< Previous 12 BAB II SEJARAH WAYANG DAN JENIS DALAM SENI PEWAYANGAN 2.1 Pewayangan Seni pewayangan adalah sesuatu yang menyangkut wa-yang, termasuk pembinaan, penghayatan, pendukung, kritik dan pe-ngetahuan mengenai wayang. Pengertian pewayangan lebih luas jangkauannya karena sudah melibatkan unsur-unsur pendukung wa-yang tersebut. 2.2 Sejarah Seni Pewayangan Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada pra-sasti Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang. Prasasti berupa lempengan tembaga dari Jawa Tengah; Royal Tropical Institute, Amsterdam, contoh prasasti ini dapat dilihat dalam lampiran buku Claire Holt Art in Indonesia: Continuities and Changes,1967 terjemahan Prof.Dr.Soedarsono(MSPI-2000-hal 431). Tertulis sebagai berikut: Dikeluarkan atas nama Raja Belitung teks ini mengenai de-sa Sangsang, yang ditandai sebagai sebuah tanah perdi-kan, yang pelaksanaannya ditujukan kepada dewa dari se-rambi di Dalinan. Lagi setelah menghias diri dengan cat serta bunga-bunga para peserta duduk di dalam tenda pe-rayaan menghadap Sang Hyang Kudur. “Untuk keselama-tan bangunan suci serta rakyat” pertunjukan (ton-tonan) di-sakilan. Sang Tangkil Hyang sang (mamidu), si Nalu melagukan (macarita) Bhima Kumara, serta menari (mangigal) sebagai Kicaka; si Jaluk melagukan Ramayana; si Mungmuk berak-ting (mamirus) serta melawak (mebanol), si Galigi memper-tunjukan Wayang (mawayang) bagi para Dewa, melagukan Bhimaya Kumara. Pentingnya teks ini terletak pada indikasi yang jelas bahwa pada awal abad ke-10, episode-episode dari Mahabharata dan Ra-mayana dilagukan dalam peristiwa-peristiwa ritual. Bhimaya Kumara mungkin sebuah cerita yang berhubungan dengan Bima boleh jadi telah dipertunjukan sebagai sebuah teater bayangan (sekarang: wa- 13yang purwa). Dari mana asal-usul wayang, sampai saat ini masih di-persoalkan, karena kurangnya bukti-bukti yang mendukungnya. Ada yang meyakini bahwa wayang asli kebudayaan Jawa dengan me-ngatakan karena istilah-istilah yang digunakan dalam pewayangan banyak istilah bahasa Jawa. Dr.G.A.J.Hazeu, dalam detertasinya Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (Th 1897 di Leiden, Negeri Belanda) berkeyakinan bahwa pertunjukan wayang berasal dari kesenian asli Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan banyak menggunakan bahasa Jawa misalnya, kelir, blencong, cempala, ke-pyak, wayang. Pada susunan rumah tradisional di Jawa, kita biasa-nya akan menemukan bagian-bagian ruangan: emper, pendhapa, o-mah mburi, gandhok sen-thong dan ruangan untuk pertujukan ringgit (pringgitan), dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang Jawa dalam membangun rumahpun menyediakan tempat untuk per-gelaran wayang. Dalam buku Over de Oorsprong van het Java-an-sche Tooneel - Dr.W Rassers mengatakan bahwa, pertunjukan wa-yang di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang di Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunju-kan wayang di Jawa. Dr.N.J. Krom sama pendapatnya dengan Dr. W. Rassers, yang mengatakan pertunjukan wayang di Jawa sama dengan apa yang ada di India Barat, oleh karena itu ia menduga bahwa wayang merupakan ciptaan Hindu dan Jawa. Ada pula peneliti dan penulis buku lainnya yang mengatakan bahwa wayang berasal dari India, bahkan ada pula yang mengatakan dari