< PreviousPendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti149perilakunya baik di mata mereka? Maukah mereka disebut sebagai “Hindu anonim” atau “Buddhis anonim” dengan alasan yang sama? Dapatkah kita membangun kerukunan antarumat beragama dengan sikap seperti ini?3. Pluralisme. Daniel S. Breslauer menyebut pluralisme sebagai: “Suatu situasi di mana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda.” Dengan sikap pluralis, orang berupaya mencari titik temu bagi agama-agama. Titik temu bagi terciptanya dialog dan kerja sama adalah kebersamaan setiap pemeluk agama dalam menghadapi serta memecahkan masalah-masalah kemanusiaan bersama. Dalam pluralisme perbedaan antara agama-agama diakui, namun bukan untuk diadu domba melainkan dicari titik-titik perjumpaannya yang diisi sikap saling menghargai dan kesatuan. Jadi, pada dasarnya pluralisme tidak menolak perbedaan, yang ditolak adalah membeda-bedakan agama dan ajarannya yang berujung pada ketidakrukunan. Pluralisme tidak berarti mempersamakan semua agama. Atau seperti yang sering dikatakan orang, “Semua agama itu sama saja.” Sebaliknya, pluralisme mengakui bahwa agama-agama itu saling berbeda semuanya. Namun, justru karena berbagai perbedaan yang ada itulah, kita didorong untuk membangun jembatan penghubung untuk saling menolong, saling menghargai dan bekerja sama dalam kerukunan hidup. Misi dan dakwah dilakukan bukan dengan tekanan atau paksaan. Bukan pula dengan menjelek-jelekkan agama lain, melainkan dengan kesaksian hidup yang nyata dalam kesadaran akan keunikan agama masing-masing. Dengan mengakui perbedaan agama, manusia mencari pintu masuk menuju dialog dan kerja sama untuk menyelesaikan berbagai persoalan kemasyarakatan secara bersama-sama.Menurut Herlyanto dalam makalahnya: “Pluralisme Agama dan Dialog” (Sahabat Awam no. 55), di kalangan Gereja Katolik Roma, Konsili Vatikan-II (1962-1965) telah tumbuh sikap yang lebih terbuka terhadap agama-agama lain. Di kalangan Kristen Protestan sejak akhir tahun 1960-an Dewan Gereja-Gereja Dunia (WCC) mulai dirasakan perlunya membuka dialog dengan agama-agama lain. Pendekatan ini disambut banyak tokoh agama dari berbagai kalangan di Indonesia.Alm. Pdt. Dr. Eka Darmaputera menjelaskan bahwa pluralisme adalah suatu kerangka berpikir dan sikap tertentu dalam menghadapi realitas pluralitas, yaitu sebuah keterbukaan yang tulus dan sungguh-sungguh untuk menyadari dan mengakui perbedaan-perbedaan antara individu dan kelompok-kelompok. Dari sini jelas bahwa Eka Darmaputera mengakui dan mengajak Buku Guru Kelas XII SMA/SMK150kita menerima pluralitas agama-agama. Ia berharap bahwa orang-orang yang berasal dari kelompok-kelompok agama yang beraneka ragam tidak hanya hidup dengan damai, tetapi juga bekerja bersama-sama dalam pro-eksistensi yang kreatif satu sama lain. Tentang perbedaan-perbedaan yang ada antara agama-agama, Eka mengatakan bahwa kita bisa saja membandingkannya, tetapi janganlah kita justru mempertandingkannya, sebab agama memang bukan sesuatu yang perlu dipertandingkan. Dengan demikian, maka kita akan selalu diingatkan agar kita terus mempertahankan rasa asin dari garam yang kita miliki dalam iman kita. Tuhan Yesus berkata dalam Markus 9:50, “Garam memang baik, tetapi jika garam menjadi hambar, dengan apakah kamu mengasinkannya? Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.” Kita dapat menemukan pandangan serupa di kalangan sejumlah teolog dari kalangan Katolik Roma seperti Prof. Dr. Franz-Magnis Suseno dan Prof. Dr. Mudji Sutrisno. Di kalangan Islam kita mengenal tokoh-tokoh dialog seperti antara lain alm. K.H. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Alwi Shihab, Prof. Dr. Quraish Shihab, dari Departemen Agama ada Prof. Dr. Djohan Eff endi, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Mohammad Sobary, M.Sc, dan Prof. Komarudin Hidayat. Selain orang-orang ini, ada pula lembaga-lembaga yang aktif dalam dialog. Yayasan Interfi dei di Kaliurang, Yogyakarta, didirikan oleh Pdt. Dr. Eka Darmaputera, Pdt. Dr. Th. Sumartana, K.H. Abdurrahman Wahid, dan lain-lain untuk menggalakkan dialog antariman. Yayasan Paramadina yang dibentuk sejumlah tokoh Islam juga ikut mendorong kegiatan dialog di kalangan Islam. Beberapa tokohnya adalah alm. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, dan Muhammad Wahyuni Nafi s. Adapun tokoh dari ICMI adalah K.H. Masdar Farid Mas’udi. Ada pula kelompok Jaringan Islam Liberal yang aktif membangun kesadaran akan masyarakat yang pluralistik di Indonesia. Salah satu tokohnya adalah pemikir muda Islam, Ulil Abshar Abdallah. Gereja dan Kerukunan Umat BeragamaMasalah ketidakharmonisan dalam hubungan antarumat beragama sesungguhnya tidak terlepas dari pemahaman gereja tentang tugas dan tanggung jawabnya di tengah masyarakat. Bagaimana gereja memahami semuanya itu? Apakah tugas gereja semata-mata terkait dengan urusan rohani semata-mata? Ataukah kepedulian gereja semata-mata hanyalah pada masalah bagaimana menambahkan jumlah anggotanya sebanyak-banyaknya? Apabila setiap agama hanya peduli akan pertambahan anggota sebanyak-banyaknya, maka yang seringkali terjadi adalah berbagai upaya yang menghalalkan cara apapun juga dan menyebarkan agama tanpa cara-cara yang etis. Misalnya, menghalang-halangi keinginan orang lain untuk beribadah menurut agamanya Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti151sendiri, bahkan memaksakan suatu agama tertentu kepada kelompok agama lainnya, dan lain-lain. Setiap agama hanya memikirkan dirinya sendiri. Bagaimana dengan gereja sendiri? Sudah seberapa jauh gereja memikirkan pentingnya hidup bersama-sama dengan orang lain secara harmonis? Sudah seberapa jauh gereja bertindak proaktif dalam kepeduliannya kepada orang lain? Apabila langkah terakhir ini yang diambil oleh gereja, maka akan timbul sikap yang berbeda terhadap orang-orang yang beragama lain. Gereja dan orang Kristen yang mengambil cara berpikir seperti ini akan sadar bahwa mereka membutuhkan orang lain dalam menghadapi masalah-masalah bersama seperti kemiskinan, ketidakadilan, penindasan kepada kelompok-kelompok minoritas, dan lain-lain. Mereka akan sadar bahwa mereka tidak dapat mengatasi semua masalah itu sendirian dan karena itu mereka harus bekerja sama dengan orang lain. Ketika orang Kristen harus bekerja sama dengan orang lain, mereka pun harus belajar mendengarkan orang lain. Mereka tidak bisa memaksakan hanya pemikiran mereka sendiri. Mereka harus mendengar, belajar menerima pendapat dan solusi yang ditawarkan oleh orang lain. Ini tentu tidak mudah bagi mereka yang selama ini sudah terbiasa menganggap dirinya yang paling benar dan memonopoli kebenaran itu sendiri.Pertanyaan seorang Farisi kepada Yesus tentang hukum yang terutama dalam hukum Taurat mengandung keinginan untuk memilah-milah manakah hukum yang terutama dan hukum-hukum yang sekunder atau yang kurang penting. Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. 38Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. 39Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. 40Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”Berdasarkan ayat-ayat di atas jelas bahwa Taurat mewajibkan kita menciptakan dan memelihara hubungan kasih kepada Allah maupun sesama. Kita diperin-tahkan mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri. Seorang ahli Taurat datang dan bertanya kepada Yesus, “Siapakah sesamaku manusia itu?” (Lukas 10:25-37). Mengapa ia bertanya demikian? Di sini pun jelas bahwa orang ini ingin memilah-milah, siapakah yang layak dia kasihi dan siapa yang dapat ia singkirkan. Bukankah ini juga yang sering kita temukan dalam hidup kita sehari-hari? Ada yang kita pilih sebagai teman kita, ada yang kita anggap orang asing, bahkan musuh yang harus disingkirkan. Yesus lalu mengisahkan perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati. Ia sengaja memilih orang Samaria sebagai tokoh ceritanya. Mengapa? Orang Buku Guru Kelas XII SMA/SMK152Samaria sudah ratusan tahun dijauhi oleh orang Israel. Mereka dianggap rendah karena mereka berdarah campuran Israel dengan bangsa Asyur yang menyerang dan menduduki Israel ke Asyur pada tahun 741 Sebelum Masehi. Sebagian warga Israel dibuang ke Asyur, dan sejumlah besar orang Asyur dipindahkan ke Israel, sehingga mereka kemudian melakukan perkawinan campuran. Akibatnya, terbentuklah “orang Samaria”. Selain berdarah campuran, agama mereka pun tidak sama dengan agama Israel. Mereka hanya mengakui kelima kitab Taurat dan melakukan ibadah bukan di Yerusalem