< PreviousPerundang – undangan Kesehatan Jilid 2 Direktorat Pembinaan SMK (2013) 118 NO TAHAPAN SKOR ( 1 – 5 )* 1 Tahap Perencanaan Bahan 2 Tahap Proses Pembuatan : j. Persiapan alat dan bahan k. Teknik Pengolahan l. K3 (Keselamatan kerja, keamanan dan kebersihan 3 Tahap Akhir (Hasil Produk) g. Bentuk fisik h. Inovasi TOTAL SKOR Anda dapat menggunakan format di bawah ini untuk penilaian silang (menilai kinerja teman dalam kelompok anda) Perundang – undangan Kesehatan Jilid 2 Direktorat Pembinaan SMK (2013) 119 Perundang – undangan Kesehatan Jilid 2 Direktorat Pembinaan SMK (2013) 120 5. Kegiatan belajar 5 : Obat Generik dan Obat Esensial 1) Perkembangan Obat Generik Industri farmasi di Indonesia adalah salah satu industri yang memiliki perkembangan yang cukup pesat dengan pasar yang terus berkembang. Perkembangan yang pesat ini dipengaruhi oleh besarnya jumlah penduduk Indonesia yang memiliki potensi besar bagi perkembangan industri farmasi. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan obat tidak hanya memandang usia tertentu, akan tetapi sepanjang hidupnya manusia akan membutuhkan obat untuk mengatasi berbagai macam penyakit dan menjaga kualitas kesehatannya. Namun terdapat kecenderungan dimana masyarakat Indonesia jarang sekali memperhatikan faktor kesehatan apabila dilihat dari prosentase belanja kesehatan dari nilai pendapatan perkapita Pada ringkasan eksekutif Bank-Dunia (2008), terdapat pernyataan bahwa belanja kesehatan di Indonesia kurang dari 3% dari nilai PDB. Kecilnya komposisi konsumsi pada bidang kesehatan tercermin dari tingkat pendapatan yang dibelanjakan pada suatu jenis obat. Pada tahun 2004 konsumsi obat perkapita hanya $8,2 dan meningkat menjadi $8,5 pada tahun 2005. Pertumbuhan yang tidak signifikan tersebut menunjukkan bahwa masih rendahnya kemampuan pada suatu kelompok masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dalam hal kesehatan, termasuk daya beli terhadap produk obat-obatan medis. Rendahnya konsumsi obat per kapita disebabkan karena sulitnya akses obat-obatan dan rendahnya daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat yang rendah terhadap obat dikarenakan mahalnya harga obat-obatan di Indonesia. Pada negara maju, hampir seluruh penduduknya telah dilindungi oleh sistem asuransi yang baik namun di Indonesia, asuransi kesehatan hanya mencakup sekitar 30% penduduk (Djunaedi and Modjo, 2007). Maka dapat disimpulkan terdapat sekitar 70% pangsa pasar obat di Indonesia berasal dari sektor individu (diluar akses atau sistem asuransi kesehatan lainnya). Harga obat yang cenderung mahal ini dipengaruhi oleh banyaknya pelaku/pemain pada rantai pasok industri farmasi dimana adanya kebijakan pemerintah atas hadirnya Pedagang Besar Farmasi (PBF) atau sub-distributor memungkinkan produsen farmasi untuk meminimasi resiko jumlah akun transaksi dengan peritel secara langsung (Mustamu, 2000). Selain itu mahalnya harga obat di Indonesia juga disebabkan oleh komponen penyusun biaya produksi dimana terdapat variabel yang cukup signifikan berpengaruh, yaitu bahan baku. Bahan baku obat berkontribusi hingga 70% dari struktur biaya produksi obat namun industri farmasi Indonesia masih mengimpor bahan baku sekitar 90-95%. Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari kegiatan belajar ini, siswa diharapkan mampu: 1. Mengetahui tentang pengertian obat generik dan obat esensial 2. Mengetahui tentang tata cara pendaftaran obat generik 3. Mengetahui tentang logo dan makna obat generik 4. Mengetahu tentang kriteria pemilihan obat esensial 5. Mencontohkan obat generik dan obat esensial 6. Perkembangan obat generik di Indonesia Uraian Materi Perundang – undangan Kesehatan Jilid 2 Direktorat Pembinaan SMK (2013) 121 Ketergantungan yang tinggi pada bahan baku impor menjadikan industri farmasi Indonesia rentan terhadap stabilitas ekonomi-politik di Indonesia. Menanggapi permasalahan besarnya biaya belanja obat, pemerintah berupaya untuk meningkatkan produksi serta menghimbau seluruh pabrikan industri farmasi untuk memproduksi obat generik dimana obat ini dapat dijangkau oleh masyarakat menengah kebawah. Garattini & Tediosi (1999) mendifinisikan obat generik sebagai obat imitasi (tiruan) dari obat yang sudah melebihi siklus hidupnya (mature drug) dan dipasarkan menggunakan nama zat aktif dari obat yang sudah tidak diproteksi atau disebut dengan obat originator. Dalam berita yang dipublikasikan oleh (Anna, 2012), terdapat pernyataan dari Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Maulida Sitanggang bahwa nilai rupiah obat generik nasional saat ini hanya menyumbang 8- 11% dari penjualan obat nasional karena pemerintah menetapkan kebijakan harga obat generik tanpa merek sekitar 10-50% dari harga obat bermerek pada umunya. Ditinjau dari segi volume penjualan, obat generik sudah mencapai angka 38% dari penjualan obat nasional. Nilai tersebut berpotensi untuk terus ditingkatkan apabila obat generik tidak hanya digencarkan pada fasilitas kesehatan pemerintah. Pada sektor layanan swasta, masih terdapat gap antara peresepan obat generik dan obat jenis lain. Salah satu penyebab masalah ini adalah baik dokter maupun pasien, masih menganggap obat generik adalah obat yang murah dan tidak berkualitas. Hal ini menunjukkan masih kurangnya edukasi dan perlunya sosialisasi lebih lanjut terhadap obat generik. Masalah yang umum terjadi saat ini adalah adanya oknum pabrikan farmasi (detailer) yang bekerjasama dalam mempromosikan obatnya secara langsung pada dokter yang disebut dengan financial incentives. Königbauer (2007) mengatakan bahwa dokter adalah target terbesar dari komponen biaya promosi. Insentif tersebut berpengaruh pada keputusan dokter dalam meresepkan obat-obatan. Dokter berperan sebagai agen yang berhadapan langsung pada masyarakat dan berpotensi sebagai stimulus peningkatan penjualan obat melalui peresepannya. Liu et al., (2009) menyatakan bahwa keputusan dokter untuk meresepkan antara obat originator dan obat generik dipengaruhi oleh profit margin antara biaya penggantian (reimbursement) dengan harga yang ditentukan (acquisition price). Pernyataan ini menunjukkan bahwa unsur insentif pada dokter berpengaruh erat dalam kecenderungan penulisan resep yang ditujukan pada pasien. Maka dapat disimpulkan bahwa financial incentives adalah salah satu upaya pabrikan farmasi di Indonesia untuk mempertahankan omzet penjualannya dimana pendapatan terbesar diperoleh dari obat-obat originator yang diproduksi, oleh karena itu faktor insentif dimasukkan menjadi salah satu variabel biaya dalam pemasaran. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya penggunaan obat generik di Indonesia dimana pemerintah perlu melakukan kajian lebih lanjut untuk meregulasi pasar obat nasional. Dalam upaya melakukan regulasi menyangkut kondisi permintaan obat, dilakukan dengan cara menjabarkan variabel-variabel yang berpengaruh dalam bentuk konseptual dan matematis. Mengarah pada tujuan penelitian yakni meningkatkan kemampuan belanja obat masyarakat melalui peningkatan pemanfaatan obat generik, maka penelitian ini dilakukan dengan cara memodelkan interaksi antar variabel dengan mengikuti perubahan waktu. Maka dari