< Previous 42 2.3.4.1 Wayang Klithik Wayang Klithik mempunyai bentuk dan bahan khusus. Ben-tuknya menyerupai wayang kulit, yakni terdiri dari dua dimensi, de-ngan bahan yang terbuat dari kayu meskipun tidak sama dengan wa-yang Golek yang bentuknya tiga dimensi. Wayang Klithik tidak me-makai gapit seperti wayang kulit sebab gapit-nya sekaligus meru-pakan lanjutan dari badan wayang yang terbuat dari kayu itu, dan berbentuk kayu pipih. Menurut sejarahnya wayang Klithik terbuat seluruhnya dari kayu, namun karena berat selalu mendapat kesukaran untuk dimain-kan, akhirnya wayang tersebut mengalami sedikit perubahan, yakni dengan dibuatnya tangan wayang dari kulit. Seperti halnya dengan pembuatan pada wayang Golek, wayang Klithik tersebut juga diukir dan disungging. Pergelaran wayang Klithik tidak menggunakan layar atau kelir, sehingga penonton dapat langsung melihat wajah sang dalang, tetapi pernah pula menggunakan kelir yang dibagian tengah terpak-sa dilubangi selebar arena pergelaran. Sebagai tempat menancap-kan wayang-wayang tersebut, maka dalam pergelaran wayang Kli-thik dipakainya kayu atau bambu tempat untuk menancapkan wa-yang (slanggan), yang diberi lubang sebesar tangkai wayang terse-but. Gamelan yang perlu disediakan untuk pergelaran wayang Klithik lebih sederhana, yaitu saron, kendang, kethuk-kenong, dan kempul barang tanpa menggunakan gong, karena kempul berfungsi sebagai gong. Untuk lampu penerang digunakannya blencong dengan mi-nyak kelapa sebagai bahan bakarnya, namun dewasa ini sudah se-ring digunakan lampu petromak atau lampu listrik. Wayang Klithik menggunakan Babad Pajajaran dari kisah Ciungwanara sampai Majapahit. Keseluruhannya ada dua belas la-kon dan lakon yang paling populer adalah lakon Damarwulan Nge-nger sampai gugurnya Minakjingga. Motif dan bentuk wayang Klithik serupa dengan bentuk wayang kulit Gedog, sedangkan yang ber-motif wayang kulit purwa lazim disebut wayang Krucil, yang dalam pergelarannya mengambil cerita Ramayana dan Mahabharata. 43 Gambar 1.16 Wayang Klitik (Adegan Raden Damarwulan beserta abdi panakawan Sabdapalon dan Nayagenggong) 2.3.4.2 Langendriyan Pada akhir abad ke-XIX pada saat pergelaran wayang Kli-thik atau Krucil mendekati kepunahannya, maka muncullah kesenian Langendriyan. Pementasan Langendriyan bermula pada pengadaan acara mocopatan, yaitu membaca buku babad yang berbentuk tem-bang. Pembacaan tembang tersebut dilakukan seorang demi seo-rang secara bergilir yang ketika itu kisah Damarwulan merupakan ki-sah yang sangat digemari. Langendriyan melibatkan unsur tata pentas, tata gerak (tari-an), dan tata busana, seni suara (nyanyian). Bentuk kesenian ter-sebut semula bernama Mundringan, setelah disempurnakan oleh K.G.P.A. Mangkubumi pada tahun 1876 disebut Langendriyan. Menurut Ensiklopedi Indonesia, Langendriyan adalah suatu bentuk drama tari Jawa yang menitik beratkan pada unsur tari dan seni suara. Dialog dalam drama tari tersebut dilakukan dengan tem-bang, sehingga pentas tersebut boleh dikatakan semacam opera berbahasa Jawa, dengan cerita yang khusus mengenai Panji (Da-marwulan-Minakjingga) dari zaman Majapahit. Hingga dewasa ini, orang tidak dapat menyatakan dari ma-na Langendriyan itu berasal. Ada yang berpendapat bahwa kesenian tersebut semula berasal dari Mangkunegaran-Surakarta, yang di-ciptakan oleh K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV (1853 – 1881). Ada pula yang menyatakan bahwa Langendriyan tersebut berasal dari Maku-bumen-Yogyakarta, yang diciptakan oleh K.G.P.A. Mangkubumi, adik Sultan Hamengku Bhuwono VII (1877 – 1921). Berkat usaha K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII, maka naskah-naskah Langendriyan 44 Mangkubumen berhasil diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1953. 