< Previous 52 Gambar 1.24 Wayang Wahyu 2.3.7.4 Wayang Dobel Pencipta wayang ini adalah Kyai Amad Kasman dari desa Slametan daerah Yogyakarta. Pementasan wayang Dobel ini berda-sarkan cerita-cerita Islam yang diambil dari Serat Ambyah. Disebut wayang Dobel karena isi cerita dari negeri Arab, sedangkan bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa. Sebagai pengiring adalah game-lan, dan juga memainkan terompet dan rebana seperti orang selawa-tan. Pertunjukannya menggunakan kelir berwarna merah dengan ga-ris tepi warna putih. Wayang yang dijajarkan sebelah kanan disimping adalah terdiri atas wayang-wayang Malaikat Jibril dan Malaikat Isra’il, se-dangkan yang disamping sebelah kiri terdiri atas wayang-wayang Malaikat Ijra’il. Bentuk wayang Ijrail adalah berbadan tiga yang me-lekat menjadi satu, mempunyai tiga kepala, dan dua kaki bersila. Ke-tiga badan tersebut merupakan lambang Amarah, Mut Mainah, dan Supiah. Jadi wayang Dobel tersebut tidak jauh berbeda dengan wa-yang Wahyu, yang ceritanya berisikan tentang kisah para Nabi. Wa-yang Dobel menceritakan kisah-kisah dari Kitab Al Qur’an. 2.3.7.5 Wayang Pancasila (1948) Suharsono Hadisuseno adalah seorang pegawai Kemen-terian Penerangan RI dari Yogyakarta telah membuat wayang yang disebut wayang Pancasila, yang dibuat dari kulit ditatah dan disung-ging berdasarkan wayang kulit Purwa. Wayang tersebut dipergelar- 53kan untuk menyajikan ceirta-cerita yang berhubungan dengan perju-angan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda serta peristiwa-peristiwa Kemerdekaan RI dengan tujuan memberi penerangan me-ngenai falsafah Pancasila, UUD serta GBHN. Wayang tersebut diberi baju, celana panjang, dan mengenakan peci tentara, bahkan me-nyandang pistol pula. Nama-nama wayang berupa sindiran, seperti tokoh Jendral Spoor dari tentara kerajaan Belanda, diberi nama senopati Rata Da-hana (spoor = kereta api). Pementasan wayang Pancasila dilaksana-kan dengan menggunakan kelir serta blencong untuk menimbulkan bayangan. Gambar 1.25 Wayang Pancasila (Bima) 54 2.3.7.6 Wayang Sejati (1972) Drs. Wisnu Wardhana telah mengadakan pergelaran wa-yang kulit dengan bahasa Indonesia. Disamping itu telah dipergelar-kan pula secara terbuka pada tanggal 22 Maret 1973 di Yogyakarta untuk pertama kalinya, jenis wayang baru hasil ciptaannya ini yang kemudian disebut wayang Sejati. Daris segi konsepsi, wayang Sejati ini mencerminkan kon-sepsi moderen yang berazaskan semangat kebangsaan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya ser-ta cerita yang menghidupkan episode-episode sejarah tanah air. 2.3.7.7 Wayang Budha Wayang Budha dengan seperangkat gamelan sebagai mu-sik pengiringnya, dipergelarkan untuk pertama kalinya dalam Pekan Wayang Indonesia ke III. Pertunjukan tersebut diawali dengan nya-nyian vokal tanpa iringan musik (bowo) sebagai pembuka lagu. Pementasan wayang Budha dimainkan tiga orang dalang. Disamping sebagai dalang juga merangkap sebagai penari. Pertun-jukan wayang Budha menggunakan kelir selebar + 8 meter serta be-berapa wayang orang sekaligus sebagai dalang dan menarikan wa-yang-wayang kulit dalam bentuk besar-besar yang diterangi oleh be-berapa penerangan dari api (obor). 