itu, digunakan pendekatan sistem dinamik (SD) dimana memiliki karakteristik yaitu dapat menyelesaikan permasalahan yang memiliki banyak variabel (kompleks) dimana memiliki hubungan satu dengan lainnya (interdependency). Dalam melakukan sebuah pemodelan harus memperhatikan karakteristik suatu sistem yang akan dimodelkan, oleh karena itu pada penelitian ini difokuskan pada obat untuk pengobatan penyakit diabetes. Penelitian ini fokus pada pengobatan penyakit kronis diabetes Perundang – undangan Kesehatan Jilid 2 Direktorat Pembinaan SMK (2013) 122 berdasarkan beberapa alasan. Liu et al., (2009) menyatakan bahwa penyakit diabetes memiliki share yang besar terhadap pengeluaran sektor kesehatan. Kategori penyakit ini memiliki market size yang besar sehingga menarik banyak perusahaan masuk dalam pasar ini. Semakin banyak perusahaan yang memasuki market penyakit jenis ini, maka pihak pabrikan akan meningkatkan persaingannya salah satunya dengan memberikan discount rate. Maka dapat disimpulkan bahwa obat yang digunakan pada pengobatan penyakit diabetes memberikan kondisi pasar yang ideal dimana terdapat perilaku yang unik pada faktor insentif dan pemilihan peresepan. Dari segi perilaku konsumsi, perilaku pengobatan pada penyakit diabetes yaitu penggunaan obat secara jangka panjang dan kecenderungan perpindahan merek produk yang kecil. Hal ini dikarenakan pengobatan pada penyakit ini memiliki ketergantungan pada faktor rekomendasi dokter dan kecocokan pasien. 2) Obat Generik Beberapa Pengertian Obat Generik adalah obat dengan nama sesuai INN (International Nonproprietary Name) dari WHO yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik dipasarkan dengan nama dagang sesuai dengan nama zat aktif yang dikandungnya. Obat Paten adalah obat dengan nama dagang dan merupakan milik produsen yang bersangkutan. Obat essensial adalah obat yang paling banyak dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat terbanyak dan tercantum dalam Daftar Obat Essensial Nasional yang ditetapkan oleh Menteri. Peraturan yang berlaku untuk obat generik antara lain : a). Rumah sakit diwajibkan menyediakan obat essensial dengan nama generik untuk kebutuhan pasien berobat jalan dan rawat inap. b). Rumah sakit kelas A,B II dan B I diharuskan memiliki formularium, meliputi DOEN dan obat lain yang sangat diperlukan rumah sakit. c). Rumah sakit diwajibkan memiliki Pedoman Terapi dan Komite Farmasi dan Terapi. d). Dokter yang bertugas di Rumah Sakit, Puskesmas dan Unit Pelaksana Teknis lainnya diharuskan menulis resep obat essensial dengan nama generik bagi semua pasien. Obat generik ada 2 macam : 1. Obat generik bermerek dagang ( OGM ) adalah obat generik yang diberi merek dagang oleh industri farmasi yang memproduksinya. Contoh: natrium diklofenak (nama generik), di pasaran memiliki berbagai nama merek dagang misalnya: Voltadex, Klotaren, Voren, Divoltar, dll. 2. Obat generik berlogo ( OGB ) : Obat generik berlogo diberi logo khusus yang menunjukkan bahwa obat generik tersebut diproduksi oleh pabrik obat yang sudah mendapatkan sertifikat Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB)sehingga dapat dijamin mutunya. Tata Cara pendaftaran Obat Generik Berlogo (SK Menkes RI No.05417/A/SK/XII/89): Perundang – undangan Kesehatan Jilid 2 Direktorat Pembinaan SMK (2013) 123 a). Obat Generik Berlogo adalah obat jadi dengan nama generik yang diedarkan dengan mencantumkan logo khusus pada penandaannya. b). Logo adalah tanda pengenal yang diberikan pada obat generik yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan c). Pengajuan pendaftaran