melainkan di Bukit Gerizim. Karena itu, di mata orang Israel mereka bukan saja tidak murni darahnya, tetapi juga kafi r agamanya. Pada bagian akhir perumpamaan-Nya, Yesus bertanya:36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” 37Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”Pertanyaan ini membalikkan pertanyaan sang ahli Taurat. Ia tidak menjawab pertanyaan “Siapakah sesamaku?” Sebaliknya Yesus bertanya, “Siapa yang telah menjadi sesama manusia dari si korban perampokan itu?” Sang ahli Taurat itu pun tidak punya pilihan lain selain menjawab, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Yesus lalu menyuruhnya pergi, “Pergilah, dan perbuatlah demikian!” Artinya, pergilah, dan perbuatlah apa yang dilakukan orang Samaria itu. Dalam konteks sekarang, siapakah orang Samaria itu? Di masa Yesus, ia adalah orang yang berkeyakinan lain, bahkan disisihkan dari masyarakat Yahudi. Siapakah mereka sekarang? Menurut Kosuke Koyama dalam bukunya Pilgrim or Tourist, kalau Yesus mengucapkan kata-kata itu sekarang, kata “Samaria” mungkin akan digantinya dengan kata-kata lain. Ia akan menyebutkan orang-orang yang beragama lain: orang Hindu, Buddhis, Muslim, Konghucu, dan lain-lain. Yesus akan menyebutkan mereka yang melakukan perbuatan baik, meskipun mereka bukan orang Kristen. Mengakui perbuatan baik yang dilakukan orang yang beragama lain akan membuat kita bersikap terbuka. Kita mengakui bahwa bukan hanya orang Kristen yang dapat berbuat baik, tetapi juga orang-orang lain yang berkeyakinan lain. Kita tidak dapat memonopoli kebaikan. Kita juga menyadari ada terlalu banyak tantangan dan persoalan dalam hidup kita sehingga kita membutuhkan bantuan orang lain untuk ikut menyelesaikannya. Inilah dasar-dasar kerukunan antar umat beragama. Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti153D. Membangun Kebersamaan dalam PerbedaanPada bagian pelajaran ini kita ingin belajar bagaimana sebaiknya orang-orang yang berbeda keyakinan itu dapat hidup bersama. Bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, budaya, dan agama. Semua itu merupakan kekayaan yang patut disyukuri. Pada sisi lain, keberagaman tersebut dapat melahirkan berbagai gesekan yang pada akhirnya berubah menjadi konfl ik dan perpecahan. Sebaliknya, kekayaan itu akan menjadi benih kerukunan apabila bangsa kita dapat belajar untuk saling menerima dan menghargai. “Rukun” berarti hidup berdampingan secara damai, saling menolong ketika seseorang atau sebuah kelompok membutuhkannya dalam kesusahan atau malapetaka.Kerukunan bukanlah sebuah konsep baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu gotong royong (kerja sama) dan tolong-menolong sudah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat. Mereka sadar bahwa kerja sama sangat dibutuhkan untuk menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan bersama kita. Untuk mengakomodasi berbagai perbedaan suku bangsa, budaya, dan agama, para pendiri negara Indonesia telah merumuskan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Rupanya mereka telah membaca adanya bahaya yang akan timbul di kemudian hari karena adanya kepelbagaian dalam suku bangsa, budaya, dan agama. Namun demikian, kepelbagaian ini pun dapat dijadikan kekayaan yang harus diterima dan memperkaya budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dipakai untuk merekat berbagai perbedaan dalam satu pelangi yang indah, suatu kesatuan nasional sebagai “bangsa Indonesia”. Di samping itu, dasar negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila, juga mengakui kepelbagaian agama di Indonesia melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila juga memberi ruang yang luas bagi tercipta serta terpeliharanya hidup rukun antarmasyarakat bangsa yang berbeda agama melalui sila kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan ( demokrasi), dan keadilan sosial.Bagaimana caranya membangun sikap menghargai agama lain dan para pemeluknya? Kata kuncinya di sini adalah keberanian untuk mendengarkan orang lain. Hal itu berarti bersikap terbuka terhadap apa yang dikatakan oleh orang lain tanpa menjadi defensif. Untuk itu, kita harus benar-benar mendalami keyakinan agama kita sendiri. Rasa takut dan sikap yang defensif hanya timbul dari diri orang yang