< PreviousManajemen Keamanan Pangan Pengawasan Mutu Bahan / Produk Pangan 425pemanasan dengan suhu dan waktu tertentu (pas-teurisasi) untuk membunuh mi-kroba yang ada. Apabila tidak tersedia pen-dingin, setelah diperah susu da-pat diberi senyawa thiosianat dan hidrogen peroksida untuk me-maksimalkan kerja laktoperok-sidase (enzim dalam susu yang bersifat bakteriostatik). Namun, penggunaan senyawa tersebut masih dikaji terutama efektivitas dan residunya. Mikroba patogen yang umum mencemari susu adalah E. coli. Standar Nasional Indonesia 01-6366 tahun 2000 mensyaratkan bakteri E. coli tidak terdapat dalam susu dan produk olahan-nya. SNI ini mensyaratkan am-bang batas cemaran mikroba yang diperbolehkan dalam susu adalah 3 x 104 CFU/g. Syarat mutu produk olahan susu seperti keju dan susu bubuk ditetapkan dalam SNI 01-2980-1992 dan SNI 01-3775-1995. Bakteri E.coli dalam air susu maupun produk olahannya dapat menyebabkan diare pada manu-sia bila dikonsumsi. Beberapa bakteri patogen yang umum men-cemari susu adalah Brucella sp., Bacillus cereus, Listeria mono-cytogenes, Campylobacter sp., Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp. Bahan baku susu pasteurisasi di beberapa produsen susu me-ngandung total mikroba 104−106 CFU/g susu, namun proses pasteurisasi dapat menurunkan kandungan mikroba hingga 0−103 CFU/g susu. Berdasarkan SNI 01-6366-2000, susu pasteurisasi yang dihasilkan oleh produsen susu aman dikonsumsi. Proses pengolahan susu memungkinkan terjadinya cemaran mikroba pada produk olahannya. 18.1.1.6 Cemaran Mikroba Pada Produk Tanaman Pangan Kapang merupakan jenis mikroba yang menyerang tanaman pa-ngan, terutama serealia dan kacang-kacangan. Serangan ka-pang dapat terjadi saat tanaman masih di ladang (cemaran pra-panen), maupun selama pena-nganan pascapanen. Kapang yang umum mencemari serealia dan kacang-kacangan adalah Aspergillus flavus dan A. Para-siticus yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Gambar 18.1. Cemaran Aspergillus pada tongkol jagung (Sumber Rahayu, 2006) Manajemen Keamanan Pangan Pengawasan Mutu Bahan / Produk Pangan 426Kedua jenis kapang ini dapat menghasilkan aflatoksin yang merupakan secondary metabolic products dan bersifat toksik bagi manusia. Aflatoksin merupakan molekul kecil yang tidak suka ter-hadap air, tahan terhadap per-lakuan fisik, kimia maupun biolo-gis dan tahan terhadap suhu ting-gi. Aflatoksin yang umum dijum-pai adalah aflatoksin B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Dari enam jenis aflatoksin tersebut, yang paling berbahaya bagi kesehatan manu-sia adalah aflatoksin B1. Selain aflatoksin, fumonisin juga meru-pakan salah satu mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang dari spe-sies Fusarium moniliforme. Berdasarkan keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan No. HK.00.05.1.4057 tanggal 9 September 2004, batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada pro-duk olahan jagung dan kacang tanah masing-masing adalah 20 ppb dan 35 ppb. Sementara itu Codex Alimentarius Commission pada tahun 2003 menentukan ba-tas maksimum kandungan afla-toksin total pada kacang tanah yang akan diproses sebesar 15 ppb. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan keamanan pangan di Indonesia masih jauh di bawah negara maju. Cemaran A. flavus pada saat bu-didaya dipengaruhi oleh bebera-pa faktor, antara lain suhu tanah, lengas tanah, kandungan unsur hara dalam tanah (Zn dan Ca), serta hama dan penyakit. A. flavus akan lebih kompetitif jika lengas tanah rendah, kelemba-ban udara tinggi (90−98%), dan suhu tanah 17−42°C. Cemaran aflatoksin pada jagung bergantung pada kondisi ling-kungan dan perlakuan pascapa-nen. Kandungan aflatoksin total pada jagung pipil lebih tinggi di-banding jagung tongkol. Dari sampel