< PreviousBERDAYA41 SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201740 BERDAYASWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017Bogor—Dalam rangka meningkatkan kualitas dakwah di Nusantara, Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) menggelar Training Dai Pemberdaya 2017. Acara ini berlangsung selama lima hari, sejak Selasa (22/8) hingga Ahad (27/8), di kawasan Zona Madina Dompet Dhuafa, Bogor.Sebanyak 15 Dai Pemberdaya dari berbagai wilayah mengikuti kegiatan ini. Beberapa dari mereka merupakan dai yang sedang berdakwah di kawasan pedalaman dan tapal batas. Mereka membina dan memberdayakan warga dari Suku Akit di Riau, Suku Togutil di Maluku Utara, juga masyarakat di Bireun NAD, Lereng Merbabu, Jeneponto Sulsel, dan Pulau Messah Labuan Bajo NTT.Ahmad Fauzi Qosim, selaku Head of Cordofa, mengungkapkan, Training Dai Pemberdaya adalah upaya untuk menambah nilai para Dai dalam berdakwah di penjuru negeri dengan melakukan integrasi dari berbagai lini. “Tujuan training ini untuk meningkatkan kapasitas Dai dalam ikhtiar dakwah transformatif dengan melakukan integrasi program dakwah, ekonomi, kesehatan, pendidikan lingkungan,” ungkapnya.Melalui kegiatan ini juga, peran Dai dapat diperluas, bukan hanya sekadar dakwah retorika, tapi menjadi mediator, fasilitator, dan problem solver bagi permasalahan umat dan lingkungan dalam aksi nyata. “Sehingga Dai memiliki multiperan sebagai pribadi, sahabat, guru, penggerak, pendamping, dan pengusaha sosial di tengah-tengah masyarakat,” tambahnya.Selain itu, Ahmad Fauzi Qosim berharap Training Dai Pemberdaya dapat memberikan wawasan dan best practices untuk mewujudkan pengelolaan komunitas atau masyarakat yang mandiri berbasis sumber daya lokal.“Training ini semoga dapat memberdayakan potensi Dai dan masyarakat secara mandiri untuk meningkatkan kesejahteraan baik dari sisi ekonomi maupun non-ekonomi,” ujar Fauzi saat memberikan pengarahan pada peserta.Cordofa mengadakan classical training meliputi topik ajar Tsaqofah Islamiyyah, ke-DD-an, Manajemen Dakwah, Manajemen Pemberdayaan, Komunikasi, Ekonomi Islam, Social Entrepreneurship, dan Manajemen Kebencanaan. Serta mengadakan visit program di kawasan Zona Madina yang meliputi program RS. Rumah Sehat Terpadu (RST), Masjid Al-Madinah, Bumi Pengembangan Insani, program pemberdayaan dan kunjungan ke Kampung Argobudaya Kasepuhan Sinar Resmi di Cisolok, Sukabumi, untuk belajar kearifan lokal dan pemberdayaan program pertanian juga perternakan. [Rachmat/Cordofa]Cordofa Gelar training Dai PemberdayaTINgKATKAN KuAlITAS DAKwAh DI NuSANTARAManggaraI tIMur -- Menempuh jalan berliku selama 7 jam dari bandara untuk tiba di Kampung Ronting, Satar Kampas, Lambaleda, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, menjadi sebuah perjuangan tersendiri saat melakoni tugas sebagai tim Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa. Kembali tak terbayang saat tiba di lokasi harus menjalani kehidupan dengan keterbatasan listrik dan sinyal jaringan komunikasi. Namun, keramahan masyarakatnya sejenak melepas semua penat dan keterbatasan tersebut.Indahnya pesisir di Kampung Ronting semakin menambah semangat menebar berkah kurban amanah para donatur. Senyum masyarakatnya tergambar jelas antusiasme menunggu berkah daging kurban dari pekurban THK Dompet Dhuafa.Berkah Ganda Warga Ronting di Idul Adha“Alhamdulillah adanya berkah hewan kurban dari THK Dompet Dhuafa menjadi motivasi bagi masyarakat. Jarang sekali masyarakat menikmati daging merah. Kalaupun kurban biasanya masyarakat cuma dapat segenggam, kini lebih dari dua kilogram setiap warga mendapat bagian,” ungkap Haji Syafrudin bin Haji Umar, ketua Majelis Takmir Masjid Al Istiqamah Ronting.Panasnya pesisir Flores tak menyurutkan semangat masyarakat dalam melaksanakan proses penyembelihan hewan kurban. Semua membaur menjadi satu baik tua maupun muda. Mereka berkumpul di sekitaran Masjid Al Istiqamah yang juga masih proses pemugaran berkah dari donatur Dompet Dhuafa. [Dompet Dhuafa/Taufan YN]BERDAYA41 SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201740 BERDAYASWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017Bogor—Dalam rangka meningkatkan kualitas dakwah di Nusantara, Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) menggelar Training Dai Pemberdaya 2017. Acara ini berlangsung selama lima hari, sejak Selasa (22/8) hingga Ahad (27/8), di kawasan Zona Madina Dompet Dhuafa, Bogor.Sebanyak 15 Dai Pemberdaya dari berbagai wilayah mengikuti kegiatan ini. Beberapa dari mereka merupakan dai yang sedang berdakwah di kawasan pedalaman dan tapal batas. Mereka membina dan memberdayakan warga dari Suku Akit di Riau, Suku Togutil di Maluku Utara, juga masyarakat di Bireun NAD, Lereng Merbabu, Jeneponto Sulsel, dan Pulau Messah Labuan Bajo NTT.Ahmad Fauzi Qosim, selaku Head of Cordofa, mengungkapkan, Training Dai Pemberdaya adalah upaya untuk menambah nilai para Dai dalam berdakwah di penjuru negeri dengan melakukan integrasi dari berbagai lini. “Tujuan training ini untuk meningkatkan kapasitas Dai dalam ikhtiar dakwah transformatif dengan melakukan integrasi program dakwah, ekonomi, kesehatan, pendidikan lingkungan,” ungkapnya.Melalui kegiatan ini juga, peran Dai dapat diperluas, bukan hanya sekadar dakwah retorika, tapi menjadi mediator, fasilitator, dan problem solver bagi permasalahan umat dan lingkungan dalam aksi nyata. “Sehingga Dai memiliki multiperan sebagai pribadi, sahabat, guru, penggerak, pendamping, dan pengusaha sosial di tengah-tengah masyarakat,” tambahnya.Selain itu, Ahmad Fauzi Qosim berharap Training Dai Pemberdaya dapat memberikan wawasan dan best practices untuk mewujudkan pengelolaan komunitas atau masyarakat yang mandiri berbasis sumber daya lokal.