2.3.5 Wayang Menak Kyai Trunodipo dari kampung Baturetno-Surakarta mencip-ta wayang Menak, setelah ia menjual wayang Madya hasil karyanya kepada Mangkunegoro VII. Wayang Menak ini terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging seperti halnya dengan wayang kulit Purwa, sedang wayang Menak yang terbuat dari kayu dan merupakan waya-ng Golek disebut wayang Thengul. Maksud Kyai Trunodipo membuat wayang Menak adalah untuk mementaskan cerita-cerita yang bersumber pada serat Menak dengan tokoh-tokoh Menak seperti Wong Agung Jayengrana atau Amir Hambiyah, Umar Maya dan lain-lainnya. Wayang-wayang ini kemudian dibeli oleh R.M. Ng. Dutoprojo. Dalam pementasan wayang Menak kita jumpai dua macam bentuk wayangnya antara lain yang berupa wayang golek dan wa-yang kulit. Pementasan wayang Menak di Jawa Tengah pada umum-nya menggunakan wayang golek Menak yang disebut wayang Thengul. Pementasan wayang kulit Menak ini menggunakan kelir dan blencong. Sedangkan pakelirannya mengambil cerita berdasar-kan serat Menak. Bentuk keseluruhan wayang kulit Menak dapat di-katakan serupa dengan wayang kulit Purwa, hanya raut muka wa-yang-wayangnya hampir menyerupai muka manusia. Tokoh-tokoh wayang dalam cerita tersebut mengenakan sepatu dan menyandang salah satu jenis senjata berbentuk pedang (klewang), sedangkan to-koh-tokoh raja mengenakan baju dan memakai senjata keris. Cerita Menak semula bersumber dari kitab Qissai Emr Hamza, sebuah hasil kesusasteraan Persia pada zaman pemerintah-an Sultan Harun Al Rasyid (766 – 809). Di daerah Melayu kitab ter-sebut lebih dikenal dengan nama Hikayat Amir Hamzah. Berda-sarkan hikayat itulah yang dipadu dengan cerita Panji, akhirnya lahir cerita Menak. Dalam cerita ini nama-nama tokohnya disesuaikan de-ngan nama Jawa, antara lain Omar Bin Omayya menjadi Umar Ma-ya, Qobat Shehriar menjadi Kobat Sarehas, Badi’ul Zaman menjadi Iman Suwongso, Mihrnigar menjadi Dewi Retno Muninggar, Qoraishi menjadi Dewi Kuraisin, Unekir menjadi Dewi Adininggar, dan lain-la-innya. Cerita Menak pada garis besarnya, mengisahkan permusuhan Emr Hamza (Wong Agung Jayengrana) dari Mekah dengan raja Nu-shirwan (Nusirwan), mertuanya dari Medain (Medayin) yang masih kafir. Kadis Makdum purwaking ginupit, ring sang duta kataman duhkita,.........demikian sebagain pembuka pada serat Menak, terbi-tan Balai Pustaka. Menurut sumber cerita dari Persia yang mengi-sahkan Wong Agung tidak hanya kembali ke Mekah, namun telah 45bertemu dengan Nabi serta terjadinya pertempuran hingga me-ninggalnya Wong Agung tersebut. Memang banyak perbedaan-perbedaan yang terdapat pada serat Menak antara pengarang yang satu dengan yang lainnya, anta-ra serat Menak karya tulis R.Ng. Yosodipuro dengan berpuluh-puluh naskah yang tersimpan dalam perpustakaan Bataviaasche Genoo-tschap di Jakarta dulu, bila dibandingkan dengan naskah yang di-datangkan dari Leiden-Belanda, yang berasal dari kraton Surakarta. Cerita-cerita Menak banyak dipergelarkan dalam bentuk pentas wa-yang