yang diuji, semua sampel tercemar oleh aflatoksin B1 serta 31% tercemar aflatoksin B2 dengan total aflatoksin berkisar antara 48,10–213,80 ppb. Jagung yang tercemar aflatoksin, apabila digunakan sebagai pakan maka aflatoksin akan masuk ke dalam tubuh ternak (unggas dan ruminansia) dan terakumulasi pa-da daging maupun hati. Cemaran aflatoksin juga dijumpai pada kacang tanah dan produk olahannya seperti bumbu pecel. Cemaran aflatoksin pada kacang tanah di tingkat petani maupun pengecer dapat mencapai lebih dari 100 ppb. Cemaran aflatoksin pada bumbu pecel dapat menca-pai rata-rata 41,60 ppb dan pada enting-enting gepuk 20,80 ppb. 18.1.1.7 Cemaran Mikroba Pada Buah dan Sayur Buah dan sayur dapat tercemar oleh bakteri patogen yang ber-asal dari air yang tercemar lim-bah, tanah, atau kotoran hewan yang digunakan sebagai pupuk. Manajemen Keamanan Pangan Pengawasan Mutu Bahan / Produk Pangan 427Tingkat cemaran akan meningkat pada bagian tanaman yang ada di dalam tanah atau dekat dengan tanah. Mikroba tertentu seperti Liver fluke dan Fasciola hepatica akan berpindah dari tanah ke selada air akibat peng-gunaan kotoran kambing atau domba yang tercemar sebagai pupuk. Air irigasi yang tercemar Shigella sp., Salmonella sp., E. coli, dan Vibrio cholerae dapat mencemari buah dan sayur. Sela-in itu, bakteri Bacillus sp., Clostridium sp., dan Listeria mo-nocytogenes dapat mencemari buah dan sayur melalui tanah. Tingkat cemaran mikroba pada beberapa jenis sayuran cukup tinggi, yaitu 5,80 x 101 hingga 1,80 x 103 CFU/g padahal persyaratan kontaminasi E. coli dalam produk pangan harus ne-gatif. Tingkat cemaran mikroba tergantung dari lamanya waktu sejak sayuran dipanen hingga dipasarkan karena memungkin-kan mikroba tumbuh dan berkem-bang (Tabel 18.2). Penanganan dan pemasakan yang baik dan benar dapat mematikan bakteri patogen tersebut, kecuali bakteri pembentuk spora. Tabel 18.2. Tingkat cemaran mikroba pada beberapa jenis sayuran Wilayah A Wilayah B Petani Pasar TradisionalPasar SwalayanPetani Pasar TradisionalPasar Swalayan Kubis 3.14 x 107 4.60 x 107 2.80 x 107 1.40 x 107 4.30 x 105 4.50 x 105 Tomat 1.70 x 104 2.50 x 107 2.00 x 104 5.40 x 104 1.40 x 105 3.30 x 104 Wortel 4.20 x 104 5.70 x 107 1.90 x 107 1.80 x 107 6.10 x 105 7.40 x 105 Sumber : Modifikasi dari Rahayu dan Djaafar, 2007 18.1.1.8 Cemaran Mikroba Pada Produk Perikanan Seperti produk hewani lainnya, ikan merupakan sumber pangan yang mudah rusak. Dengan kan-dungan air dan protein tinggi, ikan merupakan tempat sangat cocok sebagai media untuk per-tumbuhan mikroba baik patogen maupun nonpatogen. Kerusakan ikan terjadi segera setelah ikan keluar dari air, namun aktivitas mikroba yang akan merusak da-ging ikan baru terjadi setelah ikan melewati fase rigor mortis. Kerusakan pada ikan dapat dise-babkan oleh faktor internal (isi perut) dan eksternal (lingkungan), maupun cara penanganan di atas Manajemen Keamanan Pangan Pengawasan Mutu Bahan / Produk Pangan 428kapal, ditempat pendaratan atau di tempat pengolahan. Kerusakan ikan ditandai dengan adanya lendir di permukaan ikan, insang memudar (tidak merah), mata tidak bening, berbau busuk, dan sisik mudah terkelupas. Ikan dari perairan pantai sering kali tercemar oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus yang dapat menular pada saat transportasi maupun pemasaran. Bakteri sering mengkontaminasi produk perikanan umumnya merupakan bakteri Vibrio vulnificus dan V. Cholerae. Menurut Badan Penga-wasan Obat dan Makanan, cemaran bakteri Vibrio sp. dalam produk pangan harus negatif, artinya tidak boleh ada. Bakteri patogen lainnya adalah yaitu Proteus morganii, Klebsiella pneumoniae, dan Hafnia alvei. Tiga spesies bakteri tersebut sering mencemari ikan laut dari famili Scombroidei yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Kasus