“Training ini semoga dapat memberdayakan potensi Dai dan masyarakat secara mandiri untuk meningkatkan kesejahteraan baik dari sisi ekonomi maupun non-ekonomi,” ujar Fauzi saat memberikan pengarahan pada peserta.Cordofa mengadakan classical training meliputi topik ajar Tsaqofah Islamiyyah, ke-DD-an, Manajemen Dakwah, Manajemen Pemberdayaan, Komunikasi, Ekonomi Islam, Social Entrepreneurship, dan Manajemen Kebencanaan. Serta mengadakan visit program di kawasan Zona Madina yang meliputi program RS. Rumah Sehat Terpadu (RST), Masjid Al-Madinah, Bumi Pengembangan Insani, program pemberdayaan dan kunjungan ke Kampung Argobudaya Kasepuhan Sinar Resmi di Cisolok, Sukabumi, untuk belajar kearifan lokal dan pemberdayaan program pertanian juga perternakan. [Rachmat/Cordofa]Cordofa Gelar training Dai PemberdayaTINgKATKAN KuAlITAS DAKwAh DI NuSANTARAManggaraI tIMur -- Menempuh jalan berliku selama 7 jam dari bandara untuk tiba di Kampung Ronting, Satar Kampas, Lambaleda, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, menjadi sebuah perjuangan tersendiri saat melakoni tugas sebagai tim Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa. Kembali tak terbayang saat tiba di lokasi harus menjalani kehidupan dengan keterbatasan listrik dan sinyal jaringan komunikasi. Namun, keramahan masyarakatnya sejenak melepas semua penat dan keterbatasan tersebut.Indahnya pesisir di Kampung Ronting semakin menambah semangat menebar berkah kurban amanah para donatur. Senyum masyarakatnya tergambar jelas antusiasme menunggu berkah daging kurban dari pekurban THK Dompet Dhuafa.Berkah Ganda Warga Ronting di Idul Adha“Alhamdulillah adanya berkah hewan kurban dari THK Dompet Dhuafa menjadi motivasi bagi masyarakat. Jarang sekali masyarakat menikmati daging merah. Kalaupun kurban biasanya masyarakat cuma dapat segenggam, kini lebih dari dua kilogram setiap warga mendapat bagian,” ungkap Haji Syafrudin bin Haji Umar, ketua Majelis Takmir Masjid Al Istiqamah Ronting.Panasnya pesisir Flores tak menyurutkan semangat masyarakat dalam melaksanakan proses penyembelihan hewan kurban. Semua membaur menjadi satu baik tua maupun muda. Mereka berkumpul di sekitaran Masjid Al Istiqamah yang juga masih proses pemugaran berkah dari donatur Dompet Dhuafa. [Dompet Dhuafa/Taufan YN]Fasilitas◊ Luas Bangunan: 270 m²◊ Luas Tanah: 588 m²◊ Kamar Tidur: 9 + Pavilion dengan 2 Kamar Tidur & 1 Kamar Mandi◊ Kamar Mandi: 5◊ Sertifikat: HGB - Hak Guna Bangun (Berlaku hingga 2041)◊ Dilengkapi Perabotan: Furnished (Matras + Tem-pat Tidur, Lemari Pakaian, Meja◊ Belajar & Kursi) setiap kamarnya.◊ Dapur Umum: Kulkas 2 Pintu, Kompor Gas◊ Kondisi Properti: Sudah Renovasi (Pengantian atap baja ringan, Pintu◊ Kamar, Penggantian Toilet dan Cat ulang)◊ Daya Listrik: 2200 Watt◊ Jaringan Internet: CBN Unlimited (Up To 30Mbps)◊ Fasilitas: Taman + Carport yang luasFasilitas◊ Luas Bangunan: 270 m²◊ Luas Tanah: 588 m²◊ Kamar Tidur: 9 + Pavilion dengan 2 Kamar Tidur & 1 Kamar Mandi◊ Kamar Mandi: 5◊ Sertifikat: HGB - Hak Guna Bangun (Berlaku hingga 2041)◊ Dilengkapi Perabotan: Furnished (Matras + Tem-pat Tidur, Lemari Pakaian, Meja◊ Belajar & Kursi) setiap kamarnya.◊ Dapur Umum: Kulkas 2 Pintu, Kompor Gas◊ Kondisi Properti: Sudah Renovasi (Pengantian atap baja ringan, Pintu◊ Kamar, Penggantian Toilet dan Cat ulang)◊ Daya Listrik: 2200 Watt◊ Jaringan Internet: CBN Unlimited (Up To 30Mbps)◊ Fasilitas: Taman + Carport yang luasSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017ARUS UTAMA44 45 LIRIHLIRIHHari sudah larut malam, namun tim Lembaga Pelayan Masyarakat Dompet Dhuafa (LPM Dompet Dhuafa) masih dalam perjalanan menuju Kampung Monggor, RT2 RW01 Salapraya, Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang, Banten, Kamis 10 Agustus lalu. Untuk sampai ke lokasi tim harus memasuki jalan yang berbatu dan belum diaspal sejauh lebih kurang 5 km. Laju kendaraan tidak bisa dipacu oleh Sanusi, selain jalan yang sempit, juga berbatuan dengan banyak lobang.Ahmad Yani, relawan lokal melaju di depan tim LPM dengan kendaraan motornya. Terkadang kami tertinggal jauh karena Ahmad Yani terlalu cepat memacu motornya. Sementara itu, Mustaki dan Iim Nurohim (Staf LPM) yang berada dalam kendaraan, sesekali terlihat menguap. Dua orang itu sudah memberi sinyal keletihan dan sudah minta diistirahatkan. Maklum, dalam satu hari itu mereka harus menyelesaikan beberapa tugas di lapangan.Tepat Pukul 22.00 Wib, tim akhirnya sampai di lokasi. Seorang relawan lain yang menjadi penghubung Ahmad Yani, Agus Rahidi, dari Aliansi Indonesia sudah bersiap di lokasi. Dia menuntun tim LPM melihat sebuah rumah dari bambu yang terlihat hampir roboh dan ditopang beberapa bilah bambu yang menyangga.“Ini, Pak rumahnya,” ungkap relawan itu menunjuk sebuah rumah.Rumah itu terbuat dari bambu, bagian depannya sudah hancur yang membuat rumah itu tidak ada dinding di bagian depan. Di dalamnya tidak ada kamar, untuk masing-masing ruangan hanya dipisah kain sarung yang dibuka jahitannya dan digantung dari ujung ke ujung sebagai batas. Di sana juga sekalian ruang dapur, ruang keluarga dan ruang tidur. Rumah yang hampir roboh itu dihuni 12 jiwa, dari 3 kepala keluarga.Kedatangan tim ke rumah itu, menyaksikan langsung bagaimana keluarga ini tidur berhamparan di lantai. Tempat tinggal mereka tidak ubahnya seperti rumah darurat di pengungsian. Bahkan rumah pengungsian pun lebih rapi dan kokoh dibandingkan kediaman keluarga ini. Jika saja angin berhembus kencang dan hujan badai, rumah ini sudah dapat dipastikan porak poranda, bersyukur saja angin tidak leluasa menghantam rumah ini, karena di sekitarnya berdiri rumah-rumah penduduk yang sudah permanen dengan tembok yang kokoh dan berjendela kaca.Sangat miris memang, di tengah