2.3.7.8 Wayang Jemblung Suatu jenis kesenian wayang yang dalam pergelarannya tanpa alat peraga wayang dan tanpa perlengkapan lainnya, maka wayang tersebut adalah wayang Jemblung, seperti juga salah satu kesenian tradisional daerah Banyumas (Jawa Tengah) yang disebut Dalang Jemblung. Wayang Jemblung menggunakan bahasa Jawa biasa untuk hal yang sama, selain itu pergelaran wayang Jemblung tersasa lebih sakral dan unik dengan sifatnya yaitu Jemblungan. Ki Tumin Sumosuwito mengisahkan, wayang Jemblung ter-sebut timbul untuk pertama kalinya di kelurahan Semanu, Karang-mojo, Gunung Kidul, Yogyakarta. Kata Jemblung tersebut berasal dari julukan gemblung yang artinya edan atau gila. Cerita yang disaji-kan diambil dari cerita wayang Purwa, Panji, atau Menak bahkan ce-rita Ketoprak seperti babad tanah Jawa. Disamping melakukan di-alog, dalang juga menyuarakan suara gamelan sebagai iringannya. 2.3.7.9 Wayang Sadat (1985) Suryadi Warnosuharjo, 48 tahun (1986) Klaten, Jawa Te-ngah, selaku pencipta dan sekaligus dalang wayang Sadat, menya-takan “kalau umat Nasrani memiliki wayang Wahyu, maka umat Islam mempunyai wayang Sadat ”. Wujud wayang kulit Sadat, jelas bukan berbentuk wayang Purwa ataupun wayang Gedog, juga bukan berbentuk wayang Menak atau wayang Beber. Bentuk wayang Sadat 55ber-wanda mendekati realistis dan hampir serupa dengan wayang Suluh atau wayang Wahyu. Bahkan sebuah gending utama sengaja diciptakan untuk pergelaran tersebut bernama gending Istigfar. Suryadi menciptakan wayang Sadat tersebut pada perte-ngahan tahun 1985 sebagai imbangan bagi umat Islam di Jawa yang berkaitan dengan pengembangan sejarah agama Islam dalam pe-nyebarannya oleh para Wali, di samping itu untuk melanjutkan roh Islam yang pernah terdapat dalam sejumlah gubahan pakeliran wa-yang purwa di masa zaman Demak antara lain cerita Jimat Kalimu-sadha. Kata Sadat berasal dari kata Syahadattain atau sebagai akronim dari kata dakwah dan Tabligh. Misi pergelarannya bernafas-kan dakwah agama Islam serta melanjutkan tradisi para Wali yang pernah berdakwah pada perayaan Sekatenan di zaman kerajaan De-mak. Sebagaimana diketahui, Sekatenan merupakan pembacaan Syahadat secara massal. Gambar 1.26 Wayang Sadat (Sunan Ampel dan Raden Patah) 56 Gambar 1.27 Wayang Diponegaran 2.3.8 Wayang Topeng Pada zaman kerajaan Demak, Sunan Kalijaga salah seo-rang dari Wali Sanga menciptakan topeng yang mirip dengan wa-yang Purwa pada tahun 1586 (1508 Caka, dengan sengkalan: ha-ngesti sirna yakseng bawana). Topeng ciptaan Sunan Kalijaga terse-but luas dan hingga dewasa ini masih hidup dan berkembang seba-gai seni budaya tradisional dengan corak tersendiri di tempat topeng tersebut berkembang. Penampilan topeng tersebut dilakukan bersama dengan pentas wayang, baik wayang Purwa maupun wayang Gedog sehing-ga pertunjukan itu dikenal sebagai wayang Topeng atau dengan se-butan suatu nama daerah dimana wayang Topeng tersebut berkem-bang, misalnya wayang Topeng Malang, wayang Topeng Madura, wayang Topeng Cirebon, dan lain-lainnya. Kemudian sebutan to-peng menjadi nama suatu pertunjukan seperti halnya dengan sebut-an wayang. 