obat generik berlogo hanya dilakukan oleh Industri farmasi yang telah menerapkan Cara Produksi Obat Yang Baik (CPOB) yang dibuktikan dengan Sertifikat CPOB yang diterbitkan oleh Badan POM. d). Obat generik yang didaftarkan juga harus memenuhi spesifikasi baku untuk setiap jenis sediaan dan kemasan obat generik Berlogo, dan persyaratan yang ditetapkan oleh Badan POM. Contoh - contoh obat generik berlogo antara lain : Acetosal 100 mg tablet Allopurinol 100 mg tablet Aminophylline 200 mg tablet Amoxycillin 500 mg kapsul Ampicillin 125 mg /5 ml sirup kering dan lain-lain Adapun logo obat generik dan maknanya sebagai berikut : Gambar 2.6 Logo Obat Generik Makna Gambar : Bulat berarti suatu kebulatan tekad untuk menggunakan obat generic Garis-garis tebal tipis berarti menjangkau seluruh lapisan masyarakat Warna hijau berarti obat yang telah lulus dalam segala pengujian Kualitas obat generik : Pada prinsipnya, tidak ada perbedaan dalam hal mutu, khasiat dan keamanan antara obat generik dengan obat bermerek, maupun obat paten dengan kandungan zat aktif yang sama. Sehingga memiliki indikasi obat, dosis, dan efek samping yang sama. Faktor yang menyebabkan obat generik murah : Harga diatur pemerintah Tidak dipromosikan besar-besaran Biaya produksi rendak Perundang – undangan Kesehatan Jilid 2 Direktorat Pembinaan SMK (2013) 124 Pemasaran obat generik di Indonesia : • Awal peluncuran hanya beberapa puluh saja OGB yang diproduksi BUMN. Namun seiring dengan upaya memudahkan keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, maka diproduksilah lebih dari 170 item obat. • Obat yang dibuat dalam bentuk OGB misalnya untuk penyakit simtomatis seperti parasetamol, antalgin, ibuprofen, dll juga penyakit degeneratif misalnya nifedipin, kaptopril, HCT, dll. • Bentuk obat juga bervariasi mulai dari sirup, sirup kering/dry syrup, tablet, kaplet, tablet kapul, salep. Permasalahan obat generik di Indonesia : Penggunaan obat generik di Indonesia masih rendah Tenaga kesehatan enggan meresepkan obat generik Penggunaan obat generik oleh pasien rendah Solusi untuk mengatasi permasalah obat generik di Indonesia • Revitalisasi penggunaan obat generik, pemerintah perlu menyadarkan masyarakat agar tidak lagi meragukan kualitas obat generik. Sehingga masyarakat tidak ragu untuk menggunakan obat generik. • Pemerintah perlu meningkatkan promosi obat generik di kalangan masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengenal obat generik sebagaimana mengenal obat bermerek pada umumnya. • menerapkan aturan yang mewajibkan dokter pemerintah untuk memberikan obat generik dalam penulisan resepnya sesuai dengan Permenkes No. HK.02.02/Menkes/068/I/2010. • Belajar dari negara maju, bahwa sistem pelayanan kesehatan telah ditopang oleh asuransi. Dengan begitu, pihak asuransi akan menekan institusi kesehatan agar memberikan obat generik kepada pasien yang datang berobat. Tantangan Obat Generik Berlogo merebut pasar Dewasa ini, penggunaan obat generik mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat. Selain karena tidak ada perbedaan khasiat dibanding dengan obat bermerek, harga obat generik juga lebih terjangkau. Ini lantaran ada harga obat bermerek yang mencapai 10 kali lipat obat generik. Belum lagi, keterbatasan finansial bisa jadi memaksa seseorang untuk memilih membeli obat generik karena tidak ada pilihan lain. Alhasil, beberapa kelompok ini lebih memilih menggunakan uangnya untuk menebus obat generik di apotek. Mengacu beberapa referensi, obat generik tidak ada bedanya dengan obat bermerek yang beredar di pasaran. Hanya saja, obat