< Previous Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti 19Adapun mengenai kompetensi hukum dan kebiasaan yang mengatur kehidupan seseorang bermasyarakat berdasarkan hukum Hindu bersumber pada kekuasaan Tuhan yang menciptakan atau menurut hukum abadi. Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan agama Hindu istilah hukum ini lebih dikenal dengan istilah Rta. Terkait dengan sifat kekuasaan hukum atas kehidupan seseorang telah dikembangkan secara sistematis pada zaman Weda, sehingga keseluruhan model dan bentuk-bentuk hubungan hukum sosial telah banyak dirumuskan secara sadar didalam buku-buku karya ilmiah di zaman Hindu purba. Pembagian kelompok kerja berdasarkan spesialisasi telah pula mulai dikemas sejak zaman Weda dengan memperkenalkan konsep masyarakat idial dengan mengelompokkan anggota-anggota masyarakat berdasarkan kelompok-kelompok ahli yang lebih dikenal dengan istilah ”catur varna” yang kemudian berkembang menjadi konsep ”kasta”. Kejadian seperti ini tentu tidak terlepas dari hegemoni kaum Brahmana pada zaman Brahmana. Hal semacam ini perlu kita renungkan dan sikapi dengan bijak.Konsep ”kasta” inilah yang kemudian merombak sikap pandangan para penulis terdahulu ”warna” menjadi bentuk kelompok berdasarkan kelahiran ”geneotis atau jati”, dan sekaligus mengaburkan arti-istilah fungsionalisasinya menjadi status sosial berdasarkan keturunan. Perubahan pandangan seperti itu nampaknya tidak dapat dihindari lagi, karena disamping masalah komunikasi yang sulit, juga kesulitan bahasa telah memungkinkan timbulnya golongan elit tertentu untuk menggunakan fungsinya lebih menonjolkan arti dan istilah jati (kelahiran) menjadi konsep-konsep ‘kasta’ yang menyempit dan kaku. Dengan demikian akhirnya munculah konsep-konsep sosial baru yang merubah pola berpikir orde sosial berdasarkan Weda menjadi orde sosial berdasarkan versi brahmanaisme. Salah satu sumber hukum yang merupakan landasan idial dari model-model pembentukan lembaga sosial berdasarkan Weda, bersumber pada kitab suci Rg Weda mandala X yang dikenal dengan istilah ”Purusa Sukta”. Dari ayat kitab ini kita dapat mengenal fungsionalisasi sosial masyarakat yang dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam kelompok kerja yang profesional, antara lain: Brahmana, Ksatria, Wesya dan Sudra. Uraian tentang konsep sosial ini ternyata diulangi lagi didalam kitab Atharwa Weda dengan bermacam-macam implikasinya serta memasukkan teori-teori baru yang bersendikan ajaran teokrasi secara lebih intensif dan ekstensif. Melalui kemajuan teori baru berdasarkan konsep-konsep teokrasi, tampak kepada kita adanya tiga jalur pertumbuhan dan perkembangan ideologi yang akan merubah nilai-nilai sosial dalam sejarah manusia dan kemanusiaan (Hindu) yaitu:20 Kelas XII SMA/SMK 1. Pemahaman tentang orde sosial.2. Pemahaman tentang asal-usul penguasa negara.3. Penegasan tentang hubungan antara dua jenis kekuasaan di dalam negara yaitu kekuasaan kelompok agama dan penguasa negara.Ciri pokok dari pada pertumbuhan pemahaman orde sosial itu ialah munculnya kesadaran-kesadaran baru yang menyadari kekuasaan hukum terhadap individu serta kesatuan-kesatuan unit sosial masyarakat yang pengaturan selanjutnya didasarkan atas kehendak Tuhan. Kehendak beliau tersebut dituangkan dalam bentuk hukum abadi dan kekuasaan adat kebiasaan dari orang-orang suci. Pandangan tentang nilai-nilai sosial mengalami perubahan secara evolusi oleh kelompok kedua penguasa itu dalam wujud hukum yang disebut ”dharma”. Tentang asal-usul penguasa negara sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci Weda, yang disimpulkan dari ayat Purusa Sukta X.90 dan Rg Weda X.173, melukiskan bagaimana penyair itu berdoa agar diadakan raja atau penguasa untuk menertibkan penduduk negara dan membayar pajak untuk negara. Untuk memberikan bentuk kekuatan kepada raja atau penguasa dalam negara teokrasi, raja dipersamakan