2.3.8.1 Topeng Malang Topeng Malang merupakan suatu pertunjukan wayang Ge-dog, yang pementasannya mengenakan topeng. Pertunjukan terse-but berkembang di desa Kedungmonggo dan desa Polowijen, Blim-bing, Malang-Jawa Timur, yang kemudian disebut dengan nama To-peng Jabung, yang akhirnya terkenal disebut Topeng Malang. Pementasan wayang Topeng Malang inipun menggunakan sebuah tirai (langse) yang terbelah di tengah untuk pintu keluar dan masuknya penari-penari topeng. Cerita-cerita Panji, seperti Sayem-bara Sada Lanang atau Walang Sumirang sering kali dipakai seba-gai cerita pementasan dengan pemakaian topeng tokoh-tokoh Panji, seperti Panji Inu Kertapati, Klana Sewandana, Dewi Ragil Kuning, 57Raden Gunungsari dan lain-lain. Hingga dewasa ini sebagai iringan pergelaran menggunakan gamelan dengan laras Pelog. 2.3.8.2 Topeng Dalang Madura Topeng dalang Madura merupakan salah satu kesenian rakyat yang paling populer dan klasik di Madura. Kesenian tersebut merupakan pengganti pergelaran wayang kulit yang telah lama le-nyap sebelum Jepang menduduki Indonesia dan tidak aneh bila ben-tuk atau figur topeng yang dipakai sebagai modelnya diambil dari fi-gur wayang kulit. Begitu pula cerita yang ditampilkan pada umumnya adalah Ramayana dan Mahabharata. Diperkirakan kesenian rakyat Madura tersebut telah ber-kembang sejak abad ke XV, pada saat Prabu Menaksunoyo, cucu Prabu Brawijaya dari kerajaan Majapahit yang memerintah Paropo, Pamekasan, ingin menghidupkan pewayangan dan seni pedalangan di Madura. Topeng Dalang yang di Madura lebih dikenal segabagai topeng saja, merupakan perpaduan antara wayang kulit dan wayang orang. Seluruh dialog dari pergelaran topeng tersebut, diucapkan oleh sang dalang, sedang para pemain wayangnya hanya menggu-nakan bahasa isyarat mengikuti dialog ki dalang belaka, seolah-olah pemain wayangnya yang berbicara. Gerakan setiap pelaku pentas pada dasarnya berupa gerakan panto-mimik dan sendra tari yang di-sesuaikan dengan isyarat dalang. Seperangkat gamelan yang terdiri dari kendang, gambang, saron, gong, kenong, gender, ponggang, bonang dan peking serta ada kalanya ditambah dengan terompet khas Madura (Sronen). Sronen juga berarti satu perangkat gamelan untuk kerapan sapi. Sejak zaman dulu setiap pementasan Topeng Madura selalu diawali dengan penampilan tari Gambu. Menurut ceri-ta yang terdapat dalam babad Sumenep, tari Gambu tersebut sudah sering dipentaskan sejak zaman pemerintahan Arya Wiraraja (Adipa-ti Sumenep) yang diangkat oleh Kartanegara (1268 – 1292), raja Si-ngasari pada tahun 1269. Perjalanan Topeng Dalang tersebut berawal sebagai kese-nian kraton dan dalam buku babad Madura dinyatakan bahwa teater topeng berkembang pada abad ke-XV di Jamburingin, Pamekasan-Madura, atas prakarsa Prabu Menaksunoyo, seorang bupati di ba-wah kerajaan Majapahit. 2.3.8.3 Topeng Jawa Ciri khas dari suatu tari, baik tari Jawa, Sunda, ataupun Bali, adalah penggambaran karakter atau perwatakan manusia da-lam bentuk tari. Perwatakan tersebut dituangkan dalam bentuk tari, dari tipe satriya, wanita, raksasa ataupun tipe binatang dan sebagai-nya yang menggambarkan tingkah laku makluk-makluk hidup pada masa lampau. 