Golek yaitu wayang golek Menak Jawa atau wayang golek Sunda, yang masing-masing berbeda bentuk ukirannya atau-pun wa-yang kulit Menak dengan boneka-boneka wayang yang khusus untuk pentas tersebut dan jarang sekali dalam bentuk pentas wayang orang. Salah satu di antara pentas untuk Menak tersebut, ialah wa-yang kulit dari daerah Lombok yang lazim disebut wayang Sasak. Gambar 1.17 Wayang Kulit Menak (Prabu Lamdahur, Prabu Nusirwan, Dewi Muninggar, Wong Agung Jayengrono dan Umar Moyo) 46 Gambar 1.18 Umarmoyo (Wayang Golek Menak dari Kebumen) Gambar 1.19 Wayang Sasak 47 Gambar 1.19 Arjuna (Wayang Bali) Gambar 1.20 Sugriwa (Wayang Bali) 48 2.3.6 Wayang Babad Salain wayang Purwa, Madya, dan Gedog, para seniman Indonesia umumnya dan seniman Jawa khususnya telah mencip-takan berbagai wayang baru yang pementasannya bersumber pada cerita-cerita sejarah (babad) setelah masuknya agama Islam di Indo-nesia antara lain kisah-kisah kepahlawanan dalam masa kerajaan Demak dan Pajang. Wayang-wayang tersebut disebut wayang Ba-bad atau wayang Sejarah. Jenis wayang tersebut antara lain: 2.3.6.1 Wayang Kuluk (1830) Sultan Hamengku Bhuwono V (1822 – 1855) dari Yogya-karta, ( + tahun 1830) menciptakan wayang yang dalam pergelaran-nya khusus mengambil cerita-cerita sejarah kraton Yogyakarta (Ma-taram). Wayang-wayang ini kemudian disebut wayang Kuluk. 2.3.6.2 Wayang Dupara Wayang ini dicipta oleh R.M. Danuatmojo, seorang pendu-duk kota Sala dan tidak diketahui dengan pasti kapan wayang terse-but dibuat. Disebut wayang Dupara, karena asal dari kata Andupara yang artinya aneh dan dipergunakan untuk cerita-cerita babad De-mak, Pajang, Mataram hingga Kartasura. Wayang Dupara tersebut dibuat dari kulit yang ditatah dan disungging, seperti halnya wayang kulit Purwa. Induk wayang Dupara ini adalah campuran, diubah pa-kaiannya dengan ditambah atau dikurangi, disesuaikan dengan sele-ra pendapat penciptanya. Wayang-wayang tersebut kini disimpan di Musium Radya Pustaka di Surakarta. Gambar 1.21 Harya Panangsang (Wayang Dupara) 492.3.6.3 Wayang Jawa (1940) Pencipta wayang tersebut adalah R.M. Ng. Dutodipuro, Ab-di Dalem Mantri Panewu Gandek di kraton Surakarta, yang juga se-orang guru dalang di Pasinaon Dalang Surakarta (Padasuka) berada di Musium Radya Pustaka-Surakarta. Wayang-wayang tersebut di-buat pada tahun 1940 dan keseluruhannya memakai baju lurik. Semua wayang raja-raja (katongan) berbaju kuning lorek hi-jau dan merah. Wayang satria (putran) berbaju hijau muda lorek hi-jau tua dan satria sedang mengembara (lelana) berbaju lengan pen-dek warna biru muda berlorek biru tua diselingi warna merah. Pementasan wayang Jawa tersebut bermaksud mengisah-kan babad Tanah Jawa, ialah sejarah Demak, Pajang, Mataram sampai Kartasura. Wayang Jawa tersebut tidak ada wayang berna-ma khusus dan pakaian wayang tergantung selera sang dalang. Wa-yang-wayang tersebut dibuat dari kulit yang ditatah serta disungging dan pementasanya dapat memakai atau tanpa kelir. Sebagai game-lan pengiring wayang ini dipakai gamelan Pelog dan gending-gen-ding (lagu-lagu) diciptakan khusus yang pada umumnya merupakan gending ciptaan baru, tahun 1973. Gambar 1.22 Wayang Jawa (Jaka Tingkir) 50 2.3.7 Wayang Moderen Kebutuhan masyarakat akan sarana komunikasi sosial da-lam media pewayangan kian meningkat. Wayang-wayang purwa, Madya, dan wayang Gedog hasil karya pujangga-pujangga kuna su-dah tak sesuai lagi untuk keperluan yang khusus. Kemudian dicipta-kan wayang baru yang bisa memadai faktor-faktor komunikasi yang akan diperagakan seperti wayang Kancil untuk media pendidikan anak-anak, wayang Suluh untuk media penerangan, wayang Wahyu untuk media dakwah kerohanian dan wayang-wayang lainnya. 