< Previous 3atif, artinya dalang harus membina dan mengajak masyarakat untuk menciptakan hal-hal yang baru. Konsultatif, artinya dalang harus memberi pengarahan dan penerangan kepada masyarakat yang ma-sih buta akan hal-hal yang sedang berlangsung. Rekreatif, artinya dalang memberi hiburan yang segar dan menjadi daya tarik masya-rakat. 1.1.3 Klasifikasi Dalang Apabila di lihat secara seksama unsur-unsur di atas, jelas tidak mungkin seluruhnya dimiliki oleh para dalang, tetapi mungkin masing-masing dalang mempunyai keahlian yang berbeda-beda pu-la. Berdasarkan kecenderungan di atas, dalang dapat dibagi dalam pengelompokan yaitu Dalang Jati, Dalang Purba, Dalang Wasesa, Dalang Guna, Dalang Wikalpa. Dalang Jati adalah dalang yang menitik beratkan garapan-nya kepada berbagai cerita yang dapat dipakai sebagai tauladan ba-gi masyarakat. Dalang Purba adalah dalang sebagai penuntun dan pemberi wejangan pada masyarakat tentang hidup dan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat dengan menilai lakon-lakon yang di-garapnya. Dalang Wasesa adalah dalang yang dapat menguasai dan mengenal medan yang diinginkan penonton dalam membawa-kan lakonnya. Dalang Guna adalah seorang dalang yang memen-tingkan jalinan ceritanya, yang sesuai dengan aturan seni peda-langan. Dalang Wikalpa adalah dalang yang menyampaikan ilmu pe-ngetahuan tentang keduniawian, sedangkan ceritanya masih berpe-gang teguh pada pakem pedalangan. Berdasarkan ketrampilan dan kepandaiannya mendalang, dalang dapat dikelompokkan menjadi tiga. Tiga kelompok tersebut yaitu Dalang Utama, Dalang Madya, Dalang Purana. Dalang Utama adalah dalang yang dalam pengalaman ga-rapannya sudah sampai pada puncak garapan dan serba dapat. Da-lang Madya adalah dalang yang berada dalam pertengahan kepan-daian garapan. Dalang Purana adalah dalang yang berada dalam ta-hap belajar. Dari tiga golongan yang besar tersebut dapat diperinci menjadi lima golongan, yaitu Dalang Banyol, Dalang Sabet, Dalang Antawacana, Dalang Suluk, Dalang Pakem. Dalang Banyol adalah dalang yang berkepandaian lebih di dalam membanyol atau mengkreasi lawakan para panakawan atau pada tokoh-tokoh tertentu. Dalang Sabet adalah dalang yang pandai memainkan wayang, menarikan wayang dan memerankan wayang dengan gerakan-gerakan yang terampil dan cekatan sehingga se-olah-olah hidup. Dalang Antawacana adalah dalang yang pandai bercerita, kaya perbendaraan kata termasuk penerapan suara tiap-ti-ap wayang. Dalang Suluk adalah dalang yang pandai dalam memba-wakan suluk atau kakawin lainya serta bersuara pleng (senada de- 4 ngan laras gamelan )seperti: sendhon, ada-ada atau bendhengan. Dalang Pakem adalah dalang yang berpegang teguh pada cerita-ce-rita pakem yang telah digariskan dalam buku pakem pedalangan. 1.1.4 Tugas Dalang Tugas dalang yang dimaksud dalam uraian ini adalah tugas dalam garapan pakeliran atau pergelaran wayang, baik dalang gaya lama atau zaman sekarang. Berikut ini akan diuraikan pengertian-pe-ngertian istilah yang dapat dipergunakan sebagai pengetahuan da-sar yang lazim disebut sanguning dalang. Seorang dalang yang baik dan pandai, mengerti dan terampil, berkewajiban menguasai reng-gep, menguasai antawacana, enges, greget, regu, sem, tutug, ba-nyol, kawi radya, sabet, amardibasa, parama sastra, dodogan, ke-prakan, awicarita, amardawalagu. Dalang harus menguasai renggep, artinya harus mempu-nyai rasa senang dalam mendalang dan tidak lelah atau tidak jenuh. Dalang harus menguasai antawacana, artinya dalang harus dapat memberi suara yang khas dan khusus kepada masing-masing bone-ka wayang yang satu dengan yang lainnya. Enges (nges), artinya garapan dalang