< PreviousSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201750 51 50 RONARONAKendaraan yang membawa Tim Lembaga Pelayan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa, Kamis. 10 Agustus lalu melaju keluar dari Tol Cilegon Timur. Kali ini perjalanan mengarah ke Pandeglang, Banten. Ada 3 tempat lokasi yang akan dituju, jaraknya antar-lokasi cukup berjauhan. Namun semuanya harus ditinjau, karena ini sudah menjadi kewajiban bagi lembaga yang bertugas melayani masyarakat untuk merespon pengaduan masyarakat tentang dhuafa yang terlantar.Tidak jauh dari pintu keluar tol, kendaraan berhenti sejenak. Mustaki, staf LPM turun dari kendaraan, dan bergegas ke warung Padang yang berada di pinggir jalan itu. Ia memesan beberapa bungkus nasi dengan lauk dan sayur dipisah. Di mobil itu hanya empat orang; Sanusi (pengemudi), Mustaki, tim KBK dan Iim Nurohim (staf LPM). Tetapi, Mustaki membeli lebih dari empat bungkus nasi dan ketika melirik ke jam, hari masih terbilang pagi untuk makan siang. Sedangkan sarapan pagi juga sudah lewat dari waktunya, bahkan tim sudah sarapan sebelum berangkat.Mobil pun terus melaju menuju pedalaman Pandeglang. Sesampai di Cidahu, mobil mendadak berhenti, Mustaki dan Iim turun sambil menenteng satu bungkus nasi, lauk dan sayur serta sebotol air mineral. Pertanyaan yang tadi berputar di kepala terjawab sudah, ternyata nasi itu untuk dibagikan kepada orang penderita gangguan kejiwaan yang ditemui di sepanjang jalan.Iim mendekati orang yang mengalami gangguan itu. Ia tengah duduk bermenung di teras sebuah warung yang tutup. Pakaiannya lusuh, tangannya penuh bekas kudisan. Agaknya ia juga menderita gatal-gatal. Iim menawarkan makanan, ternyata dengan sangat antusias ia menyambutnya. Mungkin ia sudah terlalu lapar, ia mengambilnya dan membukanya. Namun Iim menstop gerak tangannya.“Nanti dulu jangan dimakan dulu, cuci tangan dulu baru makan,” ungkap Iim.Iim membuka tutup botol air mineral yang dipegangnya, dan meraih tangan penderita tersebut. Dan Iim mencurahkan air ke tangannya, sadar ia harus cuci tangan, dengan refleks jari-jari di kedua tangan penderita itu digunakannya untuk saling membersihkan.Setelah bersih, kemudian ia mulai menarik nasi bungkus yang dipegang Iim dan melahapnya. Mustaki tidak ketinggalan mengambil gambar momen bersahaja itu. Setelah itu tim melanjutkan perjalanan.Lama di perjalanan, belum ditemukan lagi penderita gangguan kejiwaan. Baru 2 jam berikutnya di Pasar Panimbang, Pandeglang ditemukan dua orang penderita gangguan jiwa. Yang pertama, duduk di pinggir jalan sambil menampungkan kaleng susu di depannya. Ia meminta kasihan setiap orang yang lewat. Iim pun mendatangi penderita gangguan yang kurus tersebut dan menawarkan makan.Ketika nasi bungkus berpindah tangan, ia langsung membukanya. Seperti biasa, sebelum tangannya menyentuh nasi, Iim mengingatkan untuk mencuci tangan terlebih dahulu. Iim menuangkan air mineral ke tangannya dan membantu membersihkan tangan orang tersebut. Setelah itu Iim mempersilahkannya makan.Seorang penderita lainnya tidak jauh dari penderita pertama, ia terduduk di bawah gardu telkom. Rambutnya gimbal dan kapalan, entah berapa tahun lamanya tidak tersentuh air. Penderita ini gagu, ia tidak bisa bicara.Menurut tukang ojek pangkalan yang ada di sekitar Pasar Panimbang, mereka tidak pernah mendengar suara dari penderita gangguan jiwa tersebut. Badannya juga kumuh dan dekil. Bajunya yang dipakai sudah hancur, hanya tersisa sedikit yang masih tergantung di leher. Celananya juga sudah sobek, sepertinya penderita ini suka tidur sembarangan.Iim pun menghampiri dan menawarkan makan. Ia tidak menolak dan langsung membukanya. Tangan penderita ini sangat kumal, kukunya panjang dan hitam penuh daki. Iim dan Mustaki kembali membantu mencuci tangannya. Sebelum berangkat meninggalkan orang tersebut, Mustaki mengambil sebuah baju kaos di mobil dan membantu memasangkan kepada penderita yang sedang makan tersebut. Baju lama yang hanya tinggal sebagian dan kumal dibuka, diganti dengan baju kaos putih.Sejauh itu penderita tersebut tidak menolak, dan mengikuti apa yang disarankan kepadanya padahal tampangnya sangar dan brutal. Mungkin karena tampang itulah membuat orang sekitar takut mendekatinya. Karena itu pula yang menyebabkan ia terlantar di jalanan, karena orang takut diamuknya.Tapi apa yang dilakukan tim LPM Dompet Dhuafa sungguh luar biasa. Dengan melawan rasa takut, ia hadirkan cinta untuk penderita kejiwaan itu, mungkin karena itu pula penderita itu menjadi luluh dan mau mengikuti apa saja yang diberlakukan kepadanya.Ketika ditanyakan kepada Mustaki, kenapa ia dan teman-teman melakukan itu. Dijawabnya, sudah menjadi kewajiban sebagai lembaga pelayan masyarakat, kalau tim melakukan assessment ke luar daerah selalu menyempatkan diri memberikan makan dan berbagi dengan penderita kejiwaan yang terlantar di jalanan.“Karena mereka juga manusia,” pungkas Mustaki mengakhiri. [Maifil Eka Putra]Karena Mereka Juga ManusiaKetika ditanyakan kepada Mustaki, kenapa ia dan teman-teman melakukan itu. Dijawabnya, sudah menjadi kewajiban sebagai lembaga pelayan masyarakat,SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201750 51 50 RONARONAKendaraan yang membawa Tim Lembaga Pelayan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa, Kamis. 10 Agustus lalu melaju keluar dari Tol Cilegon Timur. Kali ini perjalanan mengarah ke Pandeglang, Banten. Ada 3 tempat lokasi yang akan dituju, jaraknya antar-lokasi cukup berjauhan. Namun semuanya harus ditinjau, karena ini sudah menjadi kewajiban bagi lembaga yang bertugas melayani masyarakat untuk merespon pengaduan masyarakat tentang dhuafa yang terlantar.Tidak jauh dari pintu keluar tol, kendaraan berhenti sejenak. Mustaki, staf LPM turun dari kendaraan, dan bergegas ke warung Padang yang berada di pinggir jalan itu. Ia memesan beberapa bungkus nasi dengan lauk dan sayur dipisah. Di mobil itu hanya empat orang; Sanusi (pengemudi), Mustaki, tim KBK dan Iim Nurohim (staf LPM). Tetapi, Mustaki membeli lebih dari empat bungkus nasi dan ketika melirik ke jam, hari masih terbilang pagi untuk makan siang. Sedangkan sarapan pagi juga sudah lewat dari waktunya, bahkan tim sudah sarapan sebelum berangkat.Mobil pun terus melaju menuju pedalaman Pandeglang. Sesampai di Cidahu, mobil mendadak berhenti, Mustaki dan Iim turun sambil menenteng satu bungkus nasi, lauk dan sayur serta sebotol air mineral. Pertanyaan yang tadi berputar di kepala terjawab sudah, ternyata nasi itu untuk dibagikan kepada orang penderita gangguan kejiwaan yang ditemui di sepanjang jalan.Iim mendekati orang yang mengalami gangguan itu. Ia tengah duduk bermenung di teras sebuah warung yang tutup. Pakaiannya lusuh, tangannya penuh bekas kudisan. Agaknya ia juga menderita gatal-gatal. Iim menawarkan makanan, ternyata dengan sangat antusias ia menyambutnya. Mungkin ia sudah terlalu lapar, ia mengambilnya dan membukanya. Namun Iim menstop gerak tangannya.