sebagaimana halnya Dewa Indra terhadap Dewa-Dewa lainnya. Demikian pulalah halnya raja terhadap penduduk negara sehingga raja dianggap sekutu dari Dewa Indra (Indrasakha). Pada umumnya lembaga kerajaan yang bersifat teokrasi itu tidaklah statis, karena sebagai lembaga penguasa. Dalam bentuk negara kerajaan itu sifat-sifat theokrasinya lebih menonjol dari pada bentuk negara republik. Raja sebagai pembuat hukum atau bertindak sebagai yudikatif. Walaupun kedudukan raja sedemikian penting tetapi kecendrungan untuk pembagian kekuasaan telah nampak pula dalam kitab Weda dengan tidak mengharuskan raja secara pribadi memutuskan segala macam sengketa yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu timbulah lembaga yudikatif dalam bentuk Parisada dan kemudian pada bentuk Peradilan Kerta, ini menunjukkan bagaimana evolusi sejarah pertumbuhan hukum Hindu secara umum. Peninjauan tentang sumber hukum Hindu dapat kita lihat dalam berbagai segi. Peninjauan seperti ini dibenarkan berdasarkan ilmu hukum, mengingat pengertian sumber hukum itu sendiri belum ada persamaan secara utuh dan menyeluruh.L. Oppenheim mengemukakan bahwa masalah sumber hukum itu dilihatnya dari arti kata, yakni kata sumber yang oleh beliau menyebutnya ”source”. Menurut Oppenheim di dalam bukunya yang berjudul International Law A Treatire I, mengemukakan bahwa sumber yang dimaksud adalah asal darimana kaidah-kaidah itu bertumbuhan dan berkembang. Pengertian ini dibandingkan sebagai mata air yang mempunyai berbagai anak sungai dari mana air-air sungai itu berasal dan akhirnya sampai ke tempat tujuan (Puja, Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti 21Gde. 1984:79). Selanjutnya berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan, peninjauan sumber hukum Hindu dapat dilakukan melalui berbagai macam kemungkinan, antara lain:1. Sumber Hukum dalam Arti SejarahSumber hukum dalam arti sejarah adalah peninjauan dasar-dasar hukum yang dipergunakan oleh para ahli sejarah dalam menyusun dan meninjau pertumbuhan suatu bangsa terutama di bidang politik, sosial, kebudayaan, hukum dll, termasuk berbagai lembaga Negara.Perkembangan dan pertumbuhan Negara Indonesia dari zaman kerajaan Hindu sampai zaman merdeka, telah memperlihatkan berbagai perkembangan hukum dan sistem pemerintahan. Untuk dapat menemukan sumber-sumber ini, dapat kita jumpai berbagai prasasti-prasasti, piagam-piagam, dan tulisan-tulisan yang mempunyai sifat hukum yang dikembangkan atau ditulis pada zaman-zaman tertentu. Sumber-sumber tulisan inilah yang juga dipergunakan untuk menyusun konsep-konsep hukum dalam usaha pembentukan masyarakat yang dicita-citakan. Sejarah telah membuktikan bahwa lahirnya Pancasila digali dari sumber-sumber yang diangkat dari sejarah dan pengalaman bangsa, falsafah yang dianut masyarakat dan struktur yang telah ada dalam masyarakat. Bukti-bukti pengaruh hukum Hindu di Indonesia dapat ditemukan dalam catatan-catatan seperti Siwasasana dan Kuttaramanawa.Sumber hukum Hindu dalam arti sejarah adalah sumber hukum Hindu yang dipergunakan oleh para ahli Hindulogi dalam peninjauan dan penulisannya mengenai pertumbuhan serta kejadian hukum Hindu itu terutama dalam rangka pengamatan dan peninjauan masalah aspek politik, filosofis, sosiologi, kebudayaan dan hukumnya sampai pada bentuk materiil yang tampak berlaku pada satu masa dan tempat tertentu.Peninjauan hukum Hindu secara historis ditujukan pada penelitian data-data mengenai berlakunya kaidah-kaidah hukum berdasarkan dokumen tertulis yang ada. Penekanan disini mesti pada dokumen tertulis karena pengertian sejarah dan bukan sejarah adalah terbatas, pada bukti tertulis. Kaidah-kaidah yang ada dalam bentuk tidak tertulis (prasejarah), tidak bersifat sejarah melainkan secara tradisional atau kebiasaan yang didalam hukum Hindu disebut Acara.Kemungkinan kaidah-kaidah yang berasal dari pra-sejarah ditulis dalam zaman