< Previous 122 3.3.8.3 Arjuna Wiwaha, karangan Empu Kanwa Isinya meriwayatkan Arjuna yang pertapa untuk mendapat-kan senjata, guna keperluan perang melawan Korawa, kelak dalam Bharatayuda. Sebagai petapa Arjuna berhasil pula membasmi raksa-sa Nirwatakawaca yang menyerang Kahyangan. Sebagai hadiah, Ar-juna boleh hidup di Indraloka beberapa lama. Kitab ini digubah oleh Empu Kanwa pada masa Airlangga raja di Jawa Timur dari sekitar tahun 941 – 946 saka (019 – 1042 Masehi). 3.3.8.4 Smaradahana, karangan Empu Darmadja Ketika batara Siwa sedang bertapa, seorang raja raksasa bernama Nilarudraka datang di Kahyangan untuk merusak Sorga. Sang Kamajaya disuruh oleh para dewa untuk menyusulnya. Sampai di tempat bertapa, Kamajaya berkali-kali membangunkan tapanya dengan berbagai cara, tetapi gagal. Dicoba dengan panah bunga-nya-pun gagal juga. Akhirnya dipanah pamungkasnya yaitu panah Pancawiyasa yaitu sebuah panah yang bisa membangkitkan rasa rindu-dendam terhadap pendengaran dan persaan, penglihatan yang serba nikmat. Seketika itu juga, Batara Siwa rindu terhadap isterinya Sang Batari Uma. Namun Batara Siwa marah karena tahu bahwa itu adalah ulah Kamajaya. Maka dari “mata-ketiga” Batara Siwa terpan-carlah api menempuh dan membakar Kamajaya sehingga matilah Kamajaya. Batara Siwa melenjutkan perjalanan pulang ke Sorga. Sampai di Sorga bertemulah dengan permaisuri, kerinduan bisa le-pas dan tersalur hingga sang Batari hamil. Sementara Kama Ratih mencari sang suami yang mati ter-bakar, terlihat tangan Kamajaya bagaikan melambai-lambai, maka Ratih menggelebyur ke dalam nyala api (dahana mulat) hingga ter-bakar dan mati. Oleh Batara Siwa keduanya tidak dimaafkan, Kama-jaya disuruh menyatu dengan tubuh setiap lelaki dan Batari Ratih ha-rus menyatu pada tubuh setiap perempuan sampai sekarang. Dicerikan kehamilan sang Batari Uma telah sampai pada saat kelahirannya. Maka lahirlah seorang bayi (jabang-bayi) berke-pala gajah. Ini akibat dari waktu hamil sang Uma terkejut melihat ga-jah yang dibawa oleh para dewa ketika pura-pura menjenguk Batara Siwa. Bayi yang lahir itu diberi nama Batara Ganesa. Kehadiran raja raksasa Nilarudraka yang akan merusak sorga itu dapat dipukul mundur dan dibunuh oleh Ganesa. Kitab Smaradahana juga menyebut nama raja Kediri Prabu Kameswara titisan Kamajaya yang ke-3. Parameswari Sri Kirana Ra-tu sebagai titisan Kama Ratih. Pemerintahan Kameswara ini terjadi pada tahun 1037 – 1052 Saka atau tahun 1115 – 1130 Masehi. 1233.3.8.5 Bomakawya Kitab ini berisi cerita peperangan antara Sri Kresna mela-wan sang Boma. Demikianlah cerita peperangan tersebut. Kehadiran Batara Narada di negara Dwarawati minta tolong kepada Sri Kresna agar membunuh para bala raksasa anak buah (prajurit) sang Boma, yang sedang mengepung ke Inderaan. Samba putera Sri Kresna diperintahkan untuk berangkat mendahului bersa-ma-sama beberapa tentaranya. Sampai di kaki gunung Himalaya, bertempurlah mereka melawan raksasa-raksasa dan musnahlah se-mua bala raksasa. Dengan berakhirnya perang itu Raden Samba melihat se-buah pertapaan rusak dan sepi, hanya ada seorang jejanggan ber-nama Puthut Gunadewa. Di situlah Raden Samba menanyakan ba-gaimana riwayat pertapaan itu. Sang Gunadewa kemudian menceri-takannya, bahwa tempat