“Nanti dulu jangan dimakan dulu, cuci tangan dulu baru makan,” ungkap Iim.Iim membuka tutup botol air mineral yang dipegangnya, dan meraih tangan penderita tersebut. Dan Iim mencurahkan air ke tangannya, sadar ia harus cuci tangan, dengan refleks jari-jari di kedua tangan penderita itu digunakannya untuk saling membersihkan.Setelah bersih, kemudian ia mulai menarik nasi bungkus yang dipegang Iim dan melahapnya. Mustaki tidak ketinggalan mengambil gambar momen bersahaja itu. Setelah itu tim melanjutkan perjalanan.Lama di perjalanan, belum ditemukan lagi penderita gangguan kejiwaan. Baru 2 jam berikutnya di Pasar Panimbang, Pandeglang ditemukan dua orang penderita gangguan jiwa. Yang pertama, duduk di pinggir jalan sambil menampungkan kaleng susu di depannya. Ia meminta kasihan setiap orang yang lewat. Iim pun mendatangi penderita gangguan yang kurus tersebut dan menawarkan makan.Ketika nasi bungkus berpindah tangan, ia langsung membukanya. Seperti biasa, sebelum tangannya menyentuh nasi, Iim mengingatkan untuk mencuci tangan terlebih dahulu. Iim menuangkan air mineral ke tangannya dan membantu membersihkan tangan orang tersebut. Setelah itu Iim mempersilahkannya makan.Seorang penderita lainnya tidak jauh dari penderita pertama, ia terduduk di bawah gardu telkom. Rambutnya gimbal dan kapalan, entah berapa tahun lamanya tidak tersentuh air. Penderita ini gagu, ia tidak bisa bicara.Menurut tukang ojek pangkalan yang ada di sekitar Pasar Panimbang, mereka tidak pernah mendengar suara dari penderita gangguan jiwa tersebut. Badannya juga kumuh dan dekil. Bajunya yang dipakai sudah hancur, hanya tersisa sedikit yang masih tergantung di leher. Celananya juga sudah sobek, sepertinya penderita ini suka tidur sembarangan.Iim pun menghampiri dan menawarkan makan. Ia tidak menolak dan langsung membukanya. Tangan penderita ini sangat kumal, kukunya panjang dan hitam penuh daki. Iim dan Mustaki kembali membantu mencuci tangannya. Sebelum berangkat meninggalkan orang tersebut, Mustaki mengambil sebuah baju kaos di mobil dan membantu memasangkan kepada penderita yang sedang makan tersebut. Baju lama yang hanya tinggal sebagian dan kumal dibuka, diganti dengan baju kaos putih.Sejauh itu penderita tersebut tidak menolak, dan mengikuti apa yang disarankan kepadanya padahal tampangnya sangar dan brutal. Mungkin karena tampang itulah membuat orang sekitar takut mendekatinya. Karena itu pula yang menyebabkan ia terlantar di jalanan, karena orang takut diamuknya.Tapi apa yang dilakukan tim LPM Dompet Dhuafa sungguh luar biasa. Dengan melawan rasa takut, ia hadirkan cinta untuk penderita kejiwaan itu, mungkin karena itu pula penderita itu menjadi luluh dan mau mengikuti apa saja yang diberlakukan kepadanya.Ketika ditanyakan kepada Mustaki, kenapa ia dan teman-teman melakukan itu. Dijawabnya, sudah menjadi kewajiban sebagai lembaga pelayan masyarakat, kalau tim melakukan assessment ke luar daerah selalu menyempatkan diri memberikan makan dan berbagi dengan penderita kejiwaan yang terlantar di jalanan.“Karena mereka juga manusia,” pungkas Mustaki mengakhiri. [Maifil Eka Putra]Karena Mereka Juga ManusiaKetika ditanyakan kepada Mustaki, kenapa ia dan teman-teman melakukan itu. Dijawabnya, sudah menjadi kewajiban sebagai lembaga pelayan masyarakat,53 BERANDABanten – Setelah hampir dua tahun tinggal di kandang ayam, akhirnya Nenek Saki (70) memiliki rumah yang layak huni. Tim #MariMembantu Kantor Berita Kemanusiaan (KBK) dan LPM Dompet Dhuafa yang menggalang dana untuk Nek Saki secara online dan offline menyalurkan bantuan tersebut.Sekitar Pukul 14.00 WIB, Kamis 10 Agustus lalu, tim KBK dan LPM sampai di Kampung Surung Sungut, RT14 RW03, Desa Cibungur, Kec. Sukaresmi, Kab. Pandeglang, Banten. Didampingi Relawan Lokal Ahmad Yani, secara simbolis bantuan pembaca KBK melalui kitabisa.com dan donasi dari donatur LPM Dompet Dhuafa sebesar Rp10 juta, diserahterimakan kepada Nek Saki.Setelah itu, tim langsung menuju Toko Material di Jalan Panimbang sekitar 5 Km dari lokasi untuk membeli kebutuhan pembangunan. Sore itu juga bahan bangunan yang dibutuhkan dikirim ke lokasi rumah Nek Saki.“Sayang pembangunan tidak bisa dimulai besok atau Jumat, karena menurut Nek Saki, pamali membangun di “Hari Larangan”. Kepercayaan Nek Saki, tidak boleh membangun dan melakukan perjalanan di hari Jumat,” ungkap Ahmad Yani seperti ditirukan dari Nek Saki.Di hari Sabtu, pembangunan pun dimulai. Pembangunan pun cepat berjalan, karena pondasi rumah sudah ada. Pondasi tersebut merupakan bantuan warga setempat. “Kami sudah hampir dua tahun menghimpun dana membantu Nek Saki, cuma pondasi yang bisa kami dirikan. Alhamdulillah sekarang ada bantuan sehingga dapat mendirikan rumah untuk Nek Saki,” terang salah seorang warga.Pembangunan rumah Nek Saki dilakukan secara gotong royong oleh warga. Bangunan menggunakan hebel, dalam satu hari pengerjaan hebel sudah naik sampai ke atas dan juga sudah dipasang kusen pintu dan jendela.Pengerjaan rumah ini dilakukan selama 4 hari secara gotong royong. Lima hari kemudian, Nek Saki bersama anaknya Sakam (48) yang menderita kebutaan sudah dapat meninggalkan kandang ayam dan tinggal di rumah yang layak huni meskipun belum selesai seluruhnya.Nenek Saki adalah sosok wanita dan ibu yang tangguh, di usia senja ia masih harus mengurus anaknya Sakam (48 Tahun) yang mengalami kebutaan sejak kecil. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Nek Saki terus bekerja keras sekedar untuk makan, ia membuat sapu lidi dari lidi daun kelapa kemudian ia jual kepada orang sekitar.Meski memiliki banyak keterbatasan, ia masih suka membantu tetangga yang membutuhkan pertolongan, sikap inilah yang mendorong masyarakat tak segan membantu mereka jika kekurangan makanan.Namun nasib buruk menimpa ibu dua orang anak ini satu setengah tahun yang lalu, rumahnya ambruk disapu angin pada musim hujan. Musibah ini hanya menyisakan pondasi rumah. Karena sudah tidak punya rumah, ia pindah ke rumah anak keduanya, Tawil.Namun kondisi rumah Tawil juga memprihatinkan. Rumah itu tidak ada kamar apalagi ruang tamu, semua menjadi satu antara dapur, tempat tidur. Nek Saki sendiri kebagian tinggal bersama ternak. Tokoh Cibungur Ahmad Yani, yang bersama LPM beberapa bulan lalu, menyaksikan rumah itu ikut prihatin. “Ibu Saki ini kehidupanya sangat memperihatinkan sudah tua dan harus mengurus anaknya yang tunanetra,” ungkap Ahmad Yani.Dengan kondisinya, Nek Saki hanya bisa pasrah dan tiada berhenti berdoa, “Mudah-mudahan Gusti Allah ngebantu Emak,” doanya lirihnya sambil tangan tua keriput ini mengambil kayu bakar untuk dijadikan bahan bakar masak.Nek Saki bersama, Ahmad Yani, relawan, yang membantu Nek Saki menghubungi LPM Dompet Dhuafa mencari donasi buat mendirikan rumahnya. Kini ceritanya menjadi beda, berkat bantuan orang baik melalui kitabisa.com, KBK dan LPM Dompet Dhuafa, Nek Saki sudah memiliki rumah yang layak. Setidaknya Nek Saki tidak lagi kehujanan karena atap kandang yang bocor dan menghirup udara yang tidak enak dari kotoran ayam yang tidur bersebelahan dengannya.