< Previous 32 2.3.2.14 Wayang Kaper Wayang kaper adalah wayang yang ukurannya lebih kecil di banding wayang Kidang Kencana. Wayang ini pada umumya diguna-kan untuk permainan anak-anak yang mempunyai bakat mendalang. Yang membuat wayang kaper tersebut umumnya orang kaya atau kaum bangsawan untuk menghibur diri dan untuk permainan anak cucu mereka. Wayang tersebut disebut kaper karena kecil bentuk-nya, kalau dimainkan sabetan tidak begitu lincah dan hanya nampak menggelepar-gelepar saja. Bilamana kena cahaya lampu, geleparan-geleparan itu bagaikan kupu-kupu kecil yang terbang dekat lampu di malam hari. Pementasan wayang kaper tersebut menggunakan kelir dan blencong yang biasa dilakukan dalang anak anak (bocah) de-ngan mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata. Se-perti halnya wayang kulit Purwa lainnya, wayang Kaper tersebut di-buat dari kulit yang ditatah dan disungging pula. 2.3.2.15 Wayang Tasripin Tasripin almarhum seorang saudagar kaya yaitu pedagang kulit di Semarang, Jawa Tengah. Tasripin membuat wayang kulit ga-ya Yogyakarta dicampur gaya Pesisiran dengan ukuran luar biasa besarnya. Dibuat wayang tokoh Arjuna sebesar tokoh Kumbakarna, wayang terbesar dan tertinggi dari wayang pedalangan, sedangkan wayang-wayang lainnyapun ikut membesar dan sebanding dengan wayang Arjuna tadi. Wayang-wayang sebesar itu tidak mungkin untuk dipentas-kan karena terlalu besar dan berat serta tidak ada seorang dalang-pun yang mampu memainkannya. Wayang-wayang tersebut dilapisi kertas emas (diprada), ditatah serta disungging, dan hanya untuk pa-meran belaka yang kemudian disebut wayang Tasripin. 2.3.2.16 Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun. Wayang Kulit Betawi ini merupakan satu-satunya teater bo-neka di kalangan masyarakat Betawi. Grup wayang kulit ini masih terdapat di wilayah Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Wilayah Bekasi terutama Kecamatan Tambun merupakan wilayah yang paling potensial bagi wayang kulit Betawi tersebut, baik dalam arti kuantitas maupun kualitas, sehingga dapat dimaklumi kalau ada beberapa orang yang menamakan teater ini dengan nama wayang Tambun. Para ahli pedalangan berpendapat, bahwa wayang kulit Be-tawi berasal dari Jawa Tengah, yang kedatangannya di Jakarta dan sekitarnya dihubungkan dengan penyerangan Sultan Agung ke Bata-via (Batavia = Jakarta) pada zaman Gubernur Jendral Jan Pieter-zoon Coen (1628 – 1629). Bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk wayang kulit di sepanjang pantai utara Jawa Barat mulai dari Cire- 33bon, Indramayu, Pamanukan, Cilamaya, Karawang sampai Tambun dan Jakarta, nampak pada wayang kulit tersebut adanya persamaan yang cukup mencolok, sehingga pendapat yang mengatakan, bahwa wayang kulit Betawi merupakan suatu pengaruh yang beranting dari Jawa Tengah. Adanya persamaan temperamen antara wayang kulit Beta-wi dengan wayang kulit Banyumas, ini dapat terlihat dengan adanya persamaan pada alat musik pengiring yang berupa gambang. Pada wayang kulit Betawi di masa lampau, alat musik gambang tersebut di buat dari bambu seperti gamelan Calung pada wayang kulit Banyu-mas. Wayang kulit Betawi ini banyak mendapat pengaruh dari wayang Golek Sunda, baik dalam lagu, sabetan, dan lakonnya. Da-lam hal lagu