58 2.3.8.4 Wayang Wong Wayang Wong Yogyakarta yang diciptakan oleh Hamengku Bhuwana I (1755 – 1792) merupakan dramatari penuh dengan ka-rakteristik. Visualisasi karakter dituangkan dalam bentuk ragawi pe-nari, tata busana, tata rias serta gerak. Pengekspresian gerak dari tokoh-tokoh wayang untuk pe-ran kera, raksasa dalam pentas Ramayana dan Mahabharata dileng-kapi pula dengan pemakaian topeng, sedangkan untuk wanita serta peran satria tidak menggunakan topeng. Dalam topeng Jawa, kita jumpai dua macam jenis topeng untuk pementasan Ramayana versi Yogyakarta, yaitu jenis raksasa dan jenis kera. Begitu juga topeng untuk pementasan cerita Panji antara lain jenis Klana, Panji dan Pa-nakawan. 2.3.8.5 Topeng Cirebon Cirebon memberi kesan seperti asal-usul namanya caruban yang berarti campuran. Suatu misal pada sebuah benda antik atau pusaka yang biasa dianggap keramat dan ada isinya karena pening-galan para leluhur yang berupa ukiran berhuruf arab dan berisikan petikan ayat suci Al Quran, mewujudkan tokoh wayang Purwa Hindu-Budha dilengkapi dengan pola hias seperti batu padas dan cawan adri dari Cina. Tiga unsur kebudayaan tersebut diantaranya yaitu ke-budayaan Islam, Jawa, dan Cina, telah mempe-ngaruhi kebudayan dan kesenian yang ada di Cirebon, sehingga Cirebon merupakan tempat pertemuan beberapa corak kebudayaan. Topeng Cirebon berkembang di desa-desa, meskipun ciri-ciri sebagai unsur kesenian yang lahir di kraton masih menjadi pola da-sarnya. Konsep yang mendasar pada tari Topeng Cirebon tersebut bersifat mengalir, yang dapat dihubungkan dengan gerak tari atau kesenian wayang Golek Jawa Barat, hemat gerak dengan bentuk gerak yang patah-patah. 2.3.8.6 Topeng Betawi Pementasan Topeng Betawi sangat berbeda dengan pe-mentasan topeng-topeng lainnya seperti Topeng Malang, Topeng Madura, ataupun Topeng Jawa (Yogyakarta) yang dalam pementa-sannya menggunakan topeng. Pengertian topeng di sini bukanlah kedok atau tutup muka, melainkan sebuah pertunjukan belaka dan pementasanyapun tidak ada hubunganya dengan cerita-cerita pewa-yangan baik Purwa maupun Gedog Panji. Pementasan teater-teater topeng tersebut pada umumnya dilakukan sebagai hiburan rakyat di pedesaan dengan cara menga-men (pertunjukan keliling) atau panggilan karena hajatan. Sebagai alat penerangan digunakan sebuah lampu coleng yang bersumbu ti-ga dan bertiang kaki tiga pula setinggi dada manusia atau dengan penerang lampu petromak. 59Tema cerita dari teater-teater rakyat tersebut tidak lepas dari kehidupan rakyat kecil dengan segala penderitaannya, angan-angan serta impiannya antar lain tentang kebahagiaan rumah tangga dan lain-lain. Sebagai iringan pergelaran digunakan gamelan yang bernadakan ke Sundaan, dan sebelum pertunjukan dimulai terlebih dahulu di adakan pertunjukan tari topeng oleh penari wanita sebagi tari pembuka, dan besar kemungkinan, karena adanya tari topeng sebagai pembuka pentas itulah, maka teater rakyat tersebut dinama-kan Topeng. 2.4 Keindahan Wayang Wayang adalah suatu karya kerajinan disamping karya seni yang terbuat dari bahan kulit kerbau yang telah dikeringkan dan diti-piskan menurut kepentingan, dan dipahat secara halus dengan mo-tip-motip yang khas, untuk selanjutnya diwarnai/disungging dengan paduan warna yang indah dan khas pula, selanjutnya diberi tangkai (gapit) yang dibuat dari tanduk (sungu) kerbau yang dikerjakan sa-ngat halus. Pada umumnya semua jenis wayang kulit pada penam-pilannya menggunakan kelir. Boneka wayang kulit menurut bentuk dan sifatnya adalah merupakan gambar dekoratif yang berdimensi dua, sehingga memungkinkan