< Previous122 kardus tebal, kain penutup, dan kompos jadi. Model pengomposan dengan takanura sudah banyak dilakukan di rumah-rumah terutama di komplek perumahan, misal di wilayah Buah-batu Bandung. Gambar 33. Takakura (kiri) dan Bambookura (kanan) Sumber:http://lindaanggraeniyoka.blogspot.com/ 2013/02/ teknologi-tepat-guna-dalam-pengelolaan.html b) Doskura Orang menyebutnya doskura, karena menggunakan kardus sebagai pengganti keranjang. Cukup kardus yang dilapisi dengan gelangsing dan diberi aktivator (kompos), doskura dapat juga mengubah sampah menjadi kompos. Hanya saja, karena kardus mudah lapuk maka kardus harus diganti secara kontinyu setiap 6-8 minggu sekali. Untuk memperpanjang umur kardus, 123 sebaiknya kardus tidak diletakkan langsung di lantai namun diberi alas berupa kayu atau triplek. Gambar 34. Komposting Doskura Sumber: http://sriwahyono.blogspot.com/ 2010_04_01_archive.html 124 Gambar 35. Komposting dengan Ember Berlubang Sumber: http://jujubandung.wordpress.com/ 2012/06/02/teknologi-tepat-guna-ttg-dalam-pengelolaan-sampah-berbasis-3r/ Ember bekas cat dijadika tempat komposter sederhana dengan memberi lubang yang cukup untuk aerasi. Mirip dengan Takakura, ember berlubang menggunakan bantal sekam dan kardus untuk mengontrol kelembaban dan mengurangi bau. Model 2: Skala Komunal (a) Gentong 125 Gambar 36. Pengomposan menggunakan gentong (b) Drum/tong Menggunakan tong plastik berukuran 120L yang dilengkapi pipa vertikal dan horizontal agar proses berlangsung secara aerob (dengan udara). Salah satu pengguna komposter jenis ini adalah masyarakat di Jambangan, Surabaya. Gambar 37. Composting dengan drum Sumber:http://balgon-yu.blogspot.com/ 126 Gambar 38. Drum/tong plastik yang digunakan dalam composting Sumber:http://www.bebeja.com/cara-mudah-buat-kompos/ Masih dengan tong plastik serupa, namun aerasi dilakukan dengan menggoyang/ memutar komposter. Kerangka yang kuat diperlukan agar mampu menyangga berat sampah organik saat komposter penuh. Di bagian dalam tong terdapat pipa berlubang dan pemecah gumpalan sampah agar aerasi berjalan lebih optimum dan air yang belebih dapat dikeluarkan. (c) Bak/Kotak Gambar 39.. Bak/ kotak. 127 Metoda ini menggunakan konstruksi sederhana pasangan bata yang dikombinasikan dengan bilik kayu sebagai pintu untuk ruang pengomposan. (d) Takakura susun Gambar 40. Takakura Susun Metoda dengan menggunakan keranjang berlubang dan kemudian dilapisi dengan gelangsing. Caranya yaitu: sampah organik dicampurkan dengan mikroorganisme padat dari campuran bekatul, sekam padi, pupuk kompos, dan air. Kemudian dimasukkan kedalam keranjang dan ditutup dengan keset dari sabut kelapa. 128 (e) Windrow composting Untuk lahan yang cukup luas, metode ini sangat efektif karena mudah dan murah untuk diterapkan. Sampah ditumpuk sesuai umur prosesnya dalam bentuk gundukan atau ‘pile’, dan dibalik secara berkala untuk memungkinkan proses aerob. (f) Sistem Komunal Windrow Composting (Metoda Gundukan) Komposting dengan metoda gndukan, dibutuhkan lahan yang cukup, yaitu untuk: Area penerimaan sampah Area pemilahan dan pencacahan (jika diperlukan, terutama untuk sampah pertamanan) Area sampah non organik / lapak Ruang pengomposan (windrow) Ruang pengayakan kompos Gudang kompos Gudang peralatan Instalasi pengelolaan lindi (air sampah) Instalasi pengomposan sebaiknya dilengkapi juga dengan kantor, sebagai ruang untuk pemantauan, dan dilengkapi juga dengan fasilitas air bersih, toilet dan sebagainya. Tahapan komposting adalah: 129 a. Penerimaan sampah. Sampah yang masuk ke lokasi dari gerobak/truk