“Terima kasih para donatur, semoga Allah SWT melimpahkan berkah atas bantuan yang diberikan kepada kami,” ungkap Nek Saki dengan bahasa daerah yang kemudian diterjemahkan Ahmad Yani kepada. [Maifil Eka Putra]52 52 SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017Akhirnya Nenek Saki Punya Rumah Layak HuniBERANDADengan kondisinya, Nek Saki hanya bisa pasrah dan tiada berhenti berdoa, “Mudah-mudahan gusti Allah ngebantu Emak,” doanya lirihnya sambil tangan tua keriput ini mengambil kayu bakar untuk dijadikan bahan bakar masakSWARACINTA 79 | SEP-OKT 201753 BERANDABanten – Setelah hampir dua tahun tinggal di kandang ayam, akhirnya Nenek Saki (70) memiliki rumah yang layak huni. Tim #MariMembantu Kantor Berita Kemanusiaan (KBK) dan LPM Dompet Dhuafa yang menggalang dana untuk Nek Saki secara online dan offline menyalurkan bantuan tersebut.Sekitar Pukul 14.00 WIB, Kamis 10 Agustus lalu, tim KBK dan LPM sampai di Kampung Surung Sungut, RT14 RW03, Desa Cibungur, Kec. Sukaresmi, Kab. Pandeglang, Banten. Didampingi Relawan Lokal Ahmad Yani, secara simbolis bantuan pembaca KBK melalui kitabisa.com dan donasi dari donatur LPM Dompet Dhuafa sebesar Rp10 juta, diserahterimakan kepada Nek Saki.Setelah itu, tim langsung menuju Toko Material di Jalan Panimbang sekitar 5 Km dari lokasi untuk membeli kebutuhan pembangunan. Sore itu juga bahan bangunan yang dibutuhkan dikirim ke lokasi rumah Nek Saki.“Sayang pembangunan tidak bisa dimulai besok atau Jumat, karena menurut Nek Saki, pamali membangun di “Hari Larangan”. Kepercayaan Nek Saki, tidak boleh membangun dan melakukan perjalanan di hari Jumat,” ungkap Ahmad Yani seperti ditirukan dari Nek Saki.Di hari Sabtu, pembangunan pun dimulai. Pembangunan pun cepat berjalan, karena pondasi rumah sudah ada. Pondasi tersebut merupakan bantuan warga setempat. “Kami sudah hampir dua tahun menghimpun dana membantu Nek Saki, cuma pondasi yang bisa kami dirikan. Alhamdulillah sekarang ada bantuan sehingga dapat mendirikan rumah untuk Nek Saki,” terang salah seorang warga.Pembangunan rumah Nek Saki dilakukan secara gotong royong oleh warga. Bangunan menggunakan hebel, dalam satu hari pengerjaan hebel sudah naik sampai ke atas dan juga sudah dipasang kusen pintu dan jendela.Pengerjaan rumah ini dilakukan selama 4 hari secara gotong royong. Lima hari kemudian, Nek Saki bersama anaknya Sakam (48) yang menderita kebutaan sudah dapat meninggalkan kandang ayam dan tinggal di rumah yang layak huni meskipun belum selesai seluruhnya.Nenek Saki adalah sosok wanita dan ibu yang tangguh, di usia senja ia masih harus mengurus anaknya Sakam (48 Tahun) yang mengalami kebutaan sejak kecil. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Nek Saki terus bekerja keras sekedar untuk makan, ia membuat sapu lidi dari lidi daun kelapa kemudian ia jual kepada orang sekitar.Meski memiliki banyak keterbatasan, ia masih suka membantu tetangga yang membutuhkan pertolongan, sikap inilah yang mendorong masyarakat tak segan membantu mereka jika kekurangan makanan.Namun nasib buruk menimpa ibu dua orang anak ini satu setengah tahun yang lalu, rumahnya ambruk disapu angin pada musim hujan. Musibah ini hanya menyisakan pondasi rumah. Karena sudah tidak punya rumah, ia pindah ke rumah anak keduanya, Tawil.Namun kondisi rumah Tawil juga memprihatinkan. Rumah itu tidak ada kamar apalagi ruang tamu, semua menjadi satu antara dapur, tempat tidur. Nek Saki sendiri kebagian tinggal bersama ternak. Tokoh Cibungur Ahmad Yani, yang bersama LPM beberapa bulan lalu, menyaksikan rumah itu ikut prihatin. “Ibu Saki ini kehidupanya sangat memperihatinkan sudah tua dan harus mengurus anaknya yang tunanetra,” ungkap Ahmad Yani.Dengan kondisinya, Nek Saki hanya bisa pasrah dan tiada berhenti berdoa, “Mudah-mudahan Gusti Allah ngebantu Emak,” doanya lirihnya sambil tangan tua keriput ini mengambil kayu bakar untuk dijadikan bahan bakar masak.Nek Saki bersama, Ahmad Yani, relawan, yang membantu Nek Saki menghubungi LPM Dompet Dhuafa mencari donasi buat mendirikan rumahnya. Kini ceritanya menjadi beda, berkat bantuan orang baik melalui kitabisa.com, KBK dan LPM Dompet Dhuafa, Nek Saki sudah memiliki rumah yang layak. Setidaknya Nek Saki tidak lagi kehujanan karena atap kandang yang bocor dan menghirup udara yang tidak enak dari kotoran ayam yang tidur bersebelahan dengannya.“Terima kasih para donatur, semoga Allah SWT melimpahkan berkah atas bantuan yang diberikan kepada kami,” ungkap Nek Saki dengan bahasa daerah yang kemudian diterjemahkan Ahmad Yani kepada. [Maifil Eka Putra]52 52 SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017Akhirnya Nenek Saki Punya Rumah Layak HuniBERANDADengan kondisinya, Nek Saki hanya bisa pasrah dan tiada berhenti berdoa, “Mudah-mudahan gusti Allah ngebantu Emak,” doanya lirihnya sambil tangan tua keriput ini mengambil kayu bakar untuk dijadikan bahan bakar masakSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201754 BERANDAUNGGAHBERANDA55 Jakarta – Pemerintah diharapkan dapat mendorong penghimpunan zakat. Salah satunya, memberikan motivasi melalui kebijakan zakat pengurang pajak (tax credit). Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CI-BEST), mengatakan, pengumpulan zakat akan lebih besar jika skema ini diterapkan. Saat ini pemerintah baru menerapkan kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2017 yang berlaku sejak tanggal 22 Juni 2017.