Cina. Dalam buku Chinee-sche Brauche und Spiele in Europa – Prof G. Schlegel menulis, bah-wa dalam kebudayaan Cina kuno terdapat pergelaran semacam wa-yang. Pada pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam wayang. Kemu-dian pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India di-bawa ke Indonesia. Untuk memperkuat hal ini, dalam majalah Kolo-niale Studien, seorang penulis mengemukakan adanya persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokian), Wo-yong (Kanton), Wo-ying (Mandarin), artinya pertunjukan bayang-bayang, yang sama de-ngan wayang dalam bahasa Jawa. Meskipun di Indonesia orang sering mengatakan bahwa wayang asli berasal dari Jawa/Indonesia, namun harus dijelaskan apa yang asli materi wayang atau wujud wayang dan bagaimana de-ngan cerita wayang. Pertanyaannya, mengapa pertunjukan wayang kulit, umumnya selalu mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata? Dalam papernya Attempt at a historical outline of the shadow theatre Jacques Brunet, (Kuala Lumpur, 27-30 Agustus 19-69), mengatakan, sulit untuk menyanggah atau menolak anggapan bahwa teater wayang yang terdapat di Asia Tenggara berasal dari 14 India terutama tentang sumber cerita. Paper tersebut di atas menco-ba untuk menjelaskan bahwa wayang mempunyai banyak kesamaan terdapat di daerah Asia terutama Asia Tenggara dengan diikat oleh cerita-cerita yang sama yang bersumber dari Ramayana dan Maha-bharata dari India. Sejarah penyebaran wayang dari India ke Barat sampai ke Timur Tengah dan ke timur umumnya sampai ke Asia Tenggara. Di Timur Tengah, disebut Karagheuz, di Thailand disebut Nang Yai & Nang Talun, di Cambodia disebut Nang Sbek & Nang Koloun. Dari Thailand ke Malaysia disebut Wayang Siam. Sedang-kan yang langsung dari India ke Indonesia disebut Wayang Kulit Pur-wa. Dari Indonesia ke Malaysia disebut Wayang Jawa. Di Malaysia ada 2 jenis nama wayang, yaitu Wayang Jawa (berasal dari Jawa) dan Wayang Siam berasal dari Thailand. Abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, teruta-ma para pedagangnya. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hin-du membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa San-skrit. Abad ke-9, bermunculan cerita dengan bahasa Jawa kuno da-lam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah diadaptasi kedalam cerita yang berbentuk ka-kawin tersebut, misalnya cerita-cerita seperti: Arjunawiwaha kara-ngan Empu Kanwa, Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh, Kresnayana karangan Empu Triguna, Gatotkaca Sraya ka-rangan Empu Panuluh dan lain-lainnya. Pada jamannya, semua ceri-ta tersebut bersumber dari cerita Mahabharata, yang kemudian di-adaptasi sesuai dengan sejarah pada jamannya dan juga disesuai-kan dengan dongeng serta legenda dan cerita rakyat setempat. Da-lam mengenal wayang, kita dapat mendekatinya dari segi sastra, ka-rena cerita yang dihidangkan dalam wayang terutama wayang kulit umumnya selalu diambil dari epos Mahabharata atau Ramayana. Kedua cerita tersebut, apabila kita telusuri sumber ceritanya berasal dari India. Mahabharata bersumber dari karangan Viyasa, sedang-kan Epos Ramayana karangan Valmiki. 