itu adalah bekas pertapaan Sang Dharma-dewa putera Batara Wisnu. Sesudah sang Dharmadewa wafat, maka permaisurinya menjadi tapa-tapi di pertapaan tersebut. Tetapi tidak lama kemudian, permaisuri yang bernama Yadnawati itu meninggal. Terakhir perta-paan ini ditempati oleh seorang pendeta gurunya Gunadewa berna-ma Pendeta Wismamitra. Mendengar cerita si jejanggan Gunadewa, maka terlintas-lah kembali dalam ingatan Raden Samba bahwa Dharmadewa (pute-ra Wisnu) itu adalah dirinya sendiri. Ia sekarang sangat rindu kepada Yadnawati. Sementara kerinduan Raden Samba terhadap Yadnawati ti-dak terbendung, datanglah Batari Titlotama yang mengatakan bahwa Yadnawati menitis pada puteri raja dari utara nagara dan namanya tetap Yadnawati. Tetapi karena kerajaan diserang oleh seorang raja raksasa prabu Boma, ayah ibunya meninggal. Kini sang puteri dipeli-hara sang Boma. Raden Samba diantar oleh Batari Titlotama, dengan diam-diam menemui sang Yadnawati. Di situ pula Samba berhadapan de-ngan bala raksasa penjaga. Samba mampu mengalahkan para pen-jaga dan matilah penjaga itu. Tetapi Yadnawati telah dibawa oleh Boma ke negaranya yang lain di Projatisa. Batara Narada datang memberitahukan agar Raden Samba kembali ke Dwarawati, sebab di situ bahaya mengancamnya. Cepat-cepat Raden Samba ke Dwarawati tetapi tak bisa bertemu kekasih-nya sang Yadnawati. Gandrung tak terelakkan hingga sakit. Kresna ayahnya marah, Boma dibunuhnya. Raden Samba sembuh dan lalu dipertemukan dengan Yadnawati, bermadu asmara. Buku ini penga-rangnya tidak jelas. 124 3.3.8.6 Sutasoma Raden Sutasoma seorang pangeran yang diperanakkan oleh raja Mahaketu di negeri Astina. Ia tidak mau diangkat sebagai pengganti ayahnya dan juga tidak mau dikawinkan, ia pemeluk Bu-dha Mahayana, sangat rajin. Suatu saat Raden Sutasoma pergi dari istana, semua pintu terbuka bagaikan memberi jalan kepadanya. De-ngan kepergian Sutasoma tentu raja dan parameswarinya sangat se-dih. Penghibur istana tidak terhiraukan. Perjalanan Raden Sutasoma sampai di sebuah hutan, meli-hat kuil kecil dan masuklah ia memuja kepada Maha Budha. Datang-lah batari Widyukarali yang memberitahu bahwa permohonannya di-kabulkan. Kemudian Raden Sutasoma naik ke gunung Himalaya de-ngan dihantar oleh para pendeta. Sampai di sebuah pertapaan, se-mua yang dilakukan Raden Sutasoma diceritakan kepada orang yang ada di situ. Di samping itu, Raden Sutasoma juga mendapat cerita tentang seorang raja yang bagus rupa tetapi titisan raksasa yang gemar memakan daging manusia. Raja itu bernama prabu Pu-rusada atau Kalmasapada. Suatu saat daging yang akan disantap hi-lang dimakan anjing dan babi. Sudah barang tentu pelayan itu bingung. Maka dicarinyalah mayat manusia yang baru untuk diambil dagingnya sebagai santap-an sang prabu Purusada. Ternyata pelayan itu langsung memasak daging yang didapatnya. Setelah disantap, ternyata daging sebanyak itu habislah. Dengan merasakan segar dan nikmat, sang prabu Puru-sada menanyakan daging apa yang baru disantapnya? Dengan jujur ia menjawab ”daging manusia”. Demikian kesenangan makan daging manusia bagi sang Prabu Purusada semakin tak terbendung. Akibat-nya penduduk di negeri itu habis dimakan. Karena kuasa Sang Hyang Wenang, raja raksasa itu terluka kakinya dan