keracunan histamin pada mulanya lebih dikenal sebagai keracunan scombroid karena me-libatkan ikan dari famili Scom-broidei, yaitu tuna, bonito, tongkol, mackerel, dan seerfish. Jenis ikan tersebut mengandung histidin bebas dalam jumlah be-sar pada dagingnya, yang pada kondisi tertentu dapat diubah menjadi histamin karena adanya aktivitas enzim histidine dekarbo-ksilase dari bakteri yang men-cemari ikan tersebut. Gejala keracunan histamin dimulai bebe-rapa menit sampai beberapa jam setelah ikan dikonsumsi. Beberapa jenis ikan mengandung racun secara alami. Ikan-ikan tersebut digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) Ciguatera; (2) Pupper Fish; dan Paralytic Shellfish Poisoning. Keterangan mengenai kelompok ikan ini sudah dijelaskan pada bab 3 18.1.2 Bahaya Kimiawi Bahaya kimia pada umumnya disebabkan oleh adanya residu atau bahan kimia yang dapat menimbulkan terjadinya intok-sikasi. Bahan kimia penyebab keracunan diantaranya logam be-rat (timbal/Pb dan raksa/Hg). Cemaran-cemaran tersebut bera-sal dari cemaran industri, residu pestisida, hormon, dan anti-biotika. Terbentuknya toksin aki-bat pertumbuhan dan perkem-bangan jamur atau ka-pang penghasil toksin jugaz termasuk dalam bahaya kimia. Beberapa jamur atau kapang penghasil tok-sin (mikotoksin) adalah Asper-gillus sp., Penicllium sp., dan Fu -sarium sp., yang dapat meng-hasilkan aflatoksin, patulin, okrato ksin, zearalenon, dan okratoksin. 18.1.3 Bahaya Fisik Bahaya fisik terdiri potongan ka-yu, batu, logam, rambut, dan kuku yang kemungkinan berasal dari bahan baku yang tercemar, peralatan yang telah aus, atau juga dari para pekerja pengolah Manajemen Keamanan Pangan Pengawasan Mutu Bahan / Produk Pangan 429pangan. Meskipun bahaya fisik tidak selalu menyebabkan terjadi-nya penyakit atau gangguan kesehatan, tetapi bahaya ini dapat sebagai pembawa atau carier bakteri-bakteri patogen dan tentunya dapat mengganggu nilai estetika pangan yang akan dikon-sumsi. 18.2 Sumber Kontaminasi 18.2.1 Lokasi tempat hidup. Titik awal rantai penyediaan pa-ngan berasal dari ladang/ sawah, kandang, kolam atau perairan umum lainnya. Manajemen atau tata laksana pemeriharaan tana-ma, ternak, dan ikan akan me-nentukan kualitas bahan pangan yang dihasilkan. Kondisi ling-kungan di sekitar lokasi budidaya dapat mempengaruhi kualitas dan keamanan produk pangan yang dihasilkan. Cemaran bahan kimia atau cemaran biologi dari lingkungan lokasi budidaya akan terbawa dalam bahan pangan yang dihasilkan. Kualitas pakan / pupuk yang diberikan harus jelas jenis dan asalnya, dan disimpan dengan baik. Kelembapan yang cukup tinggi di Indonesia menye-babkan jamur mudah tumbuh dan menghasilkan mikotoksin seperti aflatoksin yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia. Cemaran pestisida pada lingku-ngan, air, tanah, dan pada ta-naman atau hijauan pakan akan mempengaruhi bahan pangan yang dihasilkan. Residu pestisi-da, residu obat, terutama antibi-otik, merupakan masalah dalam keamanan bahan pangan. Pema-kaian antibiotik yang berlebihan tanpa memperhatikan anjuran pe-makaian yang disarankan menye-babkan adanya residu antibiotika dalam produk yang dihasilkan. Selain residu kimia, perlu diwas padai pula penyakit zoonosis yang dapat menular dari hewan ke manusia melalui pangan asal ternak, baik zoonosis bakteri, virus, parasit maupun zoonosis yang disebabkan oleh prion se-perti Bovine Spongiform Encepha lopathy (BSE) atau yang dikenal sebagai penyakit sapi gila. Mere-baknya BSE di beberapa negara beberapa tahun yang lalu menye-babkan Pemerintah Indonesia Indonesia melarang impor produk ternak dan olahannya dari negara yang pernah terjangkit penyakit sapi gila. Produk olahan yang dilarang termasuk yang digu-nakan sebagai pakan ternak adalah tepung