15Timur Tengah Karagheouz Indonesia Wayang Kulit Purwa Malaysia Wayang Siam Malaysia Wayang Jawa Peta Penyebaran Cerita Wayang dari Cina (Lihat: buku Traditional Drama And Music of Southeast Asia – Edited by M.Taib Osman, Terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. Th. 1974 ) Hal ini diperkuat fakta bahwa cerita wayang yang terdapat di Asia terutama di Asia Tenggara yang umumnya menggunakan sumber cerita Ramayana dan Mahabharata dari India. Cerita-cerita yang biasa disajikan dalam wayang, sebenarnya merupakan adapta-si dari epos Ramayana dan Mahabharata yang disesuaikan dengan cerita rakyat atau dongeng setempat. Dalam sejarahnya pertunjukan wayang kulit selalu dikaitkan dengan suatu upacara, misalnya untuk keperluan upacara khitanan, bersih desa, menyingkirkan malapetaka dan bahaya. Hal tersebut sangat erat dengan kebiasaan dan adat-is-tiadat setempat. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada jaman raja-raja Ja-wa, antara lain pada masa Raja Balitung. Namun tidak jelas apakah Thailand Nang Yai dan Nang Talon Cambodia Nang Sbek dan Nang Kaloun Cina India 16 pertunjukan wayang tersebut seperti yang kita saksikan sekarang. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang. Hal ini juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, pada jaman Raja Airlangga da-lam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap ke-senian tradisi yang cukup tua. Sedangkan bentuk wayang pada per-tunjukan di jaman itu belum jelas tergambar bagaimana bentuknya. Pertunjukan teater tradisional pada umumnya digunakan untuk pendukung sarana upacara baik keagamaan ataupun adat-is-tiadat, tetapi pertunjukan wayang kulit dapat langsung menjadi ajang keperluan upacara tersebut. Ketika kita menonton wayang, kita lang-sung dapat menerka pertunjukan wayang tersebut untuk keperluan apa. Hal ini dapat dilihat langsung pada cerita yang dimainkan, apa-kah untuk keperluan menyambut panen atau untuk ngruwat dan per-tunjukan itu sendiri merupakan suatu upacara. Gambar 1.1 wayang Cina, Muangthai, Kamboja 2.3 Jenis Wayang Dapat kita temukan wujud bentuk wayang sejak dahulu, ya-itu adanya wayang Rumput atau wayang Lontar (daun TAl) dan lain sebagainya. Jenis wayang tersebut dapat dilihat di Musium Wayang di Jakarta. Berbagai bentuk dan ragam wayang di Indonesia, di anta-ranya, yaitu: a. Wayang Cina b. Wayang Muang Thai c. Wayang Kamboja 172.3.1 Wayang Beber Wayang Beber termasuk bentuk wayang yang paling tua u-sianya dan berasal dari masa akhir zaman Hindu di Jawa. Pada mu-lanya wayang Beber melukiskan cerita-cerita wayang dari kitab Ma-habharata, tetapi kemudian beralih dengan cerita-cerita Panji yang berasal dari kerajaan Jenggala pada abad ke-XI dan mencapai jaya-nya pada zaman Majapahit sekitar abad ke-XIV hingga XV. Wayang ini populeritasnya memudar sejak zaman kerajaan Mataram, sehing-ga makin langka dan kini diancam kepunahanya. Wayang tersebut masih dapat kita jumpai dan sesekali dapat dipergelarkan. Pada per-gelaran yang pernah dilangsungkan pada awal tahun 1983 di Sura-baya digunakan wayang Beber dari desa Karangtalun Kelurahan Ge-dompol Kecamatan Donorejo Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Wa-yang Beber ini dikenal dengan nama Wayang Beber Pacitan. Wayang Beber Pacitan melukiskan cerita Panji Asmara Ba-ngun dengan Dewi Sekartaji yang berjumlah 6 gulungan dengan se-tiap gulungan memuat 4 adegan. Jadi jumlah keseluruhan menjadi 24 adegan, tetapi