< Previous 61 Direktorat Pembinaan SMK 2013 Pengetahuan Pedalangan 2 berbentuk bukan tokoh manusia, melainkan binatang, kereta, barisan (rampogan), gamanan dan property lainnya (Suman to, 2005: 7). c. Perabot Fisik Pendukung Sesuai dengan kemajuan tehnologl yang semakin canggih, seni pedalangan dalam perkembangannya tldak ketinggalan. Untuk mendukung keberhasilan suatu pergelaran tidak lepas dari sarana pendukung fisik seperti perangkat sound system. Perangkat sound system ini sangat menentukan keberhasilan suatu pertunjukan, karena dengan sarana ini suara dari dalang maupun semua perangkat pendukung pergelaran dapat dinikmati oleh penonton dari jarak jauh. Selain itu dengan sound system yang bagus, akan sangat membantu suara dalang menjadi lebih mantap dan lebih jelas. Dengan demikian dalang tidak terlalu banyak membuang energi, begitu pula para swarawati dan suara gamelan dapat diatur sedemiklan rupa, sehingga menjadi alunan suara yang harmonis. Selain sound system pada perkembangannya sekarang terdapat pula beberapa dalang yang laku di masyarakat rnelengkapi sarana pendukung pakelirannya dengan menggunakan sound effect dan lighting effect atau tata cahaya. Sound effect digunakan untuk mendukung adegan-adegan tertentu, misalnya adegan di tengah hutan diberi kicauan burung-burung, adegan di samodera diisi dengan suara ombak gemuruh, begitu pula adegan-adegan peperangan dihiasai dengan suara desisan anak panah, dan senjata-senjata lainnya. Tampilan-tampilan sound effect itu biasanya disertai pula dengan tampilan lighting effect sesuai dengan suasana yang diinginkan, sehingga pertunjukan nampak lebih menarik para penonton. 3. Unsur-unsur Garap Pakeliran Tiap-tiap sesuatu dalam dunia ini terjadi dari berbagai unsur. Bahkan yang abstrakpun ada unsur-unsurnya. Sesuatu disebut unsur tergantung dari bagaimana cara memandang. Misalnya plot, perwatakan, dialog, dan setting merupakan unsur-unsur dari sandiwara modern (William Henry Hudson 1983: 27). Wayang mempunyai ciri-ciri yang sama dengan sebuah sandiwara, sehingga unsur-unsur dalam pewayangan mengacu dari unsur-unsur yang ada pada sandiwara. 62 Direktorat Pembinaan SMK 2013Pengetahuan Pedalangan 2 Nayawirangka (1960:12) dalam bukunya berjudul Serat Tuntunan Pedalangan berpendapat bahwa unsur-unsur pedalangan meliputi catur, sabet, dan iringan. Menurut Bambang Murtiyoso (2004: 55) unsur-unsur pedalangan meliputi lakon, sabet (seluruh gerak wayang), catur (narasi dan cakapan), karawitan (gending, sulukan, dan properti panggung). Unsur-unsur tersebut dalam pelajaran di sekolah menjadi kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa jurusan pedalangan. Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur pedalangan terdiri dari empat jenis, yaitu: (1) lakon yang terdiri dari cerita, urutan pengadegan, penggolongan jenis lakon, dan sanggit. (2) catur terdiri dari, janturan, pocapan dan Ginem. (3) sabet yang meliputi semua gerak wayang, dan (4) iringan wayang yang terdiri dari dhodhogan, keprakan, dan tembang. a. Lakon Pertunjukan wayang menurut Sumanto (2002: 1) pada hakekatnya adalah pertunjukan lakon. Secara fisik lakon terbentuk dari perpaduan unsur-unsur garap, meliputi narasi dan dialog (Jw: catur), gerak wayang (Jw: sabet), serta karawitan pedalangan yang antara lain terdiri atas gending, sulukan kombangan, dhodhongan keprakan, tembang, dan sindhenan serta dengan menggunakan wayang sebagai media aktualisasi tokoh-tokohnya. Lakon sebagai sentral pertunjukan merupakan kerangka yang mengarahkan penggarapan catur, sabet, dan karawitan pedalangan. Oleh karena itu dalam melihat pertunjukan wayang yang dihayati adalah lakonnya. Sumanto (2002: 1) lebih lanjut menyatakan bahwa Lakon wayang sebagai bingkai unsur-unsur garap berkedudukan mengarahkan catur, sabet, dan karawitan pedalangan dalam rangka antara lain: (1) Untuk mendukung terciptanya peristiwa lakon dalam setiap adegan. (2) terwujudnya perbedaan status dan karakter masing-masing tokoh dengan berbagai ragam pandangan, sikap, perilaku, pembicaraan, situasi batin, cara mengambil keputusan, serta. (3) terungkapnya berbagai ragam konflik dan penyelesaiannya. Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa posisi sebuah lakon sangat penting didalam pertunjukan wayang. Wayang tidak dapat berjalan apabila tidak ada lakon yang dipentaskan. 63 Direktorat Pembinaan SMK 2013 Pengetahuan Pedalangan 2 b. Catur Menurut Kuwato (2002: 1) Catur merupakan kosakata bahasa Jawa yang salah satu artinya adalah 'kata' dan jika ditambah akhiran/panambang menjadi caturan berarti: berkata, berkata-kata atau bercakap-cakap. Dalam bahasa Kawi kata catur artinya empat. Dalam dunia olah raga, catur menjadi nama salah satu cabang olah raga yaitu olah raga catur, sedangkan di dunia pedalangan kata catur merupakan istilah untuk menunjuk salah satu unsur garap pakeliran yang di bentuk dari medium bahasa, yaitu narasi dan wacana/dialog. Bambang Murtiyoso (1983: 8) Catur adalah susunan atau rangkaian bahasa yang diucapkan dalang pada waktu mendalang, baik yang berisi pelukisan sesuatu maupun berupa percakapan tokoh-tokoh wayang. Berdasarkan penggunaannya, catur dapat diperinci menjadi janturan, pocapan, dan Ginem. Janturan adalah catur yang berisi pelukisan suatu adegan. Penyuaraan janturan diiringi dengan sebuah gendhing yang dibunyikan secara perlahan-lahan. Pocapan hampir sama dengan janturan, tetapi tidak diiringi dengan gendhing. Sedangkan Ginem adalah catur yang berisi percakapan atau dialog antara tokoh wayang yang satu dengan yang lain. Menurut B. Subono (1997: 9) Catur adalah ungkapan bahasa dalam pakeliran yang terdiri dari Ginem atau dialog, janturan dan pocapan atau narasi. Dalam pakeliran bentuk semalam banyak dijumpai catur-catur yang klise. Catur klise adalah susunan bahasa baik berbentuk narasi maupun dialog yang telah baku berupa perbendaharaan jadi. Catur jenis ini pada umumnya mempunyai struktur isi dan pola yang telah dibakukan. Menurut Soetarno (2005: 78) catur dalam pedalangan gaya Surakarta adalah susunan atau rangkaian bahasa yang diucapkan dalang pada waktu penyajian wayang, yang berisi pelukisan sesuatu keadaan atau berupa percakapan wayang. Catur dalam pertunjukan wayang dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu janturan, pocapan, dan Ginem. Istilah janturan, pocapan dan Ginem yang menjadi sub kompetensi dalam mendalang. Kuwato (2002: 2) menyatakan bahwa melalui unsur catur, dalang dapat menggungkapkan ide-ide dengan jelas dan mudah dipahami penonton karena menggunakan bahasa verbal. Bahasa yang dipilih dalam catur (pedalangan) adalah ragam bahasa 64 Direktorat Pembinaan SMK 2013Pengetahuan Pedalangan 2 pedalangan (termasuk pilihan kosakata, ungkapan dan tata susun kalimatnya) yaitu meliputi bahasa kawi dan Jawa baru yang dalam penggunaannya hadir bersama-sama sehingga nembentuk suatu tipe bahasa baru yang tidak dapat dikategorikan ke dalam ragam bahasa kawi maupun Jawa baru. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa catur merupakan aspek pertunjukan wayang yang berupa pemakaian kosakata sesuai dengan konvensi kebahasaan pedalangan, serta tehnik pengucapan tokoh wayang yang disebut antawecana. Penyampaian antawecana disesuaikan dengan karakter dan status tokoh, suasana adegan, dan latar tempat. Catur merupakan sarana dalang dalam mengungkapkan ide-ide yang paling jelas dan mudah ditangkap oleh audience, karena menggunakan bahasa verbal melalui narasi dan dialog antar tokoh wayang. 1) Janturan Menurut Umar Khayam (2001:101) janturan adalah gambaran yang diberikan dalang mengenai keadaan kerajaan, kahyangan, pertapaan, hutan, pribadi tokoh, dan perabotan yang diucapkan dengan iringan gamelan dalam keadaan sirep. Sedangkan menurut Bambang Murtiyoso (2004: 94) janturan adalah wacana dalang yang berupa deskripsi suasana suatu adegan yang sedang berlangsung, dengan ilustrasi gendhing sirepan. Janturan adalah deskripsi tentang suasana adegan dan deskripsi karakter tokoh wayang oleh dalang pada waktu pertunjukan wayang dengan medium bahasa dalam bentuk prosa. Deskripsi ini disertai dengan iringan musik dalam keadaan sirep. Pada waktu dalang mengucapkan janturan instrumen yang dibunyikan adalah rebab, gender, kendang, gong, kenong, kethuk, kempyang dan slenthem. Tradisi pedalangan Surakarta menempatkan janturan dalam tiap-tiap adegan sebuah lakon wayang. Fungsi janturan dalam pertunjukan wayang adalah membuat suasana pertunjukan menjadi menarik, atau menimbulkan suasana tertentu yang diinginkan. Selain itu janturan juga berfungsi mendeskripsikan sesuatu yang belum terungkap melalui sarana dramatik, serta memperjelas pelukisan tokoh, peristiwa dan tempat tertentu. 