tulang. Bakteri merupakan penyebab utama penyakit yang ditularkan dari ternak ke manusia melalui pangan, antara lain Salmonella sp., Bacillus wjwlie yanthracis, Mycobacterium tuberculose, dan Brucella abortus. Bakteri tersebut menyerang ternak saat di kan-dang, yang kemudian dapat me-nular ke manusia karena peme-liharaan dan proses panen yang tidak higienis, seperti pemoto-ngan ternak dan pemerahan susu. Manajemen Keamanan Pangan Pengawasan Mutu Bahan / Produk Pangan 430Dalam kandang penggemukan, sapi harus berdiri di kandang yang alasnya becek dan hitam karena berasal dari kotoran sapi. Pada saat di bawah ke rumah potong, sekujur tubuh sapi sudah diselimuti kotoran yang menge-ring. Selama di RPH, sapi berde-sakan sehingga sapi tersebut akan menularkan E. Coli ke sapi lainnya (Winarno, 2003). Pengolahan tidak selalu dapat menghilangkan bakteri yang mencemari produk ternak saat di peternakan atau pada saat pa-nen. Spora bakteri antrak yang mencemari susu tidak dapat di-hilangkan dengan pasteurisasi. Pencemaran dapat dicegah de-ngan penerapan cara beternak yang baik (good farming practi-ces) dan penanganan hasil pa-nen yang baik pula. 18.2.2. Industri Pangan Pada dasarnya pengolahan ba-han pangan bertujuan untuk mempertahankan kualitas produk pangan serta memperpanjang masa simpan, meningkatkan ra-sa, penampilan dan nilai jual. Pengolahan juga dimaksudkan untuk ddapat mempertahankan keamanan produk karena per-tumbuhan mikroba dihambat se-perti halnya susu pasteurisasi. Pasteurisasi tidak membunuh mikroba yang ada, tetapi hanya menghambat pertumbuhannya, dan susu harus disimpan pada suhu di bawah 4oC. Jaminan keamanan pangan di tingkat industri umumnya lebih baik dibanding di tingkat peter-nak, dan banyak industri pengo-lahan produk peternakan telah menerapkan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), meskipun beberapa industri susu pasteurisasi belum menerapkan-nya. HACCP merupakan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan prinsip pencegahan dengan cara memberikan kesa-daran atau pengertian kepada berbagai pihak yang terlibat bah-wa bahaya dapat timbul pada setiap titik atau tahapan produksi, dan pengendalian dimaksudkan untuk mengontrol bahaya terse-but. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan mulai dari ba-han baku hingga produk siap di-pasarkan. Pengawasan mutu pangan berdasarkan prinsip pencegahan diyakini lebih unggul dibanding cara konvensional yang menekankan pada inspeksi atau pengujian produk akhir di laboratorium. Badan Standarisasi Nasional (BSN) telah melakukan adaptasi konsep HACCP menjadi SNI 01-4852-1998 beserta pedo-man penerapannya (Badan Stan-darisasi Nasional 1998). Di Indo-nesia, penanganan produk pa-ngan di tingkat pengecer masih perlu mendapat perhatian, teru-tama di pasar tradisional. Di pasar tersebut, bahan pangan diperdagangkan dengan diletak-kan di atas meja tanpa dilengkapi Manajemen Keamanan Pangan Pengawasan Mutu Bahan / Produk Pangan 431alat pendingin atau fasilitas lain-nya. Hal ini berbeda dengan di pasar swalayan yang telah meng-gunakan fasilitas pendingin. Jumlah mikroba yang cukup tinggi dan jenis mikroba berbaha-ya pada bahan pangan yang dijual di pasar tradisional cukup mengkhawatirkan, terlebih lagi bila pemotongan dilakukan di pa--sar tradisional. Beberapa peda-gang di pasar tradisional juga dilaporkan menggunakan forma-lin sebagai pengawet agar ayam tetap kelihatan segar, padahal formalin digolongkan sebagai ba-han berbahaya. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 722/-Menkes/Per/ IX/88 disebutkan bahwa formalin dilarang diguna-kan sebagai pengawet bahan pa-ngan. Penggunaan formalin se-bagai pengawet pangan seperti tahu, mi basah, dan bakso sem-pat menjadi isu nasional yang mempengaruhi kehidupan rakyat banyak. Dalam industri besar, bila terjadi kegagalan proses produksi akan berpengaruh sangat besar kare-na banyak orang yang akan men-jadi korban. Beberapa contoh be-rikut ini dapat memberikan gam-baran akan hal tersebut : a. Keracunan es krim yang terjadi di AS tahun 1994 yang disebabkan tercemarnya ’pre-mix’ es krim oleh beberapa te-tes cairan telur mentah yang busuk yang mengandung Salmonella enteritidis menye-babkan 224 000 orang men-jadi korban b. Keracunan hot dog dan da-ging potong di AS pada tahun 1998 yang tercemar Listeria telah menyebabkan kematian 15 orang dan 6 kandungan yang keguguran. Peristiwa ini menyebabkan industri hot dog dan daging potong terpaksa menarik kembali (recall) pro-duknya sebanyak 7.5 juta kg. c. Infeksi biji almond oleh mikro-ba Salmonella telah meracuni 160 warga di Kanada 18.2.3 Bahan pangan Bahan pangan yang semula am-an dikonsumsi bisa menjadi ber-bahaya untuk dikonsumsi. Bebe-rapa peristiwa keracunan mem-perlihatkan bahwa perlu sikap hati-hati dan cermat dalam me-nyiapkan pangan. Masih banyak masyarakat yang kurang memerhatikan kebersihan tempat masak karena kesadaran dan pemahaman akan keamanan pangan masih rendah. Walaupun bahan pangan yang digunakan cukup baik dan sehat, perilaku yang salah dalam mempersiap-kan pangan akan mempengaruhi keamanan pangan. Kasus tersebut sebenarnya dapat dicegah bila beberapa hal yang sederhana tetapi mendasar diper-hatikan pada saat mempersiap-kan pangan untuk disantap. Manajemen Keamanan Pangan Pengawasan Mutu Bahan / Produk Pangan 432Pada tahun 1990, WHO menge-luarkan anjuran atau aturan cara mempersiapkan pangan yang aman, yang intinya adalah meng-hindarkan pangan dari kontami-nasi mikroba patogen dan men-cegah mikroba berkembang biak. 18.2.4 Distribusi Distribusi dan transportasi meru-pakan salah satu mata rantai da-lam penanganan pangan. Trans-portasi dapat berlangsung dari lo-kasi budidaya atau penangkapan ke lokasi industri, pasar, peda-gang pengecer, atau konsumen akhir. Selama proses transpor-tasi besar kemungkinan terjadi rekontaminasi, terutama bahan pangan yang mudah mengalami penurunan mutu. Rekontaminasi yang mungkin ter-jadi adalah rekontaminasi oleh mikroba, baik patogen dan pem-busuk, terutama apabila trans-portasi tidak dilengkapi fasilitas pendingin. Tanpa fasilitas pendi-nginan, mikroba akan tumbuh dan berkembang pesat sehingga jumlah populasinya akan menca-pai tingkat yang berbahaya bagi kesehatan manusia. 18.2.5 Penyimpanan Selama penyimpanan, bahan pa-ngan juga dapat mengalami pro-ses penurunan mutu. Kondisi lingkungan wadah penyimpanan dapat memacu pertumbuhan mi-kroba. Penyemprotan pestisida yang se-ring dilakukan oleh beberapa pe-ngolah untuk mencegah pertum-buhan bakteri pembusuk membe-rikan hasil nyata, namun disisi lain meningkatkan potensi baha-ya berupa terakumulasi senyawa kimia yang berasal dari pestisida. 18.2.6 Pemasaran Pemasaran juga dapat menjadi sumber kontaminasi. Bahan pa-ngan dan produk olahannya yang dipasarkan secara terbuka akan mengalami rekontaminasi selama dipasarkan (Gambar 18.2). Tek-nik penyajian yang mencampur-kan antara bahan pangan segar dengan kurang segar memung-kinkan terjadinya kontak antara bahan pangan dengan sumber pencemar. 18.3. Penyakit akibat cemaran patogen Istilah Foodborne disease sudah sering didengar. Istilah ini meru-pakan penyakit yang diakibatkan karena mengkonsumsi pangan yang tercemar mikroba patogen. Lebih dari 90% kejadian penyakit pada manusia disebabkan meng-konsumsi pangan yang tercemar mikroba patogen, seperti penyakit tipus, disentri, botulisme, dan in-toksikasi bakteri lainnya seperti hepatitis A (Winarno 1997). Pertumbuhan mikroba terjadi da-lam waktu singkat. Bila kondisi lingkungan mendukung, bakteri mampu membelah diri menjadi dua individu baru setiap 20 menit. Manajemen