lingkungan yang sebenarnya mapan, masih ada rumah yang tak layak huni itu. Bahkan di depan gang masuk ke rumah itu berdiri sebuah masjid yang cukup megah. Seorang penghuni bernama Jamal menuturkan, rumah tersebut warisan dari orang tua istrinya. Ia merupakan menantu tertua di rumah itu. Istrinya bernama Bainah. Kerjaan Jamal serabutan, jadi buruh harian kalau ada orang yang membutuhkan tenaganya. Pendapatannya pas untuk makan ia, istri dan 4 anaknya, terkadang Ia pun harus ikhlas berbagi dengan keluarga lain yang serumah dengannya.Nasib adik istrinya, Komariah pun setali tiga uang. Ia dan suaminya, Jaelani yang punya anak 1, juga tidak jauh berbeda dengannya. Sama-sama kerja serabutan, tidak jarang mereka hanya berdiam di siang hari karena tidak ada pekerjaan. Begitu juga dengan Mujani yang ditinggal pergi suaminya karena sudah tidak kuat dengan penderitaan kemiskinan yang mereka hadapi. Namun kepergian suami Mujani, meninggalkannya 1 anak dari buah perkawinannya.Karena kemiskinan itulah, rumah warisan yang sudah berumur 20 tahun itu, tidak mampu mereka perbaiki ketika rusak. Uang yang didapat dari kerja serabutan hanya cukup untuk kebutuhan makan saja.Adakah tetangga membantu? Jamal mengaku malu dibantu oleh tetangganya. Bahkan tetangga pernah mau menolong, akan tapi mereka umumkan melalui pengeras suara masjid, sehingga mereka bertambah malu dan menolak keras bantuan itu. Mereka lebih senang hidup apa adanya, terkadang makan terkadang tidak, dari pada malu dan jadi bahan cemoohan tetangga.Hal itu dibenarkan Ahmad Yani dan Agus Rahidi. “Bukannya tetangga tidak mau membantu, namun keluarga Jamal yang malu ditolong sehingga setiap bantuan tetangga, selalu ditolak. Bahkan lebih parah lagi mereka tidak bertegur sapa dengan tetangga,” jelas Ahmad Yani.Ahmad Yani menduga, menurut info yang didapatnya dari lingkungan, kurang baiknya hubungan mereka bertetangga bisa jadi sudah warisan dari kedua orang tuanya. Namun satu yang disayangkan Rahidi, yang baru pindah dari Lampung ke wilayah tersebut, RT dan kepala desa juga tidak peduli dengan warganya. Sehingga tidak ada upaya sama sekali untuk membedah rumah dan membantu warga miskin ini.Rahidi sempat membantu melaporkan situasi ini ke Dinas Sosial Pandeglang, dan akhirnya mereka turun. Keluarga ini akhirnya mendapat bantuan beras dan mie instan beberapa dus. Setelah itu tidak ada lagi bantuan, dan soal rumahnya sampai sekarang tak ada kabar dari Dinsos.Karena tidak ada kabar lagi dari pemerintah, Ahmad Yani dan Rahidi memohon bantuan ke Dompet Dhuafa melalui LPM. Ia sangat berterimakasih karena tim LPM sudah datang ke Kampung Monggor untuk melihat langsung kondisi keluarga ini.“Untuk sementara kami meninggalkan uang Rp500 ribu, untuk beli kebutuhan harian. Soal rumah nanti kami bahas setelah kembali ke kantor,” ujar Mustaki sambil menyerahkan bantuan kepada Jamal mewakili keluarga tersebut.Setelah itu, tim pun berpamitan dan menembus malam untuk mencari tempat peristirahatan. Fisik sudah lelah seharian melakukan perjalanan, bertambah lelah lagi memikirkan dhuafa yang tidur di rumah namun seperti tunawisma. Hidup berkeluarga dengan privasi terbuka, hanya kegelapan malamlah yang membuat mereka merasa berada dalam kamar masing-masing. [Maifil Eka Putra]1 Gubuk Dihuni 12 OrangSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017ARUS UTAMA44 45 LIRIHLIRIHHari sudah larut malam, namun tim Lembaga Pelayan Masyarakat Dompet Dhuafa (LPM Dompet Dhuafa) masih dalam perjalanan menuju Kampung Monggor, RT2 RW01 Salapraya, Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang, Banten, Kamis 10 Agustus lalu. Untuk sampai ke lokasi tim harus memasuki jalan yang berbatu dan belum diaspal sejauh lebih kurang 5 km. Laju kendaraan tidak bisa dipacu oleh Sanusi, selain jalan yang sempit, juga berbatuan dengan banyak lobang.Ahmad Yani, relawan lokal melaju di depan tim LPM dengan kendaraan motornya. Terkadang kami tertinggal jauh karena Ahmad Yani terlalu cepat memacu motornya. Sementara itu, Mustaki dan Iim Nurohim (Staf LPM) yang berada dalam kendaraan, sesekali terlihat menguap. Dua orang itu sudah memberi sinyal keletihan dan sudah minta diistirahatkan. Maklum, dalam satu hari itu mereka harus menyelesaikan beberapa tugas di lapangan.Tepat Pukul 22.00 Wib, tim akhirnya sampai di lokasi. Seorang relawan lain yang menjadi penghubung Ahmad Yani, Agus Rahidi, dari Aliansi Indonesia sudah bersiap di lokasi. Dia menuntun tim LPM melihat sebuah rumah dari bambu yang terlihat hampir roboh dan ditopang beberapa bilah bambu yang menyangga.“Ini, Pak rumahnya,” ungkap relawan itu menunjuk sebuah rumah.Rumah itu terbuat dari bambu, bagian depannya sudah hancur yang membuat rumah itu tidak ada dinding di bagian depan. Di dalamnya tidak ada kamar, untuk masing-masing ruangan hanya dipisah kain sarung yang dibuka jahitannya dan digantung dari ujung ke ujung sebagai batas. Di sana juga sekalian ruang dapur, ruang keluarga dan ruang tidur. Rumah yang hampir roboh itu dihuni 12 jiwa, dari 3 kepala keluarga.Kedatangan tim ke rumah itu, menyaksikan langsung bagaimana keluarga ini tidur berhamparan di lantai. Tempat tinggal mereka tidak ubahnya seperti rumah darurat di pengungsian. Bahkan rumah pengungsian pun lebih rapi dan kokoh dibandingkan kediaman keluarga ini. Jika saja angin berhembus kencang dan hujan badai, rumah ini sudah dapat dipastikan porak poranda, bersyukur saja angin tidak leluasa menghantam rumah ini, karena di sekitarnya berdiri rumah-rumah penduduk yang sudah permanen dengan tembok yang kokoh dan berjendela kaca.Sangat miris memang, di tengah lingkungan yang sebenarnya mapan, masih ada rumah yang tak layak huni itu. Bahkan di depan gang masuk ke rumah itu berdiri sebuah masjid yang