harus dapat menimbulkan rasa haru atau pesona. Greget, artinya pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran sua-sana yang hidup, bergairah, tegang, marah dan lain sebagainya. Re-gu, artinya pelaksanaan pakeliran yang baik dan menarik tidak mem-bosankan sehingga terasa keluhuran seni pedalangan. Sem, artinya pelaksanaan pakeliran dengan penggambaran suasana penuh rasa romantis, sesuai dengan kebutuhan adegan. Tutug (selesai), artinya percakapan dua wayang atau lebih dan atau cerita yang diucapkan dalang dalam adegan tanpa ada wayangnya, harus lengkap dan ti-dak diperpendek atau sebagian di hilangkan. Banyol, artinya perca-kapan dan gerak wayang serta ucapan dalang dapat menjadikan pe-nonton tertawa. Kawi radya, artinya dalang pada permulaan garap-annya atau dalam menggarap adegan permulaan harus pandai men-ceritakan maksud dan jalan cerita yang akan digarapnya, antara lain dengan menggunakan kata-kata yang bersastra indah. Dalang harus memiliki kemampuan sabet, artinya ia harus mempunyai keterampilan dalam olah krida wayang, tidak ceroboh, hidup dan memiliki teknik menggerakkan wayang. Paham akan para-ma kawi, artinya dalang harus mengerti bahasa kawi dan kesusas-traannya sehingga ia akan dapat mengartikan kata-kata yang akan diucapkannya. Amardibasa, artinya dalang harus mengerti dan me-ngetahui bahasa pedalangan, misalnya bahasa dewa, raksasa, pu-nakawan dan lainya. Paham akan parama sastra, artinya dalang ha-rus mengerti tata bahasa dan harus banyak menyelami kesusastraan untuk mengetahui urutan percakapan yang baik. Terampil, artinya cekatan dalam hal meringkas dan memperpanjang cerita, gending, ginem, suluk, dodogan, keprakan, dan lain sebagainya. Yang pokok 5bahwa dalang harus dapat meringkaskan atau dapat memperpan-jang segala hal yang ada kaitannya dengan kebutuhan pakeliran. Awicarita, artinya dalang harus paham benar akan semua cerita yang sedang dilakonkan. Amardawalagu, artinya dalang harus mem-punyai pengalaman yang luas tentang karawitan dan gending, cara menembang, dan suluk-sulukan yang khusus untuk suatu pertunjuk-an wayang. 1.1.5 Sifat Dalang Sifat dalang dibagi menjadi lima. Adapun lima sifat dalang tersebut yaitu gendeng, gending, gendung, gendeng, gandang, dan istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda-beda. Gendeng, artinya berjiwa sosial, berhati lapang, melindungi untuk menuju kesejahteraan dan keselamatan lahir batin. Gending, artinya luwes dalam melayani keadaan yang macam-macam, berjiwa momot, kamot, dan momong. Gendung, artinya memiliki rasa kepri-badian dan tanggung jawab. Gendeng, artinya tidak mudah terpe-ngaruh oleh keadaan, tidak ragu, dan jauh dari rasa rendah diri. Gandang, artinya spontan, mapan, dan bersih dari prasangka yang kurang baik. 1.2 Larangan-larangan yang Patut dihindari Dalang Larangan yang dimaksud adalah perilaku yang tidak boleh dilakukan seorang dalang dalam menjalankan pakeliran. Larangan tersebut di antaranya adalah mengubah pokok cerita serta mengu-bah isi lakon, kebogelan, artinya kehabisan cerita atau selesai sebe-lum waktunya, karahinan (kesiangan), artinya kelebihan banyak wak-tu, contoh, matahari telah terbit namun cerita yang digarapnya belum selesai, lamban dalam hal: bercerita, laras, sabet, dan waktu, dalang meninggalkan panggung sebelum waktunya, nyala lampu blencong tidak tetap, rongeh, artinya gelisah, duduk tidak tenang, selalu meli-hat ke kiri dan ke kanan ke arah penonton, keluar dari garapan peda-langan misalnya. Yang dimaksud keluar dari garapan pedalangan yaitu, me-ngeluarkan kata-kata asing diluar bahasa pedalangan, pratingkah ar-tinya tingkah laku asing bagi dunia pedalangan, menyindir tamu de-ngan maksud ingin menjatuhkan harga diri tamu tersebut di depan tamu lainnya. 