Keamanan Pangan Pengawasan Mutu Bahan / Produk Pangan 433Kondisi lingkungan yang berpe-ngaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan mikroba an-tara lain tersedianya nutrisi, pH, suhu, dan kadar air bahan pa-ngan. Mikroba pembusuk akan mengu-bah pangan segar menjadi busuk bahkan dapat menghasilkan tok-sin (racun). Kadang-kadang ba-han pangan tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan atau ke-rusakan fisik (bau busuk kurang nyata) sehingga bahan pangan tetap dikonsumsi. Kondisi seperti ini yang dapat menyebabkan ter-jadinya keracunan pangan, teru-tama bagi masyarakat yang tidak mampu membedakan bahan pa-ngan yang aman untuk dikon-sumsi dan sudah tidak aman di-konsumsi. Gambar 18.2. Teknik pemasaran ikan secara terbuka memungkinkan terjadinya rekontaminasi Kebiasaan buruk masyarakat adalah membuang bagian yang busuk dari bahan pangan dan mengkonsumsi bagian lainnya. Beberapa pasar swalayan berani menjual bagian yang tidak busuk tersebut. Tindakan ini cukup ber-bahaya, karena tidak ada yang dapat menjamin apakan bagian tersebut tidak terkontaminasi oleh mikroba pembusuk atau produk metabolitnya. Saluran pencernaan manusia merupakan sistem yang terbuka. Apabila mikroba patogen yang Manajemen Keamanan Pangan Pengawasan Mutu Bahan / Produk Pangan 434terdapat pada pangan ikut ter-makan maka pada kondisi yang sesuai mikroba patogen akan berkembang biak di dalam sa-luran pencernaan sehingga me-nyebabkan gejala penyakit atau sering disebut infeksi. Racun atau toksin yang dihasilkan oleh mikro-ba patogen yang ikut termakan menyebabkan gejala penyakit yang disebut keracunan atau intoksikasi. Gejala akut yang di-sebabkan oleh mikroba patogen ini adalah diare, muntah, dan pusing-pusing bahkan pada kon-disi yang parah dapat menyebab-kan kematian. Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh A. flavus atau A.parasiticus dan bersifat hepatokarsinogen. Mikotoksin ini banyak dijumpai pada produk serealia dan produk ikan kering yang masih basah. Apabila ter-makan dan terakumulasi dalam jumlah yang berlebihan, aflatok-sin dapat menyebabkan kerusa-kan hati pada manusia. Sama halnya dengan aflatoksin, hista-min yang merupakan racun dari produk perikanan akibat cemaran mikroba patogen. Bakteri pato-gen tersebut merombak histidin yang terdapat pada daging ikan menjadi histamin yang dapat me-nyebabkan keracunan. Gejala ke-racunan histamin dimulai bebera-pa menit sampai beberapa jam setelah pangan dikonsumsi, an-tara lain berupa sakit kepala, kejangkejang, diare, muntah-muntah, kulit bergaris merah, pembengkakan pada bibir, dan kerongkongan terasa terbakar. Gejala ini umumnya berlangsung kurang dari 12 jam dan dapat dio-bati dengan terapi antihistamin. Upaya yang dapat dilakukan un-tuk mencegah keracunan hista-min adalah dengan membuang daging yang berwarna merah, terutama pada ikan tongkol dan tenggiri. Dalam keadaan segar, daging berwarna merah ini sa-ngat disukai. Namun bila ikan sudah tidak segar, bagian daging ini dapat berubah menjadi be-racun. Patogen bawaan dari bahan pa-ngan seperti Clostridium botuli-num mampu bertahan pada suhu tinggi. Patogen ini banyak dijum-pai pada pangan yang diproses dengan teknik pengalengan. C. botulinum ini sangat berkaitan dengan penyakit ekstraintestinal akut, yang dapat menyebabkan sindrom neuroparalisis dan sering kali berakibat fatal. Penyakit eks-traintestinal juga dapat disebab-kan oleh cemaran Listeria mono-cytogenes yang menyebab-kan penyakit ringan seperti flu hingga penyakit berat seperti maningitis. Kedua patogen ini banyak dijum-pai pada produk hewani. Dalam jumlah sedikit E. coli tidak menimbulkan bahaya, namun da-lam jumlah besar baru menimbul-kan masalah. Patogen ini dikenal sebagai penghasil verotoksin yang umumnya dapat mengaki-Next >