< Previous 241 Sejarah Indonesiaalam, kesehatan, ketenagakerjaan, pembangunan sosial, pengentasan masyarakat dari kemiskinan, pemberdayaan perempuan, kepemudaan, penanggulangan narkoba, peningkatan administrasi dan kepegawaian publik. Komunitas ASEAN berpusat pada masyarakat untuk penguatan kesetiakawanan dan persatuan dalam perbedaan ciri-ciri kebudayaan antarnegara anggota ASEAN. Persatuan dan kesetiakawanan tersebut dibangun melalui penguatan identitas bersama dan pembangunan masyarakat yang saling peduli, berbagi, dan harmonis. ASEAN juga bertekad untuk memperkuat persatuan dan saling pengertian terhadap perbedaan kebudayaan, sejarah, agama, dan peradaban. Pada 22 November 2015 10 negara anggota ASEAN menandatangani deklarasi komunitas ASEAN. Selanjutnya, pada 13 November 2017 para pemimpin tingkat tinggi ASEAN meluncurkan Masterplan Konektivitas ASEAN 2025.5. Organisasi Konferensi IslamOrganisasi Konferensi Islam (OKI) adalah organisasi internasional yang anggotanya terdiri atas negara-negara Islam seluruh dunia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 22 September 1969 saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Islam di Rabat Maroko atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hasan II dari Maroko. Latar belakang didirikannya organisasi dipicu oleh peristiwa pembakaran Mesjid Al Aqsho yang terletak di kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969. Peristiwa pembakaran tersebut menimbulkan reaksi keras dunia, terutama dari kalangan umat Islam.Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam rangka mengusahakan pembebasan Al-Quds. Pada awalnya OKI mempunyai 25 anggota dan saat ini jumlahnya bertambah menjadi 57 negara anggota serta sejumlah negara pengamat, antara lain Bosnia Herzegovina, Republik Afrika Tengah, Pantai Gading, dan Thailand.OKI didirikan berdasarkan pada keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) III OKI bulan February 1972, telah diadopsi piagam organisasi yang berisi tujuan OKI yaitu; meningkatkan solidaritas Islam serta mengkordinasikan kerja sama politik, ekonomi, dan sosial budaya antarnegara-negara anggota, mendukung upaya perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, dan bekerjasama untuk menentang diskriminasi rasial dan segala bentuk penjajahan, menciptakan suasana yang menguntungkan dan saling pengertian di antara negara anggota dan negara-negara lain.242 Kelas XII SMA/MA Untuk mencapai tujuan di atas, negara-negara anggota menetapkan 5 prinsip, yaitu; 1) persamaan mutlak antarnegara-negara anggota, 2) menghormati hak menentukan nasib sendiri, tidak campur tangan atas urusan dalam negeri negara lain, 3) menghormati kemerdekaan, kedaulatan dan integritas wilayah setiap negara, 4) penyelesaian sengketa yang mungkin timbul melalui cara-cara damai seperti perundingan, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrasi, 5) abstain dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah, kesatuan nasional atau kemerdekaan politik suatu negara.Konferensi para kepala negara/pemerintahan (Konferensi Tingkat Tinggi/KTT) merupakan badan otoritas tertinggi dalam organisasi. Semula badan tersebut mengadakan sidangnya apabila kepentingan umat Islam memandang perlu untuk mengkaji dan mengkoordinasikan mengenai masalah-masalah yang menyangkut kepentingan dunia Islam. Tetapi pada KTT III OKI di Mekah, bulan Januari 1981, ditetapkan bahwa KTT diadakan sekali dalam tiga tahun untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang akan diambil OKI.Sedangkan untuk Konferensi Para Menteri Luar Negeri (KTM), sesuai dengan artikel V Piagam OKI diadakan sekali dalam setahun bertempat di salah satu negara anggota. Pertemuan yang dihadiri oleh para menteri luar negeri tersebut akan memeriksa dan menguji “progress report” dari implementasi atas keputusan-keputusan dari kebijakan yang diambil pada pertemuan KTT.Sesuai artikel VIII Piagam OKI yang menyangkut keanggotaan dijelaskan bahwa organisasi terdiri atas negara-negara Islam yang turut serta dalam KTT yang diadakan di Rabat dan KTM-KTM (Konferensi Para Menteri Luar Negeri) yang diselenggarakan di Jedah (Maret 1970), Karachi (Desember 1971) serta yang menandatangani piagam. Kriteria yang dirancang oleh Pantia Persiapan KTT I adalah “Negara Islam” adalah