sejarah, dapat dinilai sebagai satu proses pertumbuhan sejarah hukum dari satu phase ke phase yang baru. Dari pengertian sumber hukum tertulis, peninjauan sumber hukum Hindu dapat dilihat berdasarkan 22 Kelas XII SMA/SMK penemuan dokumen yang dapat kita baca dengan melihat secara umum dan otensitasnya. Menurut bukti-bukti sejarah, dokumen tertua yang memuat pokok-pokok hukum Hindu, untuk pertama kalinya kita jumpai di dalam Weda yang dikenal dengan nama Sruti. Kitab Weda Sruti tertua adalah kitab Reg Weda yang diduga mulai ada pada tahun 2000 SM. Kita harus bisa membedakan antara phase turunnya wahyu (Sruti) dengan phase penulisannya. Saat penulisannya itu merupakan phase baru dalam sejarah hukum Hindu dan diperkirakan telah dimulai pada abad ke X SM. Berdasarkan penemuan huruf yang mulai dikenal dan banyak dipakai pada zaman itu. Sejak tahun 2000 SM – 1000 SM. Ajaran hukum yang ada masih bersifat tradisional dimana isi seluruh kitab suci Weda itu disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi yang baru. Sementara itu jumlah kaidah-kaidah itu berkembang dan bertambah banyak.Adapun kitab-kitab berikutnya yang merupakan sumber hukum pula timbul dan berkembang pada zaman Smrti. Dalam zaman ini terdapat Yajur Weda, Atharwa Weda dan Sama Weda. Kemudian dikembangkan pula kitab Brahmana dan Aranyaka. Semua kitab-kitab yang dimaksud adalah merupakan dokumen tertulis yang memuat kaedah-kaedah hukum yang berlaku pada zaman itu. Phase berikutnya dalam sejarah pertumbuhan sumber hukum Hindu adalah adanya kitab Dharmasastra yang merupakan kitab undang-undang murni bila dibandingkan dengan kitab Sruti. Kitab ini dikenal dengan nama kitab smrti, yang memiliki jenis-jenis buku dalam jumlah yang banyak dan mulai berkembang sejak abad ke X SM. Di dalam buku-buku ini pula kita dapat ketahui keterangan tentang berbagai macam cabang ilmu dalam bentuk kaedah-kaedah yang dapat dipergunakan sebagai landasan pola berpikir dan berbuat dalam kehidupan ini. Kitab smrti ini dikelompokkan menjadi enam jenis yang dikenal dengan istilah Sad Vedangga. Dalam kaitannya dengan hukum yang terpenting dari Sad Vedangga tersebut adalah dharma sastra (Ilmu Hukum). Kitab dharma sastra menurut bentuk penulisannya dapat dibedakan menjadi dua macam, antara lain : a. Sutra, yaitu bentuk penulisan yang amat singkat yakni semacam aphorisme.b. Sastra, yaitu bentuk penulisan yang berupa uraian-uraian panjang atau lebih terinci.Di antara kedua bentuk tersebut diatas, bentuk sutra dipandang lebih tua waktu penulisannya yakni disekitar kurang lebih tahun 1000 SM. Sedangkan bentuk sastra kemungkinannya ditulis disekitar abad ke VI SM. Kitab smrti merupakan sumber hukum baru yang menambahkan jumlah kaidah- Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti 23kaidah hukum yang berlaku bagi masyarakat Hindu. Disamping kitab-kitab tersebut diatas yang dipergunakan sebagai sumber hukum Hindu, juga diberlakukan adat-istiadat. Hal ini merupakan langkah maju dalam perkembangan hukum Hindu. Menurut catatan sejarah perkembangan hukum Hindu, periode berlakunya hukum tersebut pun dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain:a. Pada zaman Krta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Manu.b. Pada zaman Treta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Gautama.c. Pada zaman Dwapara Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra yang ditulis oleh Samkhalikhita.d. Pada zaman Kali Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Parasara.Keempat bentuk kitab Dharmasastra di atas, sangat penting kita ketahui dalam hubungannya dengan perjalanan sejarah hukum Hindu. Hal ini patut kita camkan mengingat agama Hindu bersifat universal, yang berarti kitab Manawa Dharmasatra yang berlaku pada zaman Kali Yuga juga dapat berlaku pada zaman Trata Yuga. Demikian juga sebaliknya.2. Sumber Hukum Hindu dalam Arti Sosiologi.Penggunaan sumber hukum