“Semoga ke depan zakat bisa sebagai tax credit atau pengurang pajak langsung seperti di Malaysia,” ujarnya seperti dilansir Republika.Sementara itu Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementrian Agama RI, Tarmizi Tohor, mengapresiasi kebijakan Dirjen Pajak tentang zakat dan pajak ini. Ia mengatakan, terbitnya peraturan tersebut merupakan tindak lanjut dari UU no 23 tahun 2011 tentang zakat. Tarmizi menilai target pendapatan zakat hingga tahun 2016 masih di angka 2 persen atau Rp 5,6 triliun. Sangat jauh dengan perolehan pajak yang mencapai 81,54 persen di tahun yang sama. Untuk itu dengan diterbitkannya peraturan ini 98 persen sisa potensi zakat yang masih “gentayangan” diharapkan dapat terserap. “Saya sangat berterima kasih kepada Dirjen Pajak atas terbitnya peraturan ini. Semoga tidak ada lagi alasan bagi para muzaki yang enggan membayar zakat karena memiliki pandangan: zakat kena, pajak kena. Orang kaya tidak ada alasan lagi untuk tidak bayar zakat. Bila perlu tambahkan hukum pidana bila WNI muslim tidak mau berzakat,” ujar Tarmizi dalam acara Seminar Nasional bertajuk “Zakat Sebagai Pengurangan Penghasilan Kena Pajak” di Jakarta 22 Agustus lalu.Saat ini tercatat ada 550 lebih lembaga amil zakat (LAZ) yang telah dibentuk oleh UU No 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. “Kita dapat bukti telah membayar zakat dari LAZ berupa SMS atau lembaran kuitansi. Apakah itu bisa menjadi bukti yang kuat dan dipercaya oleh dirjen pajak dan diterima oleh negara?,” ujar Tarmizi.Ada pun LAZ sebagai penerima zakat yang dapat mengurangi dari penghasilan bruto adalah Badan Amil Zakat Nasional berdasakan UU No 23 tahun 2011 dan berdasarkan keputusan Menteri Agama no 186 serta berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam No. Dj III/499 tahun 2016. Muzaki yang berzakat di luar LAZ dengan ketentuan tersebut, zakatnya tidak bisa menjadi pengurang dari penghasilan bruto.Deputi Pemotongan Perorangan PPh Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan RI, Sulistyo Wibowo mengatakan, zakat yang dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak ialah zakat penghasilan dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib. Zakat penghasilan tersebut akan diakumulasi setiap tahun untuk mengurangi biaya pajak penghasilan bruto.“Jadi dibayar oleh seorang wajib pajak yang beragama Islam atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh orang Islam ke LAZ yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah,” jelas Sulistyo.Menyoal bukti pembayaran, tambah Sulistyo, muzaki bisa melampirkan bukti berupa kuitansi atau transfer rekening zakat pada SPT tahunan dengan menyertakan nama lengkap, jumlah dan tanggal pembayaran, nama LAZ, tanda tangan petugas LAZ dan validasi petugas bank bila pembayaran zakat via transfer bank.“Nantinya semua LAZ yang sudah terdaftar akan mendapatkan bukti setor zakat yang seragam,” jelas Sulistyo.Ketua Forum Zakat (FOZ) Nur Efendi mengaku menyambut baik dengan diterbitkannya peraturan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Menurutnya hal ini merupakan langkah yang positif dalam menguatkan dan mendorong para muzaki untuk menyisihkan rezekinya. [Aditya Kurniawan]JAKARTA—Dai Muda yang tergabung dalam Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) melakukan aksi respon kebakaran di Kebon Pala Rendah, Kampung Melayu, Jakarta Timur, Minggu 27 Agustus lalu. Kebakaran yang terjadi pada pekan sebelumnya ini mengakibatkan lebih dari 300 rumah habis dilalap api, sehingga warga setempat terpaksa diungsikan.“Ada ratusan warga dievakuasi ke tempat yang tidak jauh dari lokasi kebakaran. Sebagian besar memilih untuk tinggal di rumah saudaranya,” tutur Ummay, salah seorang Dai Muda Cordofa.Koordinator Dakwah Nasional Cordofa M. Sita Mustofa, menambahkan, banyak anak-anak yang turut terkena dampak atas kejadian kebakaran tersebut dan berpotensi mengalami trauma. “Dengan harapan dapat menghibur masyarakat yang tengah terkena musibah, Dai Muda Cordofa melakukan kegiatan bersama 50 anak-anak korban kebakaran agar tidak trauma. Kami mengajak mereka mengaji sambil bernyanyi,” katanya.Aksi kali ini diikuti oleh Dai Muda Cordofa dari berbagai kampus di Jabodetabek, di antaranya, Institut Pertanian Bogor (IPB), UNISMA Bekasi, Politeknik Kesehatan Jakarta, Universitas Budi Luhur, STEI TAZKIA, dan STEI SEBI.Dai Muda Cordofa merupakan himpunan dari mahasiswa aktivis Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Jabodetabek dan Jawa Barat yang terbentuk melalui kegiatan Cordofa Leadership Camp (CLC). Para Dai Muda Cordofa telah dibekali keilmuan, pelatihan pemberdayaan hingga siaga kebencanaan. [Rachmat/Cordofa]Dai Muda Gelar trauma Healing untuk Anak-anakDengan harapan dapat menghibur masyarakat yang tengah terkena musibah, Dai Muda Cordofa melakukan kegiatan bersama 50 anak-anak korban kebakaran agar tidak trauma. Kami mengajak mereka mengaji sambil bernyanyi.zakat Sebagai Pengurang PajakSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201754 BERANDAUNGGAHBERANDA55 Jakarta – Pemerintah diharapkan dapat mendorong penghimpunan zakat. Salah satunya, memberikan motivasi melalui kebijakan zakat pengurang pajak (tax credit). Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CI-BEST), mengatakan, pengumpulan zakat akan lebih besar jika skema ini diterapkan. Saat ini pemerintah baru menerapkan kebijakan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2017 yang berlaku sejak tanggal 22 Juni 2017.“Semoga ke depan zakat bisa sebagai tax credit atau pengurang pajak langsung seperti di Malaysia,” ujarnya seperti dilansir Republika.Sementara itu Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementrian Agama RI, Tarmizi Tohor, mengapresiasi kebijakan Dirjen Pajak tentang zakat dan pajak ini. Ia mengatakan, terbitnya peraturan tersebut merupakan tindak lanjut dari UU no 23 tahun 2011 tentang zakat. Tarmizi menilai target pendapatan zakat hingga tahun 2016 masih di angka 2 persen atau Rp 5,6 triliun. Sangat jauh dengan perolehan pajak yang mencapai 81,54 persen di tahun yang sama. Untuk itu dengan diterbitkannya peraturan ini 98 persen sisa potensi zakat yang masih “gentayangan” diharapkan dapat terserap. “Saya sangat berterima kasih kepada Dirjen Pajak atas terbitnya peraturan ini. Semoga tidak ada lagi alasan bagi para muzaki yang enggan membayar zakat karena memiliki pandangan: zakat kena, pajak kena. Orang kaya tidak ada alasan lagi untuk tidak bayar zakat. Bila perlu tambahkan hukum pidana bila WNI muslim tidak mau berzakat,” ujar Tarmizi dalam acara Seminar Nasional bertajuk “Zakat Sebagai Pengurangan Penghasilan Kena Pajak” di Jakarta 22 Agustus lalu.Saat ini tercatat ada 550 lebih lembaga amil zakat (LAZ) yang telah dibentuk oleh UU No 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. “Kita dapat bukti telah membayar zakat dari LAZ berupa SMS atau lembaran kuitansi. Apakah itu bisa menjadi bukti yang kuat dan dipercaya oleh dirjen pajak dan diterima oleh negara?,” ujar Tarmizi.Ada pun LAZ sebagai penerima zakat yang dapat mengurangi dari penghasilan bruto adalah Badan Amil Zakat Nasional berdasakan UU No 23 tahun 2011 dan berdasarkan keputusan Menteri Agama no 186 serta berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam No. Dj III/499 tahun 2016. Muzaki yang berzakat di luar LAZ dengan ketentuan tersebut, zakatnya tidak bisa menjadi pengurang dari penghasilan bruto.Deputi Pemotongan Perorangan PPh Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan RI, Sulistyo Wibowo mengatakan, zakat yang dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak ialah zakat penghasilan dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib. Zakat penghasilan tersebut akan diakumulasi setiap tahun untuk mengurangi biaya pajak penghasilan bruto.