65 Direktorat Pembinaan SMK 2013 Pengetahuan Pedalangan 2 Struktur isi janturan jejer menurut Kuwato (2002 : 4) adalah sebagai berikut : (1) Pembukaan (Jw. pambuka). (2) Lukisan tentang negara, termasuk nama negara, dasanama negara, makna nama negara, keadaan negara meliputi letak geografis, sosial, politik dan ekonomi. (3) Diskripsi tentang raja meliputi nama dan makna nama serta keluhuran budi raja. (4) Diskripsi tentang pasewakan. Pada bagian ini disebut nama termasuk dasanama, keahlian, kesaktian atau perwatakan tokoh-tokoh yang sedang menghadap raja serta keadaan pasewakan pada umumnya. (5) Pelukisan tentang situasi batin raja. Termasuk dalam bagian ini adalah pembicaraan menolong raja (Jw. Pangudasmara). Berdasarkan posisinya dalam adegan, maka janturan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu janturan adegan dan janturan peristiwa. Janturan adegan adalah janturan yang menyertai sebuah adegan, seperti janturan jejer, gapuran, kedhatonan dan lain-lain, sedangkan janturan peristiwa ialah janturan dengan tekanan pada peristiwa yang sedang terjadi dalam suatu adegan, seperti janturan babak unjal, ajon-ajon punggawa dan janturan-janturan peristiwa penting lainnya dalam adegan (Kuwato 2002: 3). Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa janturan adalah ucapan dalang yang menggambarkan keadaan suatu negara, nama negara, nama raja, dan upacara penyambutan kedatangan raja, dalam iringan gending secara perlahan-lahan berirama lamban dan lirih. Dalam janturan juga berisi tentang penyebutan nama tokoh beserta tafsir arti namanya dan penyebutan nama tempat disertai dengan tafsiran nama tempat tersebut. 2) Pocapan Pocapan adalah deskripsi tentang suasana adegan dan pelukisan karakter tokoh wayang dalam pertunjukan wayang. Pocapan tidak disertai dengan iringan musik, tetapi hanya di iringi permainan gender secara bebas (dengan teknik grimingan). Pocapan menceritakan peristiwa yang sedang terjadi (Soetarno, 2004: 79) Menurut Kuwato (2002: 5) Pocapan adalah lukisan dengan kata-kata tentang sesuatu, yang dalam penyajiannya tidak/ tanpa iringan gending dan biasanya diiringi grimingan atau 66 Direktorat Pembinaan SMK 2013Pengetahuan Pedalangan 2 grambyangan gender. Seperti halnya janturan pocapan pakeliran gaya Surakarta juga berkaitan dengan adegan. Pocapan biasanya terletak di dalam adegan, menyertai bagian dari suatu adegan tertentu, serta terletak di antara adegan satu dengan adegan berikutnya. Berdasarkan hal yang telah dikemukakan ini, digolongkan menjadi pocapan mandiri, dan pocapan peralihan. Termasuk pocapan dalam adegan adalah pocapan ratu gundah (Jw. Emeng), pocapan dalam adegan sabrangan, pocapan dalam perang gagal, dan pocapan lainnya yang terdapat dalam suatu adegan tertentu. 3) Ginem Sunardi (2003: 10) berpendapat bahwa Ginem adalah catur yang berisi percakapan tokoh wayang, bergumam maupun berbicara dengan tokoh wayang yang lain. Soetarno (2004: 79) menyatakan bahwa dalam pertunjukan wayang Ginem dapat dibedakan menjadi dua yaitu monolog dan dialog. Sedangkan dari isinya Ginem terdiri atas Ginem baku dan Ginem bebas. Menurut peristiwanya, Ginem dapat dikelompokkan menjadi Ginem serius, Ginem tantangan, dan ginen dagelan. Ginem serius adalah Ginem yang membicarakan inti permasalahan. Ginem tantangan adalah Ginem yang digunakan dalam adegan perang, sedangkan Ginem dagelan adalah Ginem untuk humor. Berdasarkan pendapat tersebut ginem adalah merupakan salah satu wujud catur yang menunjukkan ungkapan ide atau gagasan