1.3 Unsur – unsur Seni Pedalangan Seni pedalangan merupakan suatu satu kesatuan yang se-imbang dan seirama, karena seni pedalangan paling sedikit me-ngandung tujuh unsur seni yang ada. Adapun tujuh unsur seni terse- 6 but meliputi seni drama, seni lukis atau seni rupa, Seni tatah (pahat) atau seni kriya, seni sastra, seni suara, seni tari, seni karawitan. 1.3.1 Seni Drama Makna falsafah pada seni drama kita ketahui dan kita haya-ti melalui setiap cerita atau lakon wayang yang bersifat klasik tradisi-onal antara lain dalam cerita Dewa Ruci dari epos Mahabharata, yang mengisahkan Werkudara ketika berguru pada Begawan Drona untuk mencari kesempurnaan hidup hingga sampai bertemu Dewa Ruci, yaitu guru sejati bagi Werkudara. Gambaran ceritat tersebut adalah bahwa kejiwaan manusia lebih luas dari pada dunia dengan segala isinya. Cerita Kumbakarna gugur dari epos Ramayana, yang me-ngisahkan keberanian Kumbakarna dalam melawan bala tentara Ra-ma. Keberanian tersebut karena membela tanah airnya yaitu negeri Alengka yang hampir hancur. 1.3.2 Seni Lukis atau Seni rupa Seni lukis atau seni rupa yang dapat dilihat dari bentuk wa-yang, serta sunggingan dan tata warnanya yang masing-masing war-na mewakili simbul kejiwaan tersendiri antara lain: bentuk wayang menunjukkan karakter atau watak dari tokoh wayang tersebut de-ngan sunggingan yang serasi, komposisi warna yang sempurna, se-hingga tidak mengacaukan pandangan pada keseluruhan wayang itu sendiri serta dapat me-laras-kan jiwa bagi mereka yang melihatnya. Tokoh Kresna dan Arjuna, untuk busana tidak akan disungging de-ngan corak kawung atau parang rusak, karena tokoh-tokoh tersebut merupakan gambaran tokoh yang adi luhung bagi seniman-seniman pencipta wayang. 1.3.3 Seni Tatah (Pahat) atau Seni Kriya Seni pahat atau seni kriya yang dapat dilihat dari wujud wa-yang yang dibuat dari kulit kerbau atau sapi atau kayu melalui proses yang sangat lama, memerlukan ketekunan, rumit tapi rapi. Dalam se-ni pahat atau seni kriya tersebut terdapat beberapa jenis pahatan dan tatahan, antara lain pahatan atau tatahan yang halus bentuknya untuk karya seni, pahatan atau tatahan untuk wayang pedalangan agar dalam pementasan dengan sinar lampu dapat nampak jelas ukirannya dan selanjutnya pahatan atau tatahan kasar untuk komer-sial, agar dalam perdagangan tidak terlalu tinggi harganya. 1.3.4 Seni Sastra Seni sastra yang dapat didengar dari bahasa pedalangan yang begitu indah dan menawan hati. Bahasa pedalangan untuk da-erah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada umumnya digunakan baha- 7sa menurut tata bahasa Jawa dengan menggunakan idiom kawi yang menimbulkan rasa luhur dan angker, unggah-ungguh dalam penggunaan bahasa, contoh ngoko, ngoko alus, tengahan, kromo, kromo inggil, kedaton, kadewan, bagongan. Bahasa ngoko atau basa ngoko adalah bahasa setingkat panakawan, ngoko alus adalah bahasa orang tua terhadap orang muda yang lebih tinggi martabatnnya, basa tengahan adalah bahasa madya (tengah), basa kromo adalah bahasa halus, kromo inggil ada-lah bahasa untuk orang bawahan terhadap atasan, basa kedatonan atau bahasa kraton yaitu untuk raja dan bawahannya, basa kadewan adalah bahasa khusus untuk para dewa, dan basa bagongan adalah campuran bahasa kedaton dan kadewan. 