cukup megah. Seorang penghuni bernama Jamal menuturkan, rumah tersebut warisan dari orang tua istrinya. Ia merupakan menantu tertua di rumah itu. Istrinya bernama Bainah. Kerjaan Jamal serabutan, jadi buruh harian kalau ada orang yang membutuhkan tenaganya. Pendapatannya pas untuk makan ia, istri dan 4 anaknya, terkadang Ia pun harus ikhlas berbagi dengan keluarga lain yang serumah dengannya.Nasib adik istrinya, Komariah pun setali tiga uang. Ia dan suaminya, Jaelani yang punya anak 1, juga tidak jauh berbeda dengannya. Sama-sama kerja serabutan, tidak jarang mereka hanya berdiam di siang hari karena tidak ada pekerjaan. Begitu juga dengan Mujani yang ditinggal pergi suaminya karena sudah tidak kuat dengan penderitaan kemiskinan yang mereka hadapi. Namun kepergian suami Mujani, meninggalkannya 1 anak dari buah perkawinannya.Karena kemiskinan itulah, rumah warisan yang sudah berumur 20 tahun itu, tidak mampu mereka perbaiki ketika rusak. Uang yang didapat dari kerja serabutan hanya cukup untuk kebutuhan makan saja.Adakah tetangga membantu? Jamal mengaku malu dibantu oleh tetangganya. Bahkan tetangga pernah mau menolong, akan tapi mereka umumkan melalui pengeras suara masjid, sehingga mereka bertambah malu dan menolak keras bantuan itu. Mereka lebih senang hidup apa adanya, terkadang makan terkadang tidak, dari pada malu dan jadi bahan cemoohan tetangga.Hal itu dibenarkan Ahmad Yani dan Agus Rahidi. “Bukannya tetangga tidak mau membantu, namun keluarga Jamal yang malu ditolong sehingga setiap bantuan tetangga, selalu ditolak. Bahkan lebih parah lagi mereka tidak bertegur sapa dengan tetangga,” jelas Ahmad Yani.Ahmad Yani menduga, menurut info yang didapatnya dari lingkungan, kurang baiknya hubungan mereka bertetangga bisa jadi sudah warisan dari kedua orang tuanya. Namun satu yang disayangkan Rahidi, yang baru pindah dari Lampung ke wilayah tersebut, RT dan kepala desa juga tidak peduli dengan warganya. Sehingga tidak ada upaya sama sekali untuk membedah rumah dan membantu warga miskin ini.Rahidi sempat membantu melaporkan situasi ini ke Dinas Sosial Pandeglang, dan akhirnya mereka turun. Keluarga ini akhirnya mendapat bantuan beras dan mie instan beberapa dus. Setelah itu tidak ada lagi bantuan, dan soal rumahnya sampai sekarang tak ada kabar dari Dinsos.Karena tidak ada kabar lagi dari pemerintah, Ahmad Yani dan Rahidi memohon bantuan ke Dompet Dhuafa melalui LPM. Ia sangat berterimakasih karena tim LPM sudah datang ke Kampung Monggor untuk melihat langsung kondisi keluarga ini.“Untuk sementara kami meninggalkan uang Rp500 ribu, untuk beli kebutuhan harian. Soal rumah nanti kami bahas setelah kembali ke kantor,” ujar Mustaki sambil menyerahkan bantuan kepada Jamal mewakili keluarga tersebut.Setelah itu, tim pun berpamitan dan menembus malam untuk mencari tempat peristirahatan. Fisik sudah lelah seharian melakukan perjalanan, bertambah lelah lagi memikirkan dhuafa yang tidur di rumah namun seperti tunawisma. Hidup berkeluarga dengan privasi terbuka, hanya kegelapan malamlah yang membuat mereka merasa berada dalam kamar masing-masing. [Maifil Eka Putra]1 Gubuk Dihuni 12 OrangSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201746 46 SOSOKUNGGAHSOSOK 47 47 1001 Kisah di Balik Kemudi Kereta JenazahAda banyak pengalaman yang dialami sopir Ambulans Barzah Dompet Dhuafa dalam menjalankan tugasnya, namun semua itu tidak menyurutkan niatnya untuk terus melayani jenazah para dhuafa.HARI menunjukkan pukul 2.00 Wib, dini hari di pekan awal bulan Agustus 2017. Muhidin, 30, Sopir Barzah Dompet Dhuafa yang tengah piket di Pos Barzah, Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa (RST DD) mendapat panggilan untuk pengantaran jenazah. Ada seorang pasien yang wafat. Ia pun merespon panggilan itu, setelah mendatangi kamar mayat RST, Muhidin mendapatkan jenazah tidak didampingi keluarganya.Menurut petugas RST, almarhum didiagnosa mengidap penyakit HIV, ia masuk ke IGD RST dalam kondisi lemah diantar oleh temannya sesama pengemudi angkutan umum, beberapa hari sebelumnya. “Tapi pasien hanya ditinggal sendiri, setelah itu tidak ada yang mendampingi sampai ia meninggal. Satu-satunya yang menjadi pedoman kami adalah KTP pasien yang beralamat di Jabon, Parung, Bogor,” jelas petugas RST.Pada pagi harinya, Muhidin dan pihak RST menelepon Kantor Desa Jabon. Kepada petugas desa dijelaskan kondisi almarhum yang harus segera dimakamkan dan menghubungi kepala desa karena KTP-nya beralamat di sana, sementara pihak keluarga dari almarhum tidak ada satupun yang datang selama perawatan di RST. Menunggu beberapa jam, akhirnya utusan desa sampai ke RST untuk mengambil jenazah almarhum. Bersama ambulans barzah dan petugas desa itu, jenazah dibawa ke kontrakan yang bersangkutan di Desa Jabon. Ternyata di kontrakkan itu, almarhum selama ini tinggal sendiri dan tidak ada siapa-siapa. Dia juga kurang bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, karena pulang ke kontrakan sudah malam pas mau tidur saja.Dari RT setempat, diketahui almarhum sudah 3 kali menikah dan semua istrinya meninggal karena sakit. Sejak itu, saat almarhum sakit tidak ada yang mendampingi, karena tiga kali pernikahannya juga tidak ada keturunan. Sementara ketika pindah KTP ke Jabon, sebelumnya tidak diketahui asalnya dan keluarganya. “Karena ia menikah dengan warga Jabon, ia dapat masuk KK dan pindah di sini,” ungkap pak RT.Secara umum warga di sekitar kontrakkan menolak jenazah itu diselenggarakan pemakamannya di kawasan itu. Muhidin pun tidak tahu sebabnya apa. Tapi sebagai petugas pengantar jenazah, Muhidin harus memastikan jenazah ini diselenggarakan dan diantar sampai ke pemakaman.Muhidin sempat bingung dengan penolakan warga tersebut. Namun petugas desa dan