walaupun iramanya sepintas lalu Sunda, pada hakekat-nya lagu-lagu ini adalah perpaduan antara Sunda dan Betawi, yang sejak semula sudah ada pada musik Gamelan Ajeng Betawi. Kaidah adalah apa yang mereka pelajari dari guru-guru mereka. Benar atau tidaknya ajaran tersebut, bilamana ditinjau dari kaidah dan yang ada di Jawa Tengah, tidaklah menjadi halangan bagi mereka. Wayang kulit Betawi pada hakekatnya benar-benar meru-pakan suatu seni rakyat yang unsur improvisasi dan spontannitasnya mengambil bagian yang terbanyak dari suatu pertunjukan. Keterli-batan penabuh gamelan terlihat sangat kental dan bahkan para pe-nonton juga terlibat dalam pertunjukannya, hal tersebut terjadi seca-ra spontan dan wayang kulit Betawi memang benar-benar menam-pilkan sesuatu yang spesifik dalam seni rakyat dimana pemain dan penonton melebur menjadi suatu totalitas yang akrab. Cerita yang ada pada wayang kulit Betawi hanya mengan-dalkan apa yang mereka sebut Kanda Keling dan Kanda Mataram. Kanda Keling adalah apa yang diterima dari guru mereka, sehingga dua orang dalang yang berguru pada dua orang guru yang berlainan, bisa memainkan lakon yang berbeda pula. Sedangkan Kanda Mata-ram adalah lakon yang dikarang atau diciptakan ki dalang sendiri de-ngan memasukan hal-hal baru di dalamnya, dan dalang menutup pertunjukannya dengan lagu Wayangan Giro. Dari segi sastra, wayang Tambun sudah sejak dulu mema-kai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, yaitu bahasa Indonesia Kuna (Melayu) yang lazim dipakai masyarakat Tambun dengan corak iringan gamelan yang bernada ke-Sundaan. Bagi ma-syarakat Betawi, wayang Tambun ini disebut Wayang Kulit Tambun. 34 Gambar 1.11 Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun 2.3.2.17 Wayang Ukur Tergugah oleh jiwa seninya pada masa kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, Sukasman merasa he-ran mengapa dalam Akademi tersebut, seni rupa wayang yang telah merupakan suatu masterpiece yang adiluhung itu tidak dimasukan kurikulum. Setelah memperhatikan bentuk-bentuk wayang dari za-man ke zaman yang telah diciptakan sejalan dengan pengungkapan jiwa manusia, maka terlihatlah bahwa wayang-wayang itu mendapat-kan perubahan-perubahannya, baik dalam bentuk tinggi besarnya maupun dalam ornamen-ornamennya, contoh, seperti yang terlihat pada tokoh Kresna. Pada gaya Surakarta tokoh tersebut dilengkapi dengan garuda mungkur pada irah-irahannya, sedang gaya Yogya-karta memakai merak mungkur. Demikian pula nampak jelas bila kita perhatikan ornamen-ornamen wayang kulit gaya pesisiran, antara la-in wayang kulit Cirebon dan wayang kulit Pekalongan. Terkesan oleh perubahan-perubahan bentuk serta orna-men-ornamen pada wayang, yang jelas nampak pada gaya Surakar-ta, Yogyakarta dan Cirebon serta Kedu, maka pada tahun 1964 Su-kasman telah menciptakan jenis wayang baru yang dinamakan wa-yang Ukur, yang proses pembuatannya selalu diukur-ukur bentuk tinggi dan panjang pundak wayang-wayang ciptaannya itu. Berkali-kali ia mengadakan perubahan-perubahan pada beberapa bagian bentuk wayangnya sampai ia merasa puas akan hasil ciptaanya yang cocok dengan rasa dan jiwa seninya. Dalam mengadakan pe-rubahan perubahan tersebut ia membuat ukuran sendiri, sehingga berdasarkan teknik pembuatannya