ini biasanya dipergunakan oleh para sosiolog dalam menyusun thesa-thesanya, sumber hukum itu dilihat dari keadaan ekonomi masyarakat pada zaman-zaman sebelumnya. Sumber hukum ini tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus di tunjang oleh data-data sejarah dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu sumber hukum ini tidak bersifat murni berdasarkan ilmu sosial semata melainkan memerlukan ilmu bantu lainnya.Pengetahuan yang membicarakan tentang kemasyarakatan disebut dengan sosiologi. Masyarakat adalah kelompok manusia pada daerah tertentu yang mempunyai hubungan, baik hubungan agama, budaya, bahasa, suku, darah dan yang lainnya. Hubungan diantara mereka telah mempunyai aturan yang melembaga, baik berdasarkan tradisi maupun pengaruh-pengaruh baru lainnya yang datang kemudian. Pemikiran tentang berbagai kaidah hukum tidak terlepas dari pandangan-pandangan masyarakat setempat. Terlebih pada umumnya hukum itu bersifat dinamis, maka peranan para 24 Kelas XII SMA/SMK pemikir, orang-orang tua, lembaga desa, Parisada dan lembaga yang lainnya turut juga mewarnai perkembangan hukum yang dimaksud. Di dalam mempelajari data-data tertentu yang bersumber pada kitab Weda, kitab Manawa Dharmasastra menyebutkan sebagai berikut.”Idanim dharma pramananya ha, wedo’khilo dharmamulam smrtisile ca tadwidam, acarassaiwa sadhunam atmanastutirewa ca”.Terjemahan:Seluruh pustaka suci Weda adalah sumber pertama dari pada dharma, kemudian adat-istiadat, dan lalu tingkah-laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami Weda, juga kebiasaan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri-sendiri (Manawa Dharmasastra, II.6).Kitab suci tersebut di atas secara tegas menyatakan bahwa, sumber hukum (dharma) bukan saja hanya kitab-kitab sruti dan smrti, melainkan juga termasuk sila (tingkah laku orang-orang beradab), acara (adat-istiadat atau kebiasaan setempat) dan atmanastuti yaitu segala sesuatu yang memberikan kebahagiaan pada diri sendiri. Oleh karena aspek sosiologi tidak hanya sebatas mempelajari bentuk masyarakat tetapi juga kebiasaan dan moral yang berkembang dalam masyarakat setempat.Sesungguhnya masih banyak lagi sloka-sloka suci Weda yang menekankan betapa pentingnya Weda, baik sebagai ilmu maupun sebagai alat di dalam membina masayarakat. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada itu penghayatan Weda bersifat sangat penting karena bermanfaat bukan saja kepada orang itu tetapi juga yang akan dibinanya. Karena itu Weda bersifat obligator baik untuk dihayati, diamalkan, dan maupun sebagai ilmu. Dengan mengutip beberapa sloka yang relatif penting artinya dalam menghayati Weda itu, nampaknya semakin jelas mengapa Weda, baik Sruti maupun Smrti sangat penting artinya. Kebajikan dan kebahagiaan adalah karena dharma berfungsi sebagaimana mestinya. Inilah yang menjadi hakekat dan tujuan dari pada penyebaran Weda itu, seiring dengan tuntutan memperoleh pengetahuan Dewasa ini yakni dengan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta atau mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta sesuai dengan tatanan yang berlaku.3. Sumber Hukum Hindu dalam Arti FormalYang dimaksud dengan sumber hukum dalam arti formal menurut Mr.J.L.Van Aveldoorm adalah sumber hukum yang berdasarkan bentuknya yang dapat menimbulkan hukum positif itu, artinya dibuat oleh badan atau Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti 25lembaga yang berwenang. Yang termasuk sumber hukum dalam arti formal dan bersifat pasti yaitu; Undang-undang, Kebiasaan dan adat, serta Traktat (Puja, Gde. 1984:85).Disamping sumber-sumber hukum yang disebutkan di atas, ada juga penunjukkan sumber hukum dengan menambahkan kata yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum. Dengan demikian dapat kita lihat susunan sumber hukum dalam arti formal sebagai berikut:a. Undang-undang.b. Kebiasaan dan adat.c. Traktatd. Yurisprudensie. Pendapat