tidak bisa disembuhkan, akhirnya ia benar-benar menja-di raksasa penghuni sebuah hutan. Sang Purusada merasa tersiksa atas kakinya yang sakit itu. Lalu berjanji akan mempersembahkan seratus raja untuk santapan batara Kala bila sembuh kembali. Batari Pertiwi dan para dewa meminta Sutasoma untuk membunuh raja Purusada, tetapi tidak mau. Raden Sutasoma mene-ruskan perjalanannya dalam rencana untuk bertapa. Dalam perjalan-annya Raden Sutasoma bertemu dengan raksasa berkepala gajah yang juga pemakan daging manusia. Kebetulan Raden Sutasoma ti-dak mau dimakan, maka bergulatlah, dan raksasa terguling ditindih olehnya. Ia merasa keberatan, bagaikan tertindih gunung. Raksasa berkepala gajah itu kemudian tunduk kepada Raden Sutasoma. Di-ajarlah ia supaya tidak suka membunuh orang dan kemudian menja-di sahabatnya. Seekor naga besar yang menyambar Raden Sutasoma ter-nyata bisa ditaklukkan oleh raksasa kepala gajah dan menjadilah 125muridnya. Ada seekor harimau yang akan memangsa anaknya sen-diri (gogor). Oleh Raden Sutasoma dilarangnya, harimau tadi mema-kan dirinya. Langsung saja Raden Sutasoma ditubruknya dan mati-lah. Dengan kesadaran sendiri harimau itu merasa berdosa dan me-nangislah pada kaki Raden Sutasoma dan ingin mati saja. Sutasoma dihidupkan oleh Batara Indra. Setelah saling ber-dialog, Indra kembali ke Kahyangan. Raden Sutasoma lalu bertapa. Meskipun banyak godaan tetapi tak tergoda, malah menjelma seba-gai sang Budha Wairocana. Setelah para dewa ingin menghormat maka menjadi Raden Sutasoma kembali dan langsung pulang. Sepupu Raden Sutasoma yang bernama Prabu Dasabahu sedang berperang melawan tentara raksasa Prabu Kalmasapada. Raksasa kalah mengungsi kepada Raden Sutasoma. Prabu Dasaba-hu, mengejarnya ternyata ketemu dengan sepupunya. Bala raksasa disuruh kembali. Raden Sutasoma diajak pulang ke negerinya, terus dikawinkan dengan adiknya Prabu Dasabahu, dan berputralah mere-ka, terus pulang ke Astina bergelar Prabu Sutasoma. Prabu Purusada yang sudah mampu mengumpulkan 99 orang raja tinggal seorang saja segera akan diserahkan ke Batara Kala. Ternyata setelah ketemu dengan Prabu Sutasoma yang sang-gupkan dirinya sebagai penggenapan jumlah 100 orang raja. Sebelum sampai di hadapan Batara Kala, sang Prabu Puru-sada terharu akan kesanggupan Prabu Sutasoma. Akhirnya berto-batlah sang Purusada dan 99 orang raja tawanan dibebaskan. Kitab Sutasoma ditulis pada jaman pemerintahan Raja Ha-yam Wuruk di Kerajaan Majapahit. Induk karangan ada di negeri In-du. Sayang sekali siapa penulisnya tidak diketahui dengan jelas. 3.3.8.7 Parthayadnya Purbocaroko, dalam Kapustakan Jawa-nya mengungkap-kan bahwa buku Parthayadnya sederet dengan Kitab Arjunawijaya dan Sutasoma. Pernyataan pada isi buku, bahwa buku ditulis pada jaman Majapahit pertengahan sampai akhir. Isi kitab ini mengisahkan kehidupan orang Pandawa sesudah kalah main dadu. Mereka diper-malukan, dianiaya diseret ke hadapan para raja yang berkumpul di negara Astina. Kemudian dibuang ke hutan selama 12 tahun. Akhirnya dalam mempersiapkan diri, oleh Yudhistira, Arjuna disuruh bertapa di gunung Indrakila. Dalam perjalanannya sang Arju-na singgah di pertapaan Bagawan Mahayani di dalam hutan Wana-wati. Ketika laju perjalanannya Arjuna bertemulah