ustadz setempat menjelaskan kepada warga, “Ini orangnya sudah mati dan tidak ada anggota keluarga. Jadi jenazahnya terserah pada orang yang hidup, kita tidak mungkin mengusir jenazah. Dia ber-KTP sini berarti dia warga sini, jadi kita harus makamkan ini jenazah.”Setelah menjelaskan itu, warga pun memaklumi. Namun mereka tetap menjaga jarak, mau tidak mau Muhidin dan ustadz dari masjid setempat yang menyelenggarakan jenazah. Tadinya jenazah almarhum akan dimandikan di kontrakkanya. Ternyata air di kontrakkan itu mati, sehingga tidak mungkin dimandikan di sana. Jenazah pun dimandikan di masjid terdekat, setelah itu dikafani dan dishalatkan di sana. Kemudian diantar ke pemakaman. Bersyukur petugas pemakaman tidak ikutan demo, sehingga jenazah bisa dimakamkan di pemakaman umum di desa tersebut.Itulah sekelumit kenangan anyar Muhidin, sopir Barzah Dompet Dhuafa. Ia sendiri bergabung dengan Layanan Barzah itu, sejak 13 April 2013. Sebelumnya ia bekerja sebagai pengemudi di toko kaca di Sunter. Kisah lain, Muhidin mendapat panggilan untuk mengambil jenazah ke RSCM. Waktu itu jenazah yang diambil adalah korban kecelakaan tertabrak kereta di Tanah Abang. Jenazah dikirim ke Kampung Tegal, Kemang, Bogor. Jenazah korban sudah tidak sempurna, sebagian anggota tubuhnya buntung. Sementara, Muhidin sendiri yang harus mengambil ke kamar mayat karena waktu itu tidak ada co-driver. Ia hanya ditemani pihak keluarga.“Saya gemetaran ketika mengevakuasi jenazah itu, dari mengangkat ke brankar dan memasukan ke ambulans, sampai ke pemakaman saya masih saja bergetar. Selama di perjalanan saya diam dan hanya sesekali bertanya kepada pihak keluarga tentang jalan menuju rumah duka. Keringat saya mengucur deras, padahal AC mobilnya sangat sejuk. Setelah semuanya selesai, saya langsung minta resign ke Ustad Madroi, Manager Layanan Barzah Dompet Dhuafa,” kisah Muhidin.Namun bagi ustad Madroi, permintaan resign itu ditolak. Dia kemudian meyakinkan lagi kepada Muhidin, itu hanya sementara dan ke depannya akan terbiasa. “Nanti kalau sudah biasa juga tidak akan gemetar lagi,” ungkap ustadz Madroi seperti ditirukan Muhidin ke Swara Cinta.Akhirnya Muhidin memaksakan dirinya untuk terus menjalani rutinitasnya menjadi sopir Barzah. Setelah mengurusi 5 jenazah, akhirnya ia mulai terasa terbiasa dan tidak takut lagi. Muhidin masih ingat ketika pertama kali mengantar jenazah ke luar kota, tepatnya ke Blora. Jenazah diambil di Cinere, seorang pekerja bangunan kecelakaan dan tewas ketika merehab masjid. Muhidin terus terang belum pernah membawa mobil hingga keluar Jakarta. Bersamanya ada pihak keluarga, yaitu isteri almarhum, yang juga tidak pernah pulang ke kampung suaminya. Ternyata kampungnya jauh di pelosok, saat itu belum ada map dan GPS untuk penunjuk arah. Modal Muhidin hanya alamat di KTP almarhum. Setelah menempuh jarak yang jauh dan sering salah jalan, akhirnya sampai juga ke kampung almarhum, dan pihak keluarga senangnya bukan main karena sudah dibantu diantarkan. Mereka berterimakasih kepada Dompet Dhuafa. “Melihat senyum senang dan ucapan terima kasih dari pihak keluarga, rasa lelah mengantarkan jenazah ke sana jadi tak terasa, meskipun pulang kembali ke Jakarta harus berjuang lagi untuk menanyakan jalan ke sana-sini,” jelasnya. Selain harus sering bertanya dan sering salah jalan, “penderitaan” Muhidin dalam mengantar jenazah jarak jauh itu cukup banyak. Ia sering kali ditolak untuk makan di rumah makan. Padahal ia juga lapar, sehingga tidak jarang ia harus berhenti dan memarkir ambulansnya MuHIDIN (SOPIR MOBIL JENAzAH BARzAH DOMPEt DHuAfA)SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201746 46 SOSOKUNGGAHSOSOK 47 47 1001 Kisah di Balik Kemudi Kereta JenazahAda banyak pengalaman yang dialami sopir Ambulans Barzah Dompet Dhuafa dalam menjalankan tugasnya, namun semua itu tidak menyurutkan niatnya untuk terus melayani jenazah para dhuafa.HARI menunjukkan pukul 2.00 Wib, dini hari di pekan awal bulan Agustus 2017. Muhidin, 30, Sopir Barzah Dompet Dhuafa yang tengah piket di Pos Barzah, Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa (RST DD) mendapat panggilan untuk pengantaran jenazah. Ada seorang pasien yang wafat. Ia pun merespon panggilan itu, setelah mendatangi kamar mayat RST, Muhidin mendapatkan jenazah tidak didampingi keluarganya.Menurut petugas RST, almarhum didiagnosa mengidap penyakit HIV, ia masuk ke IGD RST dalam kondisi lemah diantar oleh temannya sesama pengemudi angkutan umum, beberapa hari sebelumnya. “Tapi pasien hanya ditinggal sendiri, setelah itu tidak ada yang mendampingi sampai ia meninggal. Satu-satunya yang menjadi pedoman kami adalah KTP pasien yang beralamat di Jabon, Parung, Bogor,” jelas petugas RST.Pada pagi harinya, Muhidin dan pihak RST menelepon Kantor Desa Jabon. Kepada petugas desa dijelaskan kondisi almarhum yang harus segera dimakamkan dan menghubungi kepala desa karena KTP-nya beralamat di sana, sementara pihak keluarga dari almarhum tidak ada satupun yang datang selama perawatan di RST. Menunggu beberapa jam, akhirnya utusan desa sampai ke RST untuk mengambil jenazah almarhum. Bersama ambulans barzah dan petugas desa itu, jenazah dibawa ke kontrakan yang bersangkutan di Desa Jabon. Ternyata di kontrakkan itu, almarhum selama ini tinggal sendiri dan tidak ada siapa-siapa. Dia juga kurang bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, karena pulang ke kontrakan sudah malam pas mau tidur saja.Dari RT setempat, diketahui almarhum sudah 3 kali menikah dan semua istrinya meninggal karena sakit. Sejak itu, saat almarhum sakit tidak ada yang mendampingi, karena tiga kali pernikahannya juga tidak ada keturunan. Sementara ketika pindah KTP ke Jabon, sebelumnya tidak diketahui asalnya dan