sebaiknya masih relatif segar dan didominasi oleh sampah organik, agar lebih cepat pemilahannya. Jumlahnya perlu dicatat secara rutin dalam log book (buku catatan kegiatan). b. Pemilahan dan pencacahan sampah organik. Secara manual, sampah organik dipisahkan untuk dibawa ke tempat pengomposan. Non organik yang dapat di daur ulang dibawa ke area non organik/lapak, sedangkan residu (sisa) dikumpulkan dalam kontainer. Sampah yang berukuran besar dan panjang seperti dari pertamanan dicacah terlebih dahulu. c. Pencampuran dan pembentukan tumpukan/gundukan. Agar lebih homogen (merata), beberapa jenis sampah organik (sampah dapur, taman, kotoran ternak dll) perlu dicampur terlebih dahulu. Kemudian ditumpuk berbentuk trapesium (windrow) memanjang atau dalam bak. d. Pembalikan. Secara teratur tumpukan dibalik 1 – 2 kali seminggu secara manual dengan memindahkan tumpukan atau digulirkan. Catat waktu / tanggal pembalikan. e. Penyiraman. Tumpukan perlu disiram secara rutin untuk menjaga kelembaban proses, menggunakan selang spray agar perata. Hentikan penyiraman untuk tumpukan yang telah berumur 5 minggu atau dua minggu sebelum panen. 130 f. Pemantauan. Agar masalah yang timbul dapat diantisipasi sedini mungkin, pemantauan sangat penting. Terutama terhadap suhu, tekstur, warna, bau, dan populasi lalat. Hasil pemantauan dicatat dengan rapi. g. Pemanenan dan pengayakan. Produk kompos matang perlu diayak agar berukuran halus sesuai kemudahan penggunaan. h. Pengemasan dan penyimpanan. Jika ingin dijual, kompos halus dapat dikemas sesuai volume yang diinginkan dan diberi informasi tentang nama kompos, bahan baku, produsen kompos, dan kegunaannya untuk tanaman. Setelah dilemas dapat disimpan dalam gudang yang terlindung dari panas matahari dan hujan. Pemantauan Proses Komposting Pemantauan atau monitoring penting dilakukan untuk memastikan proses komposting berjalan dengan baik, terutama pada 6 minggu pertama. Perlengkapan yang diperlukan diantaranya termometer yang mampu mengukur hingga 100 derajat Celcius, sarung tangan karet, dan sekop. Pemantauan ini sangat mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat, baik ibu-ibu, bapak, maupun pemuda/pemudi. Semakin banyak yang terlibat dalam pemantauan akan semakin baik.Parameter yang perlu dipantau diantaranya: Suhu Proses komposting ditandai dengan peningkatan suhu yang mampu mencapai 70ºC. 131 Untuk memastikannya, gunakan termometer dengan hati-hati untuk mengukur suhu sampah organik dalam komposter. Pengukuran sebaiknya dilakukan sejak minggu pertama, dan dilanjutkan paling tidak dua kali seminggu hingga minggu ke-6. Jika suhu tidak lebih dari 30 ºC, kemungkinan besar proses komposting tidak terjadi. Hal ini dapat disebabkan kelembaban yang berlebihan, atau jumlah sampah organik yang terlalu sedikit. Kelembaban Memantau kelembaban dilakukan dengan mengambil segenggam sampah organik dalam komposter yang sedang diproses lalu diremas, jika keluar air dari sela-sela jari maka kadar airnya berlebih. Jika tanah yang digenggam menjadi hancur berarti kompos terlalu kering. Perhatikan kondisi sampah organik yang sedang diproses, apakah terdapat larva atau belatung yang disertai bau yang tidak enak atau tidak. Jika ya, maka mungkin kondisi terlalu lembab atau sampah yang masuk sudah dihinggapi lalat. Bau yang timbal mungkin disebabkan kurangnya aerasi atau pembalikan dan pengadukan sehingga proses biologis yang terjadi menghasilkan gas yang berbau. Jangan lupa, setelah memantau kompos, cuci tangan pakai sabun! Untuk melihat cara cuci tangan yang benar, serta waktu-waktu Next >