berbentuk cakapan tokoh seorang diri (monolog) atau dengan tokoh lain (dialog). c. Sabet Sabet adalah semua gerak dan penampilan boneka wayang yang disajikan oleh dalang dalam pertunjukannya. Gerak-gerak wayang tersebut harus disesuaikan dengan karakter dan situasi jiwa tokoh. Secara teknis sabet digolongkan menjadi lima bagian yaitu cepengan, solah, tancepan, bedholan, dan entas-entasan. Menurut Bambang Murtiyoso, pedoman memainkan wayang (sabet) digolongkan menjadi tiga yaitu greget, saut dan saguh. Greget yaitu gerak wayang harus kelihatan hidup sesuai dengan keadaan suasana hati tokoh misalnya suka, sedih, marah, 67 Direktorat Pembinaan SMK 2013 Pengetahuan Pedalangan 2 lapang, dan asmara. Saut yaitu sabet dalam perang harus terampil dan tidak acak-acakan serta terstruktur. Sedangkan saguh adalah penampilan wayang sesuai dengan perwatakan, bentuk, serta besar kecilnya wayang. Cepengan adalah cara memegang wayang yang terdiri dari empat teknik yaitu methit (mucuk atau nyempurit), sendhon (magak atau sedheng), ngepok, dan njagal. Nama-nama cara memegang wayang tersebut ditentukan dari jari tangan dalang yang memegang tangkai wayang (Jawa: Cempurit). Bagian dari cempurit dibedakan menjadi lima yaitu genuk nginggil, picisan, genuk ngandhap, lengkeh dan antup. Bagian-bagian inilah yang membedakan bentuk cepengan wayang seperti dapat dilihat dari gambar di bawah ini: Gambar 10. Bagian-bagian tangkai wayang (cempurit) Tehnik cepengan methit atau mucuk adalah cara memegang wayang dengan teknik, jari telunjuk pada tangkai wayang yang disebut lengkeh, ibu jari, jari tengah, jari manis, dan kelingking untuk menyangga tangkai paling bawah (antup). Cepengan dengan teknik methit atau mucuk ini digunakan untuk memegang wayang bayen, putren, dan wayang terbang. Teknik ini dapat dilihat pada gambar 11. 68 Direktorat Pembinaan SMK 2013Pengetahuan Pedalangan 2 Gambar 11. Cepengan methit Tehnik cepengan sendhon atau magak adalah ibu jari diletakkan pada lengkeh, jari telunjuk pada lengkeh dalam, sedangkan jari tengah, jari manis, dan kelingking dikepalkan. Tehnik ini digunakan untuk memegang wayang bambangan, katongan, alusan sampai pada wayang gagahan, misalnya: Abimanyu, Arjuna, Kresna, Setyaki, dan gathutkaca. Bentuk tehnik ini dapat dilihat pada gambar 12 di bawah ini: 69 Direktorat Pembinaan SMK 2013 Pengetahuan Pedalangan 2 Gambar 12. Bentuk Cepengan Magak Teknik ngepok cara memegangnya sama seperti bentuk tehnik magak, tetapi letak jari pada genuk nginggil. Tehnik ini digunakan untuk memainkan wayang buto raton, Kumbakarna, Werkudara, Rama Bhargawa, dan Tugu Wasesa. Lihat gambar 13. Gambar 13. Tehnik ngepok 70 Direktorat Pembinaan SMK 2013Pengetahuan Pedalangan 2 Tehnik Njagal adalah dengan cara jari telunjuk dan jari tengah memegang pada tumit kaki wayang, ibu jari menjapit kaki dari luar. Tehnik ini digunakan untuk memainkan wayang rampogan dan hewan misalnya: gajah, banteng, dan naga. Bentuk tehnik ini dapat dilihat pada gambar 5. d. e. Gambar 14. Teknik Njagal Solah adalah seluruh gerak gerik wayang di kelir, yang digolongkan menjadi dua yaitu solah umum dan solah khusus. Tancepan yaitu posisi penancapan wayang pada batang pisang (gedebog) selama pertunjukan. Tancepan wayang mempunyai aturan-aturan tertentu yang berkaitan dengan tinggi rendahnya derajad, kedudukan, umur dan situasi. Bedholan adalah tindakan pencabutan wayang dari posisi tancepan. Dalam pertunjukan wayang bedholan dibedakan menjadi bedholan jejer, dan bedholan bukan jejer. Sedangkan entas-entasan adalah gerak wayang yang meninggalkan panggung wayang. Dalam entas-entasan dipertimbangkan efek bayangan, karakter serta suasana tokoh (Suyanto 2004: 2) Menurut Purba Asmara (2002: 1) Sabet merupakan salah satu unsur pakeliran yang berkaitan dengan aspek visual. Melalui sabet, ungkapan-ungkapan pakeliran yang tidak dapat dijelaskan dengan wacana (catur) maupun karawitan pakeliran, dapat dilihat oleh penonton. Meskipun demikian, ungkapan visual tersebut belum tentu dapat dipahami apalagi dimengerti oleh penonton, Next >