adegan yang ke 24 tidak boleh dibuka, yang me-nurut kepercayaan pantangan untuk dilanggar. Sebagai salah satu warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah berusia sangat tua itu dan diakui sebagai hasil karya seni agung yang tiada duanya, maka Wayang Beber Pacitan ini perlu dilestarikan. Wayang Beber tersebut dicipta sesudah pemerintahan Amangkurat II (1677-1678) dan sebelum pemerintahan Amangkurat III (1703-1704) di Kartasura. Sedangkan sumber lain menyatakan bahwa Wayang Beber Pacitan tersebut diterima oleh dalang Nolodermo dari kraton Majapahit seba-gai hadiah atas jasanya setelah ia menyembuhkan putri raja. Cerita awal dari Wayang Beber ini adalah mengisahkan tentang Panji Asmara Bangun telah menyamar menjadi Panji Joko Kembang Kuning guna mengikuti sayembara menemukan Dewi Se-kartaji, hingga sepasang pengantin bahagia bersanding di pelaminan yaitu Raden Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji. Cerita terse-but konon merupakan cerita sindiran tentang kerusakan kerajaan Mataram sampai berpindahnya pemerintahan ke Kartasura, yang di-sungging indah sekali dan dibuat pada tahun 1614 Caka dengan sengkalan: gawe srabi jinambah ing wong. 2.3.2 Wayang Purwa Wayang Purwa adalah pertunjukan wayang yang pemen-tasan ceritanya bersumber pada kitab Ramayana dan Mahabharata. Wayang tersebut dapat berupa wayang kulit, wayang golek atau wa-yang wong (orang). Pendapat para ahli, istilah purwa tersebut berasal dari kata parwa yang berarti bagian dari cerita Ramayana atau Mahabharata. Di kalangan masyarakat Jawa, terutama orang-orang tua kata purwa sering diartikan pula purba artinya zaman dulu. 18 Sesuai dengan pengertian tersebut, maka wayang purwa diartikan pula sebagai wayang yang menyajikan cerita-cerita zaman dahulu. Pada wayang jenis ini banyak kita jumpai beberapa ragam, sejarah, asal mulanya antara lain: Gambar 1.2 Wayang Beber Pacitan (Adegan dalam cerita Joko Kembang Kuning) 2.3.2.1 Wayang Rontal (939) Prabu Jayabaya dari kerajaan Majapahit, yang gemar sekali akan wayang, membuat gambar-gambar dan cerita-cerita wayang pada daun tal dalam tahun 939 Masehi (861 Caka dengan sengka-lan: gambaring wayang wolu). Wayang tersebut dinamakan wayang Rontal (rontal yaitu daun tal dari pohon Lontar: Bali, Jakarta; Siwa-lan: Jawa) 192.3.2.1.1 Wayang Kertas (1244) Karena gambar-gambar yang terdapat pada daun tal itu ter-lalu kecil untuk dipertunjukan, maka Raden Kudalaleyan atau yang disebut Prabu Surya Hamiluhur dari Pajajaran memperbesar gambar wayang tersebut di atas kertas pada tahun 1244 (1166 Caka, de-ngan sengkalan: hyang gono rupaning jalmo). 2.3.2.2 Wayang Beber Purwa (1361) Prabu Bratono dari kerajaan Majapahit membuat wayang Beber Purwa untuk ruwatan pada tahun 1361 (1283 Caka, dengan sengkalan: gunaning pujangga nembah ing dewa). Pendapat terse-but tidak sesuai dengan ilmu sejarah, karena pada tahun 1350-1389 yang bertahta di Majapahit adalah Raja Hayam Wuruk; kecuali apa-bila Prabu Bratono adalah juga Prabu Hayam Wuruk. Wayang Beber Purwa dimaksudkan suatu pergelaran wayang mBeber cerita-cerita purwa (Ramayana atau Mahabharata). 