keluarganya. “Karena ia menikah dengan warga Jabon, ia dapat masuk KK dan pindah di sini,” ungkap pak RT.Secara umum warga di sekitar kontrakkan menolak jenazah itu diselenggarakan pemakamannya di kawasan itu. Muhidin pun tidak tahu sebabnya apa. Tapi sebagai petugas pengantar jenazah, Muhidin harus memastikan jenazah ini diselenggarakan dan diantar sampai ke pemakaman.Muhidin sempat bingung dengan penolakan warga tersebut. Namun petugas desa dan ustadz setempat menjelaskan kepada warga, “Ini orangnya sudah mati dan tidak ada anggota keluarga. Jadi jenazahnya terserah pada orang yang hidup, kita tidak mungkin mengusir jenazah. Dia ber-KTP sini berarti dia warga sini, jadi kita harus makamkan ini jenazah.”Setelah menjelaskan itu, warga pun memaklumi. Namun mereka tetap menjaga jarak, mau tidak mau Muhidin dan ustadz dari masjid setempat yang menyelenggarakan jenazah. Tadinya jenazah almarhum akan dimandikan di kontrakkanya. Ternyata air di kontrakkan itu mati, sehingga tidak mungkin dimandikan di sana. Jenazah pun dimandikan di masjid terdekat, setelah itu dikafani dan dishalatkan di sana. Kemudian diantar ke pemakaman. Bersyukur petugas pemakaman tidak ikutan demo, sehingga jenazah bisa dimakamkan di pemakaman umum di desa tersebut.Itulah sekelumit kenangan anyar Muhidin, sopir Barzah Dompet Dhuafa. Ia sendiri bergabung dengan Layanan Barzah itu, sejak 13 April 2013. Sebelumnya ia bekerja sebagai pengemudi di toko kaca di Sunter. Kisah lain, Muhidin mendapat panggilan untuk mengambil jenazah ke RSCM. Waktu itu jenazah yang diambil adalah korban kecelakaan tertabrak kereta di Tanah Abang. Jenazah dikirim ke Kampung Tegal, Kemang, Bogor. Jenazah korban sudah tidak sempurna, sebagian anggota tubuhnya buntung. Sementara, Muhidin sendiri yang harus mengambil ke kamar mayat karena waktu itu tidak ada co-driver. Ia hanya ditemani pihak keluarga.“Saya gemetaran ketika mengevakuasi jenazah itu, dari mengangkat ke brankar dan memasukan ke ambulans, sampai ke pemakaman saya masih saja bergetar. Selama di perjalanan saya diam dan hanya sesekali bertanya kepada pihak keluarga tentang jalan menuju rumah duka. Keringat saya mengucur deras, padahal AC mobilnya sangat sejuk. Setelah semuanya selesai, saya langsung minta resign ke Ustad Madroi, Manager Layanan Barzah Dompet Dhuafa,” kisah Muhidin.Namun bagi ustad Madroi, permintaan resign itu ditolak. Dia kemudian meyakinkan lagi kepada Muhidin, itu hanya sementara dan ke depannya akan terbiasa. “Nanti kalau sudah biasa juga tidak akan gemetar lagi,” ungkap ustadz Madroi seperti ditirukan Muhidin ke Swara Cinta.Akhirnya Muhidin memaksakan dirinya untuk terus menjalani rutinitasnya menjadi sopir Barzah. Setelah mengurusi 5 jenazah, akhirnya ia mulai terasa terbiasa dan tidak takut lagi. Muhidin masih ingat ketika pertama kali mengantar jenazah ke luar kota, tepatnya ke Blora. Jenazah diambil di Cinere, seorang pekerja bangunan kecelakaan dan tewas ketika merehab masjid. Muhidin terus terang belum pernah membawa mobil hingga keluar Jakarta. Bersamanya ada pihak keluarga, yaitu isteri almarhum, yang juga tidak pernah pulang ke kampung suaminya. Ternyata kampungnya jauh di pelosok, saat itu belum ada map dan GPS untuk penunjuk arah. Modal Muhidin hanya alamat di KTP almarhum. Setelah menempuh jarak yang jauh dan sering salah jalan, akhirnya sampai juga ke kampung almarhum, dan pihak keluarga senangnya bukan main karena sudah dibantu diantarkan. Mereka berterimakasih kepada Dompet Dhuafa. “Melihat senyum senang dan ucapan terima kasih dari pihak keluarga, rasa lelah mengantarkan jenazah ke sana jadi tak terasa, meskipun pulang kembali ke Jakarta harus berjuang lagi untuk menanyakan jalan ke sana-sini,” jelasnya. Selain harus sering bertanya dan sering salah jalan, “penderitaan” Muhidin dalam mengantar jenazah jarak jauh itu cukup banyak. Ia sering kali ditolak untuk makan di rumah makan. Padahal ia juga lapar, sehingga tidak jarang ia harus berhenti dan memarkir ambulansnya MuHIDIN (SOPIR MOBIL JENAzAH BARzAH DOMPEt DHuAfA)SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201749 49 20 sampai 50 meter jauh dari rumah makan itu. “Kalau kita parkir di depan rumah makan, jika tidak diusir ya dibilang habislah makanannya,” ungkap Muhidin. “Mungkin pihak rumah makan tidak mau tamunya yang lain terganggu melihat ambulans jenazah parkir di restoran tersebut,” imbuhnya.Lebih parah lagi, lanjut Muhidin, bukan saja restoran yang menolak keberadaan ambulans jenazah, SPBU juga ikutan. Mereka tidak mau mengisi BBM, apalagi kalau petugas perempuan mereka malah ketakutan. “Kita kan perlu BBM untuk operasional ambulans, akhirnya mau tidak mau kita sendiri yang ngisi di SPBU itu atas seizin petugas, atau beli dengan jeriken dan ambulans diparkir jauh dari SPBU,” terang Muhidin.Begitu juga ketika lelah berjalan seharian, ketika hendak istirahat sejenak untuk mengumpulkan tenaga kembali, baik ketika berangkat dan maupun kembali mengantar jenazah. Tidak satu hotel pun menerima ia sebagai tamunya. Terutama ambulansnya tidak boleh parkir di hotel tersebut. Petugas keamanan menolaknya, membuat ia harus berputar arah. Akhirnya ia harus tidur di teras masjid atau di dalam mobil ambulans jenazah itu sendiri.48 48 SOSOKBukan hal mudah merantau di usia belia. Selalu ada tantangan serta pergolakan ketika memutuskan pergi meninggalkan keluarga tercinta di kampung halaman. Namun berbeda dengan Muhammad Furqan, ia berkomitmen pada dirinya bahwa merantau dapat mengasah jiwa pekerja keras sekaligus menjadi sarana pengaktualisasian kemandirian dalam dirinya.Saat ini Furqan, sapaan akrabnya, duduk di kelas 2A Sekolah Menengah Pertama (SMP) SMART Ekselensia Indonesia, sekolah unggulan Dompet Dhuafa. Ia dilahirkan di Lubuk