negara yang konstitusional Islam atau mayoritas penduduknya Islam. Semua negara muslim dapat bergabung dalam OKI.Pada tahun-tahun pertama kedudukan Indonesia dalam OKI menjadi sorotan baik di kalangan OKI sendiri maupun di dalam negeri. Indonesia menjelaskan kepada OKI bahwa Indonesia bukanlah negara Islam secara konstitusional atau tidak turut sebagai penandatangan Piagam. Tetapi Indonesia telah turut serta sejak awal (Indonesia hadir pada KTT I OKI di Rabat Maroko) dan juga salah satu negara pertama yang turut berkecimpung dalam kegiatan OKI, kedudukan Indonesia disebut sebagai “Partisipan aktif”. Status, hak dan kewajiban Indonesia sama seperti negara-negara anggota lainnya. Pada awalnya, partisipasi Indonesia dalam OKI sangat terbatas, bahkan keanggotaan Indonesia dalam OKI sempat menjadi perdebatan, baik di dalam OKI maupun oleh kalangan dalam negeri. Ketika Piagam OKI dihasilkan 243 Sejarah Indonesiapada tahun 1972, Indonesia tidak ikut menandatanganinya sehingga tidak dikategorikan sebagai sebagai anggota resmi. Pertimbangannya adalah bahwa berdasarkan UUD 1945, Indonesia bukanlah negara Islam. Namun karena adanya tuntutan dan desakan-desakan dari dalam negeri, dimana mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, Indonesia tidak bisa meninggalkan OKI bahkan kemudian mulai memberikan kontribusi secara aktif dalam OKI di masa–masa berikutnya.Pada dekade 1990-an, partisipasi aktif Indonesia di OKI mulai terlihat, yaitu ditandai dengan kehadiran Presiden Soeharto pada KTT OKI ke-6 di Senegal pada Desember 1991. Hal ini dapat dilihat sebagai titik awal perubahan kebijakan luar negeri Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif di OKI. Partisipasi aktif Indonesia di OKI mulai mendapatkan respons positif dari banyak kalangan, bahkan Indonesia menjadi pemeran penting dalam pelaksanaan agenda-agenda OKI. Indonesia dipandang memiliki peran yang sangat strategis bagi OKI dan dunia Islam, karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia yang bukan negara Islam, serta prestasi-prestasi Indonesia di dalam penerapan demokrasi. Indonesia bisa dikatakan menjadi “model” ideal bagi dunia Islam dalam penerapan demokrasi, karena dinilai berhasil di dalam menerapkan demokrasi. Selain itu Indonesia juga dianggap sebagai “jembatan” penghubung antara dunia Islam dengan dunia Barat. Kedekatan Indonesia dengan Barat dikarenakan prestasi Indonesia di dalam pengembangan demokrasi, menjadi sebuah modal penting bagi Indonesia untuk dekat dengan dunia Barat yang selama ini selalu giat mengumandangkan demokratisasi dunia, terlebih pasca Perang Dingin. Kontribusi nyata Indonesia sebagai anggota OKI yang paling memiliki peran strategis di antaranya adalah pada tahun 1993, Indonesia menerima mandat sebagai ketua committee of six yang bertugas memfasilitasi perundingan damai antara Moro National Liberation Front (MNLF) dengan pemerintah Filipina. Kemudian pada tahun 1996, Indonesia menjadi tuan rumah bagi terselenggaranya Konferensi Tingkat Menteri OKI (KTM-OKI) ke-24 di Jakarta. Selain itu, Indonesia juga memberikan kontribusi untuk mereformasi OKI sebagai wadah untuk menjawab tantangan untuk umat Islam memasuki abad ke-21. Pada penyelenggaraan KTT OKI ke-14 di Dakar, Senegal, Indonesia mendukung pelaksanaan OIC’s Ten Year Plan of Action. Dengan diadopsinya piagam ini, Indonesia memiliki ruang untuk lebih berperan dalam memastikan implementasi reformasi OKI tersebut. Indonesia berkomitmen dalam menjamin kebebasan, toleransi dan harmonisasi serta memberikan bukti nyata akan keselarasan Islam, demokrasi, dan modernitas.244 Kelas XII SMA/MA Dari peran-peran Indonesia dalam OKI tersebut nampak dengan nyata usaha diplomasi Indonesia dalam dunia Islam yang tetap bebas dan aktif, bebas karena tidak terikat dalam suatu blok tertentu, dan aktif dalam mengusahakan segala kestabilan dan keharmonisan serta perdamaian dunia, baik dunia Islam maupun Barat.6. Deklarasi DjuandaPada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI mengeluarkan sebuah klaim atau pernyataan yang menjadi salah satu dasar kedaulatan wilayah yang baru setelah Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 dan Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Karena pernyataan tersebut dilakukan pada