< Previous 22 puti daerah-daerah seperti Kuningan, Subang, Majalengka, bahkan sampai Kabupaten Kerawang bagian timur. Suatu ciri khas pada pagelaran Wayang Kulit Cirebon ada-lah katerlibatan para penabuh gamelan (niyaga) yang bukan hanya melatar belakangi pertunjukan dengan alat musiknya, tetapi dengan senggakan-senggakan lagu yang hampir terus-menerus selama per-gelaran berlangsung. Difusi kebudayaan tersebut berjalan lama serta mantap, dan peranan Wali Sanga sebagai faktor dinamik dan penye-bar unsur peradaban pesisir tidak boleh dilupakan begitu saja. Con-toh menarik peranan Wali Sanga yang berkaitan dengan Cirebon se-bagai salah satu komponen peradaban pesisir adalah unsur kebuda-yaan dalam ungkapan kegiatan religi, mistik dan magi yang memba-ur dan nampak dalam pertunjukan wayang. Para Wali sangat aktif dalam penciptaan-penciptaan seni pedalangan dan memanfaatkan seni karawitan untuk mengIslamkan orang-orang Jawa. Simbolisme dan ungkapannya nampak paling ka-ya dari seni karawitan dan seni pedalangan yang dimanfaatkan da-lam setiap dakwahnya. Satu hal yang khas pula dalam jajaran wa-yang Kulit Cirebon, ialah apabila jumlah panakawan di daerah lain-nya hanya empat orang, maka keluarga Semar ini berjumlah sembi-lan orang yakni Semar, Gareng, Dawala, Bagong, Curis, Witorata, Ceblek, Cingkring, dan Bagol Buntung, yang semuanya itu melam-bangkan sembilan unsur yang ada di dunia serta nafsu manusia, atau melambangkan jumlah Wali yang ada dalam melakukan dak-wah Islam. Gambar 1.3 Wayang gaya Cirebon, dalam cerita Ramayana a. Raden Kumbakarna b. Raden Indrajit c. Prabu Rahwana 232.3.2.9 Wayang Kulit Purwa Jawa Timur Seperti halnya dengan daerah-daerah lainnya, antara lain Cirebon, Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, dan Jawa Timur pun mempunyai wayang kulit dengan coraknya sendiri dan sering di sebut wayang Jawatimuran atau wayang Jek Dong. Sebutan Jek Do-ng berasal dari kata Jek yaitu bunyi keprak dan Dong adalah bunyi instrumen kendang. Meskipun menggunakan pola wayang Jawa Te-ngah sesudah zaman masuknya agama Islam di Jawa, wayang kulit Jawatimuran mempunyai sunggingan dan gagrag tersendiri dalam pergelaranya, sesuai dengan apresiasi dan kreativitas selera masya-rakat setempat. Bentuk dan corak wayang kulitnya condong pada gaya Yo-yakarta, terutama wayang perempuan (putren). Hal ini membuktikan bahwa sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, kebangkitan kembali wa-yang kulit Jawatimuran dimulai sebelum terjadinya perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Konon tercatat bahwa wayang gagrag Surakarta merupakan perkembangan kemudian setelah perjanjian Giyanti terlaksana. Ciri khas wayang kulit Jawatimuran yang mencolok terdapat pada beberapa tokoh wayang yang mengenakan busana kepala (irah-irahan) gelung yang dikombinasi dengan makutha (topong atau kethu dewa). Ciri lain terdapat pada tokoh wayang Bima dan Gathot-kaca, yang di Jawa Tengah berwajah hitam atau kuning keemasan, namun di Jawa Timur berwajah merah. Beberapa tokoh dalang Ja-watimuran menyatakan bahwa warna merah bukan berarti melam-bangkan watak angkara murka namun melambangkan watak pem-berani. Selain itu tokoh wayang Gandamana pada wayang Jawa Te-ngah memiliki pola penggambaran karakter (wanda) yang mirip de-ngan Antareja atau Gathotkaca, tetapi pada wayang kulit Jawatimur-an Gandamana tampil dengan wanda mirip Dursasana atau Pragota. Contoh bentuk wayang Jawatimuran terakhir sebelum me-ngalami perubahan bentuk (deformasi) diperlihatkan oleh bentuk-bentuk arca pada relief di dinding candi Sukuh di gunung Lawu sebe-lah barat, yang salah satu reliefnya menggambarkan perkelahian Bi-ma melawan raksasa dengan menunjukkan angka tahun 1361 Caka atau 1439 masehi. Jadi masih dalam zaman pemerintahan Prabu-putri