“Jadi dibayar oleh seorang wajib pajak yang beragama Islam atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh orang Islam ke LAZ yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah,” jelas Sulistyo.Menyoal bukti pembayaran, tambah Sulistyo, muzaki bisa melampirkan bukti berupa kuitansi atau transfer rekening zakat pada SPT tahunan dengan menyertakan nama lengkap, jumlah dan tanggal pembayaran, nama LAZ, tanda tangan petugas LAZ dan validasi petugas bank bila pembayaran zakat via transfer bank.“Nantinya semua LAZ yang sudah terdaftar akan mendapatkan bukti setor zakat yang seragam,” jelas Sulistyo.Ketua Forum Zakat (FOZ) Nur Efendi mengaku menyambut baik dengan diterbitkannya peraturan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Menurutnya hal ini merupakan langkah yang positif dalam menguatkan dan mendorong para muzaki untuk menyisihkan rezekinya. [Aditya Kurniawan]JAKARTA—Dai Muda yang tergabung dalam Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) melakukan aksi respon kebakaran di Kebon Pala Rendah, Kampung Melayu, Jakarta Timur, Minggu 27 Agustus lalu. Kebakaran yang terjadi pada pekan sebelumnya ini mengakibatkan lebih dari 300 rumah habis dilalap api, sehingga warga setempat terpaksa diungsikan.“Ada ratusan warga dievakuasi ke tempat yang tidak jauh dari lokasi kebakaran. Sebagian besar memilih untuk tinggal di rumah saudaranya,” tutur Ummay, salah seorang Dai Muda Cordofa.Koordinator Dakwah Nasional Cordofa M. Sita Mustofa, menambahkan, banyak anak-anak yang turut terkena dampak atas kejadian kebakaran tersebut dan berpotensi mengalami trauma. “Dengan harapan dapat menghibur masyarakat yang tengah terkena musibah, Dai Muda Cordofa melakukan kegiatan bersama 50 anak-anak korban kebakaran agar tidak trauma. Kami mengajak mereka mengaji sambil bernyanyi,” katanya.Aksi kali ini diikuti oleh Dai Muda Cordofa dari berbagai kampus di Jabodetabek, di antaranya, Institut Pertanian Bogor (IPB), UNISMA Bekasi, Politeknik Kesehatan Jakarta, Universitas Budi Luhur, STEI TAZKIA, dan STEI SEBI.Dai Muda Cordofa merupakan himpunan dari mahasiswa aktivis Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Jabodetabek dan Jawa Barat yang terbentuk melalui kegiatan Cordofa Leadership Camp (CLC). Para Dai Muda Cordofa telah dibekali keilmuan, pelatihan pemberdayaan hingga siaga kebencanaan. [Rachmat/Cordofa]Dai Muda Gelar trauma Healing untuk Anak-anakDengan harapan dapat menghibur masyarakat yang tengah terkena musibah, Dai Muda Cordofa melakukan kegiatan bersama 50 anak-anak korban kebakaran agar tidak trauma. Kami mengajak mereka mengaji sambil bernyanyi.zakat Sebagai Pengurang PajakSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201756 UNGGAHUNGGAH57 Indonesia diberkahi kekayaan alam yang melimpah. Seharusnya, di usia 72 tahun kemerdekaannya, bangsa ini sudah jauh dari kekurangan dan kemiskinan. Dengan kekayaan alam yang melimpah, semestinya sandang, pangan, papan dan obat-obatan mudah didapatkan oleh siapa pun. Berbicara tentang kekayaan alam Indonesia, saya jadi teringat perjalanan beberapa waktu lalu. Saya berkesempatan untuk jalan bareng tim Dompet Dhuafa mengunjungi Sumbawa dalam rangka quality control (QC) program Tebar Hewan Kurban. Gugusan pulau kecil, susu kuda liar, pacuan kuda, madu, rumah adat dari bambu adalah hal-hal sepintas yang terbersit dalam pikiran saya tentang Sumbawa. Wow! Saya membayangkan ini akan jadi perjalanan ekstrim bagi saya. Kenapa? Karena ini adalah pengalaman pertama untuk mengetahui bagaimana QC hewan kurban, terlebih di pelosok nengeri nun jauh di sana. Walaupun sebelumnya saya pernah diberi rejeki Allah untuk bepergian ke beberapa pelosok negeri sebagai geoscientist, untuk melihat potensi migas, sebagai moeslimah traveler serta sebagai relawan mengajar . Lebih dari itu, ada beberapa pertanyaan besar dalam hati dan pikiran saya tentang bagaimana peran aktif Dompet Dhuafa dalam mendukung kehidupan ekonomi masyarakat di sana. Khususnya berkaitan dengan pemberdayaan ternak sapi dan penyebaran hewan kurban dalam rangka menyambut Hari Raya Idul adha. Alasan Dompet Dhuafa memilih tempat pemberdayaan dan mendistribusikan di tempat ini, serta bagaimana respon masyarakat di sana? Selain itu, karena kami berangkat pada tanggal 17 Agustus, Saya pun menjadi tambah penasaran, bagaimana suasana ‘Agustusan’ di sana? Apakah masyarakat sudah benar-benar merasakan kemerdekaan?PerJalanan MenuJu SuMBaWaPerjalanan dimulai pukul 17.40 WIB dengan pesawat dari bandara Soekarno-Hatta,. Kami sampai di Lombok sekitar pukul 20.45 WITA. Sesampainya di bandara, kami dijemput oleh Mas Syamsu, yang merupakan masyarakat lokal Sumbawa sekaligus mitra Dompet Dhuafa.Mas Syamsu pun mengantarkan kami ke lokasi pemberdayaan ternak. Perjalanan dari bandara menuju lokasi tersebut ditempuh sekitar 30-45 menit. Lokasinya berada di desa Baru Tahan, Kecamatan Moyo Utara, Kabupaten Sumbawa.Sepanjang perjalanan, saya melihat banyak potensi ekonomi di sana, dimulai dari jagung, padi dan peternakan sapiMasyarakat di sana sebagian besar bertani dan berternak. Meskipun memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetapi kualitas pendidikannya masih rendah. Malam harinya kami memutuskan untuk tinggal di rumah yang menjadi sekretariat program Dompet Dhuafa di sana agar besok dapat langsung melihat lokasi pemberdayaan ternak dan melakukan Quality Control (QC). Kami juga ingin melihat kondisi masyarakat penerima manfaat serta lokasi distribusi hewan ternak. Rumah yang kami tempati dikelilingi kebun jagung yang sangat luas yang merupakan milik kelompok tani binaan Dompet Dhuafa. Tempat ini juga dimanfaat sebagai kandang sapi yang merupakan lokasi pemberdayaan ternak Dompet Dhuafa. Rumah ini merupakan khas rumah adat daerah yang terbuat dari kayu, bambu, atap seng, dan sebagian sudah ada yang dari batu bata. Dari penuturan Mas Syamsu, rumah ini merupakan hibah dari Kepala Dinas yang diperuntukkan bagi warga kelompok tani untuk berkumpul bersama.Kegiatan