1.3.5 Seni Suara Bagi seorang dalang, seni suara dengan vokal yang man-tap merupakan syarat utama dalam mempertahankan mutu pertun-jukannya. Sejak ia duduk memegang tangkai tangan wayang kulit (cempurit atau tuding) dan tangkai pada badan wayang (gapit), di ba-wah lampu minyak (blencong) hingga mengakhiri pergelaranya de-ngan menancapkan gunungan (kayon) yang terakhir sebagai tanda penutup. Ia harus dapat menguasai vokal dengan mantap, laras pa-da nada atau irama gamelan dengan sempurna. Perpaduan bunyi secara ngerangin antara suara sang da-lang, pesinden, wiraswara dan bunyi gamelan dengan alunan dan irama lagu yang indah, adalah seni suara yang kita tangkap dalam setiap pertunjukan wayang. Dialog pada setiap tokoh wayang yang mempunyai karakter serta watak tertentu, volume suara akan berbe-da dengan tokoh lainnya dan akan selalu berpedoman pada laras gamelan, contoh tokoh Werkudara cenderung berlaras rendah dan besar (bas), dan tokoh-tokoh lainnya. 1.3.6 Seni tari Tari adalah merupakan salah satu garapan kesenian yang bermedium gerak. Di dalam garapan pakeliran unsur nilai seni tari dapat dilihat dengan adanya penampilan sabet. Sabet ini di dalam pakeliran merupakan perwujudan penggarapan dinamis. Penggarap-an medium gerak di dalam pedalangan selalu ada relevansinya de-ngan iringan gending sebagai pendukung dan pembuat suasana, se-hingga menghasilkan gerak dan tarian wayang secara jelas dan di-namis. 1.3.7 Seni Karawitan Seni karawitan dapat dinikmati dari lagu-lagunya yang etis dan estetis. Seni karawitan merupakan pengiring yang harmonis, la-ras dan anggun untuk lakon yang diperagakan ki dalang. Peranan 8 gamelan sangat penting dalam pakeliran atau dalam pergelaran wa-yang. Karawitan iringan pedalangan sangat menunjang dalam pe-mentasan terutama untuk membedakan dialog wayang. Hal tersebut karena keterbatasan ki dalang menirukan dialog serta cara berbicara tiap tokoh wayang yang bermacam-macam, dan juga terbatasnya wayang dalam akting atau sabetan serta terbatasnya adegan yang dibuat dalam pergelaran tersebut. Selain itu tuntutan berbagai ma-cam suasana juga terdapat dalam iringan pakeliran tersebut. Beberapa cara untuk menggambarkan suasana dari tiap adegan dalam pertunjukan wayang Kulit Purwa Jawa Tengah ialah pathet yang dibagi dalam tiga bagian, yaitu: pathet Nem (6) antara pukul 21.00 -24.00; pathet Sanga (9) antara pukul 00.00 - 03.00 dan pathet Manyura antara pukul 03.00 - 05.00. Bagaian awal merupa-kan pembukaan (netral), bagian tengah merupakan isi atau perma-salahan, dan bagian akhir merupakan penutup atau penyelesaian. Pertunjukan wayang Kulit Purwa gaya Jawatimuran memili-ki empat jenis pathet, yaitu: pathet Sepuluh (10) merupakan awal se-belum pertunjukan dimulai atau yang lazim disebut ayak talu atau ayak Sepuluh, yang digunakan hanya untuk gending-gending terten-tu yaitu khusus ayak Talu dan Gedog Tamu, pathet Wolu antara pu-kul 21.00 - 24.00; pathet Sanga (9) antara pukul 00.00 - 03.00 dan pathet Serang antara pukul 03.00 - 05.00. Setiap pathet dalam per-tunjukan wayang Kulit Purwa gaya Jawatimuran juga mempunyai makna tersendiri dan tidak jauh berbeda dengan wayang kulit gaya lainnya. Pertunjukan wayang kulit Betawi hanya memiliki dua jenis pathet, di antaranya adalah pathet kenceng: dilakukan sebelum te-ngah malam, dan pathet kendor dilakukan menjelang akhir pertun-jukan. Cara lain untuk menggambarkan suasana adalah dengan su-lukan, janturan dan pocapan, gending, dodogan, keprakan. Sulukan adalah nyanyian yang dulakukan dalang untuk me-nunjukan suatu suasana tertentu. Yang termasuk dalam sulukan ya-itu ada-ada, sendon, bendhengan, kombangan. Janturan atau pocapan disebut juga narasi artinya adalah pengucapan cerita oleh ki dalang dengan suasana tertentu. Gending adalah deretan nada-nada yang sudah tersusun alur melodi musikal-nya. Dodogan adalah suara ketukan pada kotak wayang. Sedangkan alat pemukul kotak wayang disebut cempala. Keprakan yaitu suara lempengan logam yang digantungkan pada kotak wayang di sisi ka-nan agak depan. Keprak dibunyikan dengan cara mendorong telapak kaki kanan sang dalang bagian depan. 