dengan Dewi Sri (wahyu istana Indraprastha) yang pergi meninggalkan istana karena raja Yudhistira telah berbuat kurang pantas. Ia sanggup kembali ke istana asal dipelihara. Maka gaiblah wahyu Dewi Sri. Arjuna juga bertemu dengan Kamajaya dan diberi weja-ngan-wejangan berharga dan diberi peringatan bahwa akan datang mara bahaya yang dibawa oleh seorang raksasa bernama Nalamala 126 yang berkepala 3, yaitu sebuah kepala gajah, sebuah kepala raksa-sa dan yang ketiga kepala garuda. Setelah diperingatkan oleh Kamajaya, tidak lama kemudian Arjuna diserang oleh Nalamala. Tetapi hanya dengan bersemedi sang Arjuna nampak berbadan Batara. Nalamada takut dan pergilah dengan ancaman suatu saat nanti akan ketemu berperang lagi, pada jaman Kaliyuga. Dalam perjalanan selanjutnya Arjuna bertemu dengan sang kakek Maharsi Wiyasa. Diberi petunjuk dan wejangan tentang perila-ku hidup dan kehidupan bagi seorang satria bangbangan (bambang-an). Usai diberi wejangan, di antar ke Indrakila dan bertapalah. Prof. Dr. R.M.Ng. Purbocaroko dalam Kepustakaan Jawa-nya, menjelaskan bahwa Kitab Parthayadnya tidak mengandung lakon. Hanya menceritakan perjalanan Raden Arjuna untuk menuju bertapa ke Indrakila yang dalam perjalanannya mendapatkan ajaran dan ilmu bermacam-macam. Penulis buku Parthayadnya juga tidak jelas, namun hal ini disejajarkan dengan kitab Sutasoma. Demikian beberapa buku (tulisan/sastra) yang diambil dari buku yang bertembang dan sastra prosa. Tentu masih banyak baca-an-bacaan lain yang berhubungan dengan sastra lakon. 3.4 Sastra Gending Gending adalah lagu-lagu yang dimainkan dengan menggu-nakan gamelan. Pembicaraan Sastra Gending tidak akan menguta-makan masalah gendingnya, tetapi lebih dikhususkan pada Kesu-sasteraan yang ada kaitannya dengan gending, yaitu Kesusasteraan termuat dalam tembang. Dalam bernyanyi atau nembang sering ter-dengar istilah syair (cakepan), bawa atau buka, Jineman, umpak, senggakan, gerong, sindhenan, laras, titilaras, irama, pathet, ceng-kok, merong, dan pedhotan. 3.4.1 Syair (Cakepan). Cakepan itu berupa sususan kata-kata terpilih yang kemu-dian tersusun menjadi kalimat indah dan kemudian dipakai dalam tembang, gerong, senggakan, suluk, sindhenan, Jineman. Jadi ja-ngan salah tafsir, bahwa yang dimaksud cakepan itu bukan tem-bangnya, melainkan kata-katanya. Biasanya dalam cakepan memuat Purwakanthi (kalimat bersanjak) guru swara, guru sastra, lumaksita. Demikian juga memu-at parikan, wangsalan, guritan dan sebagainya. Selanjutnya bagi seorang vokalis sudah tentu akan bernya-nyi dengan melagukan kalimat tembang dengan jelas. Si pendengar akan menangkap lebih jelas sehingga tujuan kalimatnya dapat dime-ngerti dengan jelas juga. Orang nembang jawa jangan grayem (sua-ra senandung) dituntut perubahan huruf vokal harus jelas. 1273.4.2 Bawa / Buka Bawa adalah sebuah lagu vokal sebagai pendahulu gen-ding yang akan dimainkan. Namun demikian permainan sebuah gen-ding juga bias didahului dengan Buka, yang pada umumnya meng-gunakan instrument gamelan Rebab atau Gender. Biasanya juga de-ngan Bonang atau dengan Kendhang, dan biasa juga dengan meng-gunakan Gambang meskipun jarang. Yang jelas sebelum Buka / Ba-wa dilagukan, seyogyanya ada lagu pathetan agar tidak terjadi tum-pang tindih suasananya. 