Suhita, raja Majapahit ke IV (1429 – 1447). Pada masa per-alihan ke zaman Islam, wayang kulit Purwa Jawatimuran Kuna su-dah lama berkembang dengan sempurna, mengingat kekuasaan ke-rajaan Majapahit sebelumnya yaitu yang meluas ke seluruh Nusanta-ra, maka pedalangan Jawatimuran-pun sudah populer di daerah Ja-wa Tengah. Dalam pergelaran wayang kulit gagrag Jawatimuran mem-punyai karakteristik tersendiri dengan memiliki empat jenis pathet, yaitu pathet Sepuluh (10), pathet Wolu (8), pathet Sanga (9), dan pa- 24 thet Serang, sedangkan di Jawa Tengah lazim mengenal tiga pathet, yaitu pathet Nem (6), pathet Sanga (9), dan pathet Manyura. Jumlah panakawan wayang kulit Jawatimuran juga berbeda. Jumlah naka-wan yang ada di wayang kulit purwa Cirebon dengan sebanyak sem-bilan panakawan, Jawa Tengah dengan empat panakawan, maka panakawan dalam wayang kulit Jawatimuran ini hanya memiliki dua panakawan, yaitu Semar dan Bagong Mangundiwangsa. Kedua to-koh panakawan yang bersifat dwi tunggal itu agaknya menjadi ciri khas dalam dunia wayang Jawatimuran. Jumlah panakawan dalam wayang Jawatimuran lainya da-pat kita jumpai pada cerita-cerita Panji yang menampilkan Bancak dan Doyok atau Judeh dan Santa (Jurudyah dan Prasanta), sedang-kan dalam lakon Darmarwulan kita temui panakawan Nayagenggong dan Sabdapalon seperti nampak pada lukisan-lukisan relief candi di Jawa Timur. Dengan demikian terdapat suatu kesimpulan, bahwa to-koh panakawan tersebut pada mulanya hanya dua orang. Hal ini be-sar kemungkinan ada kaitanya dengan alam dan falsafah kejawen, bahwa pasangan panakawan Semar dan Bagong tersebut merupa-kan lambang alam kehidupan manusia yang bersifat roh dan wadag. Semar merupakan rohnya dan Bagong memanifestasikan kewadag-annya. Namun dalam perkembangannya panakawan diwayang Ja-watimuran bertambah, yaitu Besut dengan perwujudan seperti Ba-gong hanya lebih kecil. Besut dalam wayang Jawatimuran berperan sebagai anak Bagong. Bangkitnya kembali wayang kulit Jawa Tengah yang ditun-jang oleh kalangan atas yaitu kalangan kraton, berkembang pula se-ni pedalangan wayang kulit Jawatimuran pada perbedaan tingkat dan prosesnya. Ia berkembang bukan dari kalangan kraton malain-kan dari tingkah bawah ke masyarakat banyak. Daerah perkemba-ngan wayang kulit Jawatimuran meliputi daerah Surabaya, Sidoarjo, Pasuruhan, Malang, Mojokerto, Jombang, Lamongan dan Gresik. 25 Gambar 1.4 Batara Bayu (Jawatimuran) Gambar 1.5 Harjuna Sasrabahu (Jawatimuran) 26 Gambar 1.6 Dewi Sembadra Gambar 1.7 Batara Kala 27 Gambar 1.8 Bagong dan Semar menghadap Berjanggapati 2.3.2.10 Wayang Golek (1646) Sesuai dengan bentuk dan cirinya yang mirip boneka, bulat yang dibuat dari kayu, maka disimpulkan bahwa, berdasarkan ben-tuk yang mempunyai ciri-ciri seperti boneka itu, sehingga benda ter-sebut dinamakan wayang Golek. Pada akhir pergelaran wayang kulit purwa, maka dimainkan wayang yang bentuknya mirip boneka dan di namakan Golek. Dalam bahasa Jawa, golek berarti mencari. Dengan memainkan wayang Golek tersebut, dalang bermaksud memberikan isyarat kepada para penonton agar seusai pergelaran, penonton mencari (nggoleki) intisari dari nasehat yang terkandung dalam pergelaran yang baru lalu. Mungkin berdasarkan kemiripan bentuk itulah sehingga dinamakan wayang Golek. Wayang-wayang tersebut diberi pakaian, kain dan baju ser-ta selendang (sampur), dan dalam pementasanya tidak mengguna-kan layar (kelir). Sebagai pengganti lampu penerang pada wayang (blencong), sering dipakainya lampu petromak atau lampu listrik. Bo-neka-bonela kayu ini diukir dan disungging menurut macam ragam-nya, sesuai dengan tokoh-tokoh wayang dalam epos Ramayana dan Mahabharata. Wayang Golek yang terbuat dari kayu dan berbentuk tiga dimensi itu, kepalanya terlepas dari tubuhnya. Ia dihubungkan o-leh sebuah tangkai