1.4 Ragam Penyajian Seni Pedalangan Ragam yang dapat dilihat dari gerak dan gaya wayang hasil pantulan sinar lampu atau blencong yang dapat memberikan nafas 9kehidupan dari setiap pelakunya. Kita dapat melihat berbagai macam gaya, yang dalam seni pewayangan di sebut gaya sabetan, gaya seni rupa wayang, gaya pergelaran atau pertunjukan. Gaya sabetan ini menunjukan suatu kreativitas atau sanggit sang dalang dalam memainkan boneka wayang agar bisa kelihatan hidup. Sedangkan yang dimaksud gaya seni rupa wayang adalah bentuk wayang yang berlainan ornamen serta tinggi-rendahnya wa-yang, antara lain gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, gaya Jawatimur-an, gaya Banyumasan, gaya Cirebonan dan gaya Semarangan. Gaya Pergelaran atau pertunjukan wayang kulit di setiap daerah pasti akan berbeda, misalnya gaya wayang Kulit Purwa Jawa Ngayogyakarta Hadiningrat-Yogyakarta, gaya (gagrag) Kasunanan-Surakarta, gagrag Jawatimuran, gagrag Banyumasan, gagrag Cire-bonan dan gagrag Semarang atau gagrag pesisiran. Alur cerita di setiap gaya masing-masing daerah juga berlainan, meskipun judul ceritanya yang sama. Dalang mempunyai posisi sentral, karena suatu lakon wa-yang akan menjadi indah dan dapat mempesona penonton atau ti-dak, tergantung pada ketrampilan dan kreativitas ki dalang dalam membawakan sebuah ceritanya. Seorang dalang yang sanggit, adalah mampu menangkap selera penonton dan mengetahui ter-hadap suasana penonton. Walaupun dalam cerita yang sama akan tetapi pada saat pergelaran harus berbeda. Hal tersebut dilakukan supaya petunjukkan tidak monoton, dengan harapan agar penonton tidak bosan. Sedangkan penampilannya harus berbeda pula disertai tanggap dan peka terhadap situasi serta kondisi masyarakat sekitar dimana wayang itu dipergelarkan. 1.5 Gaya Penyajian Seni Pedalangan Gaya pergelaran pada wayang Kulit Purwa Jawa yang la-zim di sebut gagrag sangat beraneka ragam bentuk penyajiannya, diantaranya adalah bentuk wayangnya, iringannya, dialek (ulon), lengkungan vokal (cengkok lagon), ragam gerak wayang, dan lain-la-innya. Salah satu contoh adalah pedalangan gagrag Jawatimuran atau wayang Jek Dong. Wayang kulit Jawatimuran adalah salah satu dari sekian ciri-ciri wayang yang ada di Indonesia. Wayang kulit Jawatimuran berkembang di daerah-daerah pinggiran karena sering pentas di da-erah pedesaan, apabila dibandingkan di perkotaan, sehingga wa-yang kulit Jawatimuran sering disebut sebagai kesenian rakyat. Perkembanganya hanya ada pada daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Timur, di antaranya kabupaten Sidoarjo, Pasuruan, Malang, Mojokerto, Jombang, Gresik, Lamongan dan Surabaya. Dari sekian daerah perkembangan wayang kulit Jawatimuran, maka mun-cullah istilah gagrag atau gaya dari masing-masing daerah ter-sebut, 10 contoh wayang kulit gagrag Porongan, gagrag Malangan, gagrag Mojokertoan atau Trowulanan, gagrag Lamongan, dan gagrag Sura-bayan. Sebutan dari masing-masing gaya tersebut di atas hingga sekarang masih melekat di hati para penggemar seni tradisi wayang kulit Jawatimuran. Karena belum adanya buku tuntunan pedalangan Jawatimuran sehingga sebagai patron atau pakem adalah Empu dari masing-masing gaya tersebut, contoh gaya Porongan (Ki Soleman), gaya Mojokertoan (Ki Pit Asmoro), gaya Lamongan (Ki Subroto), gaya Surabayan (Ki Haji Suwoto Ghozali Almarhum dan Ki Utomo Almarhum). Untuk mengawali pertunjukan atau sebelum dalang naik di pentas, terlebih