utama kami di desa Baru Tahan adalah melakukan QC hewan kurban, mengecek lokasi distribusi hewan kurban, pemberdayaan ternak dan melihat kondisi ekonomi sosial masyarakat penerima manfaat. Hal ini dilakukan tentunya dengan maksud agar hewan kurban yang nanti disembelih adalah hewan kurban yang sudah layak memenuhi standar syariat dan standar Dompet Dhuafa.Proses QC yang dilakukan THK Dompet Dhuafa memang benar-benar detail dan dilakukan step by step, serta diperuntukkan untuk semua hewan yang akan dikurbankan. Ini pengalaman menakjubkan yang ada dalam hidup saya. Sebelumnya, saya belum pernah tahu cara-cara QC hewan kurban, langkah yang dilakukan apa saja, bagaimana mengetahui hewan tersebut layak atau tidak. Kemudian yang membuat deg-degan adalah berdiri di dekat sapi yang kapan saja bisa menyepak badan. Sampai-sampai harus diingatkan berkali-kali untuk menjauh dari kaki belakang sapi. Tapi peternak di sana sempat memberi tips menjinakkan sapi. Menurutnya, untuk menjinakkan sapi, kita harus membelai mata dan leher sapi. Ternyata hasilnya ajaib! Sapi-sapi itu memang terlihat lebih jinak dan tenang setelah dibelai.lauk aIr PutIhNamun, lebih dari itu semua, yang membawa kesan adalah ketika di tengah perjalanan, saya berjumpa dengan keluarga yang tiap hari hanya menyantap nasi dengan lauk air putih. Ini momen yang benar-benar membuat perasaan saya campur aduk. Kok bisa-bisanya masih ada yang makan hanya dengan nasi putih disiram air. Itu yang MAKJLEB banget. Sementara di luar sana, banyak warga yang sudah sangat sering makan daging. Sedangkan di sini, sekali saja dalam sebulan belum tentu. Hanya jika ada warga atau tetangga yang menggelar hajatan. Kita harus lebih banyak bersyukur dan berbagai kepada sesama. Ternyata di luar sana masih banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan kita. Langkah Dompet Dhuafa yang mendistribusikan daging kurban ke daerah sini mungkin jadi kebahagiaan yang tak terkira buat mereka. Bagi kita, makan daging mungkin hal biasa, tapi buat mereka itu luar biasa. Oleh karenanya, bagi kita yang memiliki rezeki lebih untuk berkurban, bolehlah menyalurkan kurbannya melalui lembaga yang kredibel seperti Dompet Dhuafa. Dengan demikian, kita berharap tak ada lagi orang-orang yang makan hanya berlauk air. [Eqi Pujiati] Pengakuan disampaikan seorang ibu di Baru Tahan, sebuah desa di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Selama ini, ia, anak, dan suaminya sudah biasa mengonsumsi nasi tanpa sayur dan lauk pauk. Mereka hanya bisa makan daging ketika ada tetangga desa yang menggelar syukuran, atau saat Idul Adha datang. “Kami terbiasa masak di luar tanpa tungku,“ tambahnya.“Nasi putih ini cukup disiram air putih saja tanpa sayur, tanpa daging, tanpa lauk apapun.”Agar tak Ada Lagi Piring Berlauk AirSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201756 UNGGAHUNGGAH57 Indonesia diberkahi kekayaan alam yang melimpah. Seharusnya, di usia 72 tahun kemerdekaannya, bangsa ini sudah jauh dari kekurangan dan kemiskinan. Dengan kekayaan alam yang melimpah, semestinya sandang, pangan, papan dan obat-obatan mudah didapatkan oleh siapa pun. Berbicara tentang kekayaan alam Indonesia, saya jadi teringat perjalanan beberapa waktu lalu. Saya berkesempatan untuk jalan bareng tim Dompet Dhuafa mengunjungi Sumbawa dalam rangka quality control (QC) program Tebar Hewan Kurban. Gugusan pulau kecil, susu kuda liar, pacuan kuda, madu, rumah adat dari bambu adalah hal-hal sepintas yang terbersit dalam pikiran saya tentang Sumbawa. Wow! Saya membayangkan ini akan jadi perjalanan ekstrim bagi saya. Kenapa? Karena ini adalah pengalaman pertama untuk mengetahui bagaimana QC hewan kurban, terlebih di pelosok nengeri nun jauh di sana. Walaupun sebelumnya saya pernah diberi rejeki Allah untuk bepergian ke beberapa pelosok negeri sebagai geoscientist, untuk melihat potensi migas, sebagai moeslimah traveler serta sebagai relawan mengajar . Lebih dari itu, ada beberapa pertanyaan besar dalam hati dan pikiran saya tentang bagaimana peran aktif Dompet Dhuafa dalam mendukung kehidupan ekonomi masyarakat di sana. Khususnya berkaitan dengan pemberdayaan ternak sapi dan penyebaran hewan kurban dalam rangka menyambut Hari Raya Idul adha. Alasan Dompet Dhuafa memilih tempat pemberdayaan dan mendistribusikan di tempat ini, serta bagaimana respon masyarakat di sana? Selain itu, karena kami berangkat pada tanggal 17 Agustus, Saya pun menjadi tambah penasaran, bagaimana suasana ‘Agustusan’ di sana? Apakah masyarakat sudah benar-benar merasakan kemerdekaan?PerJalanan MenuJu SuMBaWaPerjalanan dimulai pukul 17.40 WIB dengan pesawat dari bandara Soekarno-Hatta,. Kami sampai di Lombok sekitar pukul 20.45 WITA. Sesampainya di bandara, kami dijemput oleh Mas Syamsu, yang merupakan masyarakat lokal Sumbawa sekaligus mitra Dompet Dhuafa.Mas Syamsu pun mengantarkan kami ke lokasi pemberdayaan ternak. Perjalanan dari bandara menuju lokasi tersebut ditempuh sekitar 30-45 menit. Lokasinya berada di desa Baru Tahan, Kecamatan Moyo Utara, Kabupaten Sumbawa.Sepanjang perjalanan, saya melihat banyak potensi ekonomi di sana, dimulai dari jagung, padi dan peternakan sapiMasyarakat di sana sebagian besar bertani dan berternak. Meskipun memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetapi kualitas pendidikannya masih rendah. Malam harinya kami memutuskan untuk tinggal di rumah yang menjadi sekretariat program Dompet Dhuafa di sana agar besok dapat langsung melihat lokasi pemberdayaan ternak dan melakukan Quality Control (QC). Kami juga ingin melihat kondisi masyarakat penerima manfaat serta lokasi distribusi hewan ternak. Rumah yang kami tempati dikelilingi kebun jagung yang sangat luas yang merupakan milik kelompok tani binaan Dompet Dhuafa. Tempat ini juga dimanfaat sebagai kandang sapi yang merupakan lokasi pemberdayaan ternak Dompet Dhuafa. Rumah ini merupakan khas rumah adat daerah yang terbuat dari kayu, bambu, atap seng, dan sebagian sudah ada yang dari batu bata. Dari penuturan Mas Syamsu, rumah ini merupakan hibah dari Kepala Dinas yang diperuntukkan bagi warga kelompok tani untuk berkumpul bersama.Kegiatan utama kami di desa Baru Tahan adalah melakukan QC hewan kurban, mengecek lokasi distribusi hewan kurban, pemberdayaan ternak dan melihat kondisi ekonomi sosial masyarakat penerima manfaat. Hal ini dilakukan tentunya dengan maksud agar hewan kurban yang nanti disembelih adalah hewan kurban yang sudah layak memenuhi standar syariat dan standar Dompet Dhuafa.Proses QC yang dilakukan THK Dompet Dhuafa memang benar-benar detail dan dilakukan step by step, serta diperuntukkan untuk semua hewan