yang menembus rongga tubuh wayang dan seka-ligus merupakan pegangan dalang. Melalui tangkai itulah dalang da-pat menggerakkan kepala wayang dengan gerakan menoleh, serta 28 dalang dapat menggerakan tubuh wayang dengan gerakan naik-tu-run. Tangan-tangan wayang Golek dihubungkan dengan seutas be-nang, sehingga sang dalang dapat bebas menggerak-gerakannya. Dalam buku Wayang Golek Sunda, karangan Drs. Jajang Suryana, M.Sn, dikatakan: “Munculnya wayang Golek Purwa di Priyangan secara pasti berkaitan dengan wayang Golek Menak Cirebon yang biasa disebut wayang Golek Papak atau wayang Golek Cepak”. Kaitannya antara kedua jenis wayang itu hanya sebatas ke-samaan raut golek yang tiga demensi (trimatra), sementara unsur cerita golek yang secara langsung akan menentukan raut tokoh go-lek, sama sekali berbeda. Golek Menak bercerita tentang Wong A-gung Menak, Raja Menak atau Amir Hamsyah yang berunsur cerita Islam. Sedangkan Golek Purwa bercerita tentang kisah yang ber-sumber dari agama Hindu yaitu Mahabharata dan Ramayana. Cerita yang dipentaskan umumnya cerita Ramayana dan Mahabharata, na-mun ada jenis wayang Golek yang mementaskan cerita Panji atau cerita Parsi yang bernuansa Islam. Daerah Jawa Barat yang pertama kali kedatangan wayang Golek adalah daerah Cirebon. Wayang tersebut kemudian masuk ke daerah Priangan dan mulai digemari masyarakat Sunda. Pementas-an wayang Golek tersebut menggunakan bahasa masyarakat Pa-sundan Jawa Barat. Pada umumnya masyarakat Jawa Barat menye-but wayang itu wayang Golek Sunda atau Golek Purwa, yang dalam pementasanya mengambil cerita-cerita berdasarkan kitab Ramayana dan Mahabharata. Wayang tersebut telah ada sebelum wayang Go-lek Menak diciptakan, yakni pada masa pemerintahan Prabu Amang-kurat I di Mataram (1646 – 1677). Pada pembukaan seminar pedalangan Jawa Barat I pada tanggal 26-29 Februari 1964 di Bandung, telah diwujudkan dan dicip-takan wayang Golek baru, yang sesuai dengan perkembangan zaman, kemudian atas keputusan para pengurus yayasan pedalang-an Jawa Barat wayang dengan bentuk pemanggungan yang baru tersebut, diberi nama Wayang Pakuan. Dalam pergelaran wayang Golek Pakuan tersebut dipentaskan pula cerita-cerita Babad Pajaja-ran, penyebaran agama Islam di Jawa Barat dan datangnya bangsa asing di Indonesia. Dengan cerita-cerita tersebut di atas maka tokoh-tokoh dalam wayang Golek Pakuan di antaranya seperti Prabu Sili-wangi dari kerajaan Pajajaran serta Jan Pieterzoon Coen atau Mur-jangkung, Gubernur Jendral Hindia Belanda. Pada awal abad ke-XIX Pangeran Kornel seorang Bupati Sumedang, Jawa Barat, terkenal sebagai pencipta wayang Golek Purwa Sunda yang bersumberkan pada wayang Golek Cepak dari Cirebon. Sejak munculnya wayang Golek Purwa Sunda tersebut, maka kesenian itu menjadi sangat populer dan dapat merebut hati rakyat Jawa Barat umumnya serta orang-orang Sunda di daerah Pri- 29angan Khususnya. Di daerah Jawa Tengah terdapat wayang golek dengan berbagai macam jenis dan disesuaikan dengan lakon per-gelarannya. Tetapi pada umumnya wayang golek tersebut berbentuk wayang Golek Menak. Cerita pada umumnya adalah cerita-cerita Menak Wong Agung Jayengrana, yang bersumber pada serat Me-nak. Wayang golek tersebut kemudian terkenal dengan sebutan wa-yang Thengul. Di Jawa Barat-pun terdapat wayang Golek Menak dengan cerita yang sama, bernafaskan Islam, yaitu kisah Amir Hamzah (pa-man Nabi Muhammad s.a.w.) beserta tokoh-tokoh lainnya seperti ra-ja Jubin, Adam Billis, Tumenggung Pakacangan, Suwangsa, Pringa-di, Panji Kumis, Raden Abas dan Umarmaya. Wayang-wayang terse-but disebut wayang Bendo. Sesudah kerajaan Demak runtuh, kraton pindah ke Pajang dan sebagian wayang-wayang di bawa ke Cirebon karena kerajaan Cirebon mempunyai hubungan yang erat dengan Demak. Maka tidak mengherankan kalau di