (atas% + bawah%) dimana, atas% = pembidikan ke bagian atas batang (C) yaitu MC. bawah% = pembidikan ke pangkal batang (A) yaitu MA. Dengan besaran masing-masing sudut dalam %, maka rumus di atas menjadi : T = Jd x (MC% + MA%) Lebih jelasnya dapat dilihat dalam Gambar 31. Next >