dahulu ditampilkan sebuah tarian yang disebut tari Remo dengan dua gaya yaitu gaya putri, dan gaya putra. Hal terse-but dilakukan dengan harapan mampu menarik perhatian para pe-nonton sekaligus sebagai tari pembuka salam atau penyambutan. Pertunjukan wayang kulit Jawatimuran selalu diawali de-ngan tari remo, sehingga pertunjukan wayang dilaksanakan setelah tari remo. Pertunjukan tari remo dengan menampilkan dua gaya ter-sebut diperkirakan memakan waktu + satu setengah jam, dimulai jam 21.00. Pertunjukan wayang kulit dimulai + jam 22.30 – 23.00. Pelaksanaan pakeliran seperti tersebut diatas sudah merupakan tra-disi pakeliran Jawatimuran dimanapun. Nama tokoh dan nama sebuah tempat dalam pewayangan sebagian ada yang berbeda, bahkan tidak dimiliki oleh gaya pake-liran lain, contoh nama masa muda Prabu Arjuna Sasra Bahu adalah Raden Nalendradipa, nama masa kecil Anoman adalah Raden Anjila Kencana, dan masih banyak yang lainya. Sedangkan untuk perbeda-an nama tempat tinggal adalah, contoh pertapan Begawan Gundawi-jaya atau (Begawan Bagaspati dalam pedalangan Surakarta) adalah di Guwa Warawinangun, dan lain sebagainya. Pakeliran gaya Jawa-timuran kaya akan berbagai sanggit cerita dan dalam sajian pertunju-kan masih banyak yang menggunakan cerita pakem (Wet), dari pada cerita karangan (carangan). Sumber cerita yang dipergelarkan ada-lah epos Ramayana dan Mahabharata. Cerita baku atau wet adalah cerita yang diperoleh dari Em-pu masing-masing, dan secara turun-temurun dengan cara berguru ke ahlinya (nyantrik). Perbedaan yang lain terletak pada bentuk sim-pingan atau sampiran wayang. Sampiran adalah wayang yang ditata berjajar dan berderet diselah kanan dan kiri tempat duduk sang da-lang. Apabila di amati akan terlihat jelas ada dua tokoh wayang yaitu Semar dan Bagong yang telah ditancapkan di layar bagain tengah dan ditutup oleh dua gunungan. Di simpingan sebelah kanan tengah dipasang tokoh Betara Guru agak ke atas menghadap ke kiri dan di simpingan sebelah kiri tengah di pasang tokoh Batari Durga meng-hadap ke kanan. 11 Instrumen saron satu dan saron dua juga berpengaruh pa-da setiap adegan yang dimainkan, dengan menampilkan bermacam-macam kembangan saron yang sesuai dengan suasana dalam ade-gan tersebut. Bentuk penonjolan instrumen lain terlatak pada ken-dang, karena kendang Jawatimuran cenderung berbunyi nyaring ter-utama bagian sisi kendang yang ukurannya lebih kecil (kempyang) mengacu pada nada satu (siji). Bentuk kendang berukuran besar panjang serta berat. Ciri khas lainnya terdapat pada beberapa tokoh wayang yang mengenakan busana kepala (irah-irahan) gelung yang dikombi-nasi dengan makutha (topong atau kethu dewa). Ciri lain terdapat pada tokoh wayang Bima da Gathotkaca, yang di Jawa Tengah ber-wajah hitam, namun di Jawa Timur berwajah merah. Beberapa tokoh dalang Jawatimuran menyatakan bahwa warna merah bukan berarti melambangkan watak keangkara murkaan namun melambangkan watak pemberani. Selain itu tokoh wayang Gandamana pada wa-yang Jawa Tengah memiliki pola penggambaran karakter (wanda) yang mirip dengan Antareja atau Gathotkaca, tetapi pada wayang kulit Jawatimuran Gandamana tampil dengan wanda mirip Dursasa-na atau Pragota. Contoh bentuk wayang Jawatimuran terakhir sebelum me-ngalami perubahan bentuk (deformasi) yaitu pada saat diperlihatkan oleh bentuk-bentuk arca pada relief di dinding candi Sukuh di gu-nung Lawu sebelah barat, yang salah satu reliefnya menggambarkan perkelahian Bima melawan Raksasa dengan menunjukan angka ta-hun1361 Caka atau 1439 masehi. Jadi masih dalam zaman pemerin-tahan Prabuputri Suhita, raja Majapahit ke IV (1429 – 1447) Next >