ahli hukum yang terkenal.Sistematika susunan sumber hukum seperti tersebut di atas ini, dianut pula dalam hukum Internasional sebagai tertera dalam pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional dengan menambahkan azas-azas umum hukum yang diakui oleh berbagai bangsa yang beradab sebagai sumber hukum juga. Dengan demikian, terdapat susunan hukum sebagai berikut:a. Traktat Internasional yang kedudukannya sama dengan undang-undang terhadap negara itu.b. Kebiasaan Internasional.c. Azas-azas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.d. Keputusan-keputusan hukum sebagai yurisprudensi bagi suatu negara.e. Ajaran-ajaran yang dipublikasi oleh para ahli dari berbagai negara hukum tersebut sebagai alat tambahan dalam bidang pengetahuan hukum.Sistem dan azas yang dipergunakan mengenai masalah sumber hukum terdapat pula dalam kitab Weda, sebagaimana tersurat dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa ”seluruh pustaka suci Weda (sruti) merupakan sumber utama dari pada dharma (agama Hindu), kemudian barulah smrti disamping sila (kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda) dan kemudian acara (tradisi-tradisi dari orang-orang suci) serta akhirnya atmanastuti yakni rasa puas diri sendiri”.Berdasarkan penjelasan sloka suci kitab hukum Hindu tersebut di atas, maka dapat kita mengetahui bahwa sumber-sumber hukum Hindu menurut Menawa Dharmasastra, adalah sebagai berikut; Weda Sruti, Weda Smrti, Sila, Acara (Sadacara), Atmanastuti.26 Kelas XII SMA/SMK Sruti berdasarkan penafsiran yang otentik dalam kitab smrti adalah Weda dalam arti murni, yaitu wahyu-wahyu yang dihimpun dalam beberapa buah buku, yang disebut mantra samhita. Kitab Weda samhita ada empat jenis yang disebut dengan catur Weda samhita. Bila keberadaan kitab-kitab ini kita bandingkan dengan kitab-kitab perundang-undangan, maka sruti adalah undang-undang dasar itu, karena sruti merupakan sumber atau asal dari segala aturan (sumber dari segala sumber hukum). Sedangkan smrti merupakan peraturan-peraturan atau ajaran-ajaran yang dibuat bersumberkan pada sruti. Oleh karena itu, dalam perundang-undangan smrti disamakan dengan undang-undang, baik undang-undang organik maupun undang-undang anorganik.Sila merupakan tingkah laku orang-orang beradab, dalam kaitannya dengan hukum, sila adalah menjadikan tingkah laku orang-orang beradab sebagai contoh dalam kehidupan. Sedangkan acarya adalah adat-istiadat yang hidup dalam masyarakat yang merupakan hukum positif. Atmanastuti adalah rasa puas pada diri. Rasa puas merupakan ukuran yang selalu diusahakan oleh setiap manusia. Namun, kalau rasa puas itu diukur pada diri pribadi seseorang akan menimbulkan berbagai kesulitan karena setiap manusia memiliki rasa puas yang berbeda-beda. Oleh karena itu, rasa puas tersebut harus diukur atas dasar kepentingan publik atau umum. Penunjukkan rasa puas secara umum tidak dapat dibuat tanpa pelembagaannya. Weda mempergunakan sistem kemajelisan sebagai dasar ukuran untuk dapat mewujudkan rasa puas tersebut. Majelis Parisada adalah majelis para ahli yang disebut para wipra (brahmana) ahli dari berbagai cabang ilmu pengetahuan.Demikian keberadaan hukum formal bila dikaitkan dengan keberadaan hukum agama, berserta lembaganya yang ada sampai sekarang ini.4. Sumber Hukum Hindu dalam Arti FilsafatFilsafat merupakan dasar pembentukan kaidah-kaidah hukum itu sendiri. Sumber hukum ini dapat bersumber dari banyak sumber dan luas, karena isi sumber hukum ini meliputi seluruh proses pembentukan sumber hukum sejak zaman dahulu hingga sekarang. Daya mengikat hukum ini terhadap para anggotanya tergantung pada sifat dan bentuk kaedah-kaedah hukum ini, apakah bersifat normatif atau bersifat mengatur. Sumber hukum dalam arti filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian yang tak terpisahkan atau integral dari agama. Filsafat adalah ilmu pikir, filsafat