tidak siap untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengganggu keyakinan imannya. Dalam Bab 5 dibahas mengenai multikulturalisme dimana ada beberapa prinsip dasar yang menjadi acuan dalam mewujudkan multikulturalisme, antara lain sebagai berikut. Buku Guru Kelas XII SMA/SMK1541. Pengakuan terhadap berbagai perbedaan dan kompleksitas kehidupan dalam masyarakat.2. Perlakuan yang sama terhadap berbagai komunitas dan budaya, baik yang mayoritas maupun minoritas.3. Kesederajatan kedudukan dalam berbagai keanekaragaman dan perbedaan, baik secara individu ataupun kelompok serta budaya.4. Penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia dan saling menghormati dalam perbedaan.5. Unsur kebersamaan, solidaritas, kerja sama, dan hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan.Prinsip-prinsip tersebut juga berlaku dalam hubungan antarumat beragama. Kita tidak akan mampu mempersatukan dogma atau ajaran semua agama namun kita dapat mempersatukan semua umat beragama melalui berbagai kerja sama dan upaya untuk menanggulangi masalah-masalah kemanusiaan. Pendekatan dogmatis hanya akan berakhir pada konfl ik dan perpecahan namun melalui upaya kemanusiaan semua orang dari latar belakang agama yang berbeda akan dipersatukan sebagai komunitas yang peduli pada kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian.E. Penutup Guru mengajak peserta didik untuk berdoa: “Tuhan, Engkau telah menciptakan kami dengan warna kulit dan rambut yang berbeda-beda. Engkau membentuk kami dalam budaya kami yang berbeda-beda. Dan kami menjawab karya-Mu dan kasih-Mu dengan cara yang berbeda-beda pula. Tolonglah kami semua untuk mengenali pekerjaan-Mu di dalam diri sesama kami, juga sesama kami yang beriman dan berkeyakinan yang berbeda dengan iman dan keyakinan kami. Tolonglah kami untuk mengasihi sesama kami, menerima perbedaan-perbedaan di antara kami. Bukannya saling bermusuhan, tolonglah kami untuk hidup dalam kasih yang murni sehingga dengan demikian kami boleh memberikan kesaksian yang hidup bagi kemuliaan nama-Mu. Amin. F. Penjelasan Alkitab Mazmur 133 Mazmur 133 berbicara tentang persaudaraan yang rukun. Persaudaraan ini mestinya tidak hanya dibangun dengan orang-orang yang seiman saja, tetapi dengan siapapun juga. Kita terpanggil untuk saling menolong, menopang, dan bekerja bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah dan tantangan bangsa kita. Akan tetapi, bagaimanakah kenyataannya dalam Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti155praktik kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia? Masih banyak pelanggaran yang dibuat oleh kaum mayoritas terhadap minoritas di Indonesia. Persaudaraan yang rukun lebih banyak dipercakapkan daripada dipraktikkan. Hal itu terbukti melalui berbagai konfl ik horizontal yang terjadi yang berakar dari perbedaan agama. Alkitab tidak berbicara tentang kerukunan antarumat beragama secara langsung, tetapi hukum kasih yang diajarkan Yesus Kristus adalah kasih yang melewati batas-batas suku, bangsa, agama dan budaya. Perintah kasih yang berbunyi “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:37-40) bersifat universal, menyeluruh untuk semua orang di mana pun mereka berada.G. Kegiatan PembelajaranPengantar Bagian pengantar mengarahkan peserta didik untuk memahami garis besar pelajaran dan menjelaskan alasan pemilihan topik dan urgensinya bagi peserta didik.Kegiatan 1 Pendalaman materi mengenai potret pertikaian dan konfl ik yang berlatar belakang agama. Peserta didik mempelajari beberapa kasus yang diangkat dalam buku siswa kemudian menulis jawaban mengenai penyebab konfl ik yang terjadi dan menyimpulkan analisis mereka terhadap kasus-kasus tersebut. Kegiatan 2 Pendalaman materi mengenai beberapa pandangan mengenai hubungan antarumat beragama, dilanjutkan dengan beberapa sikap dalam kaitannya dengan hubungan antaragama. Pemaparan materi ini bukan merupakan bentuk indoktrinasi pada peserta didik. Diharapkan guru tetap memberi kebebasan pada peserta didik untuk mempelajari serta memahami dengan baik materi yang ada. Sebagai remaja Kristen mereka harus kritis mendalami berbagai sikap yang ada. Dalam banyak kasus peserta didik mengalami sendiri pengalaman buruk mengenai hubungan antarumat beragama. Hal