yang akan dikurbankan. Ini pengalaman menakjubkan yang ada dalam hidup saya. Sebelumnya, saya belum pernah tahu cara-cara QC hewan kurban, langkah yang dilakukan apa saja, bagaimana mengetahui hewan tersebut layak atau tidak. Kemudian yang membuat deg-degan adalah berdiri di dekat sapi yang kapan saja bisa menyepak badan. Sampai-sampai harus diingatkan berkali-kali untuk menjauh dari kaki belakang sapi. Tapi peternak di sana sempat memberi tips menjinakkan sapi. Menurutnya, untuk menjinakkan sapi, kita harus membelai mata dan leher sapi. Ternyata hasilnya ajaib! Sapi-sapi itu memang terlihat lebih jinak dan tenang setelah dibelai.lauk aIr PutIhNamun, lebih dari itu semua, yang membawa kesan adalah ketika di tengah perjalanan, saya berjumpa dengan keluarga yang tiap hari hanya menyantap nasi dengan lauk air putih. Ini momen yang benar-benar membuat perasaan saya campur aduk. Kok bisa-bisanya masih ada yang makan hanya dengan nasi putih disiram air. Itu yang MAKJLEB banget. Sementara di luar sana, banyak warga yang sudah sangat sering makan daging. Sedangkan di sini, sekali saja dalam sebulan belum tentu. Hanya jika ada warga atau tetangga yang menggelar hajatan. Kita harus lebih banyak bersyukur dan berbagai kepada sesama. Ternyata di luar sana masih banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan kita. Langkah Dompet Dhuafa yang mendistribusikan daging kurban ke daerah sini mungkin jadi kebahagiaan yang tak terkira buat mereka. Bagi kita, makan daging mungkin hal biasa, tapi buat mereka itu luar biasa. Oleh karenanya, bagi kita yang memiliki rezeki lebih untuk berkurban, bolehlah menyalurkan kurbannya melalui lembaga yang kredibel seperti Dompet Dhuafa. Dengan demikian, kita berharap tak ada lagi orang-orang yang makan hanya berlauk air. [Eqi Pujiati] Pengakuan disampaikan seorang ibu di Baru Tahan, sebuah desa di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Selama ini, ia, anak, dan suaminya sudah biasa mengonsumsi nasi tanpa sayur dan lauk pauk. Mereka hanya bisa makan daging ketika ada tetangga desa yang menggelar syukuran, atau saat Idul Adha datang. “Kami terbiasa masak di luar tanpa tungku,“ tambahnya.“Nasi putih ini cukup disiram air putih saja tanpa sayur, tanpa daging, tanpa lauk apapun.”Agar tak Ada Lagi Piring Berlauk AirSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201758 SKETSASKETSA59 SeBeluM tahun 2004, orang berangkat haji begitu mudah. Asal ada ongkos cukup, begitu mendaftar langsung bisa berangkat tahun itu juga. Tapi sekarang, naik haji harus antri, karena daya tampung di Mekah-Madinah tidak lagi mencukupi. Di Indonesia misalnya, waiting list paling lama sampai 40 tahun, itu untuk Provinsi Sulawesi Selatan. Tercepat hanyalah Provinsi Bengkulu, hanya 8 tahun.Gara-gara itu, banyak orang pesimis untuk bisa berangkat haji, khususnya yang sudah berusia oversek (over seket) alias 50 tahun ke atas. Ya kalau jatah umur masih nyampai. Kalau tidak, belum juga berangkat ke haji, sudah diberangkatkan ke TPU. Maka sebagai penghibur diri, alternatifnya adalah umrah saja. Meski tidak menjalankan prosesi haji, yang penting sampai Mekah dan Madinah.“Sekarang berangkat haji susah, tapi kenapa banyak yang sudah berangkat haji, tapi tak mau pasang “titel”-nya itu Pak?” Bu Atikah bertanya pada Pakde Gendro.“Karena pasang “haji” di depan namanya itu memiliki konsekuensi. Perilaku harus selalu terjaga dan terukur, setidaknya selalu siap jika ditodong pimpin doa. Banyak orang haji karena fasilitas, sehingga “persiapan”-nya kurang. Didaulat jadi imam salat saja, baca surat Alkafirun muter-muter, sampai jemaah teriak kapan lakum dinukum waliyadin-nya nih?” jawab Pakde Gendro sampai sang istri pun tertawa nyengir.Sekitar 6 bulan lalu Pakde Gendro selaku Pak RT pernah melayani seorang warga Pondok Flamboyan yang mau mengurus akte kelahiran, untuk peryaratan paspor umrah. Pakde Gendro sempat takjub juga. Pekerjaannya hanya pedagang keliling, Mak Ijah siap berangkat umrah yang biayanya sekitar Rp 22,5 juta standar Kemenag.“Wah, rupanya Mak Ijah banyak duit juga nih. Kenapa berangkat sendiri, suami tak diajak?” kata Pakde Gendro sambil nyetempel surat pengantar, ceplokkk......“Ah mana duitnya cukup, Pak RT. Berangkat umrah sendiri saja yang paket hemat.” Jawab Mak Ijah sambil tertawa.“Kok pakai “pahe” segala, seperti ayam goreng MacDonald saja.” Komentar Pakde Gendro ikut pula tertawa.Lalu Mak Ijah pun menjelaskan, biaya umrah itu hanya Rp 14,3 juta, padahal di tempat lain, biro perjalanan umrah rata-rata mematok di atas Rp 20 juta. Kebetulan tabungannya di bank sudah mendekati angka itu, maka Mak Ijah memantapkan diri ikut umrah bersama biro perjalanan Fast Travel.“Kok murah amat, Mak Ijah? Jangan-jangan berangkatnya dari Jedah kali.” Kata Pakde Gendro lagi seakan tak percaya.“Nggak Pak RT. Kita tetap berangkat dari Sukarno-Hatta. Banyak kok di RT lain yang ikut. Pakde Gendro atau Bu Atikah mau berangkat? Ayolah, biar aku dapat komisi Rp 200 ribu perkepala, ha ha ha.......” jawab Mak Ijah sambil tertawa lepas.“Hati-hati Mak Ijah, jangan-jangan nanti ketipu.”Tapi Mak Ijah bergeming. Dia yakin bahwa Fasst Travel tetap yang pertama pelayanannya, meski ongkosnya murah meriah. Dia sudah melihat langsung pemilik biro perjalanan itu, ketika ada presentasi di sebuah hotel. Yang suami tampan dan santun, sering pakai gamis. Begitu pula istrinya, ke mana-mana selalu jilbaban. Masak orang bergamis dan berjilbab menipu umat?Setelah menerima surat pengantar dari Pak RT, Mak Ijah pamitan pulang dengan wajah bahagia. Sepertinya membayangkan, sebentar lagi sudah terbang ke Mekah Almukaromah. Pulang dari sana sudah tambah gelarnya, U. Maksudnya, U itu adalah kepanjangan umrah. Sebab orang bertitel H, juga kepanjangan Haji.“Kenapa sih Pak, orang Indonesia sepulang haji selalu tambah “titel” H di depan namanya? Padahal di negara lain tidak ada.” Bu Atikah bertanya pada suaminya.“Itu kan politik Belanda di jaman penjajahan. Itu sebetulnya sekedar untuk menandai bahwa orang-orang yang bergelar haji harus diawasi, sebab mereka di jaman itu sudah termasuk kritis tentang apa artinya sebuah kemerdekaan bagi sebuah bangsa.” Penjelasan Pakde Gendro seperti pengamat politik saja.Seminggu kemudian Mak Ijah lewat depan rumah Pakde Gendro sambil menyeret koper besar warna kaki bertuliskan PT Fast Travel. Seakan dia ingin membuktikan pada Pak RT bahwa kecurigaan Pakde Gendro tidak beralasan. Buktinya, begitu mendaftar sudah dikasih koper umrah.Minggu berikutnya Mak Ijah mengundang Pakde Gendro untuk menghadiri ratiban di rumahnya. Katanya tiga hari lagi akan berangkat. Bahkan selaku Pak RT Pakde Gendro juga diberi waktu memberi sambutan sepatah-dua patah kata, sebelum Pak Ustadz memberikan tausiah seputar ibadah umrah.