itu, maka wayang ciptaannya itu dinamakan wayang Ukur. Sunggingan serta tatahan wayang tersebut nampak lain da-ri wayang purwa biasa dan ini memang merupakan ciri khas dari wa- 35yang Ukur ciptaan Sukasman. Dalam pertunjukannya, wayang Ukur menggunakan kelir sebagai tempat memainkan wayang (jagadan wayang). Gambar 1.12 Batara Guru (Wayang Ukur) 2.3.2.18 Wayang Mainan (Dolanan) Wayang sebagai karya seni mencakup seni rupa, seni ke-trampilan, dan seni khayal. Harus diakui pula wayang yang konon la-hir di India dan kini hidup serta berkembang di Jawa itu, sekarang te-lah menjadi milik bangsa Indonesia sebagai suatu karya seni tradisi-onal Indonesia. Anak-anak di desa sering dalam menggembalakan ternak meluangkan waktu untuk membuat boneka-boneka wayang dari tangkai-tangkai rumput atau tangkai daun singkong. Dianyamnya be-berapa genggam batang rumput atau daun singkong tersebut hingga berbentuk wayang dan dimainkannya dengan berkhayal sebagai se-orang dalang wayang yang pernah dilihatnya. Wayang-wayang ter-sebut biasa dinamakan wayang Suketan (rumput) atau wayang Domdoman (nama jenis rumput), karena rumput yang biasa mereka gunakan untuk membuat wayang tersebut adalah jenis rumput dom-doman. Selain dari bahan rumput atau daun singkong, dapat pula mereka membuatnya dari daun kelapa (blarak), tapi hasil karya wa-yang-wayang tersebut tidak dapat bertahan lama. Jika diinginkan ha-sil karya yang dapat bertahan agak lama, biasanya mereka membuat wayang Bambu. Wayang jenis ini dapat dijumpai di daerah Wonosa-ri, Yogyakarta, yang dibuat dari irisan-irisan bambu yang dianyam, sehingga berbentuk boneka wayang. Akan tetapi, kini telah banyak diperdagangkan yaitu wayang yang terbuat dari kardus untuk mainan 36 anak-anak. Wayang kardus ini bahan dasarnya adalah kardus atau karton bekas pembungkus yang di beri warna ala kadarnya dan dita-tah sangat sederhana. Maka jelas bahwa wayang-wayang tersebut tidak dapat tahan lama dan mudah rusak. Di Yogyakarta hingga tahun 1984 masih dapat dijumpai wa-yang-wayang kardus hasil pengrajin wayang. Wayang-wayang terse-but sering dipakai oleh siswa-siswa dalang atau untuk penguburan tokoh. Wayang yang perlu dikubur atau dihanyutkan di laut (dilabuh) setelah gugur dalam pementasan, antara lain: Kumbakarna, Durna, dan lain-lainnya. Untuk penguburan ataupun labuhan wayang-waya-ng tersebut diperlukan upacara tersendiri. Wayang sebagai mainan anak-anak pernah pula dijumpai di Yogyakarta tempo dulu, bahkan sampai ke kota Batavia atau Betawi (Betawi = Jakarta) yang terbuat dari singkong, wayang tersebut dinamakan wayang Telo (singkong) di Yogyakarta, wayang Opak (Jakarta) yang terbuat dari parutan telo (ampas singkong) dan di-bentuk seperti boneka wayang dan diberi gapit (tangkai wayang) dari bambu. 2.3.2.19 Wayang Batu atau Wayang Candi (856) Dari uraian di atas, maka terdapatlah suatu dasar dalam pemberian nama jenis wayang yang antara lain karena ceritanya, se-hingga wayang tersebut dinamakan wayang Purwa, wayang Menak, ataupun wayang Madya. Bila dilihat dari segi pertunjukannya atau pementasannya dengan membeberkan wayang-wayang tersebut maka wayang itu dapat dinamakan wayang Beber. Sedangkan kalau dilihat dari segi bonekanya, maka wayang itu dapat dibagi menjadi wayang