juga merupakan pencairan rasional ke dalam sifat kebenaran atau realistis, yang juga memberikan pemecahan Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti 27yang jelas dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan yang lembut dari kehidupan ini, dimana ia juga menunjukkan jalan untuk mendapatkan pembebasan abadi dari penderitaan akibat kelahiran dan kematian.Berfilsafat bermula dari keperluan praktis umat manusia yang menginginkan untuk mengetahui masalah-masalah transendental ketika ia berada dalam perenungan tentang hakikat kehidupan itu sendiri. Filsafat membimbing manusia tidak saja menjadi pandai tetapi juga menuntun manusia untuk mencapai tujuan hidup, yaitu jagadhita dan moksa. Untuk dapat hidup bahagia, baik di dunia maupun di akhirat diperlukan adanya keharmonisan hidup. Hal ini, bisa diajarkan dan diberikan filsafat. Untuk mencapai tingkat kebahagiaan itu ilmu filsafat Hindu menegaskan sistem dan metode pelaksanaannya sebagai berikut:a. Harus berdasarkan pada dharmab. Harus diusahakan melalui keilmuan (Jnana)c. Hukum didasarkan pada kepercayaan (Sadhana)d. Harus didasarkan pada usaha yang secara terus menerus dengan pengendalian; pikiran, ucapan, dan perilakue. Harus ditebus dengan usaha prayascita atau penyucian (Puja, Gde. 1984:84).Filsafat Hindu mengajarkan sistem dan metode penyampaian buah pikiran. Logika dan pragmatisme guna mendapatkan kebenaran ilmu (pramana) yang disebut satya. Kita harus menyadari bahwa hukum itu menyangkut berbagai bidang, oleh sebab itu, filsafat sangat diperlukan untuk menyusun hipotesis hukum. Bahkan boleh dikatakan filsafat menduduki kedudukan yang amat penting di dalam ilmu hukum yang disebut ”filsafat hukum”. Agama bukan hanya mengajarkan bagaimana manusia menyembah Tuhan. Tetapi juga memuat tentang; filsafat, hukum, dan lain-lain. Manawa Dharmasastra adalah kitab suci agama Hindu, yang memuat berbagai masalah hukum dilihat dari sistem kefilsafatannya, sosiologinya, dan bahkan dari aspek politik. Mengingat masalah hukum tersebut menyangkut berbagai bidang yang sangat luas, maka tidak akan terelakkan betapa pentingnya arti filsafat dalam menyusun suatu hipotesa hukum, bahkan filsafat menduduki tempat yang terpenting dalam ilmu hukum yang dituangkan dalam suatu cabang ilmu hukum yang disebut ”filsafat hukum”.28 Kelas XII SMA/SMK 5. Sumber Hukum menurut WedaDalam sloka II.6 kitab Manawadharmasastra ditegaskan bahwa, yang menjadi sumber hukum umat sedharma ”Hindu” berturut-turut sesuai urutan adalah sebagai berikut. a. Sruti b. Smrtic. Silad. Sadacarae. Atmanastuti (Pudja dan Sudharta, 2004:31).P.N. Sen, dan G.C. Sangkar, menyatakan bahwa sumber-sumber hukum Hindu berdasarkan ilmu dan tradisi adalah:a. Srutib. Smrtic. Silad. Sadacarae. Atmanastutif. NibandaNibanda adalah nama kelompok buku atau tulisan yang dibuat oleh para ahli pada zaman dahulu yang isinya bersifat pembahasan atau kritik terhadap materi hukum yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. Sruti sebagai Sumber Hukum Hindu Pertama, sebagaimana kitab Manawadharmasastra II.10 menyatakan bahwa; sesungguhnya Sruti adalah Weda, Smrti itu Dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari pada hukum. Selanjutnya mengenai Weda sebagai sumber hukum utama, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Manawadharmasastra II.6 bahwa; seluruh Weda sumber utama dari pada hukum, kemudian barulah smrti dan tingkah laku orang-orang baik, kebiasaan dan atmanastuti.Pengertian Weda sebagai sumber ilmu menyangkut bidang yang sangat luas sehinga Sruti dan Smrti diartikan sebagai Weda dalam tradisi Hindu. Sedangkan ilmu hukum Hindu itu sendiri telah membatasi arti Weda pada kitab Sruti dan Smrti saja. Kitab-kitab yang tergolong Sruti menurut tradisi Hindu adalah: Kitab Mantra, Brahmana dan Aranyaka. Kitab Mantra terdiri dari: Rg Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda.Next >