2.3.2.3 Wayang Demak (1478) Berhubung wayang Beber mempunyai bentuk dan roman muka seperti gambar manusia, sedangkan hal itu sangat bertenta-ngan dengan agama dan ajaran Islam, maka para Wali tidak menye-tujuinya. Penggambaran manusia merupakan kegiatan yang dinilai menyamai, setidak-tidaknya mendekati kekuasaan Tuhan. Hal terse-but di dalam ajaran Islam adalah dosa besar. Akhirnya wayang Be-ber kurang mendapat perhatian oleh masyarakat Islam dan lenyap-lah wayang Beber tersebut dari daerah kerajaan Demak. Kemudian para Wali menciptakan wayang purwa dari kulit yang ditatah dan di-sungging bersumber pada wayang zaman Prabu Jayabaya. Bentuk wayang diubah sama sekali, sehingga badan ditambah panjangnya, tangan-tangan memanjang hampir mendekati kaki. Selain itu leher, hidung, pundak dan mata diperpanjang supaya menjauhi bentuk ma-nusia. Yang tinggal hanya gambaran watak manusia yang tertera pa-da bentuk wayang purwa tadi. Hal ini dilakukan pada tahun 1518 (1440 Caka, dengan sengkalan: sirna suci caturing dewa). Dan pada tahun 1511 (1433 Caka, dengan sengkalan: geni murub siniraming wong), semua wayang Beber beserta gamelanya diangkut ke De-mak, setelah kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478. Dari urai-an tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa wayang Kulit Purwa se-perti yang kita lihat sekarang ini merupakan penjelmaan dari hasil ciptaan para Wali Sembilan (Wali Sanga) dalam abad ke-XVI. 2.3.2.4 Wayang Keling (1518) Wayang Keling merupakan satu-satunya jenis wayang di daerah pesisir utara pulau Jawa, yakni di Pekalongan. Munculnya wayang tersebut berkaitan dengan masuknya agama Islam di Jawa, menjelang runtuhnya kerajaan Majapahit (1518 – 1522). Masa per- 20 golakan Majapahit (Paregreg), membuat orang-orang yang kokoh mempertahankan agama Hindu-Budha-nya lari berpencar ke daerah-daerah lain dan keturunan-keturunan mereka kemudian menciptakan seni budaya baru dengan cerita-cerita pewayangan baru. Meskipun dalam sepintas lalu wayang Keling tersebut mirip wayang kulit Jawa, namun perbedaan nampak menonjol pada ge-lung cupit urang yang tidak sampai pada ubun-ubun. Antawacana-nya memakai bahasa rakyat setempat, dan satu hal yang menarik dalam pagelaran wayang Keling tersebut ialah bahwa tokoh Wisang-geni dan Wrekodara bisa bertata krama dengan menggunakan baha-sa halus (Kromo Inggil). Keling, seperti yang disebutkan dalam buku karya dua pe-nulis R. Suroyo Prawiro dan Bambang Adiwahyu, semula bermaksud mengenang nenek moyang mereka yang datang dari Hindustan ma-suk ke Jawa untuk pertama kalinya, di samping itu juga sebagai ke-nang-kenangan dengan adanya kerajaan Budha di Jawa yang dise-but kerajaan Kalingga. Wayang Kelingpun jauh berbeda dengan Wayang Purwa. Silsilah wayang tersebut rupanya paling lengkap sejak zaman Nabi Adam, Sang Hyang Wenang hingga Paku Buwono IV yaitu raja Su-rakarta (Th. 1788 – 1820). Hal tersebut kiranya kurang rasioanl, me-ngingat tidak adanya buku-buku atau catatan-catatan resmi yang menyatakan bahwa Sang Hyang Wenang adalah keturunan Nabi Adam. Dalam pementasan wayang Keling, dalang berfungsi pula se-bagai Pendita atau Bikhu dengan memasukkan ajaran-ajaran dari kitab Weda ataupun Tri Pitaka dalam usaha melestarikan agama Hindu dan Budha. Dengan demikian sang dalang termasuk juga se-bagai pengembang faham Jawa (Kejawen) di daerah Pekalongan dan sekitarnya. 