< Previous 142 pertapaan. Pertapaan (pertapan) biasanya berada pada tempat jauh dari kehidupan masyarakat ramai atau jauh dari kota, dan pada umumnya pertapaan berada di lereng gunung, di tepi hutan dan di pedasaan. Oleh karena itu bambangan sering disebut satriya gu-nung. Bila hal ini dilakukan oleh seorang gadis, maka gadis itu men-dapatkan sebutan/gelar yaitu Endang yang artinya gadis gunung. Ja-di pada hakikatnya satriya gunung atau gadis gunung adalah sebuah generasi harapan yang harus bisa dan mampu untuk meneruskan perjuangan para generasi sebelumnya. Bila generasi bambangan ini merupakan generasi harapan maka lamanya pendidikan tidak ditentukan oleh waktu bulan atau ta-hun, melainkan sangat tergantung kepada calon bambangan itu sen-diri. Mereka dituntut menjadi seorang bang-bangan (bambangan) yang berkualitas. Sang guru pun ikut menentukan bagi selesainya para calon bambangan. Bila sang guru sudah mengatakan bagus (paripurna) maka sang bambangan bisa melanjutkan kariernya seba-gai satriya yang harus menunjukkan karya-karyanya bagi keluhuran nusa dan bangsa. Mengamati kondisi bambangan yang begitu berkualitas, maka para dalang dalam penggambaran pocapan bambangan di-ungkapkan melalui pemilihan kata dengan bahasa Jawa yang luhur dan lungguh (pantas). Dalam pocapan bambangan ini, sang dalang harus mengucapkan dengan bersama-sama dhodhogan dan dengan nada emosional. Demikian pocapan yang penyajiannya sebagai na-rasi, menjelaskan sebuah perilaku seorang tokoh pewayangan baik raksasa, satriya yang dikaitkan dengan kondisi alam. 143BAB IV SILSILAH TOKOH – TOKOH WAYANG 4.1 Definisi Silsilah Menurut Kamus Basa Sunda oleh M.A. Satjadibrata, arti sil-silah itu ialah rangkaian keturunan seseorang yang ada kaitannya dengan orang lain yang menjadi istrinya dan sanak keluarganya. Sil-silah tersebut adalah merupakan suatu susunan keluarga dari atas ke bawah dan ke samping, dengan menyebutkan nama keluarganya. Arti silsilah itu bersifat universal, yang artinya orang-orang di seluruh dunia mempunyai silsilah keturunannya dan pula, di selu-ruh benua akan dimaklumi, bahwa semua orang pasti akan menga-gungkan leluhurnya. Kita sering membaca silsilah keturunan para ra-ja yang termasuk sejarah atau silsilah para penguasa yang memerin-tah suatau daerah, baik yang ditulis pada prasasti maupun benda la-in yang artinya bukan hanya untuk dikenal saja, tetapi untuk di-agungkan oleh segenap masyarakatnya, dan dikenang akan jasa-ja-sanya. Jelas bagi kita, bahwa yang dimaksud dengan silsilah itu, ialah suatu daftar susunan nama orang-orang yang merupakan su-sunan keturunan dari suatu warga atau dinasti (wangsa), misalnya Dinasti Sriwijaya, Dinasti Syailendra, dan dinasti-dinasti lainya yang pernah berkuasa. Demikian pula dalam pewayangan, ada salah satu nama keluarga besar yang menggunakan nama leluhurnya, contoh Kura-wa. Kurawa artinya keturunan raja Kuru yang dahulu pernah meme-rintah negara Astina dan menjadi leluhur prabu Suyudana beserta adik-adiknya. Demikian pula dengan keluarga Pandawa atau sering disebut Barata Pandawa. Nama barata adalah juga merupakan na-ma leluhurnya, yang pernah berkuasa di Astina, sehingga diabadikan oleh para Pandawa degan Sebutan keluarga Barata Pandawa. Apa sebabnya Pandawa dan Kurawa memakai dua nama leluhurnya yang berbeda, padahal mereka itu dari satu nenek mo-yang ? mereka hanya menggunakan nama leluhurnya yang dipan-dang pada saat itu memerintah, sebagai orang yang patut dan wajar untuk diabadikan namanya menurut meraka masing-masing. 