Alung, Sumatera Barat, pada 24 September 2003. Sekembalinya dari kampung halaman pada momen Pulang Kampung SMART Januari lalu Furqan memiliki tekad berkurban untuk ibunda tercinta. Pasalnya, saat ini ia belum mampu untuk memberangkatkan ibunya untuk berhaji, maka ia memilih alternatif lain yakni berkurban. Sejak saat itu ia mulai menabung, sedikit demi sedikit uang bulanan dari sekolah ia kumpulkan. Namun, ia merasa jika hanya mengandalkan uang bulanan sekolah saja tak akan mungkin mengejar target berkurban di tahun ini. Berbekal informasi dari para ustadz dan usatadzah, di sekolah ia mulai bergerilya membantu dua ustadz asrama berjualan makanan ringan.Furqan memang dikenal sebagai sosok pekerja keras, penuh semangat, dan tak pernah mengeluh. Selain berjualan, di sela-sela kesibukannya ia juga menjadi relawan di Perpustakaan Pusat Sumber Belajar (PSB) Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa. Setiap harinya Furqan mampu mengantongi uang Rp15 ribu dari hasil berjualan. Ia berkeliling dari satu asrama ke asrama lainnya menawarkan beragam jajanan kepada siswa-siswa penghuni asrama. Menurut Furqan, dalam hitungan menit jualannya pasti habis. “Per hari saya biasa menabung Rp5 ribu sampai Rp15 ribu. Beruntung saya tak begitu suka jajan terlalu banyak sehingga bisa fokus mengelola keuangan pribadi,” ujarnya. “Sulit,” adalah kata pertama yang Furqan ucapkan ketika ditanya bagaimana membagi waktu antara sekolah dan berdagang. Apalagi Furqan masih tercatat sebagai seorang pelajar SMP dan juga seorang relawan. Kesibukan nan padat, tugas sekolah yang menumpuk, serta kegiatan ekstrakulikuler kadang menjadi tantangan terbesar baginya. “Biasanya saya membawa serta Pekerjaan Rumah (PR) ketika berdagang, jadi ketika belum banyak pembeli saya bisa mengerjakan PR, atau biasanya saya mengerjakan PR dulu baru berdagang,” jelas Furqan. Furqan mengaku, jika ibu di kampung halaman merupakan motivasi terbesarnya dalam berdagang, “Kalau lagi malas biasanya saya teringat ibu di rumah. Saya teringat betapa keras usaha ibu berdagang untuk membiayai hidup kami. Ibu adalah motivasi terbesar agar saya bisa bangkit dan tidak malas berlarut-larut,” tambahnya. Berkat usaha kerasnya, Furqan akhirnya berhasil memenuhi impian besar dalam hidupnya, yakni membeli kambing untuk dikurbankan tahun ini. “Perasaan saya saat ini senang sekaligus sedih. Senang karena akhirnya bisa berkurban untuk ibu di kampung halaman, sedih karena ibu tidak ada di sini untuk menyaksikan sendiri kambing yang saya pilihkan untuknya,” ucapnya berkaca-kaca penuh haru. Ia berpesan agar tak menjadikan ketidakmampuan sebagai alasan untuk tak berkurban. Ketika sudah bertekad, maka Allah akan membantu memenuhi niat baik tersebut. “Jangan lupa tekadkan niat tersebut untuk orang-orang tercinta karena ridho Allah ada pada ridho mereka,” tandasnya. [Dompet Dhuafa/AR]Belajar dari Semangat furqanETOSKenangan lain yang tak terlupakan Muhidin adalah sering kesurupannya pihak keluarga ketika mendampingi jenazah dipulangkan. Pernah suatu kali ia mengirim jenazah ke Cikotok, Sukabumi. Jenazah diambil dari Kampung Kerikil Bogor, Kecamatan Ciseeng. Di dalam ambulans ada 3 orang keluarga menemani jenazah; dua anak dan satu menantu. Tiba-tiba di tengah jalan salah satu anak almarhumah yang perempuan kesurupan, kakak dan suaminya pun sibuk memegangi. “Saya panik, dan menghentikan ambulans. Saya meminta pihak keluarga menenangkan dulu yang kesurupan, baru jalan,”terang Muhidin.Ternyata alamat rumah duka sangat jauh di pelosok, dari mobil jenazah berhenti, masih harus menempuh 2,5 km lagi. Jenazah kemudian digotong berjalan kaki oleh warga menaiki bukit menuju rumah duka. Masih banyak cerita kenangan yang dirasakan alumni SMP Kalisuren ini, namun tidak mungkin semuanya diungkapkan dalam Swara Cinta edisi ini. Satu hal yang membuat ia betah berkerja sebagai pengantar jenazah selama 4 tahun ini adalah, motivasi dari isterinya Fitriyani, 24 tahun dan anaknya Mutriyani Khairunnada, 3 tahun. Karena itulah warga Kampung Bulak, Kalisuren, Tajur Halang, Bogor ini menjadi betah berkerja di layanan Barzah tersebut.Isteri dari pria enam bersaudara ini sudah paham, kalau suaminya berkerja di pelayanan Barzah jadi selama 24 jam harus standby, karena meninggal tidak mengenal waktu, sehingga sewaktu-watu ia harus siap berangkat menjalankan tugas. Pelan-pelan keahlian pria yang menikah Oktober 2013 ini, tidak lagi hanya sebatas sopir. Melalui pelatihan-pelatihan internal, akhirnya Muhidin pun sudah ahli memandikan, mengafani dan menyolatkan jenazah. Dan keahliannya itu sering sekali digunakan, karena sebagai tim Barzah Dompet Dhuafa yang melayani pengantaran dan penyelenggaraan jenazah secara gratis, sering kali ia menghadapi masalah jenazah yang tidak ada keluarga dan tidak ada yang menolong penyelenggaraan jenazah itu, karena sesuatu dan lain hal. - Maifil Eka PutraSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201749 49 20 sampai 50 meter jauh dari rumah makan itu. “Kalau kita parkir di depan rumah makan, jika tidak diusir ya dibilang habislah makanannya,” ungkap Muhidin. “Mungkin pihak rumah makan tidak mau tamunya yang lain terganggu melihat ambulans jenazah parkir di restoran tersebut,” imbuhnya.Lebih parah lagi, lanjut Muhidin, bukan saja restoran yang menolak keberadaan ambulans jenazah, SPBU juga ikutan. Mereka tidak mau mengisi BBM, apalagi kalau petugas perempuan mereka malah ketakutan. “Kita kan perlu BBM untuk operasional ambulans, akhirnya mau tidak mau kita sendiri yang ngisi di SPBU itu atas seizin petugas, atau beli dengan jeriken dan ambulans diparkir jauh dari SPBU,” terang Muhidin.Begitu juga ketika lelah berjalan seharian, ketika hendak istirahat sejenak untuk mengumpulkan tenaga