3.4.3 Jineman Jineman itu bagian dari kalimat bawa yang dilagukan seca-ra bersama. Bisa dilagukan oleh para vokalis (wiraswara) sebuah pa-nembrama. Jineman juga sebuah bentuk lagu yang permainannya dila-gukan oleh sorang Sindhen bersama gamelan yang bernada lembut saja, misalnya Gender Barung (Gender babon), Gender Penerus (Gender lanang), Slenthem, Siter, Kendhang, Gong kempul dan Ke-nong, contoh Jineman Uler Kambang, Mari Kangen, Kandheg, dan sebagainya. 3.4.4 Umpak Umpak-umpak adalah bagian gending yang tidak digerongi, khususnya bagi gending yang berbentuk ketawang. Umpak-umpak seperti ini biasanya dimulai dengan menggunakan buka swara atau salah satu alat gamelan. Ada lagi umpak-umpak yang menggunakan syair atau kata (cakepan), itu biasanya dilagukan pada penyajian panembrama., dan cakepannya biasanya menggunakan parikan, contoh rujak nangka rujake para sarjana, aja ngaya dimen lestari widada. Kalimat dua ba-ris yang di atas itu berupa parikan isinya memberikan patuah kepada setiap insan hidup dalam kehidupannya agar berlaku sabar tidak emosional supaya mendapat selamat, contoh parikan lain kembang menur tinandur ing pinggiring sumur, miyar miyur atine wong ora ju-jur. Kalimat parikan di atas juga mengandung pendidikan bagi setiap umat manusia agar di dalam kehidupannya melakukan kejujuran. Namun perlu dimengerti, bahwa kedua cakepan tersebut yang menggunakan kata awal rujak dan kembang juga berupa pur-wakanthi. Cakepan yang diawali dengan kata rujak dalam sastra Ja-wa disebut purwakanthi swara, dan yang diawali dengan kata kem-bang disebut purwakanthi aksara. 3.4.5 Senggakan Ada satu atau beberapa kata yang terlontar pada sela-sela cakepan yang dibunyikan, kata-kata itu didalam kesusasteraan Jawa 128 dinamakan orang sebagai Senggakan. Ada senggakan yang dilagu-kan dan ada yang tidak dengan dilagukan. Contoh senggakan yang dilagukan: ayu kuning bentrok maya, sing lanang seniman, sing wa-don seniwati, e.. obakso.., eling-eling sing peparing...dan lain-lain. Yang sangat aneh, bahwa antara cakepan dan senggakan tidak ada keterkaitan baik arti ataupun maksud dan tujuannya, tetapi bersatu dalam sebuah bingkai gending atau lagu. Sedangkan seng-gakan yang tidak dilagukan misalnya: ha.. e, so…, lho..lho..lho.., ha..yo..ta.., dan lain sebagainya. Tanpa lagu tetapi membikin sema-rak dari gending/lagu yang di senggaki. Demikian juga yang terung-kap dengan lagu itupun juga menambah suasana menjadi lebih gem-bira, suka cita dan menyegarkan jiwa. 3.4.6 Gerong Gerong adalah nembang bersama-sama, dibarengi dengan gamelan dalam memainkan gendingnya. Gerong ini ditembangkan sesudah umpak-umpak. Biasanya menggunakan cakepan yang di-ambil dari tembang Macapat yang jumlahnya 14 atau 15 buah itu, misalnya: Kinanthi Nalikanira inga dalu Wong agung mangsah semedi Sirep kang bala wanara Sadaya wus samiguling Nadyan ari sudarsana Wus dangu nggenira guling Pucung Ngelmu iku kalakone kanthi laku Lekase lawan khas Tegese khas nyantosani Setya budya pangekese durangkara Bisa juga cakepan gerongan ini diambil dari tembang Tengahan, mi-salnya: Juru Demung Cirine serat iberan Kebo bang sungunya tanggung Saben kepi mirahingsun Katon pupur lelamatan Kunir pita kusut kayu Wulu cumbu madukara Paran