Golek, wayang Kulit, wayang Wong (orang) dan sebagainya. Dengan adanya cerita-cerita wayang yang tergambar seca-ra permanen pada dinding candi sebagai hiasan, maka dikenal orang sebagai wayang Batu atau wayang Candi, yang antara lain terdapat pada candi atau tempat-tempat pemujaan sebagai berikut Candi Prambanan ( + tahun 856), 17 km dari Yogyakarta di tepi jalan raya Yogyakarta – Surakarta, memuat cerita tentang Kresna, Candi Lara Jonggrang ( + tahun 856) dalam kompleks Candi Prambanan, me-muat cerita Ramayana, Pemandian Jalatunda, Malang, Jawa Timur ( + 977), memuat cerita Sayembara Drupadi, Gua Selamangkleng di Kediri, Jawa Timur abad ke-X memuat cerita Arjuna Wiwaha, Candi Jago di Tumpang, Malang, Jawa Timur ( + tahun 1343), memuat ce-rita Tantri, Kunjarakarna, Partayadna, Arjuna Wiwaha dan Kresnaya-na, Gua Pasir di Tulungagung, Jawa Timur, ( + 1350), memuat cerita Arjuna Wiwaha, Candi Penataran di Blitar ( + 1197 – 1454), memuat cerita Sawitri dengan Setiawan yang disertai panakawan gendut, dan cerita Ramayana, Candi Tegawang di Kediri ( + 1370), memuat ceri-ta Sudamala, dengan Sadewa yang diiringi panakawan bertubuh gendut dan Durga diikuti oleh dua orang raseksi, Kedaton Gunung 37Hyang ( + 1370), memuat cerita abad ke-XV, yakni cerita tentang Rama, Bimasuci, Mintaraga, dan cerita Panji, Candi Sukuh dekat Ta-wangmangu ( + tahun 1440) 36 km dari Surakarta ke arah timur, me-muat cerita Sudamala, Gameda, dan Bimasuci. Gambar 1.13 Wayang Candi 2.3.2.20 Wayang Sandosa Sejak tahun 1984 Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang berkedudukan di Sala-Surakarta telah melakukan eksperimen baru dengan pergelaran wayang berbahasa Indonesia. Pentas wa-yang kulit tersebut dengan sistem pementasan yang menggunakan dua orang dalang atau lebih. Diilhami oleh pementasan wayang kulit Len Nang dari Kam-boja, wayang eksperimen PKJT yang disebut wayang Sandosa ter-sebut, merupakan pergelaran yang tidak jauh berbeda dengan per-gelaran wayang kulit biasa. Perbedaannya ialah, bahwa wayang Sandosa menggunakan beberapa orang dalang dan teknik menda-langnya dilakukan dengan cara berdiri, juga latar pakeliran wayang Sandosa dibuat lebih besar dan lebih tinggi dari pada pakeliran wa-yang kulit biasa. Dalam pementasan wayang Sandosa yang diselenggara-kan selama satu atau dua jam itu, tidak selalu dimulai dengan suluk ki dalang. Bunyi gamelan tidak lagi selaras pada pagelaran wayang kulit umumnya, tapi telah merupakan nada dan irama yang beraneka ragam. Hal tersebut karena cerita yang dipergelarkan dapat dimulai dari suasana perang dan diiringi gending yang berirama gobyog tem-porer. Walaupun dari segi iringan telah keluar dari aturan-aturam gending tradisional dan atau wayang pada umumnya, justru mem-punyai daya komunikasi yang lebih kuat pada kalangan muda. 38 Peragaan wayang dilakukan sambil berdiri di balik layar yang luas dengan sorot cahaya lampu yang berubah-ubah serta ber-warna-warni. Untuk memperoleh bayangan yang besar maka ki da-lang menggerakkan wayang dengan mendekat ke lampu. Bagaimanapun juga, ternyata wayang Sandosa yang bersi-fat kolektivitas dengan bentuk mirip teater di balik layar itu, telah me-nambah khasanah budaya bangsa kita. 2.3.2.22 Wayang Wong (Wayang Orang) (1757 – 1760) Salah