“Ini sudah lewat 5 hari, tapi kok saya masih melihat Mak Ijah di rumah, Pak.” Kata Bu Atiah.“Ah, kamu ini. Mau tau saja urusan orang. Mungkin ada paspor yang belum beres, atau penundaan keberangkatan pesawat.” Jawab Pakde Gendro khusnudzon saja.Berapa hari kemudian ada kabar, Mak Ijah harus nambah lagi Rp 2 juta agar bisa diberangkatkan. Tapi ternyata meski sudah menambah ongkos, Mak Ijah masih saja terlihat duduk-duduk manis di rumahnya. Dan warga Pondok Flamboyan pun heboh ketika terlihat di TV, pemilik PT Fast Travel dan istrinya ditangkap polisi. Pakde Gendro memastikan, Mak Ijah gagal umrah dan uangnya juga wasalam.“Kasihan Mak Ijah, mau berangkat umrah hanya dapat koper doang.” Komentar Bu Atikah.“Baru kali ini ada koper umrah seharga Rp 14,3 juta.” Jawab Pakde Gendro.Baru saja dirasani, Mak Ijah tiba-tiba datang, minta diantar Pakde Gendro ke Gedung DPR. Sebab bersama jemaah lainnya Mak Ijah akan mengadu ke Komisi VIII, agar mendesak pemerintah nomboki kerugian para jemaah. Enak betul! [Gunarso TS] KOPER uMRAHSWARACINTA 79 | SEP-OKT 2017SWARACINTA 79 | SEP-OKT 201758 SKETSASKETSA59 SeBeluM tahun 2004, orang berangkat haji begitu mudah. Asal ada ongkos cukup, begitu mendaftar langsung bisa berangkat tahun itu juga. Tapi sekarang, naik haji harus antri, karena daya tampung di Mekah-Madinah tidak lagi mencukupi. Di Indonesia misalnya, waiting list paling lama sampai 40 tahun, itu untuk Provinsi Sulawesi Selatan. Tercepat hanyalah Provinsi Bengkulu, hanya 8 tahun.Gara-gara itu, banyak orang pesimis untuk bisa berangkat haji, khususnya yang sudah berusia oversek (over seket) alias 50 tahun ke atas. Ya kalau jatah umur masih nyampai. Kalau tidak, belum juga berangkat ke haji, sudah diberangkatkan ke TPU. Maka sebagai penghibur diri, alternatifnya adalah umrah saja. Meski tidak menjalankan prosesi haji, yang penting sampai Mekah dan Madinah.“Sekarang berangkat haji susah, tapi kenapa banyak yang sudah berangkat haji, tapi tak mau pasang “titel”-nya itu Pak?” Bu Atikah bertanya pada Pakde Gendro.“Karena pasang “haji” di depan namanya itu memiliki konsekuensi. Perilaku harus selalu terjaga dan terukur, setidaknya selalu siap jika ditodong pimpin doa. Banyak orang haji karena fasilitas, sehingga “persiapan”-nya kurang. Didaulat jadi imam salat saja, baca surat Alkafirun muter-muter, sampai jemaah teriak kapan lakum dinukum waliyadin-nya nih?” jawab Pakde Gendro sampai sang istri pun tertawa nyengir.Sekitar 6 bulan lalu Pakde Gendro selaku Pak RT pernah melayani seorang warga Pondok Flamboyan yang mau mengurus akte kelahiran, untuk peryaratan paspor umrah. Pakde Gendro sempat takjub juga. Pekerjaannya hanya pedagang keliling, Mak Ijah siap berangkat umrah yang biayanya sekitar Rp 22,5 juta standar Kemenag.“Wah, rupanya Mak Ijah banyak duit juga nih. Kenapa berangkat sendiri, suami tak diajak?” kata Pakde Gendro sambil nyetempel surat pengantar, ceplokkk......“Ah mana duitnya cukup, Pak RT. Berangkat umrah sendiri saja yang paket hemat.” Jawab Mak Ijah sambil tertawa.“Kok pakai “pahe” segala, seperti ayam goreng MacDonald saja.” Komentar Pakde Gendro ikut pula tertawa.Lalu Mak Ijah pun menjelaskan, biaya umrah itu hanya Rp 14,3 juta, padahal di tempat lain, biro perjalanan umrah rata-rata mematok di atas Rp 20 juta. Kebetulan tabungannya di bank sudah mendekati angka itu, maka Mak Ijah memantapkan diri ikut umrah bersama biro perjalanan Fast Travel.“Kok murah amat, Mak Ijah? Jangan-jangan berangkatnya dari Jedah kali.” Kata Pakde Gendro lagi seakan tak percaya.“Nggak Pak RT. Kita tetap berangkat dari Sukarno-Hatta. Banyak kok di RT lain yang ikut. Pakde Gendro atau Bu Atikah mau berangkat? Ayolah, biar aku dapat komisi Rp 200 ribu perkepala, ha ha ha.......” jawab Mak Ijah sambil tertawa lepas.“Hati-hati Mak Ijah, jangan-jangan nanti ketipu.”Tapi Mak Ijah bergeming. Dia yakin bahwa Fasst Travel tetap yang pertama pelayanannya, meski ongkosnya murah meriah. Dia sudah melihat langsung pemilik biro perjalanan itu, ketika ada presentasi di sebuah hotel. Yang suami tampan dan santun, sering pakai gamis. Begitu pula istrinya, ke mana-mana selalu jilbaban. Masak orang bergamis dan berjilbab menipu umat?Setelah menerima surat pengantar dari Pak RT, Mak Ijah pamitan pulang dengan wajah bahagia. Sepertinya membayangkan, sebentar lagi sudah terbang ke Mekah Almukaromah. Pulang dari sana sudah tambah gelarnya, U. Maksudnya, U itu adalah kepanjangan umrah. Sebab orang bertitel H, juga kepanjangan Haji.“Kenapa sih Pak, orang Indonesia sepulang haji selalu tambah “titel” H di depan namanya? Padahal di negara lain tidak ada.” Bu Atikah bertanya pada suaminya.“Itu kan politik Belanda di jaman penjajahan. Itu sebetulnya sekedar untuk menandai bahwa orang-orang yang bergelar haji harus diawasi, sebab mereka di jaman itu sudah termasuk kritis tentang apa artinya sebuah kemerdekaan bagi sebuah bangsa.” Penjelasan Pakde Gendro seperti pengamat politik saja.Seminggu kemudian Mak Ijah lewat depan rumah Pakde Gendro sambil menyeret koper besar warna kaki bertuliskan PT Fast Travel. Seakan dia ingin membuktikan pada Pak RT bahwa kecurigaan Pakde Gendro tidak beralasan. Buktinya, begitu mendaftar sudah dikasih koper umrah.Minggu berikutnya Mak Ijah mengundang Pakde Gendro untuk menghadiri ratiban di rumahnya. Katanya tiga hari lagi akan berangkat. Bahkan selaku Pak RT Pakde Gendro juga diberi waktu memberi sambutan sepatah-dua patah kata, sebelum Pak Ustadz memberikan tausiah seputar ibadah umrah.“Ini sudah lewat 5 hari, tapi kok saya masih melihat Mak Ijah di rumah, Pak.” Kata Bu Atiah.“Ah, kamu ini. Mau tau saja urusan orang. Mungkin ada paspor yang belum beres, atau penundaan keberangkatan pesawat.” Jawab Pakde Gendro khusnudzon saja.Berapa hari kemudian ada kabar, Mak Ijah harus nambah lagi Rp 2 juta agar bisa diberangkatkan. Tapi ternyata meski sudah menambah ongkos, Mak Ijah masih saja terlihat duduk-duduk manis di rumahnya. Dan warga Pondok Flamboyan pun heboh ketika terlihat di TV, pemilik PT Fast Travel dan istrinya ditangkap polisi. Pakde Gendro memastikan, Mak Ijah gagal umrah dan uangnya juga wasalam.“Kasihan Mak Ijah, mau berangkat umrah hanya dapat koper doang.” Komentar Bu Atikah.“Baru kali ini ada koper umrah seharga Rp 14,3 juta.” Jawab Pakde Gendro.Baru saja dirasani, Mak Ijah tiba-tiba datang, minta diantar Pakde Gendro ke Gedung DPR. Sebab bersama jemaah lainnya Mak Ijah akan mengadu ke Komisi VIII, agar mendesak pemerintah nomboki kerugian para jemaah. Enak betul! [Gunarso TS] KOPER uMRAHNext >