margining ketemu 129Balabak Rogok-rogok asradenta gedhe-dhuwur Dedege Godheg tepung mberuwes nggabres anjemprok Jenggote. Girisa Amiyos kang Jeng Sang Nata, saking paraba suyasa ginar-beging upacara, kang ngambil srimpi badhaya myang manggung ketanggung jaka, palara-lara sadaya Sri Nata ngrasuk busana, kadhaton tuhu respatya. Jadi seperti yang tergabung dalam penataan karawitan bahwa gerong sering terucap nggerong adalah nembang. Gerongan adalah barangnya, penggerong adalah pelaku (wiraswara). Untuk itu perlu dipertegas bahwa gerongan yang berwujud barang yang ditem-bangkan itulah yang termasuk di dalam bingkai sastra gending. Se-bagian besar dari kalimat-kalimatnya berisi tentang pendidikan jiwa bagi semua umat manusia. 3.4.7 Sindhenan. Pelaku Sindhenan disebut Pesindhen. Kata Sindhenan ber-asal dari kata Sindhen. Dalam ucapan sehari-hari secara sastrawi kata Sindhen ini sering dikaitkan dengan kata Sesendhonan, sehinga menjadi Sindhen Sesendhonan. Kata sesendhonan berasal dari kata sendhon, dan kata sendhon berasal dari kata Jawa Sendhu yaitu te-gur, disendhu artinya ditegur. Sindhen Sesendhonan dalam bahasa Jawa Sastrawi berarti tetembangan. Dengan demikian sindhen pun bisa diartikan tetem-bangan. Lalu apa yang ditembangkan? Sudah barang tentu kalimat-kalimat bahasa jawa yang sastrawi berbentuk parikan ataupun pur-wakanthi. Beberapa contoh wangsalan dalam sindhenan: sayeng kaga (kala), kagakresna mangsa sawa (gagak), wong susila, lagake anujuprana, ancur kaca (banyurasa), kaca kocak mungging netra (tesmak), wong wruh rasa, tan mama ing tata karma, mong ing tirta (Baya), tirta wijiling sa-rira (kringet)sapa baya, banget ngudi basa jawa, Ngreka-puspa (nggubah), puspa nedheng mbabar ganda (mekar) Nggubah basa mrih mekar landheping rasa, Carang wreksa (pang), wreksa kang rineka janma (golek), Nora gampang, golek krawuh mrih kaonang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang pesin-dhen dalam karyanya akan memberi teguran, mengingatkan dan bi-sa disebut mendidik, memberi sindiran kepada manusia. 130 3.4.8 Irama Pada hakekatnya irama itu adalah sebuah tempo atau jarak waktu. Jarak waktu di dalam karawitan berupa tempo untuk menga-tur jarak pukulan satu ke pukulan lainnya. Untuk itu demi teraturnya irama dan sesuai dengan karakter gending, sajian irama dapat diatur sebagai berikut: Irama lancar, bisa juga disebut irama setengah, Ira-ma lamba, bisa disebut irama kebar atau irama siji (satu), Irama da-di, juga disebut irama loro (dua), Irama wiled atau irama telu (tiga atau ciblon), Irama rangkep atau irama papat (empat). Ada lagi irama yang namanya sesuai dengan bentuk/nama gending, misalnya Irama srepek sejenis irama satu, Irama sampak sejenis irama setengah, Irama palaran sejenis irama srepek dan sampak. Masih ada sebuah irama yang perjalanannya tergantung pada pelaku, yaitu disebut irama Bebas. Irama ini sering tersaji dalam lagu Tembang Jawa yang berbentuk Bawa, tembang Macapat Tengahan dan Ageng An-dhengan. Irama bebas dalam tari sering terjadi, dan disebut irama dalam hati. Irama bebas dalam pewayangan setiap saat bisa terjadi. 3.4.9 Cengkok Cengkok itu adalah lekuk-lekuk suara yang dibawakan oleh seseorang vokalis. Namun seiring wirawiyaga juga bisa membawa cengkok itu kedalam tabuhan. 