satu pengisian Kebudayaan Nasional pada pergela-ran wayang serta untuk meresapi seni dialog wayang (antawacana) dan menikmati seni tembang, K.B.A.A. Mangkunegoro I (1757 – 1795) telah menciptakan suatu seni drama Wayang Wong yang pe-laku-pelakunya terdiri dari para pegawai kraton (Abdi Dalem). Menu-rut K.P.A. Kusumodilogo dalam bukunya yang berjudul Sastramiruda tahun 1930 menyatakan, wayang wong tersebut dipertunjukan untuk pertama kalinya pada pertengahan abad ke-XVIII ( + 1760). Konon wayang ini mendapat tantangan yang hebat, bahkan dengan adanya perubahan bentuk tersebut diramalkan orang kelak akan timbul ke-sulitan atau celaka dan penyakit, demikian menurut disertasi Dr. G-.A.J. Hazeu di Leiden pada tahun 1897 dengan judulnya Bijdrage tot het Kennis van het Javaansche Tooneel. Ternyata pendapat tersebut adalah tidak benar, karena setelah pergelaran wayang wong ini di tangani sendiri oleh Mangkunegoro V pada tahun 1881, wayang ter-sebut menjadi hidup kembali. Sesuai dengan nama atau sebutannya, wayang tersebut ti-dak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang, melainkan menampilkan menusia-manusia sebagai pengganti bone-ka wayang. Kini nampak jelas, bahwa jenis-jenis wayang seperti wa-yang Purwa, wayang Gedog, mendapatkan namanya dari sifat cerita yang ditampilkan, sedangkan wayang Golek, wayang Wong berda-sarkan ciri-ciri teknis ataupun bentuk pada boneka-bonekanya. Sebagai seni hiburan, wayang Wong telah tersebar luas dan dibeberapa kota besar telah berdiri perkumpulan-perkumpulan wayang orang dengan berbagai macam nama serta mutunya. Na-mun umumnya perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisa-si wayang tersebut merupakan wayang orang Purwa, karena pemen-tasannya menggunakan cerita epos Ramayana dan Mahabharata serta dengan iringan gamelan Jawa laras Slendro dan Pelog. 2.3.3 Wayang Madya Wayang ini dicipta pada waktu Pangeran Mangkunegoro IV (1853 – 1881) berusaha menggabungkan semua jenis wayang yang ada menjadi satu kesatuan serta disesuaikan dengan sejarah Jawa sejak beberapa abad yang lalu sampai masuknya agama Islam di Jawa dan diolah secara urut. Semula Sri Mangkunegoro IV meneri- 39ma buku Serat Pustaka Raja Madya dan Serat Witaradya dari Raden Ngabehi Ronggo Warsito (1802 – 24 Desember 1873) pada tahun 1870 (1792 Caka). Buku tersebut berisikan cerita riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra dari negeri Mamenang di Kediri, yang ke-mudian kerajaan tersebut pindah ke Pengging atau disebut Pengging Witaradya. Kesimpulan dari isi buku tersebut berkaitan dengan buku Serat Pustaka Raja Purwa, yang menceritakan riwayat dewa-dewa, riwayat para Pandawa sampai akhir perang Bharatayuda. Lalu tim-bullah gagasan Sri Mangkunegoro IV untuk membuat jenis wayang baru, yang dapat menyambung zaman Purwa dengan zaman Jeng-gala dengan cerita-cerita Panji. Dari gagasan tersebut maka terciptalah jenis wayang baru yang disebut wayang Madya. Wayang Madya adalah satu jenis wa-yang yang menggambarkan dari badan-tengah ke atas berwujud wa-yang Purwa, sedang dari badan-tengah ke bawah berwujud wayang Gedog. Wayang Madya tersebut memakai keris dan dibuat dari kulit, ditatah dan disungging. Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegoro IV membagi sejarah wayang dalam tiga masa yang disesuaikan dengan jenis-je-nis wayang untuk ketiga masa tersebut, yaitu masa pertama dari ta-hun 1 – 785 Caka (tahun 78 – 863 Masehi), dari kedatangan Prabu Isaka (Ajisaka) sampai wafatnya Maharaja Yudayana di kerajaan As-tina, yang disebut wayang Purwa, masa kedua dari tahun 785 – 1052 Caka (tahun 863 – 1130 Masehi), sampai Prabu Jayalengkara naik tahta, yang disebut wayang Madya (bahasa Sanskerta: madya = tengah), masa ketiga dari tahun 1052 – 1552 Caka (tahun 1130 – 1431 Masehi), sampai masuknya agama Islam, yang disebut wayang Wasana (bahasa Sanskerta: wasana = akhir) 40 Gambar 1. 14 Yudayaka (Wayang Madya) Tokoh-tokoh wayang yang mendominasi akhir wayang pur-wa adalah putra-putra keturunan Pandawa antara lain Sasikirana anak Gathotkaca, Sangasanga anak Satyaki, Dwara anak Samba, serta anak-anak keturunan Parikesit, yaitu Yuda-yaka, Yudayana, dan Gendrayana. Gendrayana adalah cucu Perikesit yang merupa-kan tokoh terakhir dari wayang Purwa dan kemudian dilanjutkan oleh Prabu Jayabaya putra Gendrayana, sebagai tokoh Pemula dari wa-yang Madya. Salah satu cerita wayang Madya bersumber pada Serat Anglingdarma yang aslinya terdapat di Sasana Pustaka Kraton Sura-karta dengan tokoh-tokoh wayang seperti Angklingdarma dari keraja-an Malwapati serta Batik Madrim sabagai patihnya. Ciri khas wayang Madya adalah suatu kombinasi perwujudan wayang Purwa dengan wayang Gedog yang tidak satupun tokoh wayangnya menggunakan busana gelung cupit urang, sedang semua wayang Madya menggu-nakan rambut yang terurai ke bawah seperti pada tokoh wayang 41Purwa Lesmana Mandrakumara yaitu putra Prabu Duryudana dari negara Astina kelurga Kurawa. 2.3.4 Wayang Gedog Arti istilah Gedog adalah, bahwa gedog tersebut berasal dari suara dog, dog yang ditimbulkan dari ketukan sang dalang pada kotak wayang yang terletak di samping dalang. Akan tetapi oleh sar-jana-sarjana barat kata gedog ditafsirkan sebagai kandang kuda (ba-hasa Jawa: gedogan = kandang kuda). Dalam bahasa kawi gedog berarti kuda. Penafsiran lain kata gedog tersebut adalah batas an-tara siklus wayang Purwa yang mengambil cerita serial Ramayana dan Mahabharata dengan siklus Panji. Namun demikian sampai se-karang belum juga dapat ditafsirkan, mengapa kata gedog tersebut dipakai untuk suatu jenis wayang. Bentuk seni rupa wayang Gedog yang terbuat dari kulit yang ditatah dengan sunggingan yang serasi mengambil pola dasar wayang kulit Purwa jenis satriya sabrangan. Hanya empat jenis mu-ka yang terdapat pada wayang Gedog ini antara lain muka dengan mulut meringis bertaring (gusen), muka dengan mata kedondong muka dengan mata jahitan, dan muka dengan hidung besar di bagi-an depan (dempok). Dalam pementasan wayang Gedog ini tidak me-nggunakan cerita Ramayana dan Mahabharata, tetapi menggunakan cerita-cerita Panji. Wayang Gedog tersebut terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging, terdapat pula yang terbuat dari papan yang diukir dan di-sungging, tetapi tangan-tangannya masih terbuat dari kulit. Untuk pe-mentasan wayang ini diambil cerita Darmarwulan – Minakjingga, dan wayang tersebut kemudian dinamakan wayang Klithik. Gambar 1. 15 Wayang Gedog (Prabu Bromosekti, Raden Gunungsari, Ronggolawe, Prabu Klono Madukusumo) Next >