itu akan semakin sulit ketika topik ini dibahas di daerah-daerah di mana konfl ik antarumat beragama pernah terjadi. Di daerah-daerah tersebut, guru tidak dianjurkan untuk memaksakan konsep-konsep kerukunan atau pluralisme agama. Sebaiknya guru membimbing peserta didik untuk melihat berbagai peluang masa depan yang lebih baik sebagai komunitas bangsa jika masyarakat hidup dalam solidaritas dan kebersamaan. Pengalaman merupakan pembelajaran bagi peserta didik bahkan seluruh komunitas Kristen untuk bersikap kritis, rasional, dan mampu memaafkan. Buku Guru Kelas XII SMA/SMK156Kegiatan 3 Peserta didik melakukan diskusi kelompok mengenai contoh-contoh sikap fanatik dalam kehidupan beragama, baik dari agama lain maupun dari agama Kristen sendiri. Diantara keempat sikap terhadap agama lain dan para pemeluknya, sikap yang manakah yang dimiliki oleh peserta didik? Dalam lima tahun terakhir ini, apakah terjadi perubahan dalam sikap peserta didik terhadap agama lain dan para pemeluknya? Kalau ya, dari sikap yang bagaimana dan menjadi apa? Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan itu? Bagaimana sikap gereja di tempat masing-masing terhadap orang yang beragama lain? Untuk pertanyaan terakhir peserta didik dapat bertanya pada pendeta, anggota majelis jemaat, serta pembimbing remaja di gereja masing-masing.Kegiatan 4Pendalaman materi mengenai membangun kebersamaan dalam perbedaan Bagaimana caranya membangun sikap menghargai agama lain dan para pemeluknya? Belajar tentang kehidupan orang-orang yang berbeda agama membuat kita dapat melihat bagaimana keyakinan itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan bukan mustahil kita akan memperoleh banyak pengetahuan baru lewat pengalaman itu. Kegiatan 5Studi Kasus Peserta didik mempelajari kasus pencabutan izin membangun gereja HKBP Cinere. Jika peserta didik adalah anggota jemaat HKBP Cinere, apakah sikap mereka? Guru membimbing peserta didik dalam diskusi. Pembahasan kasus ini tidak bertujuan memprovokasi peserta didik untuk melawan pemerintah. Namun, memperkuat mereka untuk memahami bagaimana seharusnya warga gereja ataupun gereja sebagai lembaga mempunyai hak hidup di Negara Pancasila dimana hak hidup semua agama dijamin dalam UUD 1945 dan Pancasila.H. Penilaian Bentuk penilaian tertulis mengenai penyebab terjadi konfl ik antarumat beragama. Peserta didik diminta menganalisis beberapa kasus mengenai konfl ik antarumat beragama kemudian mereka diminta untuk menulis hasil analisis mereka untuk dinilai oleh guru. Penilaian lisan dalam diskusi dan menilai kasus pencabutan ijin untuk mendirikan gedung gereja yang dilakukan oleh Walikota Depok.Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti1578PENJELASAN BABKeadilan Sebagai Wujud Hidup Orang Beriman Bahan Alkitab: Mazmur 145:17Kompetensi IntiKompetensi DasarKI-1Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. 1.3 Menghayati pentingnya keadilan sebagai dasar mewujudkan Demokra-si dan HAM mengacu pada teks Alkitab.KI-2Menunjukkan peri laku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, res ponsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi se cara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.2.3 Mengembangkan rasa keadilan sebagai dasar mewujudkan demokra-si dan HAM mengacu pada Alkitab. Buku Guru Kelas XII SMA/SMK158Kompetensi IntiKompetensi DasarKI-3Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan fak-tual, konseptual, prosedural, dan meta-kognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait pe-nyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifi k sesuai dengan bakat dan minatnya untuk me-mecahkan masalah.3.3 Menilai pentingnya keadilan sebagai dasar mewujudkan demo-krasi dan HAM pada konteks global dan lokal mengacu pada teks Alkitab. KI-4Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.4.3 Mempresentasikan karya yang berkai t an dengan pentingnya keadilan sebagai dasar mewujud-kan demokrasi dan HAM mengacu pada teks Al-kitab. Indikator:• Mendeskripsikan makna keadilan menurut Alkitab dan mengaitkannya dengan realitas yang ada. • Membuat karya yang berkaitan dengan keadilan, demokrasi dan HAM dalam perspektif iman Kristen. • Merancang kegiatan yang berkaitan dengan keadilan, demokrasi, dan HAM. Next >