4.1.1 Maksud Adanya Silsilah Maksud penyusunan silsilah ini adalah sebagai ucapan syu-kur kepada para leluhurnya yang telah memberi bimbingan serta me-ngayomi dan yang lebih utama lagi, adalah bahwa seseorang lahir ke dunia, adalah karena adanya leluhurnya itu. 144 Penyusunan silsilah keturunan ini mempunyai arti yang penting bagi suatu keluarga, seperti untuk mengetahui keturunan si-apa orang itu, untuk mengetahui siapa dan bagaimana leluhurnya itu, dan yang utama sekali, ialah bagaimana pandangan masyarakat terhadap leluhurnya itu, untuk dijadikan kenangan secara turun-te-murun, agar keturunannya tidak kehilangan jejak leluhurnya, agar dapat dijadikan kebanggaan seluruh keturunannya dan dapat pula dijadikan contoh bila leluhurnya salah seorang pahlawan. Dari segi lainpun silsilah ini mempunyai maksud yang pen-ting pula dan dapat dibenarkan oleh agama dan negara manapun ju-ga. Ada beberapa sudut pandang tentang adanya silsilah, yaitu dari sudut perorangan, dari sudut lingkungan masyarakat, dan dari sudut kepercayaan. Ditinjau dari segi perorangan, pangagunggan leluhurnya itu dimaksudkan agar perilaku yang pernah dijalankan para leluhurnya menjadi contoh bagi keturunnan yang ditinggalkan dan diceritakan kembali kepada keturunan berikutnya tentang betapa besar jasanya dan keagunganya leluhur mereka tersebut. Dalam hal ini tentu hanya kebaikan-kebaikan saja yang diceritakan kembali, Demikian pula ka-dang-kadang ada yang menceritakan kagagahan dan kesaktiannya. Maksud silsilah seseorang dalam lingkungan masyarakat ini, adalah untuk dikenal dan dikenang oleh masyarakat agar dijadi-kan seorang pahlawan dalam sejarah hidup bangsa tersebut. Se-dangkan maksud utama penggunaan silsilah ini adalah sebagai tan-da terima kasih kepada para leluhurnya atas suatu usaha pemulya-an, sebagai kenangan akan kebaikannya dan usahanya dalam me-ngayomi dan menjaga keselamatan keturunannya atau usaha peles-tarian keturunannya. Sesuai dengan kepercayaan penduduk, di Bali misalnya, lain lagi dengan di Jawa atau daerah lain yang menganut ajaran Islam, demikian pula dengan masyarakat yang memeluk aga-ma lain. Walaupun berbeda kepercayaan, tetapi di setiap suku bang-sa memegang teguh terhadap adat-istiadatnya. atau kebiasaan da-lam cara mengagungkan leluhurnya. Ditinjau dari segi kepercayaan, telah menjadi kewajiban se-seorang atau sekeluarga untuk mengenang dan mengagungkan lelu-hurnya dengan cara dan peraturan kepercayaannya masing-masing yang dianutnya. Bagi penganut ajaran Islam, para leluhurnya terse-but tidak boleh disembah dan dipuja, kecuali dikenang dan diagung-kan, karena hanya Tuhan sajalah yang disembah dan dipuja. Mak-sud mengagungkan leluhurnya tersebut, agar kebaikan-kebaikan yang pernah dilaksanakan para leluhurnya menjadi bagian bagi ketu-runannya dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Adapun tujuan penyusunan silsilah adalah sebagai usaha pumuliaan artinya untuk memuliakan leluhurnya, usaha pelestarian kebijakan leluhurnya artinya agar leluhurnya itu tetap dikenang dan 145segala perilaku yang baik dijadikan contoh keturunannya. Kedua usaha tersebut disebut Dwi Dharma Bakti. 4.1.2 Penampilan Silsilah Secara umum, penampilan silsilah tersebut hanya dipergu-nakan oleh orang-orang penting saja yang pada umumnya ditulis da-lam buku-buku sejarah. Sedangkan pada zaman pemerintahan Hin-dia Belanda antara tahun 1610 sampai tahun 1942, hanya para raja dan para bupati saja yang silsilahnya ditullis dan disusun dalam ki-tab-kitab sejarah. Pada zaman Pra sejarah atau kepercayaan Animisme Dina-misme di Indonesia, di mana masyarakat mendewakan semua ben-da hidup dari roh nenek moyangnya. Jelas bagi kita bahwa bangsa Indonesia sejak dahulu telah terbiasa mengagungkan leluhurnya yang diwujudkan dengan jalan upacara penyembahan leluhurnya, baik di rumah maupun di tempat yang khusus yang disediakan seca-ra beramai-ramai. Ketika kebudayaan Hindu berkembang di Indonesia pada umumnya, di Jawa pada khususnya, penyembahan terhadap roh itu tidaklah hilang hanya sifat dan bentuknya yang berubah. Selain me-ngagungkan leluhurnya dengan jalan menceritakan kembali kebaik-annya, juga disatukan dengan penyembahan dan pemujaan terha-dap para dewa yang menjadi mitos India, seperti Dewa Siwa, Dewa