generik merupakan obat yang telah habis masa patennya. Sehingga, semua perusahaan farmasi dapat memproduksinya tanpa perlu membayar royalti kepada pencipta obat. Kalau diklasifikasikan lagi, obat generik terbagi menjadi dua jenis, yaitu obat generik bermerek dagang dan obat generik berlogo (OGB). Untuk OGB, pemasarannya dengan mencantumkan kandungan zat aktif di setiap butir yang beredar. Untuk jenis ini, pemerintah sangat berkepentingan untuk memproduksinya dalam jumlah cukup sebagai antisipasi kebutuhan rumah sakit milik pemerintah. Apalagi, pasien miskin biasanya memilih untuk berobat di rumah sakit pemerintah dengan alasan biaya rawat dan obatnya lebih terjangkau. Sehingga, ketersediaan OGB yang mencukupi merupakan sebuah kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Sayangnya, perkembangan obat generik di pasaran masih kurang menggembirakan. Data Kementerian Kesehatan pada 2012 menjadi buktinya. Pangsa pasar obat generik cenderung stagnan di Perundang – undangan Kesehatan Jilid 2 Direktorat Pembinaan SMK (2013) 125 kisaran 10 hingga 11 persen. Di negara maju, volume penjualan obat generik bisa mencapai 70 hingga 80 persen. Hal itu tentu patut disayangkan. Mengingat, obat generik berlogo (OGB) sudah menjadi program resmi pemerintah Indonesia mulai 1989. Tujuannya adalah memberikan alternatif obat bagi masyarakat dengan kualitas terjamin dan harganya ramah di kantong. Seiring berjalannya waktu, gaung kampanye penggunaan OGB semakin meredup. Bisa jadi, mitos yang berkembang di masyarakat bahwa obat generik adalah obat kelas dua dan diperuntukkan untuk kalangan tidak mampu masih melekat kuat di benak banyak orang. Label tak berkualitas itulah yang menjadi kendala mengapa OGB belum bisa diterima masyarakat secara luas. Kampanyekan obat generik Faktor sosialisasi juga menjadi kendala mengapa OGB kurang bisa bersaing di pasaran dengan obat bermerk. Karena harus dipahami, masyarakat dalam membeli obat biasanya enggan mencoba-coba alias memilih resep yang sudah dipercaya. Mereka rela mengeluarkan uang lebih untuk menebus obat sesuai dengan yang dipesannya. Kalau obat itu jarang diketahui, pantas saja masyarakat meragukan khasiatnya. Meski secara kualitas memenuhi standar ketat kesehatan, namun kita harus memahami psikologis masyarakat. Tanpa bekal pemahaman dan pengetahuan cukup, cukup sulit menggerakkan mereka untuk memilih OGB sebagai pilihan. Di sinilah titik persoalan mengapa obat generik belum bisa memasyarakat. Tiadanya sosialisasi karena pemerintah tidak memiliki biaya promosi membuat penetrasi pasar OGB menjadi tersendat. Meski di setiap apotek selalu tersedia, karena minimnya sosialisasi oleh pemerintah berdampak pada belum terbentuknya kepercayaan masyarakat terhadap obat generik. Sehingga, potensi pasar OGB yang seharusnya besar malah tidak menggembirakan. Untuk itu, diperlukan lagi kebijakan bersifat terobosan untuk mendorong agar masyarakat percaya menggunakan OGB sebagai resep manjur dalam mengatasi atau pencegahan penyakit. Keberpihakan pemerintah dalam mengkampanyekan gerakan menggunakan OGB sebagai sarana pengobatan efektif juga wajib digelorakan. Karena kalau kondisinya seperti sekarang, belum banyak dikenal masyarakat, tentu jangan berharap persentase penjualan obat generik dapat meningkat. Meski ketersediaan di pasaran selalu terjaga, namun tanpa edukasi yang cukup sangat sulit mengharapkan masyarakat bisa segera beralih dengan cepat. Sudah banyak ditemukan, pasien berani meminta kepada dokter untuk dibuatkan resep obat generik, kalau pun itu memang ada. Sayangnya, jumlah golongan seperti