3.4.10 Merong Merong adalah bagian gending yang belum minggah ,con-toh Gending Gambirsawit kethuk 2 kerep minggah 4. Ada merong yang digerongi, ada yang tidak digerongi, yaitu dengan disindheni saja. Dalam Merong ini Sastra Gending sangat jelas, dibawakan oleh Pesindhen. 3.4.11 Pedhotan Pedhotan yang dimaksud di sini bukan pedhotan dalam tembang, tetapi pedhotan dalam gending. Istilah pedhotan dalam gending mungkin generasi muda jarang mendengar, tetapi lebih se-ring di dengar dengan istilah Pos. Pada waktu lampau (th 40-55) di-sebut Pedhotan artinya berhenti sebelum suwuk dan bukan di akhir gending. Karena dilakukan mandheg (berhenti sejenak) lalu disebut Andhegan. Selanjutnya perlu diketahui dari sub poin 3.1 cakepan sam-pai dengan sub poin 3.14 Pedhotan yang merupakan unsur-unsur Sastra Gending yang di dalam Sekar Macapatnya Kanjeng Panem-bahan Senapati Mataram tembang Sinom, contoh: Marma sagung trah Mataram, kinen wignya tembang kawi, 131jer wajib ugring ngagesang, ngawruhi titining ngelmi, kang tumraping praja ‘di, yembang kawi asalipun, tan lyan titining sastra, paugeraning dumadi, nora nan kang liya tuduhing sastra. 3.5 Sastra Antawacana Dalam pelajaran Antawacana pada Sekolah Menengah Ke-juruan Negeri jurusan Seni Pedalangan, dapat dibagi-bagi menjadi Janturan, Ginem, Pocapan. Ketiga-tiganya tentu membutuhkan ke-cermatan didalam pengucapan, memilih kata, ingat akan tingkatan bahasa / unggah-ungguh basa dan parama sastra. ini harus dilaku-kan dengan persiapan yang super hati-hati, agar di dalam sajian per-tunjukkan si penonton pulang dengan membawa kepuasan. Untuk itu semua perlu dibicarakan satu per satu. 3.5.1 Janturan Pada hakekatnya Janturan itu sebuah orasi seorang dalang yang ingin menjelaskan tentang apa yang disajikan pada pakeliran-nya. Kebanyakan janturan yang berlaku pada pertunjukkan wayang berupa kalimat-kalimat indah (basa rinengga) diucapkan secara gan-caran dan lesan. Isinya janturan menceritakan dan mengupas situasi dan kondisi suatu Negara. Namun sebagaimana umumnya yang ber-laku pada pewayangan jawa, baik Jawa Tengah, Jawa Barat mau-pun Jawa Timur dan Bali, orasi ini berwujud Jejer suatu Negara / ke-rajaan, pertapaan, rumah panakawan. Janturan yang berisi panyan-dra (menggambarkan) dan menceritakan bagaimana suasana suatu Negara / pertapaan, rumah. Biasanya diambil dari hal-hal yang baik-baik saja, kecuali Jejer Astina atau di tempat raksasa. Dalam adegan Jejer, apabila masih dalam kondisi pathet Nem (Solo, Yogya, Banyumas) suara dalang saat berorasi harus be-rada pada bilah 2 atau 6. Kata-kata / kalimat-kalimat yang rangkaian-nya berupa gaya bahasa indah (Basa rinengga) tersusun dengan memilih kata yang sudah berdasanama (sinonim) sehingga mem-bentuk menjadi basa pedalangan. Jejer di dalam wayangan semalam suntuk terjadi minimal 3 kali, dan bisa sampai 5 atau 6 kali, yaitu jejer I, pada awal dimulai pertunjukkan kira-kira pukul 21.00. Kemudian jejer II terjadi sesudah “Budhalan” prajurit dengan naik kuda, kira-kira pukul 23.00. selanjut-nya jejer ke III terjadi sesudah ada tanda peralihan waktu dari wila-yah pathet Nem masuk ke dalam wilayah pathet Sanga. Maka jejer ke III ini terjadi sudah berada dalam wilayah pathet Sanga, sehingga Next >