Wisnu, Dewa Brahma dan ada pula yang menyembah Batari Durga. Dengan jalan demikian, maka kesusasteraanpun ada dua macam, yaitu Kitab Ramayana dan Kitab Mahabharata, disamping itu terda-pat pula cerita-cerita legenda rakyat, seperti Prabu Mikukuhan, Sri Sadana, dan lain-lainya. Lakon-lakon tersebut di atas, dipergelarkan di muka umum, sehingga tidak terbatas pada lingkungan keluarga saja, namun umumpun dapat mendengarkan kabaikan-kabaikan apa yang diper-buat oleh leluhurnya itu. Hal tersebut jelas bahwa pangagungan ke-pada leluhur bangsa Indonesia itu sangat menguntungkan bagi ke-mekaran kebudayaan Hindu, karena dalam upacara tersebut dapat pula disisipkan kisah para dewa, yang disampaikan kepada masya-rakat dalam bentuk cerita Ramayana dan Mahabharata. Akhirnya ke-dua cerita yaitu cerita dari India dan legenda rakyat disatukan, de-ngan jalan cerita pokok dalam pergelaran tersebut, ialah kisah-kisah dari India dan adat kebiasaan hidup dan kehidupan serta kebiasaan lingkungan diambil dari kisah-kisah legenda rakyat. Adapun cerita Mahabharata tersebut mengisahkan kepahla-wanan Pandawa yang dianggap sebagai leluhur bangsa India, kare-na leluhur Pandawa menurut gaya India ialah raja Barata yang per-nah memimpin di India. Karena silsilah Mahabharata gaya India ter-sebut tidak sesuai dengan adat kebiasaan dan lingkungan hidup bangsa Jawa, maka silsilah Mahabharata tersebut dirubah, seperti 146 yang kita lihat pada Kitab Pustaka Raja Purwa, karya R, Ng. Rong-gowarsito. Disamping itu perlu pula diketahui bahwa Mahabharata adalah hasil sastra India yang berpusatkan kepada Dewa Siwa dan Kitab. 4.2 Silsilah Bharata. Meneliti silsilah wayang dalam cerita Mahabharata tersebut, kita akan mendapat kesulitan kiranya, karena pada cerita itu terdapat dua jalur silsilah yang dihasilkan oleh dua kepercayaan, yaitu silsilah Mahabharata gaya India dan silsilah Mahabharata versi Pustaka Ra-ja Purwa. Sebagaimana telah kita ketahui, cerita Mahabharata adalah hasil karya sastra India yang berpusatkan kepada Dewa Siwa, maka silsilahnyapun tentu silsilah yang berdasarkan cerita Hindu di India, dan bukan keturunan dari para Dewa, namun para Pandawa meru-pakan keturunan dari raja Nahusta, seorang raja di India. Lain halnya dengan silsilah para Pandawa menurut gaya Indonesia, bahwa para Pandawa adalah keturunan dari para dewa. Dari dewa turun temurun sampai kepada raja-raja yang memerintah di tanah Jawa. Cerita Mahabharata versi Indonesia tersebut telah disesuai-kan dengan tradisi bangsa Indonesia, di mana yang menjadi pusat perhatian dan pusat perkembangan silsilah yaitu Batara Guru, mak-sudnya agar masyarakat pada waktu itu percaya bahwa para raja Ja-wa adalah keturunan para dewa. 147Keterangan: = Menurunkan = Menikah = Penghubung Silsilah Mahabharata India Prabu Nahusta Prabu Yayati Prabu Yadawa Prabu Kuru Prabu Dusanta Prabu Barata Prabu Hasti Prabu Puru Prabu Pratipa Dewi Gangga Prabu Santanu Dewi Durgandini Parasara Dewabrata Dewi Ambika Citrawiria Dewi Ambiki Citragada Abiyasa Dewi Gendari Destrarasta Dewi Kunti Pandu Dewi Madrim Kurawa Kontea Bima Arjuna Dewi Subadra Drupadi Nakula Sadewa Arimbi Dewi Utari Abimanyu Parikesit (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 34, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983). 148 Menurut Mahabharat versi India, susunan silsilah itu disu-sun sebagai berikut, raja pertama yang memerintah India ialah Prabu Nahusta sebagai pendiri negara Hastina yang menurunkan raja-raja yaitu Prabu Nahusta, Prabu Yayati, Prabu Kuru, Prabu Dusanta, Pra-bu Barata, Prabu Hasti, Prabu Puru, Prabu Pratipa, Prabu Santanu hingga sampai Pandawa dan Kurawa. Prabu Yadawa menurunkan raja-raja yang memerintah Ma-thura, seperti: Basudewa, Baladewa, Kresna dan lain-lainya. Prabu Puru yang menurunkan raja-raja yang memerintah negara Hastina, seperti Sentanu, Abiyasa, Pandu, Duryudana, Parikesit. Prabu