2.3.7.1 Wayang Wahana (1920) R.M. Sutarto Harjowahono asal Surakarta pada tahun 1920 membuat wayang untuk cerita-cerita biasa yang bersifat wajar (real-istis). Bentuk wayang seperti manusia yang digambar miring dan di-beri pegangngan seperti wayang kulit. Karena pementasannya ber-dasarkan cerita-cerita zaman sekarang, maka wayang tersebut da-pat dikatakan semacam wayang sandiwara. Kemudian wayang san-diwara tersebut menjadi wayang perjuangan dan ketika Kementerian Penerangan RI memanfaatkan sebagai sarana penerangan, wayang tersebut menjadi wayang Suluh (1946 / 1947). Dewasa ini wayang Suluh sudah sangat jarang atau tidak pernah berpentas lagi dan tokoh-tokoh wayang tersebut terdiri antara lain Bung Karno Presiden RI pertama (Ir. Sukarno), Dr. Schermer-horn yaitu wakil kerajaan Belanda dalam zaman revolusi kemerdeka-an RI, serta tokoh-tokoh TNI lainnya yang sudah lama meninggal. Gambar 1.23 Wayang Suluh (Bung Karno, Bung Hatta, Schermerhorn serta orang belanda lainya) 512.3.7.2 Wayang Kancil (1925) Pencipta wayang Kancil ini adalah orang Cina yang berna-ma Bo Liem dan pembuatnya adalah Lie Too Hien pada tahun 1925. Pementasan wayang Kancil tersebut menggunakan kelir, yang pada sebelah kiri dan kanannya bergambar hutan. Wayang-wayangnya berbentuk binatang-binatang buruan, seperti macan, gajah, kerbau, sapi, binatang merangkak seperti buaya, kadal, binatang melata se-perti ular, dan binatang unggas seperti semua jenis burung, serta bi-natang-binatang lainnya yang berhubungan dengan dongeng Kancil. Gambar berupa orang untuk wayang tersebut hanya sedikit dan jumlah wayangnya-pun sekitar 100 buah. Wayang-wayangnya terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging serta digambar secara realistis, fantastis yang disesuaikan dengan pergelaran wayangnya. Adapun cerita cerita untuk pergelaran wayang Kancil terse-but diambil dari kitab Serat Kancil Kridomartono karangan Raden Panji Notoroto atau dari karangan Raden Sosrowijoyo dari Distrik Ngijon di Yogyakarta. 2.3.7.3 Wayang Wahyu (1960) Sejumlah 225 tokoh pria dan wanita dalam perjanjian lama dan perjanjian baru yang telah diwayang kulitkan, dipasang berjajar didepan layar. Jajaran sebelah kanan diawali tokoh Samson sebagai tokoh golongan putih, dan sebelah kiri diawali tokoh Goliot sebagai tokoh golongan hitam. Gunungan atau kayon mengandung makna diambil dari wahyu 22 (Yerosalim baru), perjanjian lama Sepuluh fir-man dan Yohanes 14:6 Akulah jalan kebenaran dan hidup. Wayang Wahyu tersebut diciptakan khusus untuk cerita-ce-rita zaman para Nabi yang berkaitan dengan cerita-cerita dari kitab Injil oleh Broeder Temotheus Marji Subroto pada bulan Desember 1960. Cerita-ceritanya diambil dari Al Kitab perjanjian Lama dilanjut-kan ke Kitab Perjanjian Baru untuk pendidikan umat Katolik. Pertunjukan wayang Wahyu diiringi gamelan dari karawitan Lembaga Pelayanan Kristen Indonesia (LEPKI). Grup ini mencoba mengaransir nada diatonik (musik) nyanyian gerejawi ke dalam nada pentatonik (gamelan). Suluk dan lainnya seperti pada wayang kulit umumnya. Next >