2.3.2.5 Wayang Jengglong Selain wayang Keling, di Pekalongan masih terdapat pula pedalangan wayang Purwa khas Pekalongan yang disebut wayang Jengglong. Pergelaran wayang Jengglong menggunakan wayang purwa wanda khas Pekalongan dengan iringan gamelan laras Pelog. Sumber cerita pada umumnya diambil dari buku Pustaka Raja Purwa Wedhoatmoko. 2.3.2.6 Wayang Kidang Kencana (1556) Wayang ini diciptakan oleh Sinuwun Tunggul di Giri yang tidak jelas dimana letak kerajaannya pada tahun 1556 (1478 Caka, dengan sengkalan: salira dwija dadi raja). Wayang Kidang Kencana berukuran lebih kecil dari pada wayang purwa biasa. Tokoh-tokoh di-ambil dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Dalang-dalang wanita serta dalang anak-anak pada umumnya memakai wayang-wayang 21tersebut untuk pergelaranya, karena wayang Kidang Kencana tidak terlalu berat dibanding dengan wayang pedalangan biasa. 2.3.2.7 Wayang Purwa Gedog (1583) Raden Jaka Tingkir yang kemudian bergelar Sultan Hadiwi-jaya (1546 – 1586) dari kerajaan Pajang membuat Wayang Purwa Gedog pada tahun 1583 (1505 Caka, dengan sengkalan: panca bo-ma marga tunggal). Sangat disayangkan budayawan-budayawan In-donesia tidak menjelaskan bagaimana bentuk tokoh-tokoh wayang serta cerita untuk pergelaran wayang tersebut. 2.3.2.8 Wayang Kulit Purwa Cirebon Perkembangan seni pewayangan di Jawa Barat, terutama bentuk wayang kulitnya, berasal dari wayang kulit Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal itu terbukti dari bentuk wayang purwa Cirebon yang kini hampir punah, serupa dengan bentuk wayang Keling Pekalo-ngan, yakni gelung cupit urang pada tokoh-tokoh seperti Arjuna, Bi-ma, Gathotkaca dan lain-lainya tidak mencapai ubun-ubun dan tokoh wayang Rahwana berbusana rapekan seperti busana wayang Ge-dog. Menurut para sesepuh di Cirebon, babon dan wayang kulit Cire-bon memang mengambil cerita dari kitab Ramayana dan Mahabha-rata, tetapi sejak semula tersebut telah dikembangkan dan dibuat de-ngan corak tersendiri oleh seorang tokoh yang disebut Sunan Pang-gung. Cirebon berpendapat bahwa tokoh Sunan Panggung terse-but merupakan indentik dengan Sunan Kalijaga, seorang Wali penu-tup dari jajaran dewan Wali Sanga. Maka dengan demikian, jelaslah bahwa materi Ramayana dan Mahabharata yang Hinduis itu telah banyak diperbaiki dan diperbaharui serta disesuaikan dengan dasar-dasar ajaran Islam. Selain itu, satu hal yang relevan dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa para dalang wayang kulit ataupun dalang-da-lang wayang Cepak di Cirebon memperoleh ajarannya dari cara-cara tradisional. Ia menjadi dalang dengan petunjuk ayahnya atau kakek-nya yang disampaikan secara lisan, sehingga sulit bagi kita untuk menghimpun sastra lisan tersebut sekarang ini. Di wilayah Jawa Barat sedikitnya terdapat empat versi ke-senian wayang kulit, yakni versi Betawi, Cirebon, Cianjur, serta Ban-dung dan masing-masing menggunakan dialeg daerah setempat. Melihat akan wilayah penyebaran kesenian wayang kulit yang bersi-fat kerakyatan itu, maka nampaklah suatu rangkaian yang hampir sa-ling bersambungan dengan wilayah Banyumas, Pekalongan, Cire-bon, Purwakarta, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, hingga Banten. Nampaknya kesenian Wayang Kulit Cirebon masih mendapat tempat baik di lingkungan masyarakatnya dan penyebaranya dengan baha-sa Cirebon Campuran yaitu campuran Jawa dan Sunda yang meli-Next >