Cirebon terdapat wa-yang Golek Purwa bercampur dengan wayang Golek Menak, se-hingga dalam pementasannya disebut wayang Cepak. Wayang Golek Cepak tersebut membawakan lakon Menak dan disamping itu membawakan pula cerita-cerita sejarah perkem-bangan agama Islam di Jawa. Seirama dengan perkembangan serta kemajuan zaman dalam modernisasi wayang, sejak tahun 70-an wa-yang Golek Sunda ini dilengkapi dengan pemakaian keris serta Pra-ba yang terbuat dari kulit berukir (ditatah dan disungging) untuk to-koh-tokoh wayang tertentu, seperti Kresna, Gathotkaca, Baladewa, Rahwana dan lainnya. Gambar 1.9 Wayang Golek Pakuan Adegan Jan Pieterszoon Coen dan Prabu Siliwangi 30 2.3.2.11 Wayang Krucil (1648) Raden Pekik di Surabaya membuat wayang Krucil pada ta-hun 1648 (1571 Caka, dengan sengkalan: watu tunggangngane buta widadari). Wayang ini dibuat dari kayu pipih (papan) berbentuk se-perti wayang kulit dan diukir seperlunya. Hanya tangan-tangannya terbuat dari kulit. Pertunjukan wayang ini dilakukan pada umumnya di siang hari dan tidak menggunakan kelir. Kemudian untuk seterus-nya wayang Klithik ini digunakan untuk pergelaran cerita Damarwu-lan-Minakjingga, sedang wayang Krucil untuk cerita-cerita dari kitab Mahabharata, yang kemudian wayang tersebut disebut wayang go-lek Purwa. Cerita Damarwulan-Minakjingga adalah melambangkan pertentangan antara Damarwulan sebagai bulan dan Minakjingga se-bagai matahari. Wayang Klithik juga mengenal ciri-ciri menurut gayanya an-tara lain gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, dan gaya Mangkunega-ran. Pada gaya Yogyakarta bentuk wayang tersebut nampak kurang anatomis terutama pada pahatan kakinya, sehingga mengarah pada bentuk primitif. Sedangkan gaya Surakarta dan gaya Mangkunegaran men-dekati bentuk wayang kulit yang nampak arstistik dan mengarah pa-da sifat kehalusan dan ketenangan. Untuk mengiringi pertunjukan wayang Klithik dipakainya gamelan dengan laras Slendro yang ber-jumlah lima macam, yakni kendang, saron, kethuk-kenong, kempul barang dan gong suwuk-an. Irama gamelan pada umumnya sangat monotoon seperti irama kuda lumping (jathilan). Pada setiap adegan jejeran ki dalang mengiringinya dengan tembang macapat seperti Dandang Gula, Sinom, Pangkur, Asma-radana dan lain sebagainya. Tembang-tembang tersebut berperan sebagai suluk dalam pertunjukan wayang kulit. Pada masa lalu pertunjukan wayang Klithik merupakan per-tunjukan ritual sakral tak ubahnya seperti pertunjukan wayang kulit Purwa. Namun karena kondisi dan vareasi pertunjukannya yang se-cara teknis terlalu statis serta dalang yang berpegang teguh pada a-turan baku dan sangat terikat pada lakon tertentu, tanpa mau me-ngembangkannya, sehingga pertunjukan tersebut tidak mampu me-menuhi selera zaman dan banyak penonton yang meninggalkannya. Selain itu ceritanyapun berkisar pada babad Majapahit tan-pa timbulnya cerita-cerita carangan atau gubahan baru. Pengaruh modernisasi dan waktu memang membuat banyak upacara-upacara ritual yang sakral serta seni budaya tradisional makin lama makin le-nyap karena telah kehilangan pamornya. 31 Gambar 1.10 Wayang Golek Cirebon atau Wayang Cepak 2.3.2.12 Wayang Sabrangan (1704) Paku Buwono I (1704 – 1719) membuat wayang Sabrangan atau tokoh dari daerah seberang dengan pemakaian baju pada ta-hun 1703 (1625 Caka, dengan sengkalan: buta nembah ratu tung-gal). Wayang tersebut merupakan salah satu jenis dari wayang pur-wa di samping jenis wayang raksasa (raseksa) dan kera (kethek). 2.3.2.13 Wayang Rama (1788) Paku Buwono IV (1788 – 1820) membuat wayang Rama yang khusus diciptakan untuk mempergelarkan cerita-cerita dari ki-tab Ramayana. Dalam wayang tersebut terdapat banyak wayang-wayang kera dan raksasa, yang dibuat pada tahun1815 (1737 Caka, dengan sengkalan: swareng pawaka giri raja). Next >