masa Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaya maka lebih dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda adalah suatu perjuangan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan batas wilayah laut, sehingga wilayah Indonesia merupakan suatu kesatuan yang utuh dilihat dari berbagai aspek, yaitu aspek politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Melihat kondisi geografis Indonesia yang unik, banyaknya wilayah laut dibanding darat, menyadarkan pemerintah Indonesia bahwa persoalan wilayah laut merupakan faktor penting bagi kedaulatan negara.Secara historis batas wilayah laut Indonesia telah dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu dalam Territorial Zee Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939, yang menyatakan bahwa lebar wilayah laut Indonesia adalah tiga mil diukur dari garis rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia. Karenanya di antara ribuan pulau di Indonesia terdapat laut-laut bebas yang membahayakan kepentingan bangsa Indonesia sebagai Negara Kesatuan.Selama masa pendudukan bangsa Eropa di wilayah Nusantara, prinsip kebebasan lautan yang diajarkan Hugo de Groot (Grotius), seorang ilmuwan dari Belanda telah mengakibatkan datangnya pedagang-pedagang Belanda ke negeri Nusantara melalui lautan, yang kemudian berlanjut dengan penjajahan. Pada tahun 1608, Hugo de Groot menuliskan dalam bukunya bahwa Belanda, seperti halnya bangsa Eropa yang lainnya, memiliki hak yang sama untuk berlayar ke Timur. Dengan demikian, prinsip hak milik negara atas lautan juga telah menyebabkan penguasaan Nusantara beserta lautnya oleh berbagai kekuatan luar seperti Portugal, Spanyol, Inggris dan lain-lain. Selama kurang lebih tiga abad selanjutnya, laut Nusantara lebih banyak berfungsi sebagai alat pemisah dan pemecah belah kesatuan dan persatuan Indonesia.Baru pada abad ke-20, melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Staatsblad 1939 No. 422) atau yang biasa disingkat dengan Ordonantie 1939, wilayah laut dalam suatu pulau di Nusantara 245 Sejarah Indonesiamemiliki ketetapan hukum yang diakui secara internasional. Ordonantie 1939 menetapkan bahwa jarak laut teritorial bagi tiap-tiap pulau sejauh tiga mil. Peraturan ini, memunculkan ’kantong-kantong’ lautan bebas di tengah-tengah wilayah negara yang membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas. Ordonansi itu juga berlaku bagi kapal-kapal perang Belanda yang tidak mungkin dilarang oleh Indonesia. Kapal-kapal Belanda dapat dengan bebas menjelajahi perairan laut di antara pulau-pulau di Indonesia karena memang hukum laut internasional yang berlaku saat itu masih memungkinkannya.Indonesia tidak memiliki hak untuk melarangnya apalagi kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih jauh ketinggalan dengan Belanda.Keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik Indonesia jelas sangatlah janggal. Bagaimana pun penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih satu bangsa, sehingga tidak mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya.Oleh sebab itu, mulai muncul gagasan untuk merombak sistem hukum laut Indonesia.Pemikiran untuk mengubah Ordinantie 1939 dimulai pada 1956. Pada waktu itu, pimpinan Departemen Pertahanan Keamanan RI mendesak kepada pemerintah untuk segera merombak hukum laut warisan kolonial yang secara nyata tidak dapat menjamin keamanan wilayah Indonesia. Desakan itu juga didukung oleh departemen lain seperti Departemen Dalam Negeri, Pertanian, Pelayaran, Keuangan, Luar Negeri, dan Kepolisian Negara. Akhirnya, pada 17 Oktober 1956 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memutuskan membentuk suatu panitia interdepartemental yang ditugaskan untuk merancang RUU (Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956. Panitia itu di bawah pimpinan Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi.Setelah bekerja selama 14 bulan akhirnya ’Panitia Pirngadi’ berhasil menyelesaikan konsep RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Pada prinsipnya, RUU itu masih mengikuti konsep Ordonansi 1939; perbedaannya adalah bahwa laut teritorial Indonesia ditetapkan dari tiga mil menjadi 12 mil. Panitia belum berani mengambil berbagai kemungkinan risiko untuk menetapkan asas straight base line atau asas from point to point mengingat kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih belum memadai. Sebelum RUU disetujui, Kabinet Ali bubar dan digantikan oleh Kabinet Djuanda.Sejalan dengan ketegangan yang terjadi antara Belanda dan RI terkait masalah Irian Barat, pemerintahan Djuanda lebih banyak mencurahkan perhatian untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi RI dalam melawan Belanda yang lebih unggul dalam pengalaman perang dan 246 Kelas XII SMA/MA persenjataan. Untuk itu, sejak 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mr. Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan keutuhan wilayah RI. Akhirnya, ia memberikan gambaran ’asas archipelago’ yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada 1951 seperti yang telah dipertimbangkan oleh RUU sebelumnya namun tidak berani untuk menerapkannya dalam hukum laut Indonesia. Sebagai alternatif terhadap RUU itu, disusun konsep ’asas negara kepulauan’.Dengan menggunakan ’asas archipelago’ sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau ’archipelagic state’ yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan hukum tata negara di dunia. Dalam sidang 13 Desember 1957, Dewan Menteri akhirnya memutuskan penggunaan ’Archipelagic State Principle’ dalam tata hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya ’Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia’. Dalam pengumuman itu, pemerintah menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia. Isinya adalah: ”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.Dalam peraturan, yang akhirnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda, disebutkan juga bahwa batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya tiga mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut. Dengan keluarnya pengumuman tersebut, secara otomatis Ordonantie 1939 tidak berlaku lagi dan wilayah Indonesia menjadi suatu kesatuan antara pulau-pulau serta laut yang menghubungkan antara pulau-pulau tersebut. Dalam Deklarasi Djuanda terkandung suatu konsepsi negara maritim “Nusantara”, yang melahirkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa 247 Sejarah IndonesiaIndonesia untuk memperjuangkan serta mempertahankannya hingga mendapat pengakuan internasional. Deklarasi Djuanda merupakan landasan struktural dan legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia sebagai negara maritim. Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, maka Ordonantie 1939 sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, dan garis teritorial laut Indonesia yang sebelumnya 3 mil menjadi 12 mil. Namun, tidak lama setelah Indonesia mengeluarkan peraturan tersebut, muncul beberapa reaksi terhadap peraturan tersebut. Reaksi protes datang dari beberapa negara seperti dari Amerika Serikat (tanggal 30 Desember 1957), Inggris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Perancis (8 Januari 1958), dan Selandia Baru (11 Januari 1958). Reaksi penolakan tersebut sudah dipikirkan oleh pemerintah Indonesia, dan sudah pula diumumkan bahwa reaksi-reaksi dari berbagai negara tersebut akan diperhatikan dan dibahas dalam konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang akan diadakan pada 1958 di Jenewa. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah siap dengan reaksi protes yang diajukan dan siap berdebat pada konferensi di Jenewa.Delegasi Indonesia yang datang pada konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang diadakan di Jenewa terdiri atas Mr. Ahmad Subardjo Djojohadisuryo, S.H. yang pada waktu menjabat sebagai Duta Besar RI di Swiss, Mr. Mochtar Kusumaatmadja, Goesti Moh. Chariji Kusuma, dan M. Pardi (Ketua Mahkamah Pelayaran). Dalam kesempatan itu delegasi Indonesia mengemukakan asas Archipelagic Principle dalam pidatonya. Inilah untuk pertama kali masyarakat internasional mendengar penjelasan mengenai implementasi ’Archipelagic Principle’ terhadap suatu negara yang melahirkan ’Archipelagic State Principle’ yang pada waktu itu masih asing bagi dunia. Asing karena asas ini eksis tapi belum ada satu pun negara di dunia yang menggunakannya. Meskipun telah dijelaskan lewat pidato, negara-negara yang pernah menyampaikan protes kepada pemerintah Indonesia belum dapat menerima. Hanya, Indonesia mendapatkan dukungan dari Ekuador, Filipina, dan