ini sangat sedikit. Sehingga, mendorong penggunaan OGB daripada obat bermerek yang terlanjur dipercaya khasiatnya menjadi tantangan yang harus dijawab pemerintah. Dengan dilaksanakannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di bidang kesehatan per 1 Januari 2014, yang diprediksi meningkatkan pangsa pasar obat generik, tentu tidak ada salahnya kita turut mempromosikan OGB dengan cara masing-masing. Kampanye kalau sakit lebih baik menggunakan OGB daripada obat branded jangan putus untuk disuarakan. Karena, kalau khasiatnya sama, tentu siapa pun bakal lebih memilih resep obat yang harganya jauh lebih murah. Mari gunakan OGB! 3) Obat Esensial (Kep.Men.Kes RI No.497/MenKes/SK/VII/2006 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2005) Perundang – undangan Kesehatan Jilid 2 Direktorat Pembinaan SMK (2013) 126 Konsep obat esensial di Indonesia mulai diperkenalkan dengan dikeluarkannya Daftar Obat esensial (DOEN) yang pertama tahun 1980, dan dengan terbitnya kebijakan Obat Nasional pada tahun 1983. DOEN direvisi secara berkala setiap 3-4 tahun. Doen yang terbit sekarang ini merupakn revisi tahun 2008. Komitmen pemerintah melakukan revisi berkala merupakan prestasi tersendiri. Pada tahun 2007, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melaksanakan program Good Govermance on Medicines (GGM) tahap pertama di Indonesia dengan melakukan survey tentang proses transparasi lima (5) fungsi kefarmasian. Salah satunha adalah proses seleksi DOEN, yang dari segi proses transparasi dinilai kurang memadai. Dari pertemuan peringatan 30 tahun Essential Medicine List WHO di srilangka (2007), diberikan tekanan kembali pentingnya transparasi proses seleksi baik dari tim ahli yang melakukan revisi, proses revisi dan metode revisi yang harus semakin mengandalkan Evidence based Medice (EBM) dan pentingnya pernyataan conflicting of interest dari para tim anggota ahli. Mengingat beberapa hal di atas, maka revisi pada tahun 2008 telah dirintis ke arah perbaikan tersebut. Oleh karenanya proses revisi kali ini agak berbeda dengan proses revisi sebelumnya dalam beberapa hal antara lain : Pemulihan tim ahli melalui seleksi cukup ketat, termasuk penilaian terhadap kemungkinan konflik kepentingan Sejak awal pembahasan telah menyertakan para pengelola program yang menggunakan obat di lingkungan Kementerian Kesehatan (bukan hanya dalam rapat pleno). Upaya ini diharapkan merupakan proses pembelajaran kembali kepada internal Kementerian Kesehatan untuk memahami kembali konsep obat esensial Selain pendapat dan pengalaman para ahli dalam tim revisi, pemanfaatan data EBM sangat diutamakan Seluruh proses pembahasan, memberikan perhatian besar pada obat untuk anak, termasuk bentuk sediaan, Seperti diketahui WHO telah pula menerbitkan Daftar Obat Esensial untuk anak, dan dokumen ini menjadi salah satu acuan. Keberpihakan kepada kepentingan anak, juga ditujukan dengan dokter spesialis anak dalam tim ahli yang berjumlah paling banyak yaitu, 4 (empat) orang. Revisi bersifat menyeluruh dalam arti mengkaji seluruh obat dalam DOEN termasuk catatan-catatan yang tidak sesuai lagi. Revisi sebelumnya lebih banyak mengevaluasi obat yang diusulkan untuk ditambahkan ke dalam DOEN Bentuk transparasi juga ditunjukkan dengan adanya penjelasan tentang beberapa alasan mengapa suatu obat perlu dikelurkan dan ditambahkan dalam DOEN 2005, ataupun adanya perubahan bentuk sediaan Obat essensial adalah obat terpilih yang paling banyak dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya. . Pemilihan obat essensial berdasarkan kriteria sebagai berikut : a). Memiliki rasio manfaat-resiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan penderita. b). Mutu terjamin termasuk stabilitas dan bioavaibilitas. c). Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan. d). Praktis dalam penggunaan dan penyerahan disesuaikan dengan tenaga, sarana dan fasilitas kesehatan. e). Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh penderita f). Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung. g). Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi serupa, pilihan dijatuhkan pada : Perundang – undangan Kesehatan Jilid 2 Direktorat Pembinaan SMK (2013) 127 (1) Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah (2) Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan (3) Obat yang stabilitasnya lebih baik (4) Mudah diperoleh (5) Obat yang telah dikenal h). Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut : (1) Obat hanya bermanfaat bagi penderita dalam bentuk kombinasi tetap (2) Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tanggi dari pada masing-masing komponen (3) Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk sebagian besar penderita yang memerlukan kombinasi tersebut (4) Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) (5) Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya resistensi dan efek merugikan lainnya 3. Penerapan Konsep Obat Esensial Penerapan Konsep Obat Esensial dilakukan melalui Daftar Obat Esensial Nasional, Pedoman Pengobatan, Formularium Rumah Sakit, dan Informatorium Obat Nasional Indonesia yang merupakan komponen saling terkait Untuk mencapai peningkatan ketersediaan dan suplai obat serta kerasionalan penggunaan obat. Oleh karena itu penyusunan komponen tersebut harus dilakukan secara sistematik. 4. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar obat terpilih yang paling dibutuhkan dan yang diupayakan tersedia di unit palayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya. Penerapan DOEN dimaksudkan Untuk meningkatkan ketepatan, keamanan, kerasionalan penggunaan dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya guna dan hasil guna biaya yang tersedia sebagai salah satu langkah Untuk memperluas, memeratakan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Penerapan DOEN harus dilaksanakan secara konsisten dan terus-menerus di semua pelayanan kesehatan. Bentuk sediaan, kekuatan sediaan dan besar kemasan yang tercantum dalam DOEN adalah mengikat. Besar kemasan Untuk masing-masing unit pelayanan kesehatan didasarkan pada efisiensi pengadaan dan distribusinya dikaitkan dengan penggunaan. 5. Pedoman Pengobatan Pedoman Pengobatan disusun secara sistematik Untuk membantu dokter dalam menegakkan diagnosis dan pengobatan yang optimal Untuk suatu penyakit tertentu. Pedoman pengobatan disusun Untuk setiap tingkat unit pelayanan kesehatan, seperti Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas dan Pedoman Diagnosis dan Terapi di Rumah Sakit. Pedoman Pengobatan memuat informasi penyakit, terutama penyakit yang umum terjadi dan keluhan-keluhannya serta informasi tentang obatnya meliputi kekuatan, dosis dan lama pengobatan 6. Revisi DOEN DOEN perlu direvisi dan disempurnakan secara berkala. Revisi tidak hanya Untuk menyesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi juga Untuk kepraktisan dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan yang ada. Penyempurnaan DOEN dilakukan secara terus-menerus dan usulan materi dari unit pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Kementerian Kesehatan RI. Revisi DOEN dilaksanakan secara periodic setiap 3 (tiga) tahun. Next >