dalam pementasannya menggunakan kelir. Karena terbawa oleh sifat dan bentuk wayangnya, maka dalam cara memainkan dan menarikan wayang tersebut hanya diperlukan ruang gerak yang sangat terbatas. Kemiskinan gerak wayang kulit dapat dilihat dalam waktu mengisi ruang pentas tersebut, misalnya wayang dapat digerak-gerakan ke depan, ke belakang, ke atas dan ke bawah. Karena sifat wayang kulit sebagai gambar dekoratif dan berbentuk dua dimensi, maka hanya dapat dilihat dengan jelas dari satu arah pandangan saja. 2.4.1 Wujud Wayang Bila dilihat dari wujudnya dan keadaanya, wayang dapat dibedakan sebagai berikut, menurut bahannya terbuat dari kulit bina-tang, kayu, kain, seng, kerdus, rumput dan sabagainya. Menurut ukurannya adalah wayang Sabet yaitu wayang yang biasa dipakai dalam pergelaran, wayang Jujudan adalah wayang yang diperpan-jang dari pola aslinya, wayang Kidang Kencana adalah jenis wayang yang berukuran kecil, wayang Kaper yaitu wayang yang berukuran lebih kecil dari wayang sabet. Menurut bentuknya adalah wayang Gagahan yaitu tokoh-to-koh wayang gagah, wayang Alusan adalah tokoh wayang alus, wa-yang Gecul yaitu wayang yang bersifat humor, wayang Oyi yaitu wa-yang putren yang paras mukanya menunduk (luruh), wayang Endel adalah wayang putren yang paras mukany mendongak (lanyap), wa- 60 yang Bapang adalah wayang gagahan tetapi agak gecul, wayang Ricikan atau rampogan yaitu wayang yang semata-mata tidak melu-kiskan tokoh dan sebagainya. Menurut tingkatan jenisnya yaitu wa-yang Dewa, wayang Pendeta, wayang Katongan, wayang putra atau putri raja (Putran), wayang Bayen (bayi), wayang Raksasa (raseksa), wayang kera (Kapi), wayang binatang (Khewan). Menurut pemakaian dan penyusunannya yaitu wayang Sa-betan adalah wayang yang dimainkan, wayang Dudahan adalah wa-yang yang tidak disimping, wayang Simpingan adalah wayang yang ditancapkan berjajar pada gedebok sebelah kanan dan kiri tempat dalang duduk di pentas. Menurut Gagrag adalah wayang Kulit Purwa Mataram, wayang Kulit Purwa Surakarta, wayang Kulit Jawatimuran, wayang Golek Sunda, wayang Pesisiran dan sebagainya. 2.4.2 Wanda Wayang Wanda adalah ekspresi terutama pada wajah dan bentuk tubuh dari tokoh wayang yang mengungkapkan watak dan kepriba-dian dari tokoh wayang tersebut untuk mendukung suasana-suasa-na tertentu dalam sebuah adegan. Sebagai contoh, Prabu Baladewa mempunyai wanda sebagai berikut, Baladewa wanda Paripeksa, di-gunakan untuk adegan yang memiliki suasana normal, tidak dalam keadaan marah. Pada saat adegan Prabu Baladewa menghadiri su-atu perhelatan misalnya upacara perkawinan, maka dipergunakan Baladewa wanda Jagong, Baladewa wanda Geger dipergunakan pa-da saat adegan peperangan/pertempuran, sedangkan untuk mendu-kung adegan dengan suasana marah, digunakan Baladewa wanda Kaget (terkejut). Secara umum wanda wayang merupakan kesatuan dari berbagai unsur yang terdiri dari posisi menunduk atau tengadahnya muka/wajah wayang, ukuran dan bentuk sanggul, ukuran dan bentuk mata, kondisi badan, yaitu ukuran dan posisinya, ukuran dan kese-imbangan leher, sikap dan keseimbangan bahu, ukuran bentuk pe-rut, dan busana yang dipakai. Dari hal yang telah disampaikan di atas dapat ditarik kesim-pulan bahwa dari setiap satu tokoh wayang dapat memiliki