kembali, baik ketika berangkat dan maupun kembali mengantar jenazah. Tidak satu hotel pun menerima ia sebagai tamunya. Terutama ambulansnya tidak boleh parkir di hotel tersebut. Petugas keamanan menolaknya, membuat ia harus berputar arah. Akhirnya ia harus tidur di teras masjid atau di dalam mobil ambulans jenazah itu sendiri.48 48 SOSOKBukan hal mudah merantau di usia belia. Selalu ada tantangan serta pergolakan ketika memutuskan pergi meninggalkan keluarga tercinta di kampung halaman. Namun berbeda dengan Muhammad Furqan, ia berkomitmen pada dirinya bahwa merantau dapat mengasah jiwa pekerja keras sekaligus menjadi sarana pengaktualisasian kemandirian dalam dirinya.Saat ini Furqan, sapaan akrabnya, duduk di kelas 2A Sekolah Menengah Pertama (SMP) SMART Ekselensia Indonesia, sekolah unggulan Dompet Dhuafa. Ia dilahirkan di Lubuk Alung, Sumatera Barat, pada 24 September 2003. Sekembalinya dari kampung halaman pada momen Pulang Kampung SMART Januari lalu Furqan memiliki tekad berkurban untuk ibunda tercinta. Pasalnya, saat ini ia belum mampu untuk memberangkatkan ibunya untuk berhaji, maka ia memilih alternatif lain yakni berkurban. Sejak saat itu ia mulai menabung, sedikit demi sedikit uang bulanan dari sekolah ia kumpulkan. Namun, ia merasa jika hanya mengandalkan uang bulanan sekolah saja tak akan mungkin mengejar target berkurban di tahun ini. Berbekal informasi dari para ustadz dan usatadzah, di sekolah ia mulai bergerilya membantu dua ustadz asrama berjualan makanan ringan.Furqan memang dikenal sebagai sosok pekerja keras, penuh semangat, dan tak pernah mengeluh. Selain berjualan, di sela-sela kesibukannya ia juga menjadi relawan di Perpustakaan Pusat Sumber Belajar (PSB) Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa. Setiap harinya Furqan mampu mengantongi uang Rp15 ribu dari hasil berjualan. Ia berkeliling dari satu asrama ke asrama lainnya menawarkan beragam jajanan kepada siswa-siswa penghuni asrama. Menurut Furqan, dalam hitungan menit jualannya pasti habis. “Per hari saya biasa menabung Rp5 ribu sampai Rp15 ribu. Beruntung saya tak begitu suka jajan terlalu banyak sehingga bisa fokus mengelola keuangan pribadi,” ujarnya. “Sulit,” adalah kata pertama yang Furqan ucapkan ketika ditanya bagaimana membagi waktu antara sekolah dan berdagang. Apalagi Furqan masih tercatat sebagai seorang pelajar SMP dan juga seorang relawan. Kesibukan nan padat, tugas sekolah yang menumpuk, serta kegiatan ekstrakulikuler kadang menjadi tantangan terbesar baginya. “Biasanya saya membawa serta Pekerjaan Rumah (PR) ketika berdagang, jadi ketika belum banyak pembeli saya bisa mengerjakan PR, atau biasanya saya mengerjakan PR dulu baru berdagang,” jelas Furqan. Furqan mengaku, jika ibu di kampung halaman merupakan motivasi terbesarnya dalam berdagang, “Kalau lagi malas biasanya saya teringat ibu di rumah. Saya teringat betapa keras usaha ibu berdagang untuk membiayai hidup kami. Ibu adalah motivasi terbesar agar saya bisa bangkit dan tidak malas berlarut-larut,” tambahnya. Berkat usaha kerasnya, Furqan akhirnya berhasil memenuhi impian besar dalam hidupnya, yakni membeli kambing untuk dikurbankan tahun ini. “Perasaan saya saat ini senang sekaligus sedih. Senang karena akhirnya bisa berkurban untuk ibu di kampung halaman, sedih karena ibu tidak ada di sini untuk menyaksikan sendiri kambing yang saya pilihkan untuknya,” ucapnya berkaca-kaca penuh haru. Ia berpesan agar tak menjadikan ketidakmampuan sebagai alasan untuk tak berkurban. Ketika sudah bertekad, maka Allah akan membantu memenuhi niat baik tersebut. “Jangan lupa tekadkan niat tersebut untuk orang-orang tercinta karena ridho Allah ada pada ridho mereka,” tandasnya. [Dompet Dhuafa/AR]Belajar dari Semangat furqanETOSKenangan lain yang tak terlupakan Muhidin adalah sering kesurupannya pihak keluarga ketika mendampingi jenazah dipulangkan. Pernah suatu kali ia mengirim jenazah ke Cikotok, Sukabumi. Jenazah diambil dari Kampung Kerikil Bogor, Kecamatan Ciseeng. Di dalam ambulans ada 3 orang keluarga menemani jenazah; dua anak dan satu menantu. Tiba-tiba di tengah jalan salah satu anak almarhumah yang perempuan kesurupan, kakak dan suaminya pun sibuk memegangi. “Saya panik, dan menghentikan ambulans. Saya meminta pihak keluarga menenangkan dulu yang kesurupan, baru jalan,”terang Muhidin.Ternyata alamat rumah duka sangat jauh di pelosok, dari mobil jenazah berhenti, masih harus menempuh 2,5 km lagi. Jenazah kemudian digotong berjalan kaki oleh warga menaiki bukit menuju rumah duka. Masih banyak cerita kenangan yang dirasakan alumni SMP Kalisuren ini, namun tidak mungkin semuanya diungkapkan dalam Swara Cinta edisi ini. Satu hal yang membuat ia betah berkerja sebagai pengantar jenazah selama 4 tahun ini adalah, motivasi dari isterinya Fitriyani, 24 tahun dan anaknya Mutriyani Khairunnada, 3 tahun. Karena itulah warga Kampung Bulak, Kalisuren, Tajur Halang, Bogor ini menjadi betah berkerja di layanan Barzah tersebut.Isteri dari pria enam bersaudara ini sudah paham, kalau suaminya berkerja di pelayanan Barzah jadi selama 24 jam harus standby, karena meninggal tidak mengenal waktu, sehingga sewaktu-watu ia harus siap berangkat menjalankan tugas. Pelan-pelan keahlian pria yang menikah Oktober 2013 ini, tidak lagi hanya sebatas sopir. Melalui pelatihan-pelatihan internal, akhirnya Muhidin pun sudah ahli memandikan, mengafani dan menyolatkan jenazah. Dan keahliannya itu sering sekali digunakan, karena sebagai tim Barzah Dompet Dhuafa yang melayani pengantaran dan penyelenggaraan jenazah secara gratis, sering kali ia menghadapi masalah jenazah yang tidak ada keluarga dan tidak ada yang menolong penyelenggaraan jenazah itu, karena sesuatu dan lain hal. - Maifil Eka PutraNext >