Kuru berputra Prabu Dusanta yang menikah dengan Dewi Sakuntala dan berputra Prabu Barata yang namanya dipakai gelar/julukan para Pandawa, sedangkan nama Prabu Kuru dipakai gelar para Kurawa. Prabu Barata dikaruniai seorang putra yang ber-nama Prabu Hesti yang namanya diabadikan menjadi nama negara Hastina. Hesti artinya gajah, negara Hastina artinya negara gajah. Pemakaian nama leluhurnya sebagai gelar suatu golongan keluarga, dimaksudkan untuk mengagungkan dan menyemarakan salah se-orang leluhurnya, karena jasanya, dan karena amalnya terhedap ne-gara. Penggunaan gelar leluhurnya yang berlainan dengan kelu-arga dekatnya yang menggunakan nama leluhurnya dalam satu rum-pun atau satu keluarga, menandakan bahwa leluhurnya itu, kese-muanya adalah seorang raja yang patut dibanggakan dan namanya diabadikan. 4.2.1 Silsilah Bharata Versi Pustaka Raja Purwa Dalam perkembangan dan penyebaran di Indonesia, kedua cerita epos mitos tersebut bercampur dengan legenda-legenda rak-yat, dan disampingnya masuk pula pengaruh kebudayaan Jawa asli sebagai peninggalan zaman Pra Sejarah dimana masyarakatnya berkepercayaan Animisme-Dinamisme. Tokoh-tokoh yang pernah dipuja pada zaman Pra Sejarah, seperti Hyang Tunggal, Hyang Wenang, dimasukkan ke dalam silsi-lah Mahabharata dan dijadikan leluhur para Pandawa yang menu-runkan raja-raja Jawa, sehingga merupakan silsilah campuran antara kepercayaan Hindu dan kepercayaan zaman Pra Sejarah. Maksud uraian ini adalah untuk menyatakan kepada masyarakat, bahwa para Pandawa adalah keturunan para Sang Hyang, demikian pula para raja yang memerintah pulau Jawa adalah keturunan para Pandawa. Silsilah Mahabharata versi Pustaka Raja Purwa ini, dimulai dari Batara Guru yang menikah dengan Dewi Uma, berputra empat orang di antaranya Dewa Brahma dan Dewa Wisnu. Batara Brahma menikah dengan Dewi Raraswati berputrakan sebelas orang, di an-taranya Batara Brahmanaraja yang menikah dengan Dewi Widati dan berputra Batara Parikenan. Sedangkan Batara Wisnu berputra- 149kan Prabu Basurata yang menikah dengan putri Batara Brahma ber-nama Dewi Brahmaniyuta, dan berputrakan Dewi Brahmaneki. Begawan Parikenan kemudian menikah dengan Dewi Brah-maniyuta berputrakan Dewi Kaniraras, Raden Kano, Raden paridar-ma. Karena Dewi Kaniraras putri sulung, maka calon raja di Purwa-carita adalah Begawan Manumayasa yang menikah dengan Dewi Kaniraras. Raden Kano dan Raden Paridarma menjadi raja di negara lain. Dewi Kaniraras menkah dengan Begawan Manumayasa berpu-tra Begawan Sekutrem dan menikah dengan Dewi Nilawati, dari per-nikahan itu berputra Begawan Sakri yang menikah dengan Dewi Sati dan berputra Parasara. Diceritakan, bahwa Begawan Parasara hendak menyebe-rangi Bengawan Jamuna, ia diseberangkan oleh seorang wanita yang badanya bau amis dan anyir karena menderita penyakitat bau anyir, dia adalah Dewi Rara Amis (Durgandini) putra Prabu Basuketi raja negara Wiratha. Dew Rara Amis diobati Raden Parasara yang kemudian diperistri dan berputra Abiyasa, mereka bersama-sama membangun negara Gajahoya. Perbedaan yang jelas dari kedua silsilah itu adalah silsilah Mahabharata versi India disebutkan leluhur Pandawa adalah Prabu Nahusta, leluhur Pandawa versi Pusta Raja Purwa adalah Sang Hyang. 150 Sislilah Mahabharata Versi Pustaka Raja Purwa (yang dipakai di Indonesia) Betara Guru Betari Uma Betara Wisnu Betara Brahma Betara Sri Unon Betara Brahmani Begawan Parikenan Dewi BrahmaneKita Begawan Manumanasa Dewi Kaniraras Begawan Sekutrem Dewi Nilawati Begawab Sakri Dewi Sati Dewi Gangga Sentanu Rara Amis (Durgandini) Parasara Citrawiria Citragada Abiyasa Ambika Ambiki Dewabrata Dewi Gendari Prabu Destrarasta Dewi Kunti Prabu Pandu Dewi Madrim Kurawa Kunta Bima Arjuna Nakula Sadewa Dewi Utari Abimanyu Parikesit (Sumber: Buku Pengetahuan Pedalangan 2, hal 43, Departemen P & K, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 1983). Next >