berma-cam-macam wanda dan bentuk serta ukuran untuk mendukung dise-tiap suasana adegan yang dibutuhkan. Memang ada beberapa per-bedaan tentang wanda dari gaya pedalangan tiap-tiap daerah, misal-nya antara pedalangan gaya Surakarta dengan pedalangan gaya Ja-watimuran. Muka/wajah tokoh wayang Bima atau Wrekodara pada gaya Surakarta berwarna hitam, namun pada gaya Jawatimuran ber-warna merah, dan lain-lain. Perbedaan tersebut tidak berarti ada yang salah dari salah satu daerah, namun justru menunjukkan keka-yaan karakter budaya dari daerah yang bersangkutan. Berikut ini akan disampaikan beberapa contoh dari wanda tokoh-tokoh wayang beserta ciri-cirinya, antara lain Batara Guru 61wanda Karna. Ciri-ciri dari Batara Guru wanda Karna adalah muka lebar agak menunduk, mata tegak, leher lebih condong ke depan, ta-ngan 4 (empat) buah yang 2 memegang cis, dan yang 2 lagi bersi-lang, dada tegak, mahkota topongan, praba kecil, busana bagian ba-wah menggunakan sarung dengan penutup ukiran daun patran. Fungsi dari tokoh wayang Batara Guru Wanda Karna ada-lah untuk adegan dalam pathet Manyura, adegan Srambahan, arti-nya dapat digunakan untuk segala suasana, adegan tidak dalam tah-ta/singgasana, adegan jaman Prabu Parikesit. Batara Guru wanda Rama, ciri-cirinya sebagai berikut muka menunduk, leher panjang, menggunakan mahkota tinggi seperti yang digunakan Prabu Kresna, posisi pundak tegak, posisi dada te-gak, busana bagian bawah menggunakan celana panjang, bersepatu dan dipenuhi dengan ukiran daun patran. Fungsi dari Batara Guru wanda Rama digunakan untuk adegan Jejer Kahyangan, atau ade-gan batara guru duduk di singgasana. Durga wanda Wewe disebut juga wanda Belis yang guna-nya untuk adegan-adegan srambahan. Sedangkan ciri-cirinya ada-lah, muka menunduk, mata 2 (dua) buah berbentuk bulat, badan ge-muk seksi (bentrok), sanggul kelingan, pundak condong ke depan, pundak bagian belakang lebih tinggi, busana bagian bawah dilingkari daun patran. Durga Wanda Surak sama seperti Durga wanda Wewe. Durga Wanda Surak juga digunakan untuk adegan srambahan. Per-bedaan keduanya terletak pada bentuk tubuh, busana serta pemun-culan dan pembedaan karakter pada suasana adegan yang berbeda. Sedangkan ciri-cirinya adalah muka tegak, pundak tegak, mata satu buah berbentuk bulat, memakai praba, sanggul gembelan, busana bagian bawah dilingkari daun patran. Kresna Wanda Rondon digunakan untuk adegan jejer kera-jaan dalam pathet Nem. Sedangkan ciri-cirinya adalah wajah agak menunduk, posisi mata agak tegak, posisi leher condong meman-jang, dada tegak, pundak tegak, badan berwarna prada emas de-ngan bentuk agak gemuk. Kresna Wanda Surak digunakan untuk adegan-adegan srambahan. Ciri-cirinya adalah wajah lancap dengan posisi mene-ngadah, mata tegak, posisi bagian bawah agak turun, leher panjang, posisi pundak bagian depan agak lebih tinggi dari yang belakang, badan berwarna hitam dengan bentuk agak ramping, dada agak con-dong ke belakang. Gathotkaca Wanda Guntur digunakan untuk adegan sram-bahan dalam pathet nem atau pada adegan terbang. Ciri-cirinya ada-lah wajah menunduk, bentuk mulut ngawet (tampak seperti ditarik ke belakang), ukuran sanggul agak besar, mata berukuran kecil, leher condong ke depan, pundak tegak, dada membusung besar, seluruh Next >