Yugoslavia.Pemerintah Indonesia kemudian menggunakan beberapa cara untuk mendapat simpati dari negara-negara lain, misalnya dengan menyebarkan tulisan The Indonesian Delegation to the Conference on the Law of the Sea. Usaha itu mulai membuahkan hasil dan setelah itu mulai banyak negara-negara yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia.Pemerintah Indonesia kemudian merancang peraturan 13 Desember menjadi undang-undang agar kedudukannya menjadi lebih kuat. Pada tahun 1960 pengumuman tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 4/1960. Produk hukum inilah 248 Kelas XII SMA/MA yang kemudian juga disampaikan pada Konferensi Hukum Laut PBB ke-2 yang diselenggarakan tahun 1960, namun usul Indonesia masih belum dapat diterima. Pada tahun 1962, Indonesia kembali menerbitkan PERPU No. 8/1962 mengenai ’Lalu-lintas Laut Damai Kapal Asing dalam Perairan Indonesia, dan masih terus menyempurnakan implementasi Asas Negara Kepulauan dalam sistem hukum di Indonesia. Jalan Indonesia untuk memperjuangkan diakuinya Asas Negara Kepulauan mulai menemui kemudahan ketika pada tahun 1971 Indonesia dipilih menjadi anggota Committee of the Peaceful Uses of the Sea-Bed and Ocean Floor beyond the Limit of National Jurisdiction yang merupakan badan PBB untuk mempersiapkan Konferensi Hukum Laut PBB. Dipilihnya Indonesia sebagai anggota badan tersebut, membuat Indonesia lebih mudah dalam menyosialisasikan implementasi prinsip negara kepulauan agar mendapatkan pengakuan dari pihak internasional. 12 Maret 1980, dengan menggunakan dasar Hukum Laut Internasional mengenai Economic Exclusive Zone Pemerintah Indonesia juga mengumumkan peraturan tentang Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil diukur dari garis dasar. Pada tahun 1983, pengumuman ini disahkan menjadi Undang-undang RI No. 5/1983.Konsep negara kepulauan sendiri baru disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia pada 10 Desember 1982 pada Konvensi Hukum Laut Internasional.Tidak hanya konsep negara kepulauan saja yang disetujui, namun juga mengenai ZEE. Lebih dari itu, konsep negara kepulauan juga dimasukkan sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut PBB. Suatu kemenangan diplomasi Indonesia yang patut dicatat sejarah. Karena itulah kini tanggal 13 Desember, hari di saat UU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim dan diterimanya Asas Negara Kepulauan, diperingati sebagai Hari Nusantara. Jika pada Sumpah Pemuda (1928) rakyat Indonesia menyatakan diri sebagai suatu bangsa, pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan bangsa tersebut, maka pada tanggal 13 Desember 1957 ini dinyatakanlah wilayah yang menjadi tanah airnya. Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) hingga kini telah diratifikasi oleh 140 negara. Negara-negara kepulauan (Archipelago States) memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi Ekslkusif (ZEE) seluas 200 mil laut di luar wilayahnya. Hal ini kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Dengan ditetapkannya Deklarasi Djuanda dan diresmikannya deklarasi itu menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang perairan Indonesia.Wilayah negara 249 Sejarah IndonesiaRI yang semula luasnya 2.027.087 km2 (daratan) bertambah luas lebih kurang menjadi 5.193.250 km2 (terdiri atas daratan dan lautan). Ini berarti bertambah kira-kira 3.106.163 km2 atau 145%. Manfaat dari deklarasi Djuanda ini berlanjut kepada bertambah besarnya perairan laut Indonesia. Deklarasi ini mengandung konsep tanah air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa tetapi dinilai sebagai alat pemersatu dan wahana pembangunan nasional.7. Jakarta Informal Meeting (JIM) I dan IIPada tahun 1970 di Kamboja, terjadi kudeta yang pada saat itu dipimpin oleh Pangeran Norodom Sihanouk. Ketika itu, Pangeran Norodom Sihanouk sedang berada di luar negeri, keponakannya yang bernama Pangeran Sisowath Sirik Matak bersama Lo Nol melakukan kudeta kekuasaan, sejak peristiwa itu terjadi perang saudara yang berlangsung lama dan berlarut-larut. Sihanouk kemudian memilih untuk mengasingkan diri di Beijing dan memutuskan untuk beraliansi dengan Khmer Merah, yang bertujuan untuk menentang pemerintahan Lon Nol dan akhirnya dapat merebut kembali tahtanya. Pada tahun 1975 Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil menggulingkan Lon Nol dan mengubah format kerajaan menjadi sebuah Republik Demokratik Kamboja (Democratic Kampuchea/ DK) yang dipimpin oleh Pol Pot. Namun sayangnya, semasa Pol Pot berkuasa Kamboja terperosok dalam tragedi yang mengenaskan di mana Khmer Merah menjalankan program Cambodia the Year Zero, yaitu dengan menjadikan Kamboja sebagai Negara Agraris. Namun program ini justru berakhir dengan tewasnya sekitar tiga juta orang rakyat Kamboja akibat kelaparan, wabah penyakit dan pembantaian.Pada akhir 1978, terjadi bentrokan di perbatasan antara rezim Khmer Merah dengan Vietnam. Dalam kurun waktu itu juga terjadi pembantaian orang- orang keturunan Vietnam di Kamboja, sehingga Vietnam menyerbu Kamboja dengan tujuan untuk menghentikan genosida besar-besaran tersebut. Invasi Vietnam berhasil menggulingkan rezim Khmer Merah dan pada bulan Januari 1979, Vietnam mendirikan rezim baru di Kamboja dengan Heng Samrin bertindak sebagai kepala negaranya. Pembentukan pemerintahan baru ini ditentang keras oleh Kaum Nasionalis Kamboja, termasuk Sihanouk sendiri, yang kemudian membentuk kelompok perlawanan yang dikenal sebagai Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK) yang terdiri atas kelompok Khmer Merah yang baru saja ditumbangkan Vietnam, Front Uni National pour un Cambodge Independent, Neutre Pacifique et Cooperatif (FUNCINPEC) di bawah pimpinan Sihanouk dan Khmer People Liberation Front (KPNLF) di bawah pimpinan Son Sann.250 Kelas XII SMA/MA Perang saudara kemudian terus berlanjut tanpa ada tanda-tanda penyelesaian.Kenyataan yang menyebabkan kesengsaraan yang sangat memprihatinkan bagi rakyat Kamboja inilah yang kemudian mendorong Indonesia bersama-sama negara-negara anggota ASEAN lainnya memulai prakarsa serta berbagai upaya mediasi guna mencari penyelesaian yang damai, adil, langgeng dan menyeluruh. Pada gilirannya, konflik internal ini melibatkan campur tangan dari pihak di luar Kamboja dalam upaya penanganan masalah yang dinilai dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional.Dalam kerangka penyelesaian konflik Kamboja, berbagai upaya telah dilaksanakan untuk mencapai sebuah perdamaian. Salah satu negara yang memainkan peran signifikan dalam penyelesaian konflik Kamboja, adalah Indonesia. Hal tersebut bermula dari awal tahun 1980-an di mana konflik internal tengah mengalami eskalasi yang memprihatinkan, Indonesia semakin meningkatkan perhatiannya terhadap masalah yang terjadi di Kamboja. Hal ini tentunya sejalan dengan politik luar negeri Indonesia yang turut aktif dalam menghadapi permasalahan-permasalahan dunia seperti juga yang termuat dalam Mukadimah UUD 1945 yaitu turut mewujudkan perdamaian dunia. Di sisi lain, Indonesia sebagai salah satu pendiri dan soko guru ASEAN juga harus menunjukkan kapasitasnya sebagai stabilisator utama di kawasan, di mana hal ini juga tentunya sejalan dengan tujuan ASEAN dalam upayanya untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan di negara tersebut sehingga demi perdamaian dapat tercapai di kawasan. Pembentukan Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK) pada tahun 1982 dengan Sihanouk selaku Presidennya, diakui oleh ASEAN dan didukung oleh negara-negara Barat dan anggota PBB lainnya. Peristiwa ini mendorong dipercepatnya penyelesaian konflik Kamboja di meja perundingan, baik pada tingkatan regional maupun internasional.Di lain pihak, reputasi Indonesia sebagai mediator/penengah yang disegani di kawasan telah memperoleh pengakuan oleh negara-negara ASEAN. Hal ini dibuktikan dengan dipilihnya Indonesia sebagai ‘penghubung” antara ASEAN dan Vietnam yang menunjukan semakin menonjolnya peranan Indonesia dalam penyelesaian konflik ataupun rekonsiliasi di Kamboja. Tercatat pada bulan Mei 1984 berlangsung pertemuan tahunan ASEAN tingkat menteri di Jakarta, yang tujuan pokoknya adalah rekonsiliasi nasional dan pembahasan upaya penyelesaian konflik Kamboja melalui jalan damai. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia kemudian terpilih sebagai “penghubung” antara ASEAN dan Vietnam dengan tugas memperjuangkan tercapainya dialog murni dengan Vietnam dalam rangka mencari suatu pendekatan yang aktif terhadap penyelesaian masalah dalam kerangka keamanan strategis kawasan.Perjuangan Next >